Dalam suatu RUU, secara normatif harus tercantum tiga landasan atau pijakan yang termuat dalam konsiderans, yaitu landasan filosofis, landasan sosiologis, dan landasan yuridis. Adapun bab konsiderans “Menimbang” dan “Mengingat” Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 ialah sebagai berikut:
Menimbang :
- Bahwa Desa mempunyai hak asal permintaan dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat dan berperan mewujudkan harapan kemerdekaan menurut Undang Undang Dasar 1945;
- Bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam banyak sekali bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan semoga menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis sehingga sanggup membuat landasan yang berpengaruh dalam melaksanakana pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur, dan sejahtera;
- Bahwa Desa dalam susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan dan pembangunan perlu diatur tersendiri dengan undang-undang;
- Bahwa menurut pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1, angka 2, dan angka 3, perlu membentuk Undang-Undang wacana Desa.
Mengingat :
- Pasal 5 ayat (1), Pasal 18, Pasal 18B ayat (2), Pasal 20, dan Pasal 22 D ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945.
Rancangan UU Desa ialah inisiatif pemerintah. Dalam klarifikasi pertama mengenai RUU Desa di rapat DPR, pada 2 April 2012, pemerintah menjelaskan lima argumentasi yang melandasi penyusunan RUU Desa. Kelima argumentasi ialah sebagai berikut:
Argumen Historis
Sejak dahulu, Desa-Desa yang bermacam-macam di seluruh wilayah Indonesia sudah menjadi sentra penghidupan masyarakat setempat, yang mempunyai otonomi dalam mengelola tata kuasa dan tatakelola atas penduduk, pranata lokal dan sumber daya ekonomi. Masyarakat Desa mempunyai kearifan lokal. Sebagian dari kearifan lokal itu mengatur problem pemerintahan, pengelolaan sumberdaya alam dan kekerabatan sosial. Pada hakekatnya kearifan lokal itu bertujuan menjaga keseimbangan dan keberlanjutan kekerabatan antarmanusia, dan antara insan dengan alam dan Tuhan.
Argumen Filosofis Konseptual
Pemerintah beropini Desa sebaiknya harus menjadi landasan dan bab dari tata pengaturan pemerintahan di atasnya, dan menjadi ujung tombak dalam setiap penyelenggaraan pemerintahan, pembangunan dan kemasyarakatan. Bangunan aturan Desa juga merupakan fundamen bagi tata negara Indonesia, mempunyai arti bahwa bangsa dan negara bahu-membahu terletak di Desa. Mengingat kompleksitas dan luasnya substansi yang berkaitan dengan Desa, maka dasar aturan pengaturan Desa dibentuk dengan undang-undang tersendiri. Pengaturan ini akan memilih maju mundurnya Desa, yang berimplikasi pada maju mundurnya pemerintahan di atasnya sebagai satu kesatuan sistem pemerintahan.
Pemerintah percaya, Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) akan menjadi lebih berpengaruh jikalau ditopang oleh kedaulatan rakyat serta kemandirian lokal, yakni sentra yang “menghargai” lokal dan lokal yang “menghormati” pusat. Sebaliknya, jikalau selamanya Desa marjinal dan tergantung, justru akan menjadi beban berat pemerintah dan melumpuhkan fondasi NKRI.
Argumen Yuridis
Pemerintah menjelaskan bahwa sebelum amandemen Undang Undang Dasar 1945, sudah ada pengaturan wacana Desa. Setelah amandemen, khususnya yang berkaitan dengan Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945, ada dua norma dasar yang sanggup dijadikan pola dalam pengatuan Desa, yaitu
- norma dasar pemahaman konstitusi terhadap Desa dalam konteks pemerintahan tempat sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (7); dan
- norma dasar pemahaman konstitusi terhadap Desa dalam konteks kesatuan masyarakat aturan susila sebagaimana diatur dalam Pasal 18B.
Dalam konteks Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar 1945, Pemerintahan Desa mempunyai satu kesatuan dengan pemerintahan daerah. Dalam konteks Pasal 18B, makna kesatuan masyarakat aturan susila ialah Desa atau dengan sebutan lain yang bermacam-macam beserta hak-hak tradisionalnya.
