√ Perspektif Kesehatan Masyarakat Dalam Pembangunan Kesehatan Indonesia

Pembangunan kesehatan pada hakekatnya ialah upaya yang dilaksanakan oleh semua komponen bangsa Indonesia yang bertujuan untuk meningkatkan kesadaran, kemauan, dan kemampuan hidup sehat bagi setiap orang semoga terwujud derajat kesehatan masyarakat yang setinggi-tingginya, sebagai investasi bagi pembangunan sumber daya insan yang produktif secara sosial dan hemat (Kementerian Kesehatan RI, 2015).


Untuk mencapai derajat kesehatan yang optimal, maka dilakukan banyak sekali upaya pelayanan kesehatan yang menyeluruh, terarah dan berkesinambungan. Menurut Blum (1974), bahwa derajat kesehatan dipengaruhi oleh beberapa faktor yaitu lingkungan, perilaku, pelayanan kesehatan dan faktor keturunan. Yang sangat besar pengaruhnya terhadap kesehatan ialah keadaan lingkungan yang tidak memenuhi syarat kesehatan dan sikap masyarakat yang merugikan, baik masyarakat di pedesaan maupun perkotaan yang disebabkan lantaran kurangnya pengetahuan dan kemampuan masyarakat di bidang kesehatan, ekonomi maupun teknologi (Departemen Kesehatan RI, 2004). Hasil interaksi banyak sekali faktor yang ada, baik faktor internal (dari dalam diri manusia) maupun faktor eksternal (di luar diri manusia) yang saling berinteraksi sehingga tergambar dalam derajat kesehatan masyarakat.


Permasalahan umum yang selalu terlihat pada setiap komunitas Desa maupun komunitas kota sehubungan dengan kesehatan, ialah perubahan dan penambahan pengetahuan kesehatan serta perubahan sikap kesehatan yang merupakan tindakan dan harus selalu dilakukan. Suatu komunitas terutama komunitas Desa yang makin tradisional dan rendah derajat pendidikannya, serta tertutup dari informasi-informasi umum akan makin lambat mengalami proses-proses pemahaman, penerimaan dan adopsi warta pengetahuan, nilai dan praktek kesehatan gres dalam menanggulangi permasalahan kesehatan dan meningkatkan derajat kesehatan komunitas yang bersangkutan.


Mendampingi masalah umum tersebut ialah masalah-masalah khusus yang ada pada masyarakat Desa yang sanggup menghambat pencegahan dan peningkatan kesehatan dalam bentuk budaya, sosial, psikis, kemiskinan dan masalah ekologis, khususnya kekerabatan ekonomi penduduk dengan sumber daya yang terbatas. Masalah-masalah ini, dengan kata lain menyebabkan upaya-upaya jadwal kesehatan tidak selalu berjalan lancar dan tersendat-sendat, bahkan ada yang kurang berhasil atau bahkan gagal sama sekali.


Konsep pembangunan kesehatan di Desa yang selama ini diterapkan bias dengan melalui cara pandang kota, lantaran memakai pendekatan pembangunan kesehatan masyarakat di kota, yang juga diukur menurut indikator-indikator kemajuan masyarakat kota. Sosial budaya masyarakat Desa tidak dipandang khas, namun direndahkan atau dianggap belum sempurna, menurut ukuran relatif sosial budaya masyarakat kota. Timbulnya konsep pembangunan kesehatan masyarakat dengan berbasiskan kepada Desa membutuhkan perubahan paradigma pembangunan itu sendiri, yaitu dengan meninggalkan pembangunan Desa dengan cara pandang kota, lantaran tidak akan pernah melihat Desa sebagai entitas sosial ekonomi dan budaya yang khas. Desa harus didekati dan disentuh dengan pendekatan yang spesifik semoga seluruh potensinya sanggup tergali dan dikembangkan dengan optimal. Foster (1978) menyatakan, bahwa program-program kesehatan di negara-negara berkembang akan sanggup berhasil kalau dalam perencanaan dan pelaksanaan diperhitungkan dengan secama karakteristik-karakteristik sosial, budaya dan psikologis dari kelompok sosial yang menjadi sasaran program.


