√ Pulau Sebatik, Pulau Dua Negara – Bab 2

Berdasarkan goresan pena pada postingan sebelumnya, Pulau Sebatik, Pulau Dua Negara – Bagian 1, maka sanggup disimpulkan bahwa tempat perbatasan merupakan tempat yang rawan menyangkut hubungan antar negara.


Persoalan yang sangat krusial di perbatasan ialah duduk kasus garis batas itu sendiri, yaitu menyangkut harapan kedua belah pihak untuk menggeser patok batas Negara. Banyak sekali Negara di dunia yang mempunyai harapan untuk memperluas wilayah teritori mereka, alasannya ialah hal tersebut menyangkut gengsi sebuah Negara (semakin luas sebuah Negara maka akan semakin dianggap kuat), serta menyangkut eksplorasi sumber daya alam. Sumber daya alam yang langka dan tak terbarukan biasanya menjadi incaran hampir semua Negara. Hubungan Indonesia dan Malaysia menyangkut wilayah perbatasan juga mengalami naik-turun berkaitan dengan isu-isu kekayaan sumber daya alam yang terkandung di wilayah perbatasan.


Salah satu warta paling hangat menyangkut duduk kasus tersebut di atas ialah sengketa perbatasan di sekitar tempat Pulau Sebatik. Pertama, sengketa Pulau Sipadan dan Ligitan. Sengketa mengenai status kedua pulau kecil tersebut berlangsung sangat panjang dan terbelit-belit dengan hasil simpulan Indonesia harus kehilangan pulau itu, alasannya ialah ternyata oleh Mahkamah Internasional menunjuk Malaysia sebagai pemilik yang sah dari Pulau Sipadan dan Ligitan. Kedua, sengketa blok Ambalat dan Karang Unarang yang sempat hampir saja memicu kontak senjata antara Tentara Nasional Indonesia (TNI) dan Tentara Diraja Malaysia. Pada Blok Ambalat diduga terjadi tumpang tindih (overlapping) kegiatan eksplorasi minyak antara Pertamina (Indonesia) dan Petronas (Malaysia). Kasus ini untuk sementara dalam posisi status quo, dan masing-masing pihak dibutuhkan untuk menahan diri.


Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 38 Tahun 2002 wacana Daftar Koordinat Geografis Titik-Titik Garis Pangkal Kepulauan Indonesia, insiden Pulau Sipadan dan Ligitan telah mengakibatkan permasalahan gres terhadap Indonesia, yaitu hilangnya tiga Titik Dasar (TD), yaitu satu TD di Pulau Sipadan (TD-36A) dan dua TD di Pulau Ligitan (TD-36B dan TD-36C). Hilangnya tiga TD tersebut tentu saja memerlukan dibangunnya TD gres yang letaknya di sekitar Pulau Sebatik sebagai awal penentuan batas Negara gres dengan Malaysia.


 



Ketegangan menyangkut garis perbatasan antara Indonesia dengan Malaysia dengan sendirinya menempatkan Pulau Sebatik sebagai tempat yang sangat strategis sebagai basis pertahanan. Dengan kata lain Pulau Sebatik merupakan “gardu penjagaan” paling depan dalam memantau wilayah perbatasan dengan Malaysia, terutama menyangkut perbatasan di perairan bahari beserta pulau-pulau kecil yang ada di tempat tersebut. Untuk mendukung posisi tersebut maka di Pulau Sebatik ketika ini terdapat beberapa satuan militer, yaitu satu Komando Rayon Militer (Koramil) yang meng-cover lima kecamatan, satu kompi Marinir, satu kompi Angkatan Darat (TNI AD), serta Tentara Nasional Indonesia Angkatan Laut yang menempati beberapa pos pengamanan perbatasan. Mereka terbagi dalam beberapa pos antara lain: Pos Angkatan Laut di Sungai Pancang, Sungai Nyamuk, Tanjung Aru, dan Tanjung Karang. Pos Pengamanan Perbatasan Angkatan Darat (AD) di Gunung Menangis, Aji Kuning, dan Balan Siku. Selain itu juga terdapat Pos Polisi Air dan Udara (Polairud) di Desa Bukit Aru Indah.


