√ Menulis Karya Ilmiah Ialah Komitmen Seorang Akademisi

Terkait judul goresan pena ini, “Menulis Karya Ilmiah Adalah Komitmen Seorang Akademisi” yaitu merupakan citra dari goresan pena Prof. Oman Fathurahman, seorang Guru Besar Filologi FAH, Peneliti Senior PPIM UIN Syarif Hidayatullah Jakarta di Kompas tanggal 26 September 2017, dengan judul, “Meluruskan Niat Menulis”, dan berikut tulisannya tersebut.


Membaca gosip di harian Kompas edisi 20 September kemudian perihal masalah dugaan pemalsuan ijazah rektor Universitas Negeri Manado, saya hanya bisa mengelus dada. Sebagai akademikus kampus, saya sangat marah, kecewa, dan prihatin jikalau tindakan malaadministrasi ijazah doktor itu benar-benar terbukti. Apalagi ijazah ”palsu”-nya itu pun ikut mengantarkan yang bersangkutan memperoleh jenjang profesor dan menikmati tunjangan ”kehormatan”-nya. Kasus semacam ini tidak lagi bisa dianggap sepele dan tidak bisa ditoleransi. Selain duduk masalah integritas pribadi, sejumlah salah tafsir atas kebijakan kementerian dan pemimpin perguruan tinggi juga sanggup mendorong akademisi kampus mengejar peningkatan karier akademik dengan menjadi cendekiawan instan!


Loncatan Kebijakan


Saya berasumsi bahwa bagi sebagian (mungkin besar) dosen dan profesor di perguruan tinggi, Peraturan Menristek dan Dikti No 20/2017 yaitu sebuah ”loncatan kebijakan” yang dianggap terlalu jauh melonjak. Peraturan tersebut mengatur proteksi tunjangan profesi dosen dan tunjangan kehormatan profesor. Tunjangan bagi seorang dosen dengan pangkat lektor kepala gres akan diberikan jikalau ia menghasilkan (Pasal 4): (a) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal nasional terakreditasi; atau (b) paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Adapun tunjangan bagi seorang profesor hanya akan diberikan jikalau ia menghasilkan (Pasal 8): (a) paling sedikit 3 (tiga) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional; atau (b) paling sedikit 1 (satu) karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional bereputasi, paten, atau karya seni monumental/desain monumental, dalam kurun waktu 3 (tiga) tahun. Kemristek dan Dikti menciptakan definisi bahwa yang dimaksud dengan jurnal internasional yaitu publikasi yang terindeks oleh forum pemeringkat, semisal Scopus, baik dalam bentuk jurnal maupun prosiding. Sanksi yang diberikan kepada dosen dan profesor yang tidak sanggup memenuhi ketentuan publikasi di Scopus itu tidak tanggung-tanggung: pemberhentian tunjangan profesi atau tunjangan kehormatan sebesar 25 persen hingga ia bisa menghasilkan karya ilmiah dimaksud. Siapkah dosen dan profesor mengejar sasaran tersebut?


Mengejar Scopus


Menulis Karya Ilmiah Adalah Komitmen Seorang Akademisi √ Menulis Karya Ilmiah Adalah Komitmen Seorang Akademisi
Sumber: elsevier

Tentu saja Peraturan Menristek dan Dikti No 20/2017 itu lahir dengan dilandasi niat baik untuk meningkatkan kinerja dosen dan profesor, terutama dalam bidang penelitian dan publikasi ilmiah. Angka-angka memperlihatkan bahwa jumlah artikel ilmiah akademisi Indonesia jauh tertinggal dibandingkan dengan Singapura, Malaysia, bahkan di bawah Thailand (Research Performance of Indonesia, 2015). Pasalnya, publikasi ilmiah yang baik tidak bisa lahir instan; ia pasti merupakan produk dari sebuah kegiatan riset terukur yang dilakukan sesuai dengan standar ilmiah dan biasanya makan waktu cukup lama. Aktivitas riset yang baik juga tumbuh dari sebuah kultur akademik yang kondusif, infrastruktur yang memadai, serta bacaan literatur yang komprehensif. Harus diakui bahwa belum semua kampus menyediakan iklim riset yang baik bagi para dosen dan profesornya. Padahal, kebijakan untuk menghasilkan publikasi ilmiah yang ideal tersebut sudah eksklusif diberlakukan di semua kampus, baik kampuskampus di bawah naungan Kemristek dan Dikti sendiri maupun kampus-kampus di bawah koordinasi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) Kementerian Agama. Maka, yang terjadi kini seakan-akan yaitu ”perlombaan” mengejar Scopus dan forum pemeringkat sejenisnya! Sejumlah pemimpin perguruan tinggi nekat mencanangkan sasaran capaian penerbitan 300 hingga 2.000 artikel terindeks Scopus per tahun. Bagi yang berat menembus jurnal bereputasi, puluhan juta anggaran riset pun dialokasikan untuk membayar fee forum pemeringkat yang bersedia menerbitkan prosiding hasil Seminar Terindeks. Akibatnya, dosen dan profesor pun ulet bolak-balik mengikuti aneka lokakarya penulisan artikel terindeks Scopus.


Meluruskan Niat


Saya tidak sedang menggugat lokakarya terindeks Scopus yang sedang tren itu. Saya juga tidak sedang menyampaikan bahwa ukuran publikasi terindeks Scopus atau lainnya sebagai parameter akademik itu keliru. Toh, faktual kita memang belum mempunyai forum pemeringkat sendiri yang menerima pengakuan global. Jadi, ya, harus maklum untuk sementara. Harus diakui bahwa Kemristek dan Dikti sudah jungkir balik menyiapkan perangkat kebijakan dan program-program menuju peningkatan kualitas dan kuantitas kinerja dosen, serta kemandirian akademik di masa depan. SINTA (Science and Technology Index) cukup menjanjikan sebagai ”produk lokal” pemeringkat publikasi ilmiah di masa depan. Hanya perlu waktu saja. Persoalan yang sedang saya bicarakan ini yaitu soal niat menulis! Dalam setiap lokakarya yang saya hadiri, saya selalu memberikan bahwa bagi dosen, calon profesor, apalagi profesor, Scopus seyogianya bukanlah tujuan; ia hanya salah satu ukuran belaka. Niat menulis yang semata ditujukan biar terindeks Scopus cenderung menghalalkan segala cara. Menulis karya ilmiah harus jadi bab dari komitmen kita sebagai akademisi menyebarkan keilmuan di bidang yang kita tekuni. Parameter mutu yang menjadi teladan yaitu memenuhi standar tertinggi scholarship sehingga memperlihatkan bantuan akademik yang tinggi. Terbit di jurnal terindeks internasional yaitu konsekuensi belaka. Menjadi cendekiawan sejati dan bereputasi memang tak bisa instan, perlu investasi jangka panjang menumbuhkan budaya riset. Pemimpin kementerian dan perguruan tinggi pun lebih baik fokus menyiapkan infrastruktur riset memadai, koleksi dan susukan perpustakaan lengkap, ruang kerja dosen yang nyaman, dan peningkatan kapasitas akademik terukur, bukan instan. Bagi saya, masalah dugaan pemalsuan karya ilmiah menyerupai yang diberitakan Kompas di atas yaitu peringatan bahwa potensi ”akademisi” yang mengambil jalan pintas dan menghalalkan segala cara menjadi cendekiawan instan faktual di hadapan kita. Tugas kita bersama mencegahnya.



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "√ Menulis Karya Ilmiah Ialah Komitmen Seorang Akademisi"

Posting Komentar