Isu-isu seputar perencanaan wilayah perdesaan sangatlah khas. Isu tersebut antara lain mengenai masalah kesenjangan, kemiskinan, dan terbatasnya infrastruktur dasar. Hal inilah yang mendorong melesatnya tingkat urbanisasi di Indonesia. Oleh lantaran itu, pemerintah berusaha mewujudkan pembangunan perdesaan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakatnya. Pembangunan perdesaan telah dilakukan dengan banyak sekali pendekatan, mulai dari PNPM (Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat) Mandiri, Program GSC (Generasi Sehat Cerdas), Alokasi Dana Desa, dan yang baru-baru ini ditetapkan, yaitu terkait kebijakan Dana Desa. Disinyalir, penetapan kebijakan Dana Desa bisa meningkatkan kesejahteraan masyarakat perdesaan. Rumah tangga miskin di perdesaan berkaitan dengan tingkat kemampuan untuk mengakses kemudahan dan infrastruktur di antaranya sebanyak 69% masih belum mempunyai kanal air bersih, 56% belum mempunyai MCK yang memenuhi standar kesehatan, 49% tinggal di desa yang tidak mempunyai kanal terhadap telefon/alat komunikasi, dan 47% di antaranya tinggal di desa yang kanal jalannya belum beraspal. Di sisi lain, tingkat pendidikan di desa masih terbilang rendah. Rata-rata usang sekolah masih sangat pendek. Berikut data yang menggambarkan kondisi pendidikan desa dibandingkan dengan kota.
Berdasarkan beberapa fakta tersebut, penetapan kebijakan Dana Desa ini menuai pro dan kontra dari banyak sekali kalangan. Pihak yang mendukung kebijakan ini merasa bahwa wilayah perdesaan selalu menjadi wilayah yang terpinggirkan dibandingkan dengan wilayah perkotaan. Hal ini terjadi lantaran adanya keterbatasan alokasi dana untuk pembangunan desa. Dengan adanya Dana Desa, pembangunan desa sanggup dijalankan sehingga diperlukan bisa meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakatnya. Di sisi lain, terdapat pihak yang kontra terhadap kebijakan Dana Desa.
Kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM) di wilayah perdesaan dianggap belum bisa mengemban amanah pembangunan desa secara mandiri. Dikhawatirkan apabila penggunaan Dana Desa tersebut menjadi tidak sempurna sasaran. Realitas yang terjadi pada implementasi konsep desentralisasi justru menjadi bayangan kelam penerapan kebijakan Dana Desa yang dikhawatirkan akan menjadi ajang penyelewengan dana APBN. Terlepas dari itu semua, penetapan kebijakan Dana Desa tidak lain yaitu untuk menanggapi gosip terhambatnya pembangunan desa dilihat dari pendanaan pembangunannya. Fakta-fakta pendukung yaitu 63% penduduk miskin terpusat di wilayah perdesaan dan kurangnya kanal mereka terhadap kebutuhan akan infrastruktur dasar sebagaimana data kuantitatifnya telah disebutkan sebelumnya. Berangkat dari gosip dan fakta ini, terumuskanlah tujuan untuk meningkatkan pembangunan di wilayah perdesaan guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat desa. Dari tujuan tersebut, muncullah approach to problem berupa kebijakan Dana Desa. Penetapan kebijakan ini tentu menurut banyak sekali macam teknik perumusan kebijakan yang bersumber dari mendasar theory berupa teori-teori yang berkaitan dengan isu.
Penyaluran Dana Desa (DD) sangat besar, yaitu dialokasikan sebanyak 10% dari APBN sedangkan unsur utama sumber pendapatan negara yang dituangkan dalam APBN berasal dari pajak, yakni kurang lebih sebesar 70% APBN Indonesia. Oleh lantaran itu, pemanfaatannya harus efektif dan efisien dalam mencapai utilitas paling optimal.
Sayangnya, telah terjadi beberapa kendala sepanjang implementasi kebijakan Dana Desa ini. Hambatan yang terjadi dalam penyaluran Dana Desa pada tingkat pemerintah desa yaitu tidak terpenuhinya persyaratan pencairan Dana Desa berupa RPJM Desa, RKP Desa, dan Peraturan Desa. Salah satu pola kasusnya, terdapat 281 desa dari total 444 desa di Kalimantan Utara belum menciptakan RPJM Desa sebagai salah satu persyaratan pencairan Dana Desa.