Pasca lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ke tangan Negara Malaysia memang gres terasakan betapa tinggi nilai pulau-pulau kecil di perbatasan. Pulau tersebut tidak hanya strategis sebagai belahan depan dari kedaulatan sebuah Negara, namun yang lebih penting ialah bahwa di dalam pulau-pulau tersebut dan tempat sekitarnya ternyata terkandung sumber daya alam yang luar biasa, utamanya minyak, gas alam, ikan, rumput laut, dan sumber daya mineral lainnya. Menggugat kandungan kekayaan yang terdapat di tempat Sebatik, maka aneka macam upaya dilakukan oleh Negara tetangga untuk menguasai tempat tersebut.


Setelah upaya merebut Pulau Sipadan dan Ligitan berhasil, mereka kemudian memusatkan perhatian untuk merebut Blok Ambalat yang sangat kaya dengan minyak dan ikan. Selain dengan upaya militer, yaitu pengerahan kekuatan bersenjata, mereka juga melaksanakan pendekatan kepada masyarakat sekitar tempat itu, utamanya para nelayan. Para nelayan diberi aneka macam akomodasi untuk menangkap ikan, dan ikannya harus dijual kepada mereka. Jika sewaktu-waktu masyarakat membutuhkan ikan, mereka harus membeli ikan milik Negara kita tetapi harus dibeli di Negara tetangga. Kasus semacam ini dari hari ke hari terus meningkat sebagaimana disinyalir oleh Mustafa Abubakar.


Maraknya aneka macam masalah pelanggaran di perbatasan mengatakan bahwa penjagaan di tempat ini masih sangat lemah. Keberadaan pegawapemerintah keamanan yang terkonsentrasi di Pulau Sebatik ternyata belum cukup efektif untuk mengamankan tempat Pulau Sebatik dan sekitarnya dari aneka macam masalah yang menyangkut Negara lain. Penangkapan ikan di perairan Pulau Sebatik oleh nelayan-nelayan Indonesia dengan memakai kapal-kapal penangkap ikan dari Tawau mengatakan lemahnya penegakan aturan dan pengawasan di tempat tersebut.


Sebagai basis pertahanan Negara dalam menghadapi Negara lain, perlu ada upaya khusus dalam menangani Pulau Sebatik. Pertama, pengembangan kegiatan pengawasan dan pemantuan pulau-pulau kecil perbatasan dengan Pulau Sebatik sebagai basis dari pemantauan tersebut. Pemanfaatan pulau-pulau kecil perbatasan selayaknya diperkuat melalui effective control, yang termuat dalam manajemen pemerintahan disertai dengan pengawasan secara kontinyu dan melekat. Oleh alasannya ialah itu salah satu yang pertama harus dilakukan ialah member status Daerah Otonomi Baru (DOB) kepada Pulau Sebatik, sehingga efektivitas pemerintahan di tempat ini sanggup terjamin. Status Daerah Otonomi Baru untuk Pulau Sebatik sanggup berupa kabupaten atau kota.


Kedua, penegasan batas maritim untuk menjamin kepastian aturan bagi Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) yang mempunyai kedaulatan penuh (full sovereignty). Penegasan batas maritim di Pulau Sebatik harus dilakukan bersama antara Indonesia dengan Malaysia melalui serangkaian negosiasi yang didahului oleh serangkaian pertemuan teknis untuk memperoleh garis batas yang sesuai dan disepakati oleh kedua belah pihak.


Selama ini masing-masing pihak mengkalim mempunyai peta perbatasan yang ternyata berbeda-beda. Malaysia contohnya mempunyai peta yang dibuat tahun 1979 yang ternyata memuat garis batas yang merugikan Indonesia. Jika peta tersebut dijadikan contoh untuk memilih garis perbatasan, maka wilayah bahari Indonesia di sekitar Pulau Sebatik seluas hampir sama dengan Pulau Sumatera akan berpindah tangan ke Malaysia. Dalam penentuan garis batas perbatasan tersebut, pemerintah harus melibatkan masyarakat lokal, yaitu masyarakat Pulau Sebatik. Mereka tentu saja jauh lebih hapal mengenai wilayah-wilayah mana yang menjadi belahan dari Negara Indonesia, dibandingkan para pengambil kebijakan di Jakarta. Kasus lepasnya Pulau Sipadan dan Ligitan ialah alasannya ialah dalam proses negosiasi wacana perbatasan tidak melibatkan masyarakat lokal, sementara pihak Malaysia sudah jauh-jauh hari menempatkan masyarakat lokal di kedua pulau tersebut. Mahkamah Internasional menjadikan keberadaan masyarakat lokal di kedua pulau tersebut sebagai materi pertimbangan untuk memutuskan hak kepemilikan (title) kedua pulau itu. Dengan kata lain Mahkamah Internasional menjadikan “penguasaan efektif” secara terus-menerus kedua pulau itu sebagai dasar untuk memutuskan perkara, dan ternyata terbukti bahwa Malaysialah yang selama ini secara terus-menerus melaksanakan penguasaan efektif dengan melibatkan masyarakat lokal.


