√ Pulau Sebatik, Pulau Dua Negara – Bab 1

Menurut jadwal rencana perjalanan dinas, pada hari Minggu, 13 Agustus 2017 nanti, saya akan berangkat ke Pulau Sebatik, Kalimantan Utara, untuk mempersiapkan acara peringatan 72 tahun proklamasi kemerdekaan Republik Indonesia tercinta. Dan saya terbiasa mencari info selengkap-lengkapnya perihal wilayah yang akan saya kunjungi, untuk itu mari sedikit kita mengenal perihal Pulau Sebatik ini yang juga dikenal sebagai Double Country Island atau Pulau Dua Negara.


Indonesia dan Malaysia merupakan dua negara bertetangga yang mempunyai batas darat dan laut. Salah satu batas darat antara kedua negera itu ialah di sebuah pulau kecil, yaitu di Pulau Sebatik. Pulau Sebatik terbelah menjadi dua, satu belahan masuk ke wilayah Negara Malaysia dan satu belahan yang lainnya masuk wilayah Negara Indonesia. Sebagai pulau yang menjadi batas negara menjadikan posisi Pulau Sebatik menjadi sangat strategis bagi kedua negara. Persahabatan kedua negara menjadi sangat kentara di pulau ini lantaran di pulau kecil inilah dua warga negara sanggup saling mengunjungi tanpa direpotkan dengan permasalahan manajemen lintas negara yang biasanya rumit. Namun tidak jarang pula ketegangan antar kedua negara sanggup muncul di Pulau sebatik lantaran di pulau kecil tersebut ditempatkan pasukan militer dari kedua negara untuk menjaga perbatasan negara masing-masing.


Terlepas dari ketegangan-ketegangan yang sering muncul di kedua negara, Indonesia dan Malaysia, yang disebabkan lantaran dinamika politik, Pulau Sebatik telah memerankan diri sebagai pintu kecil yang menjadi jalan untuk membangun hubungan tenang antara Malaysia dan Indonesia, yang diperlihatkan oleh hubungan keseharian antar warga setempat.


Pulau Sebatik ialah salah satu pulau kecil dari puluhan ribu pulau yang dimiliki oleh Negara Indonesia. Secara umum pulau ini tidak ada bedanya dengan pulau-pulau kecil lain di Indonesia yang berada di lepas pantai, namun pulau Sebatik sejatinya ialah sebuah pulau yang unik dan istimewa. Secara administratif pulau ini ternyata dimiliki oleh dua negara yang berbeda, yang dibelah oleh sebuah garis lurus yang merupakan perbatasan antar negara. Pulau Sebatik belahan selatan dikuasai oleh Negara Indonesia sedangkan belahan utara dikuasai oleh Negara Malaysia. Pembelahan Pulau Sebatik menjadi dua merupakan warisan dari periode kolonialisme Barat di negara-negara Ketiga.


Pada periode kolonialisme kawasan-kawasan dunia dibagi-bagi untuk kepentingan mereka dengan anggapan bahwa daerah tersebut merupakan daerah tidak bertuan. Konsekuensi dari kebijakan politik kolonialisme tersebut kemudian sangat dirasakan ketika negara-negara yang dijajah memerdekakan diri lantaran wilayah dengan rumpun budaya yang hampir sama ternyata harus terbelah-belah oleh sistem manajemen pemerintahan yang berbeda.


Pulau Sebatik ialah teladan riil dari kondisi semacam itu. Secara sosial budaya penghuni pulau Sebatik ialah masyarakat dari rumpun yang sama, yaitu masyarakat Melayu, namun lantaran mereka kemudian hidup dalam wilayah administratif yang berbeda maka secara politis juga berbeda.


 



Ketika Irian Jaya (saat ini Papua) disahkan menjadi belahan dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) melalui sebuah Penentuan Pendapat Rakyat (Pepera) tahun 1969, perkara wilayah Negara Indonesia seolah-olah telah menjadi final. Indonesia mendapat keseluruhan wilayah yang klaimnya ialah semua daerah yang semula dijajah oleh Belanda. Masuknya Irian Jaya ke pangkuan NKRI merupakan langkah paling final untuk menggenapi klaim tersebut.