Prioritas penggunaan Dana Desa yang diatur dalam Peraturan Menteri Desa, Pembangunan kawasan Tertinggal dan Transmigrasi Republik Indonesia di setiap tahunnya sangat difokuskan pada pembangunan fisik di bidang pendidikan, kesehatan, sarana, prasarana serta energi. Pembangunan fisik berimplikasi kepada penyusunan planning proyek beserta anggarannya. Oleh lantaran itu, dibutuhkan kompentensi dalam perumusan penyelenggaraan proyek biar pembiayaan dan tujuannya sanggup mencapai efektivitas yang paling tinggi.
Menurut keterangan Sekjen Kementerian Desa Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (KDPDTT) Anwar Sanusi pada tahun 2015, dari 74.093 desa, hanya terdapat 5 desa saja yang kepala desanya mempunyai ijazah S3. Oleh lantaran itu, Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia akan mengadakan training Grand Master untuk kepala desa.
Selain itu, untuk mengawal keberjalanan proses penyaluran dana desa, pemerintah mengerahkan tenaga pendamping desa untuk menjadi fasilitator dalam pengembangan kapasitas dan pembedayaan masyarakat. Penyerapan tenaga pendamping desa tahun 2016 yaitu sebanyak 19.096 orang. Masih sangat sedikit bila dibandingkan dengan jumlah desa di Indonesia sebanyak 74.754 desa (Peraturan Menteri Dalam Negeri Republik Indonesia Nomor 56 Tahun 2015 wacana Kode dan Data Wilayah Administrasi Pemerintahan). Hanya saja, lantaran anggaran negara yang terbatas untuk membiayai tenaga pendamping desa, satu orang tenaga pendamping desa harus mengampu 2 hingga 3 desa. Padahal idealnya, setidaknya satu desa didampingi oleh satu tenaga pendamping sehingga proses pengembangan kapasitas masyarakat desa untuk bisa sanggup berdiri diatas kaki sendiri dalam perencanaan masih sangatlah lambat.
Di sisi lain, negara mustahil terus memfasilitasi tenaga pendamping desa dalam keberjalanan penyaluran dana desa ini. Selain itu, tidak hanya dibutuhkan keterampilan prosedural dalam melaksanakan pencairan dana desa namun masyarakat desa harus mempunyai keterampilan substantif. Hal ini dikarenakan perumusan RPJM Desa dan peraturan APB Desa harus menurut akad yang dicapai di dalam musyawarah desa. Untuk mencapai mufakat dalam musyawarah, masyarakat desa harus mempunyai kemampuan dalam merumuskan gosip dan persoalannya sendiri, sehingga RPJM Desa tersebut memuat perencanaan yang sempurna dalam mengatasi pokomasalah di desa. Berdasarkan realitas yang terjadi dalam proses pengembangan komunitas, kegagalan pengembangan komunitas yaitu disebabkan oleh rendahnya kemampuan komunitas dalam mengenali masalah yang dihadapinya.
Berdasarkan fakta-fakta tersebut, perlu dilakukan penilaian mengenai kebijakan Dana Desa untuk mencapai tujuan pembangunan desa yang bisa mewujudkan kesejahteraan masyarakat perdesaan.
Pengumpulan data dan fakta pendukung maupun fakta yang melemahkan gosip diperoleh menurut studi literatur terutama bersumber dari beberapa critical review mengenai kebijakan Dana Desa, artikel-artikel pendukung, serta materi-materi yang berkaitan dengan perencanaan perdesaan dan teknik penilaian perencanaan.
Metode analisis data yang digunakan menurut mendasar theory dalam proses penilaian perencanaan wilayah dan kota yaitu dengan menyesuaikan antara teknik penyusunan kebijakan dengan teknik penilaian yang akan digunakan. Teknik yang digunakan dalam proses penilaian kebijakan yaitu sama dengan teknik yang digunakan dalam penyusunan kebijakan, hanya saja berbeda dalam hal sudut pandang.
Pembahasan mengenai penilaian kebijakan Dana Desa yang dianggap sebagai solusi peningkatan kesejahteraan masyarakat desa akan didasarkan pada:
- Teori Kemiskinan
- Konsep Perencanaan
- Teori kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM)
- Teori Pembentuk Modal Sosial
- Prinsip efficiency dan equity
Teknik penilaian dalam masalah kebijakan Dana Desa ini akan disusun menurut teori-teori yang berkaitan. Pembahasan pada potongan diskusi ini akan sesuai dengan teori yang digunakan sebagai teknik evaluasi, di antaranya teori kemiskinan, teori dan konsep pengembangan wilayah, teori wacana kapasitas Sumber Daya Manusia dan sumber daya sosial budaya, serta prinsip effiency dan equity.