Dalam proses pembahasan kedua pijakan yuridis konstitusional, Pasal 18 ayat (7) dan Pasal 18 B ayat (2) menerima tempat. Penjelasan Umum menyebutkan bahwa dalam kaitannya dengan susunan dan penyelenggaraan pemerintahan tempat sesudah amandemen pengaturan desa atau dengan nama lain merujuk pada Pasal 18 ayat (7) Undang-Undang Dasar 1945 yang menegaskan, “Susunan dan tata cara penyelenggaraan pemerintahan tempat diatur dengan Undang-Undang”. Rumusan ini ditafsirkan pembentuk Undang-Undang bahwa Undang-Undang Dasar 1945 membuka kemungkinan adanya susunan pemerintahan dalam sistem pemerintahan Indonesia.
Sementara ratifikasi terhadap kesatuan masyarakat aturan susila dipertegas melalui ketentuan Pasal 18B ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 yang berbunyi, “Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat aturan susila beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam Undang-Undang”.
Argumen Sosiologis
Paradigma pembangunan dari bawah (Desa) diyakini pemerintah menjadi salah satu upaya mewujudkan keadilan sosial alasannya ialah sebagian besar penduduk Indonesia tinggal di Desa. Pengaturan wacana Desa dimaksudkan untuk menjawab permasalahan sosial, budaya, ekonomi dan politik Desa, memulihkan basis penghidupan masyarakat Desa dan memperkuat Desa sebagai entitas masyarakat paguyuban yang berpengaruh dan mandiri. Selain itu, pengaturan wacana Desa juga dimaksudkan untuk mempersiapkan Desa merespon proses modernisasi, globalisasi dan demokratisasi yang terus berkembang.
Naskah Akademik menyebutkan, “Dampak globalisasi dan eksploitasi oleh kapitalis global mustahil dihadapi oleh lokalitas, meskipun dengan otonomi yang memadai. Tantangan ini memerlukan institusi yang lebih berpengaruh (dalam hal ini negara) untuk menghadapinya. Oleh alasannya ialah (itu) diharapkan pembagian kiprah dan kewenangan secara rasional di negara dan masyarakat semoga masing-masing sanggup menjalankan fungsinya. Prinsip dasar yang harus dipegang akrab dalam pembagian kiprah dan kewenangan tersebut ialah tempat dan Desa sanggup dibayangkan sebagai kompartemen-kompartemen fleksibel dalam entitas negara”.
Argumen Psikopolitik
Dari pandangan psikopolitik, semenjak kemerdekaan pengaturan wacana Desa telah mengalami bongkar pasang. Bongkar pasang peraturan ini menawarkan sulitnya membangun komitmen politik dalam mendudukkan Desa sebagai subjek pembangunan berbasis pada potensi dan kearifan lokal serta memperkuat komitmen politik terhadap Desa semoga Desa tidak menjadi ajang politisasi. Melalui UU Desa, pemerintah yakin Desa bisa menjadi lebih berdikari dan menjadi fondasi lokal yang berpengaruh bagi NKRI.
Dalam penyampaian awal pandangan pemerintah mengenai RUU Desa, Menteri Dalam Gamawan Fauzi menjelaskan lebih lanjut,
“Undang-Undang wacana Desa bertujuan hendak mengangkat Desa pada posisi subjek yang terhormat dalam ketatanegaraan Republik Indonesia. Hal lain ialah bahwa pengaturan Desa akan memilih format Desa yang sempurna sesuai dengan konteks keragaman lokal. Penguatan kemandirian Desa melalui Undang-Undang wacana Desa bahu-membahu juga menempatkan Desa sebagai subjek pemerintahan dan pembangunan yang betul-betul berangkat dari bawah (bottom-up)”.
Argumentasi Pemerintah itu kemudian diterjemahkan atau dielaborasi dewan perwakilan rakyat ke dalam DIM RUU Desa, sebagaimana tertuang dalam bab Konsideran ‘Mengingat’. Di sini ada tiga argumentasi yang dibangun, yaitu:
- Bahwa sesuai ketentuan Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945 menegaskan negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat aturan susila beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia.
- Bahwa dalam upaya melakukan ketentuan abjad a, Pemerintah Pusat berkewajiban menata kembali pengaturan mengenai Desa sehingga keberadaannya bisa mewadahi dan menuntaskan banyak sekali permasalahan kemasyarakatan dan pemerintahan sesuai dengan perkembangan dan sanggup menguatkan identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dengan semangat modernisasi, globalisasi, dan demokratisasi yang terus berkembang.