Setiap orang berhak atas kesehatan dan setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memperoleh saluran atas sumber daya di bidang kesehatan. Namun di samping itu, setiap orang juga tidak luput dari kewajiban-kewajiban di bidang kesehatan. Maka pemerintah mempunyai sejumlah tanggung jawab yang harus dilaksanakannya, yang mencakup tanggung jawab untuk merencanakan, mengatur, menyelenggarakan, membina, dan mengawasi penyelenggaraan upaya kesehatan yang merata dan terjangkau oleh masyarakat. Pemerintah juga mempunyai tanggung jawab untuk memberdayakan dan mendorong tugas aktif masyarakat dalam segala bentuk upaya kesehatan.


Pada dasawarsa 1970an hingga 1980an, pemerintah telah berhasil menggalang tugas aktif dan memberdayakan masyarakat di bidang kesehatan melalui gerakan Pembangunan Kesehatan Masyarakat Desa (PKMD). Pada ketika itu, seluruh sektor pemerintahan yang terkait, organisasi kemasyarakatan, dunia usaha, serta para pengambil keputusan dan pemangku kepentingan (stakeholders) lain, bahwasanya menggerakkan, memfasilitasi, dan membantu masyarakat di Desa dan kelurahan untuk membangun kesehatan mereka sendiri. Akan tetapi, akhir terjadinya krisis ekonomi dan faktor-faktor lain, gerakan pemberdayaan masyarakat di bidang kesehatan itu berangsur-angsur melemah. Namun demikian, semangat masyarakat sepertinya tidak hilang sama sekali. Sisa-sisa semangat itu tercermin dari masih bertahannya organisasi Tim Penggerak Pemberdayaan dan Kesejahteraan Keluarga (Tim Penggerak PKK) dari tingkat sentra hingga ke tingkat Desa/Kelurahan, masih hidupnya gerakan kelompok Dasawisma, dan masih berkembangnya sejumlah Upaya Kesehatan Bersumberdaya Masyarakat (UKBM) di banyak Desa serta kelurahan. Walaupun harus menghadapi banyak sekali kendala, Tim Penggerak PKK masih tetap berjuang menghidupkan Pos Pelayanan Terpadu (Posyandu) di Desa dan kelurahan, sehingga ketika ini 84,3% Desa dan kelurahan mempunyai Posyandu aktif.


Masa kejayaan PKMD itu hendak diulang dan dibangkitkan kembali melalui gerakan pengembangan dan training Desa Siaga yang sudah dimulai pada tahun 2006. Yaitu dengan ditetapkannya Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 564/Menkes/SK/VIII/2006 wacana Pedoman Pelaksanaan Pengembangan Desa Siaga. Secara Nasional cakupan Desa/kelurahan siaga aktif mengalami peningkatan dari 16% (2010) menjadi 32,3% (2011), 65,3% (2012), dan 67,1% (2013). Target tahun 2014 ialah 70%, sehingga dengan demikian pencapaian tahun 2013 dalam hal ini sudah mendekati sasaran yang ditetapkan. Namun demikian, banyak dari antaranya yang belum berhasil membuat Desa Siaga atau Kelurahan Siaga yang sesungguhnya, yang disebut sebagai Desa Siaga Aktif atau Kelurahan Siaga Aktif. Hal ini sanggup dipahami, lantaran pengembangan dan training Desa Siaga dan Kelurahan Siaga yang menganut konsep pemberdayaan masyarakat memang memerlukan suatu proses.


Atas dasar pertimbangan tersebut di atas, dirasa perlu untuk melakukan revitalisasi terhadap jadwal pengembangan Desa Siaga guna mengakselerasi pencapaian sasaran Desa Siaga Aktif pada tahun 2015. Sebagaimana diketahui, Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 741/Menkes/Per/VII/2008 wacana Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten dan Kota dan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 828/Menkes/SK/IX/2008 wacana Petunjuk Teknis Standar Pelayanan Minimal (SPM) Bidang Kesehatan di Kabupaten dan Kota memutuskan bahwa pada tahun 2015 sebanyak 80% Desa telah menjadi Desa Siaga Aktif. Oleh alasannya ialah sebagian Desa yang ada di Indonesia telah berubah status menjadi kelurahan, maka perlu ditegaskan bahwa, dalam sasaran tersebut juga tercakup Kelurahan Siaga Aktif.Dengan demikian, sasaran SPM harus dimaknai sebagai tercapainya 80% Desa dan kelurahan menjadi Desa dan Kelurahan Siaga Aktif.