Kemiskinan merupakan hal yang kompleks. Masalah kemiskinan sangat erat kaitannya dengan kualitas sumber daya manusia. Kemiskinan sanggup dilihat dari tiga dimensi, yaitu dimensi ekonomi, sosial, dan politik.
- Kemiskinan dalam konteks ekonomi yaitu tidak terpenuhinya sumber daya yang memadai untuk mencapai kesejahteraan materi.
- Kemiskinan dalam konteks sosial yakni lemahnya struktur sosial dan jaringan sosial untuk mendapatkan kesempatan dalam peningkatan produktivitas.
- Kemiskinan dalam konteks politik yaitu kurangnya kanal terhadap kekuasaan dalam sistem sosial mengenai pengalokasian sumber daya.
Ketiga konsep ini saling berkaitan satu sama lain.
Dilihat dari karakteristik kemiskinan penduduk perdesaan, mereka tergolong ke dalam tingkat kemiskinan yang kompleks, yaitu miskin secara ekonomi, sosial, dan politik. Berdasarkan sudut pandang ekonomi, sebagian besar penduduk miskin terkonsentrasi di perdesaan. Berdasarkan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM), SDM perdesaan dinilai masih rendah dilihat dari tingkat pendidikan atau pengetahun, jenis keterampilan, dan pengalaman. Begitu pula dengan sumber daya sosial-budaya juga masih rendah. Hal ini disimpulkan dari masih kuatnya mindset budaya yang tidak realistis, rendahnya kesadaran akan pendidikan, dan mental diri yang lemah, ibarat tidak berani mengambil risiko dan cenderung menginginkan sesuatu yang instan. Selain itu, kanal terhadap kekuasaan juga sangat rendah.
Apabila dikaitkan dengan kebijakan Dana Desa, sanggup diketahui bahwa pendekatan yang digunakan dalam perumusan kebijakan ini yaitu hanya dilihat dari dua komponen dan mengesampingkan satu komponen lainnya. Kebijakan dana desa telah menawarkan kekuasaan penuh terhadap masyarakat desa dengan menyediakan sumber daya yang memadai untuk melaksanakan pembangunan desa. Hanya saja, dari perumusan kebijakan ini, perumus kebijakan dirasa kurang mempertimbangkan sisi kelemahan kapasitas SDM dan sumber daya sosial masyarakat desa. Hal ini tentu menjadi penilaian mengenai perumusan kebijakan Dana Desa wacana efektivitasnya dalam mencapai kesejahteraan desa. Seperti yang telah diketahui, masalah kemiskinan itu sangat kompleks lantaran kemiskinan itu sanggup menjadi variabel yang menghipnotis sekaligus dipengaruhi oleh variabel lain. Dalam kekerabatan antara pendidikan dan kemiskinan, keduanya saling menghipnotis dan seakan-akan menjadi vicious cycle yang sulit untuk diputus mata rantainya.
Dalam konsep perencanaan, perencanaan dibentuk lantaran adanya gosip dan problem yang harus ditanggapi. Isu dan problem ini akan ditanggapi dengan perumusan tujuan. Dari tujuan inilah, rumusan perencanaan itu dibuat. Apabila gosip dan problem yang diangkat merupakan gosip strategis, maka perencanaan yang diterapkan akan sempurna target dalam mencapai tujuan pembangunan. Oleh lantaran itu, proses perumusan gosip dan problem menjadi tahap yang paling krusial dalam mencapai keberhasilan perencanaan. Konsep ini diterapkan ke dalam penyusunan banyak sekali dokumen planning ibarat RTRW, RPJMD, dll. Dalam penyusunan rencana, pembuat planning dituntut biar mempunyai kepekaan yang besar lengan berkuasa terhadap lingkungan perencanaannya dan mempunyai pengetahuan yang memadai wacana perencanaan melalui banyak sekali teori yang relevan.
Berlandaskan sudut pandang ini, masyarakat desa belum memenuhi dua kriteria tersebut. Pertama, masyarakat desa seringkali tidak bisa mengenali duduk masalah yang ada di hadapannya. Kedua, tingkat pendidikan masyarakat desa masih rendah. Kapasitas yang tidak memadai ini sanggup berimplikasi kepada rendahnya kualitas Peraturan Desa, RKP Desa, RPJM Desa, dan APB Desa yang dihasilkan oleh desa. Dengan demikian, tujuan pembangunannya berpotensi menjadi tidak sempurna sasaran.