Pertengahan tahun 1970-an Indonesia berusaha memperluas klaim atas wilayah yang dianggap sanggup menjadi belahan dari NKRI, yaitu dengan menjadikan Timor Timur menjadi propinsi ke-27. Namun lantaran secara historis daerah tersebut merupakan penyimpangan dari sejarah Indonesia, lantaran tidak pernah dijajah oleh Belanda, maka toh pada hasilnya cerita ekspansi wilayah yang dilakukan dengan susah payah hasilnya kembali ke titik paling awal. Pada tahun 1999 Timor Timur lepas dari Negara Kesatuan Republik Indonesia.


Kasus lepasnya Timor Timur menjadi satu menerangkan bahwa perkara wilayah merupakan sesuatu yang sangat krusial bagi sebuah negara, lantaran negara sangat ditentukan oleh keluasan wilayahnya. Semakin luas wilayah sebuah negara, maka akan semakin disegani negara tersebut. Kehormatan sebuah negara ditentukan seberapa luas wilayah yang menjadi kekuasaannya. Tidak heran kalau sebuah negara akan cepat-cepat menghunus pedang atau segera mengokang senjata manakala perbatasan negaranya dilanggar.


Sejarah telah membuktikan bahwa banyak peperangan berkobar disebabkan lantaran sengketa wilayah perbatasan. Berangkat dari hal tersebut maka betapa strategisnya daerah perbatasan. Negara rela mengeluarkan ongkos yang sangat besar biar batas negaranya tidak dilanggar oleh negara lain. Bahkan ketika ide-ide perihal globalisasi yang seolah-olah menegasikan perihal batas negara (borderless) terus digemakan, pada dikala yang sama upaya untuk terus menjaga wilayah perbatasan juga tetap menguat. Wilayah perbatasan antar negara tetap menjadi perkara yang nyata sepanjang masa manakala klaim atas wilayah dengan dasar geografis tetap dipertahankan.


Indonesia ialah salah satu negara di dunia yang mempunyai batas wilayah antar negara yang sangat panjang, baik batas maritim maupun batas darat. Sebagai negara kepulauan, Indonesia berbatasan dengan sepuluh negara, yaitu: India, Thailand, Malaysia, Singapura, Vietnam, Filipina, Myanmar, Papua Nugini, Timor Leste, dan Australia. Menurut Riwanto Tirtosudarmo, perkara perbatasan negara Indonesia dengan negara tetangga sangat kompleks lantaran wilayah perbatasan negara Indonesia tidak hanya meliputi perbatasan di daratan, tetapi juga menyangkut perbatasan maritim dan perbatasan dengan pulau-pulau terluar. Bahkan perbatasan di Pulau Sebatik merupakan perbatasan yang sangat unik, di mana satu pulau dibagi menjadi dua yang dimiliki oleh dua negara, yaitu Indonesia dan Malaysia, dan dihuni oleh etnis dengan budaya yang sama yaitu budaya Melayu. Dengan posisi semacam itu maka Pulau Sebatik merupakan pulau paling strategis di Indonesia dengan kedudukan yang unik.


Posisi pulau Sebatik yang unik sangat berkaitan dengan sejarah kelahiran dua bangsa satu rumpun, yaitu Indonesia dan Malaysia. Menurut Anthony D. Smith, sebagaimana dikutip oleh Riwanto Tirtosudarmo, pada awal sejarah kelahirannya, negara-bangsa identik dengan ”negara etnis”. Pada awalnya batas-batas teritorial dari negara-bangsa merupakan refleksi dari batas-batas geografis sebuah etnik tertentu.