Ketiga, peningkatan kerjasama bilateral dan regional dengan negara tetangga. Selama ini hubungan antara Pulau Sebatik dengan Negara Malaysia terjadi hanya secara informal, yaitu antar masyarakat kedua tempat tersebut. Hubungan tersebut terwujud dalam bentuk saling berkunjung antar keluarga, serta hubungan jual beli. Sebagian besar masyarakat Pulau Sebatik sangat tergantung dengan Negara Malaysia, terutama dengan kota Tawau, untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari mereka. Sebagaimana telah diungkapkan dalam belahan terdahulu, hamper semua kebutuhan sehari-hari masyarakat Pulau Sebatik dibeli di kota Tawau. Kota ini merupakan kota terdekat dengan Pulau Sebatik, alasannya ialah hanya dengan menyeberang memakai speed boat sekitar lima belas menit mereka sudah hingga di Tawau. Kondisi semacam ini dalam beberapa hal merugikan pihak Indonesia, alasannya ialah dalam keseharian harus mengeluarkan valuta abnormal hanya untuk berbelanja kebutuhan sehari-hari yang mestinya sanggup dipenuhi oleh dirinya-sendiri. Hubungan yang bersifat informal tersebut mestinya harus ditingkatkan menjadi hubungan yang bersifat formal antar kedua Negara melalui sebuah otoritas otonom di tempat tersebut. Pihak Tawau sanggup diwakili oleh pemkot Tawau sedangkan pihak Sebatik diwakili oleh pemerintah Sebatik. Untuk memenuhi persyaratan tersebut maka harus dibuat pemerintah otonom terlebih dahulu di Sebatik, sanggup berupa kabupaten atau pemerintah kota.


Keempat, harus ada standardisasi pembangunan pos lintas batas untuk mendukung system pertahanan dan keamanan di pulau-pulau kecil perbatasan. Menurut Sabarno, hal-hal yang perlu diperhatikan dalam mewujudkan kegiatan tersebut antara lain:



  1. Pendekatan kemakmuran dan keamanan.

  2. Perencanaan pembangunan yang komprehensif dan terpadu.

  3. Peningkatan efektivitas pembangunan di wilayah perbatasan melalui asa desentralisasi dan sektor khusus.

  4. Perwujudan kepastian garis batas wilayah.

  5. Standardisasi pembangunan pos lintas batas (custom, immigration, quarantine)

  6. Peningkatan kolaborasi bilateral.


Standarisasi pembangunan pos lintas batas di Pulau Sebatik ketika ini belum sanggup dilakukan alasannya ialah status manajemen di tempat ini hanya setingkat kecamatan. Sebagai contoh misalnya, urusan imigrasi belum sanggup dilakukan di Pulau Sebatik alasannya ialah di pulau ini belum ada Kantor Imigrasi. Status forum imigrasi di Pulau Sebatuk hanyalah Pos Imigrasi yang khusus melayani Pas Lintas Batas. Pembuatan paspor hanya sanggup dilayani di kota Nunukan. Agar standardisasi pos lintas batas sanggup terlaksana, maka harus ada peningkatan status manajemen tempat Sebatik, dari kecamatan menjadi kabupaten atau kota.


 



Kabupaten Nunukan merupakan tempat penting, tidak saja bagi Provinsi Kalimantan Utara, tetapi juga bagi Negara Indonesia, alasannya ialah kabupaten ini merupakan jalur utama, baik darat maupun bahari antara Indonesia dengan Malaysia. Terdapat dua tempat penting di Kabupaten Nunukan yang menghubungkan Indonesia dengan Malaysia, yaitu kota Nunukan dan Sei Nyamuk di Pulau Sebatik. Dari kedua tempat tersebut siapapun sanggup menyeberang ke Malaysia tepatnya ke kota Tawau belahan Negara Sabah hanya dalam waktu sekitar lima belas menit. Fakta lain yang perlu diperhatikan adalah, bahwa Pulau Sebatik merupakan sebuah pulau yang dimiliki oleh dua Negara, yaitu Indonesia dan Malaysia alasannya ialah di pulau ini terdapat garis perbatasan yang membagi dua pulau tersebut. Hal tersebut mengambarkan betapa strategis posisi pulau Nunukan dan pulau Sebatik.