Identifikasi kapasitas Sumber Daya Manusia didasarkan pada aspek pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman SDM itu sendiri. Tingkat pengetahuan Sumber Daya Manusia di perdesaan dilihat dari tingkat pendidikannya masih tergolong rendah. Dapat dilihat pada tabel grafik di bawah ini. Sedangkan dari sisi keterampilan, lantaran lebih banyak didominasi lulusan SD, maka keterampilannya sanggup dikatakan rendah. Mengenai pengalaman SDM, ada kecenderungan masyarakat desa untuk merantau lantaran menipisnya sumber daya yang ada di desanya, contohnya dikala terjadi kekeringan.
Dari tiga kriteria tersebut, yang dikatakan unggul hanya pada satu kriteria, yaitu pengalamannya. Namun pada kriteria lain masih rendah.
Modal sosial yaitu institusi sosial yang melibatkan jaringan (networks) dan konflik, norma-norma (norms), dan kepercayaan sosial (social trust) yang mendorong pada sebuah kerja sama sosial (koordinasi dan koperasi untuk kepentingan bersama) (Putnam, 1996). Terdapat tiga komponen pembentuk modal sosial yaitu norma, jaringan, dan kepercayaan sosial.
- Norma-Norma (Norms)
Norma yang terbentuk dalam tatanan masyarakat desa sangat dipengaruhi oleh kebudayaan dan kepercayaan di desa tersebut. Mengenai budaya, tergantung kepada kawasan dan suku masing-masing. Begitu juga dengan sistem kepercayaan, akan bergantung dengan kawasan yang menjadi wilayah studi. Hanya saja, lebih banyak didominasi agama di Indonesia yaitu Islam sehingga sedikit banyak, nilai-nilai Islam biar membentuk norma-norma yang ada di dalam masyarakat.
Masyarakat desa masih relatif menjunjung nilai dan norma-norma yang dianutnya. Hal ini disebabkan karakteristik masyarakat desa yang masih relatif homogen. Di satu sisi, hal ini menjadi positif dikala membentuk kerukunan desa, namun juga sanggup menjadi negatif dikala masyarakat orisinil tidak bisa bertoleransi dengan masyarakat pendatang atau masyarakat yang berbeda nilai dan norma yang dianutnya. - Jejaring (Networks)
Sistem jejaring di perdesaan masih berpusat pada tokoh budaya atau tokoh agama lantaran masih kentalnya aspek budaya dan agama di kalangan masyarakat desa. Selain itu, lebih banyak didominasi pencaharian yang relatif homogen, sebagai petani, bisa menjadi potensi tumbuhnya komunitas kelompok tani. Sistem jaringan di perdesaan relatif manis untuk kalangan internalnya, namun dinilai kurang baik bila dilihat dari kerjasama eksternal lantaran kemudahan yang kurang memadai untuk itu. - Kepercayaan Sosial (Social Trust)
Kepercayaan sosial dilihat dari kekerabatan antara penduduk orisinil dengan masyarakat pendatang. Penduduk orisinil perdesaan relatif ramah dengan pendatang yang menetap. Namun dikala ada penduduk gres yang akan menetap dan nilai-nilai yang dianutnya tidak sama dengan nilai yang dianut penduduk asli, maka penduduk orisinil cenderung sulit mendapatkan dan merasa hal itu sebagai ancaman. Hal ini rawan terjadi dikala terjadi ketidaksepahaman kepercayaan menurut organisasi keagamaan yang dianut.
Berdasarkan uraian tersebut, sanggup disimpulan bahwa modal sosial masyarakat desa baik, namun mempunyai potensi terjadinya konflik dikala nilai-nilainya diusik.