- Bahwa menurut pertimbangan sebagaimana dimaksud dalam angka 1 dan angka 2, perlu membentuk Undang-Undang wacana Desa.
Dalam proses pembahasan DIM telah terjadi perubahan-perubahan redaksional berkat ajuan dari sejumlah Fraksi. Dari sisi jumlah, Fraksi PPP mengusulkan pertimbangan ditambahkan menjadi lima poin.
Dari sisi substansi, ada juga ajuan perubahan redaksional. Fraksi PDIP contohnya meminta semoga dilakukan pembiasaan dengan peraturan pelaksanaan Pasal 18 B Undang-Undang Dasar 1945 yang sudah ada sebelumnya ibarat Undang Undang Nomor 13 Tahun 2012 wacana Keistimewaan Daerah spesial Yogyakarta.
Fraksi PPP menginginkan semoga UU Desa bisa mengakhiri ambiguitas antara Desa sebagai komunitas yang mempunyai hak asal permintaan untuk mengatur urusan komunitasnya sendiri, dengan Desa sebagai unit paling bawah dalam sistem pemerintahan di daerah.
Penyempurnaan substansi konsiderans ‘Menimbang’ itu antara lain tampak pada abjad b, ibarat tergambar berikut.
- Rumusan Awal
Bahwa dalam upaya melakukan ketentuan abjad a. Pemerintah sentra berkewajiban menata kembali pengaturan mengenai Desa sehingga keberadaannya bisa mewadahi dan menuntaskan banyak sekali permasalahan kemasyarakatan dan pemerintah sesuai dengan perkembangan dan sanggup menguatkan identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dengan semangat modernisasi, globalisasi, dan demokratisasi yang terus berkembang. |
- Usulan PDIP
Bahwa menurut perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa mempunyai hak bawaan yang menempel pada sejarah asal permintaan Desa dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut susila istiadat setempat yang perlu dilindungi semoga dalam perkembangannya tetap bisa mewadahi dan menuntaskan banyak sekali permasalahan kemasyarakatan dan pemerintahan sesuai dengan perkembangan dan sanggup menguatkan identitas lokal yang berbasis pada nilai-nilai sosial budaya masyarakat setempat dengan semangat modernisasi, globalisasi, dan demokratisasi yang terus berkembang. |
- Rumusan UU Desa
Bahwa dalam perjalanan ketatanegaraan Republik Indonesia, Desa telah berkembang dalam banyak sekali bentuk sehingga perlu dilindungi dan diberdayakan semoga menjadi kuat, maju, mandiri, dan demokratis, sehingga sanggup membuat landasan yang berpengaruh dalam melakukan pemerintahan dan pembangunan menuju masyarakat yang adil, makmur dan sejahtera. |
Landasan filosofis, yuridis, dan sosiologis terlihat pada konsiderans menimbang dan mengingat UU Desa. Dari rumusan Konsiderans tampak ada ratifikasi bahwa Desa mempunyai hak asal permintaan dan hak tradisional dalam mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat. Tidak ada definisi yang terang wacana hak asal permintaan dan hak tradisional. Hanya dijelaskan bahwa Desa atau yang disebut dengan nama lain sudah ada sebelum Negara Kesatuan Republik Indonesia terbentuk.
Series tulisan “Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Negara Indonesia “
- Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Negara Indonesia (DPDDTHNI) – Pembuka
- DPDDTHNI – Bagian 1 : Desa Pada Jaman Hindia Belanda Hingga Awal Kemerdekaan
- DPDDTHNI – Bagian 2 : Era Orde Baru
- DPDDTHNI – Bagian 3 : Era Reformasi
- DPDDTHNI – Bagian 4 : Perkembangan Wacana di DPR
- DPDDTHNI – Bagian 5 : Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
- DPDDTHNI – Bagian 6 : Pembahasan Di DPR
- DPDDTHNI – Bagian 7 : Dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) Ke Klaster
- DPDDTHNI – Bagian 8 : Landasan Filosofis, Sosiologis Dan Yuridis
- DPDDTHNI – Bagian 9 : Ketentuan Peralihan Dan Penutup
- DPDDTHNI – Bagian 10 : Pengaturan Lebih Lanjut
- DPDDTHNI – Bagian 11 : Catatan Kaki dan Referensi
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Aturan Negara Indonesia – Bab 8 : Landasan Filosofis, Sosiologis Dan Yuridis"
Posting Komentar