Desa dan Kelurahan Siaga Aktif ialah bentuk pengembangan dari Desa Siaga yang telah dimulai semenjak tahun 2006. Desa atau Kelurahan Siaga Aktif ialah Desa atau yang disebut dengan nama lain atau kelurahan, yang :



  1. Penduduknya sanggup mengakses dengan gampang pelayanan kesehatan dasar yang memperlihatkan pelayanan setiap hari melalui Pos Kesehatan Desa (Poskesdes) atau sarana kesehatan yang ada di wilayah tersebut seperti, Pusat Kesehatan Masyarakat Pembantu (Pustu), Pusat Kesehatan Masyarakat (Puskesmas) atau sarana kesehatan lainnya.

  2. Penduduknya berbagi UKBM dan melakukan survailans berbasis masyarakat (meliputi pemantauan penyakit, kesehatan ibu dan anak, gizi, lingkungan dan perilaku), kedaruratan kesehatan dan penanggulangan bencana, serta penyehatan lingkungan sehingga masyarakatnya menerapkan Perilaku Hidup Bersih dan Sehat (PHBS).


Undang-undang Republik Indonesia Nomor 32 Tahun 2004 wacana Pemerintahan Daerah mengamanatkan adanya urusan pemerintahan yang menjadi urusan wajib Pemerintah Provinsi, Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Salah satu dari antara sejumlah urusan wajib tersebut ialah penanganan bidang kesehatan. Dengan demikian, telah terang bahwa pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif merupakan salah satu urusan wajib yang harus diselenggarakan oleh Pemerintah Kabupaten dan Pemerintah Kota. Pemerintah Kabupaten dan pemkot harus berperan aktif dalam proses pemberdayaan masyarakat Desa dan kelurahan di wilayahnya, semoga sasaran cakupan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif sanggup dicapai.


Berperan aktif bukan berarti bekerja sendiri menyerupai yang terjadi selama ini. Telah waktunya untuk ego sektor dan ego jadwal dibumihanguskan. Pemerintah Provinsi/Kabupaten dalam hal ini Dinas Kesehatan sebagai sektor yang bertanggungjawab terhadap bidang kesehatan sanggup kiranya membuka diri dengan banyak sekali kalangan, termasuk juga kalangan akademisi untuk bekerja sama dan sama-sama bekerja dalam rangka akselerasi Program Kesehatan untuk pengembangan Desa dan Kelurahan Siaga Aktif sebagai wujud agresi dari Pembangunan Kesehatan Masyarakat di Provinsi/Kabupaten.


Ada beberapa kajian kritis yang harus dianalisis secara cermat oleh pemangku kebijakan menurut fakta dan realita yang terjadi dalam jadwal kesehatan, yaitu :



  • Setiap perjuangan penemuan jadwal kesehatan untuk perubahan perilaku, terutama dalam pelayanan kesehatan akan berhadapan dengan serangkaian masalah-masalah sosial budaya.

  • Masalah tidak hanya bersumber pada Sosial dan Budaya Masyarakat pengguna pelayanan kesehatan tetapi juga bersumber pada Sosial Budaya Birokrasi dan Profesionalisme Tenaga Kesehatan.

  • Kebijakan jadwal Kesehatan secara substansial hanya menyentuh institusi Pelayanan Kesehatan terdepan dan kebijakan yang ada belum/tidak hingga kepada Rumah Tangga sebagai Sasaran Perubahan Perilaku.

  • Program lintas sektor hanya terpadu dalam komitmen, tetapi berbeda bahkan cenderung bertentangan dalam pelaksanaan.


Lalu bagaimana dengan ketika ini pasca lahirnya Undang-undang Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2014 wacana Desa?


Menurut saya, pembangunan kesehatan di Desa masih minim untuk melangkah maju meskipun kesehatan merupakan salah satu kebutuhan dasar yang penting, jikalau tidak mau disebut “stagnan” atau “mundur”.



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Perspektif Kesehatan Masyarakat Dalam Pembangunan Kesehatan Indonesia"

Posting Komentar