Pada perkembangan selanjutnya dari negara-bangsa menunjukkan bahwa kesamaan cita-cita, yang tidak jarang bersifat lintas etnik, lebih mengemuka sebagai dasar eksistensi sebuah negara-bangsa. Kasus Indonesia dan Malaysia mengatakan bahwa kesamaan impian yang melatarbelakangi terbentuknya kedua bangsa tersebut ialah adanya perbedaan nasib pada masa lalu. Kedua bangsa dengan latar belakang etnik yang sama tersebut dijajah oleh dua penjajah yang berbeda, Indonesia dijajah oleh Belanda dan Malaysia dijajah oleh Inggris. Aspek historis telah mengakibatkan bangsa yang serumpun harus terbelah menjadi dua dengan entitas politik yang berbeda. Suasana perbedaan tersebut sangat terang terlihat di Pulau Sebatik, dimana pulau tersebut terbagi dua hampir sama besar, masing-masing dikuasai oleh Indonesia dan oleh Malaysia.


Perbatasan yang membagi dua sebuah etnis yang sama tentu saja jauh lebih rumit implikasi sosialnya dibandingkan dengan sebuah perbatasan yang semata-mata hanya membagi daerah secara geografis. Perbatasan pada awalnya ialah sebuah pengertian dan konsep yang bersifat geografis-spasial. Ia gres menjadi konsep sosial ketika pembicaraan bergeser kepada masyarakat yang menjadi penghuni atau melintasi daerah perbatasan.


Problem perbatasan dalam konsep geografis-spasial jauh lebih sederhana, lantaran problem tersebut dengan gampang sanggup diselesaikan manakala negara-negara yang saling berbatasan sudah saling menyetujui mengenai garis perbatasan tersebut. Permasalahan justru muncul ketika perbatasan dilihat dalam perspektif sosial lantaran semenjak itulah perbatasan yang bersifat konvensional mencair. Menurut Tirtosudarmo, perbatasan memperolah makna yang gres sebagai konstruksi sosial dan kultural yang tidak lagi terikat pada pengertian yang bersifat teritorial.


Pergeseran konsep perbatasan dari geografis-spasial ke perspektif sosial-kultural secara nyata sanggup ditemukan di wilayah perbatasan di Pulau Sebatik. Masyarakat yang tinggal di wilayah perbatasan, baik yang tinggal di wilayah aturan Indonesia maupun di wilayah aturan Malaysia, sebagian besar masih berkerabat. Oleh lantaran itu dalam keseharian mereka saling berafiliasi dengan baik dan saling berkunjung layaknya dengan tetangga biasa. Aktifitas sosial sehari-hari mereka difasilitasi oleh pemerintah dengan dikeluarkannya Pas Lintas Batas (PLB), yaitu sebuah dokumen yang seperti dengan sebuah paspor, berwarna merah, berisi lima puluh halaman, yang dikeluarkan oleh Pos Imigrasi Sebatik di Sungai Pancang. Setiap kali mereka akan melintas batas, mereka harus melapor ke Pos Imigrasi, PLB mereka akan distempel oleh petugas Pos Imigrasi, layaknya sebuah paspor.


Pada satu sisi memandang perbatasan dari aspek sosial-kultural memang lebih menguntungkan, lantaran seolah-olah kondisi di daerah perbatasan senantiasa dalam keadaan harmoni, damai, dan tidak pernah ada masalah. Negara nampaknya lebih memandang kondisi di Pulau Sebatik juga semacam itu, yaitu sebuah daerah perbatasan yang nyaris tidak ada masalah, sehingga kehadiran negara di daerah perbatasan tersebut juga hanya untuk memfasilitasi aspek sosial-kultural masyarakat setempat. Sebagai teladan misalnya, akomodasi untuk menjaga keamanan wilayah Sebatik hanya terdiri satu Polisi Sektor (Polsek) dengan jumlah personil hanya 19 orang polisi, padahal jumlah penduduk yang harus dilayani berjumlah 34.619 jiwa. Perbandingan antara jumlah personil dengan jumlah penduduk masih terlalu besar. Fasilitas keimigrasian di Pulau Sebatik juga hanya merupakan Pos Imigrasi yang hanya melayani pembuatan dan pengukuhan Pas Lintas Batas (PLB), tanpa mempunyai kewenangan untuk menerbitkan paspor. Pembuatan paspor hanya dilayani di kantor imigrasi Nunukan. Perlu diketahui bahwa Pas Lintas Batas (PLB) merupakan dokumen untuk melintasi Negara yang bersifat istimewa dan hanya ada di Pulau Sebatik. Fasilitas tersebut hanya boleh dipakai untuk melintas ke Malaysia, utamanya di daerah Pulau Sebatik dan kota Tawau.