- Prinsip Efficiency
Pada masalah Dana Desa, sumber dana berasal dari APBN, yaitu lebih kurang 10% total APBN. Sekitar 70% sumber APBN berasal dari pajak. Oleh lantaran itu, pengalokasian dana harus dilakukan seefisien dan seefektif mungkin. Selain pengalokasian Dana Desa, pemerintah pusat juga menganggarkan dana untuk menggaji tenaga pendamping desa. Tahun 2016, terdapat 19.096 tenaga pendamping desa yang akan disebar di seluruh Indonesia. Menurut informasi, honor yang diterima oleh mereka sekitar 6 juta/bulan. Semakin usang proses fasilitasi oleh pendamping desa, maka anggaran yang keluar akan semakin besar, padahal dalam proses peningkatan kapasitas perangkat desa membutuhkan waktu yang sangat usang dan tenaga yang cukup banyak. Sebab akar utamanya bukanlah mengenai kepiwaian dalam mengurus manajemen pencairan Dana Desa, namun lebih ke arah pemberdayaan masyarakat dalam merumuskan perencanaan yang sempurna target sesuai gosip dan problem yang dihadapi oleh masyarakat desa masing-masing. Apabila pendamping desa tidak bisa membentuk konsep mental ini, maka sanggup dikatakan bahwa alokasi dana ini menjadi tidak efisien. - Prinsip Equity
Prinsip equity ini menekankan kepada pemerataan kesejahteraan yang mencakup seluruh lapisan masyarakat tanpa terkecuali. Prinsip ini memungkinkan untuk melaksanakan distribusi uang publik ke golongan tertentu berlandaskan pada tiga argumen, di antaranya:
- Prinsip Efficiency
- Argumen utilitarian, yaitu argumen yang menyatakan bahwa uang publik (tax payer money) sanggup digunakan untuk kepentingan golongan tertentu apabila sanggup meningkatkan utilitas masyarakat yang sebesar-besarnya. Dengan demikian, kesejahteraan sanggup meningkat secara beriringan, baik bagi kalangan atas maupun kalangan bawah.
- Argumen kontraktarian, yaitu argumen yang menyatakan bahwa uang publik (tax payer money) sanggup digunakan untuk kepentingan golongan lemah (yang tidak mempunyai resources untuk berkontribusi terhadap pajak) lantaran setiap insan tidak mempunyai kuasa untuk lahir dari keluarga kaya atau keluarga miskin. Dengan demikian, sudah selayaknya, golongan besar lengan berkuasa membantu golongan lemah dalam penyediaan kanal terhadap banyak sekali fasilitas.
- Redistribution as a public goods, yakni akad masyarakat untuk mengakibatkan suatu barang atau kemudahan sebagai barang atau jasa publik yang bisa diakses oleh seluruh lapisan masyarakat.
Tujuan utama dari seluruh argumen tersebut yaitu menjamin biar kesejahteraan sanggup dicapai oleh seluruh masyarakat. Namun, argumen yang paling menonjol dalam mendukung legalisasi kebijakan Dana Desa yaitu argumen kontraktarian, kemudian sedikit dilandaskan pada argumen utiliarian, hanya saja argumen utilitarian ini kurang teruji apabila mempertimbangkan kapasitas SDM perdesaan yang demikian.
- Berdasarkan teori kemiskinan, sulit ditentukan apakah penyebab kemiskinan lantaran kurangnya infrastruktur dasar atau lantaran rendahnya kualitas SDM. Hanya saja, yang paling berperan yaitu kualitas SDM lantaran keberhasilan pengelolaan sumber daya bergantung kepada sumber daya pengelolanya.
- Berdasarkan konsep perencanaan, masyarakat desa dinilai belum bisa merumuskan gosip dan problem mereka sendiri lantaran terbatasnya ilmu pengetahuan wacana perencanaan yang mereka miliki.
- Berdasarkan teori kapasitas Sumber Daya Manusia (SDM), masyarakat desa hanya menonjol dari segi pengalaman namun masih kurang dari segi pengetahuan dan keterampilan.
- Teori Pembentuk Modal Sosial Masyarakat desa mempunyai modal sosial yang manis namun rawan terjadi intoleransi terhadap nilai-nilai yang tidak sama dengan nilai yang dianut sehingga berpotensi menjadi konflik sosial.
- Prinsip efficiency dan equity Kebijakan dana desa tidak memenuhi prinsip efficiency namun memenuhi prinsip equity. Dari beberapa teknik tersebut, disimpulkan bahwa dengan pendekatan social planning, approach to problem berupa kebijakan Dana Desa masih perlu dikaji lagi.
Pendekatan Masalah
- PNPM Mandiri
- Program Generasi Sehat Cerdas
- Alokasi Dana Desa
- Pengobatan gratis desa
- Sekolah gratis desa
- Pelatihan masyarakat desa
- Program-program pemberdayaan masyarakat desa lainnya.
Semoga bermanfaat ..
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Penilaian Kebijakan Dana Desa Sebagai Penunjang Pembangunan Desa Dalam Mencapai Kesejahteraan Desa"
Posting Komentar