Dalam kehidupan sehari-hari, masyarakat Sebatik sangat dekat dengan kota Tawau alasannya ialah hampir semua kebutuhan sehari-hari harus dibeli di kota Tawau. Bagi mereka, kota Tawau ialah pasar dari segala kebutuhan sehari-hari dan pasar untuk menjual segala komoditi yang mereka miliki. Hal tersebut terjadi alasannya ialah kota Tawau merupakan kota terdekat bagi masyarakat di pulau itu, padahal kota tersebut secara administratif berada di luar wilayah Negara Indonesia. Dengan kata lain, kebutuhan sehari-hari masyarakat Pulau Sebatik harus dibeli di luar negeri.


Hubungan antara Pulau Sebatik dengan kota Tawau dalam beberapa hal sebetulnya merugikan Negara Indonesia dan menguntungkan Negara Malaysia. Sebagian besar masyarakat Pulau Sebatik menjual komoditi yang mereka hasilkan, menyerupai pisang, kelapa sawit, kelapa, buah-buahan, bumbu-bumbu dapur, dan lain-lain ke kota Tawau. Namun mereka juga membelanjakan sebagian besar uang hasil penjualan komoditi yang mereka miliki juga di kota Tawau. Bahkan kebutuhan gas untuk memasak, kerikil alam, kerikil, dan lain-lain juga harus dibeli di Tawau. Jika neraca perdagangan kedua wilayah tersebut dihitung secara cermat, posisi perdagangan Indonesia di tempat ini sebetulnya minus. Hal tersebut tentu saja sangat merugikan bagi bangsa Indonesia. Jika dibandingkan, antara Pulau Sebatik dengan Kota Tawau terdapat kesenjangan yang luar biasa. Dapat dikatakan Pulau Sebatik merupakan hinterland bagi Kota Tawau.


Hal tersebut juga mengatakan bahwa warga Sebatik mempunyai ketergantungan yang sangat tinggi terhadap kota Tawau alasannya ialah segala macam kebutuhan sehari-hari lebih gampang didapatkan di kota tersebut. Kondisi semacam itu mempunyai implikasi yang besar terhadap aspek politik, sosial, dan ekonomi. Aspek politik menyangkut duduk kasus nasionalisme warga Indonesia yang tinggal di wilayah perbatasan. Ketergantungan mereka yang sangat tinggi terhadap wilayah di luar negeri sanggup mengakibatkan nasionalisme mereka sedikit-demi sedikit terkikis. Negara Malaysia sanggup saja sewaktu-waktu memperalat mereka untuk melaksanakan infiltrasi di negeranya sendiri, atau mempengaruhi batas wilayah dengan cara menggeser patok batas Negara, atau melaksanakan agresi teror, dan lain-lain. Dari aspek ekonomi, persoalan-persoalan penyelundupan sanggup dengan gampang dilakukan oleh warga yang tinggal di perbatasan jikalau kesadaran mereka berkaitan dengan nasionalisme ekonomi luntur. Kejahatan antar Negara sangat gampang terjadi di wilayah perbatasan, apalagi kondisi perbatasan di Pulau Sebatik sangat terbuka dengan penjagaan yang cukup longgar. Sebagai contoh misalnya, selama tahun 2011 terdapat delapan belas kali penyelundupan narkotika dan obat-obatan terlarang (narkoba) dari Malaysia menuju Pulau Sebatik. Pelaku dari tindak kejahatan antar Negara tersebut ialah warga Negara Indonesia yang kemungkinan besar bekerja sama dengan warga Negara lain.


Mengacu kepada realitas yang telah diungkapkan di belahan awal, maka perlu ada upaya yang serius untuk memajukan tempat Pulau Sebatik sebagai beranda depan Negara Indonesia yang berhadapan pribadi dengan Negara tetangga. Selama ini upaya untuk memajukan tempat pulau Sebatik terkendala dengan duduk kasus administratif, di mana tempat tersebut masih berstatus sebagai kecamatan yang secara geografis dipisahkan oleh bahari dengan kabupaten induk.