Bagi masyarakat yang ingin mengunjungi Negara Malaysia secara formal, dalam arti memakai akomodasi paspor, hanya dilayani di kota Nunukan. Kondisi ini tentu saja menyulitkan, mengingat jarak antara Pulau Sebatik dengan Pulau Nunukan cukup jauh, dengan melalui jalur laut. Fasilitas Pas Lintas Batas, pada satu sisi menguntungkan masyarakat setempat, namun pada sisi yang lain sangat rawan disalahkan gunakan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, baik untuk kejahatan antar Negara maupun untuk menetap secara illegal di Negara lain. Banyak TKI illegal yang bermasalah di Malaysia, awalnya menyeberang ke Negara tetangga tersebut dengan memakai akomodasi Pas Lintas Batas. Status manajemen daerah Sebatik yang dikala ini hanya berupa kecamatan nampaknya cukup sulit untuk meningkatkan status banyak sekali akomodasi Negara di daerah ini. Sebagai teladan misalnya, Pos Imigrasi Sebatik akan sulit dinaikan statusnya menjadi Kantor Imigrasi Sebatik kalau status manajemen daerah ini masih kecamatan. Demikian pula penambahan personil kepolisian juga akan sulit dilaksanakan kalau status kantor polisi di daerah ini hanya berstatus Polisi Sektor (Polsek).


 



Keamanan wilayah perbatasan menjadi perhatian setiap pemerintah yang wilayah negaranya berbatasan pribadi dengan Negara lain. Penanganan perbatasan Negara pada hakikatnya merupakan belahan dari upaya perwujudan ruang wilayah nusantara sebagai satu kesatuan geografi, politik, ekonomi, sosial, budaya, dan pertahanan. Menurut penelitian dari Departeman Kelautan dan Perikanan, terdapat beberapa informasi penting berkaitan dengan daerah perbatasan, antara lain:



  1. Kesenjangan ekonomi dengan negara tetangga yang semakin tajam dari waktu ke waktu.

  2. Pergeseran batas wilayah negara, termasuk patok-patok, yang cenderung merugikan kepentingan ekonomi dan membahayakan kedaulatan Republik Indonesia, misal perkara Sipadan – Ligitan yang telah lepas atau perkara Pulau Miangas di Kepulauan Satal, Sulawesi Utara yang rawan sengketa.

  3. Semakin maraknya illegal fishing, illegal logging, illegal labour dan banyak sekali penyelundupan lainnya dari kota-kota perbatasan, misal Nunukan – Malaysia, Tahuna – Davao, Batam – Singapura, Dumai – Malaysia, dan sebagainya, yang mengakibatkan hilangnya potensi devisa Republik Indonesia yang cukup besar.

  4. Pelayanan prasarana dan sarana wilayah pada pulau-pulau kecil pada daerah perbatasan maritim masih sangat terbatas sehingga daerah tersebut menjadi relatif terisolir.

  5. Potensi ekonomi pulau-pulau kecil pada daerah perbatasan belum dikembangkan secara optimal, contohnya potensi pengembangan sektor-sektor unggulan, pusat-pusat pertumbuhan, berikut outlet-outletnya. Pada dikala ini, sebagian besar daerah perbatasan maritim sanggup dikelompokkan status perkembangannya ke dalam ‘kawasan tertinggal’.


bersambung ke Pulau Sebatik, Pulau Dua Negara – Bagian 2



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Pulau Sebatik, Pulau Dua Negara – Bab 1"

Posting Komentar