Sebagai sebuah wilayah dengan status kecamatan, maka pegawapemerintah birokrasi di Pulau Sebatik tidak sanggup memutuskan aneka macam kebijakan strategis menyangkut wilayah kekuasaan mereka. Segala hal harus dilaporkan terlebih dahulu ke kabupaten induk sehingga segala hal menyangkut pengelolaan tempat Pulau Sebatik berjalan lamban.


Jika kondisi semacam ini dibiarkan terus-menerus maka masyarakat yang tinggal di Pulau Sebatik akan terus-menerus mengalami ketergantungan dengan Negara tetangga. Mereka akan memajukan kota di Negara tetangga, alasannya ialah setiap hari membelanjakan uangnya di Negara tersebut, tetapi kondisi wilayah yang menjadi tempat tinggal mereka akan selalu tertinggal. Salah satu cara biar Pulau Sebatik beserta masyarakat yang tinggal di tempat tersebut mengalami kemajuan ialah dengan meningkatkan status Sebatik yang ketika ini masih kecamatan biar menjadi kota otonom. Dengan status tersebut maka kelambanan birokrasi di wilayah tersebut sanggup diputus sehingga mereka sanggup mempercepat dalam mendorong kemajuan Pulau Sebatik.


Hubungan dua negara antara Indonesia dan Malaysia salah satunya tercermin dari kondisi di Pulau Sebatik. Pulau unik yang terbagi menjadi dua, yang masing-masing dikuasai oleh Indonesia dan Malaysia menjadi perekat alamiah antara kedua negara bertetangga tersebut. Di pulau ini rakyat kedua negara saling membutuhkan layaknya orang bertetangga. Aspek-aspek kemanusiaan sangat mengemuka dan jauh dari hingar-bingar politik yang terjadi di kedua ibukota negara. Ketika Indonesia dan Malaysia bersitegang memperebutkan beberapa gugus kepulauan di perbatasan, rakyat Pulau Sebatik tetap bersahabat layaknya tidak terjadi apa-apa. Di Pulau Sebatik lah model hubungan negara yang bersahabat, membina perdamaian, mengedepankan harmoni terbina dengan baik. Model semacam ini sanggup dikembangkan untuk kawasan-kawasan perbatasan di belahan lain di negeri ini.


 



Itulah sedikit wacana pulau Sebatik, Kabupaten Nunukan, Provinsi Kalimantan Utara, semoga bermanfaat & mari kita berkumpul bersama di pulau Sebatik dalam memperingati hari kemerdekaan negeri tercinta kita.


Berdasarkan goresan pena pada postingan sebelumnya √ Pulau Sebatik, Pulau Dua Negara – Bagian 2


 


Pustaka


Abubakar, Mustafa. 2006. Menata Pulau-pulau Kecil Perbatasan: Belajar dari Kasus Sipadan, Ligitan, dan Sebatik. Jakarta: Kompas

Kuntari, C.M. Rien. 2008. Timor-Timur Satu Menit Terakhir: Catatan Seorang Wartawan. Bandung: Mizan

Maunati, Yeki dkk. 2010. Kontestasi Identitas dan Diaspora Bugis di Wilayah Perbatasan Kalimantan Timur-Sabah. Jakarta: LIPI Press

Sabarno, Hari. 2003. Arti Penting Penataan Batas Wilayah dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia. Majalah Perbatasan, Januari 2003

Statistik Kegiatan Pos Imigrasi Sungai Pancang Tahun 2011

Tirtosudarmo, Riwanto. 2010. Mencari Indonesia 2: Batas-batas Rekayasa Sosial. Jakarta: LIPI Press

Tirtosudarmo, Riwanto. 2005. Wilayah Perbatasan dan Tantangan Indonesia Abad 21: Sebuah Pengantar, dalam Riwanto Tirtosudarmo dan John Haba. Dari Entikong hingga Nunukan: Dinamika Daerah Perbatasan Kalimantan Malaysia Timur (Serawak – Sabah). Jakarta: Sinar Harapan



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Pulau Sebatik, Pulau Dua Negara – Bab 2"

Posting Komentar