Catatan Kaki
- Tentang perkataan “di lain-lain tempat jang dianggap perlu oleh Menteri Dalam Negeri”, ini embel-embel diadakan berhubung dengan perkataan “mengatur rumah tangga daerahnja” dalam fatsal 2. Ketika kita merundingkan ini, kita menggambarkan tempat tersebut, tersusun berdasarkan faham decentralisatie wetgeving jang dulu, dengan mempunjai harta benda dan penghatsilan sendiri (eigen middelen). Dengan kefahaman itu nistjaya sukar sekali untuk merentjanakan budgetnya, djika andaikata tempat dibawahnya kabupaten, umpama assistenan atau Desa djuga dijadikan tubuh jang berautonomie dengan memiliki “eigen middelen”. Nistjaja buat ketamsilan : djika Desa telah memungaut padjak kendaraan dan rooiver gunningen dalam Desa itu nistjaja saja Kabupaten tidak akan sanggup memungut lagi padjak-padjak itu dari object dan subject yang sama. Dan lagi Pemerintah, pada waktu itu (seperti jang diutjapkan oleh Menteri Kehakiman Prof. Soepomo) berkeberatan, bahwa bangunan-bangunan (adatinstituten) jang masih dihargai oleh penduduk Desa, akan dihapuskan okeh bangunan gres ini. Maka dari alasannya yaitu itu begitulah Prof. Soepomo — Sebelumnja hal ini harus diselidiki sedalam-dalamnja, sehingga kita sanggup citra jang terang perihal keadaan diDesa-Desa. Baiklah kita selidiki soal ini, djangan hingga kecepatan untuk mengatur soal ini melahirkan tanggapan : kekalutan. Akan tetapi djika Rakjat memang menghendaki bangunan gres ini, maka mereka diberi kesempatan untuk mengusulkan hal itu kepada Menteri Dlam 7 Negeri. Seperti diatas telah diterangkan : Desa autonomie jang digambarkan ini berlainan dengan adatrechtelijke autonomi. (Pendjelasan UU. No 1 Tahun 1945 Bagian B abjad C)
- “Daerah yang sanggup mengatur rumah tangganya sendiri dibedakan atas tempat otonom biasa dan tempat otonom istimewa” (Pasal 3 UU No. 22 Tahun 1948 perihal Pemerintahan Daerah).
- Lihat pendapat/pandangan mini fraksi-fraksi dalam rapat 11 Desember 2013.
- “……. pengaturan mengenai Desa tersebut belum sanggup mewadahi segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang hingga ketika ini sudah berjumlah sekitar 73.000 (tujuh puluh tiga ribu) Desa dan sekitar 8.000 (delapan ribu) kelurahan. Selain itu, pelaksanaan pengaturan Desa yang selama ini berlaku sudah tidak sesuai lagi dengan perkembangan zaman, terutama antara lain menyangkut kedudukan masyarakat aturan adat, demokratisasi, keberagaman, partisipasi masyarakat, serta kemajuan dan pemerataan pembangunan sehingga menjadikan kesenjangan antarwilayah, kemiskinan, dan problem sosial budaya yang sanggup mengganggu keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia.” (Penjelasan Umum, bab Dasar Pemikiran UU Desa).
- Penyusunan DIM yaitu bab dari proses pembicaraan tingkat I dalam pembentukan Undang-Undang. Kegiatan lain pada tahapan ini yaitu pengantar musyawarah dan penyampaian pendapat mini fraksi dan DPD. DIM memuat daftar inventaris masalah, usulan fraksi, dan rumusan yang disepakati. Jumlahnya biasanya sangat banyak sehingga proses pembahasan suatu RUU memakai pasal- per pasal dalam DIM akan memakan waktu yang relatif lama.
- Pembentukan Undang-Undang yang socially responsible di Indonesia antara lain didorong oleh Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Selama ini sifat dasar proses legislasi yang lebih banyak didominasi lebih melihat legislasi sebagai (i) proses politik elit; (ii) proses teknokratis; atau (iii) proses politik publik. Menurut PSHK ketiga cara pandang ini hanya merekam sebagian episode saja dari keseluruhan proses pembentukan legislasi. Ketiga konsep ini lebih menekankan pada aspek formal procedural, sebaliknya pembentukan Undang-Undang yang socially responsible mengacu pada suatu proses yang lebih luas, yakni proses kemasyarakatan (societal) yang melihat banyak sekali proses informal di ruang-ruang sosial sama pentingnya dengan proses formal di gedung-gedung pemerintahan. Lihat Bivitri Susanti (penyunting). Studi Tata Kelola Proses Legislasi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2008, hal. 132.
- Berdasarkan Undang-undang Nomor 12 Tahun 2011, landasan filosofis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat mempertimbangkan pandangan hidup, kesadaran, dan cita aturan yang mencakup suasana kebatinan serta falsafah bangsa Indonesia yang bersumber dari Pancasila dan Pembukaan Undang Undang Dasar 1945. Landasan sosiologis merupakan pertimbangan atau alasan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dalam banyak sekali aspek. Landasan ini menyangkut fakta empiris mengenai perkembangan problem dan kebutuhan masyarakat dan negara. Landasan yuridis merupakan pertimbangan yang menggambarkan bahwa peraturan yang dibuat untuk mengatasi permasalahan aturan atau mengisi kekosongan aturan dengan mempertimbangkan aturan yang telah ada, yang akan diubah, atau yang akan dicabut guna menjamin kepastian aturan dan rasa keadilan masyarakat.
- Pola yang sama ditempuh pemerintah dalam mengatur lebih lanjut UU Pelayanan Publik, UU Administrasi Kependudukan, dan UU Keterbukaan Informasi Publik.
Referensi
- Bhenyamin Hossein, Arah Kebijakan Pembangunan Hukum di Bidang Penyelenggaraan Desentralisasi dan Otonomi Daerah (Hubungan Kewenangan Antara Pusat dan Daerah), makalah pada Seminar Arah Pembangunan Hukum Menurut Undang-Undang Dasar 1945 Hasil Amandemen, Jakarta, 29-31 Mei 2006, hal. 2
- Bivitri Susanti (penyunting). Studi Tata Kelola Proses Legislasi. Jakarta: Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia, 2008, hal. 132.
- F. Sugeng Istanto. Beberapa Segi Hubungan Pemerintah Pusat dan Daerah dalam Negara Kesatuan Indonesia. Yogyakarta: Karyaputera, 1971, hal. 28.
- Hanif Nurkholis,Tantangan dan Prospek Implementasi UU No. 6/2016 perihal Desa, makalah disampaikan dalam Seminar Nasional Administrasi Negara di FISIP Universitas Negeri Padang, 13 November 2014, hal. 1.
- HAW. Widjaja. Otonomi Desa Merupakan Otonomi yang Asli, Bulati dan Utuh. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2008, hal. 7.
- Mr. R. Tresna. Peradilan di Indonesia dari Abad ke Abad. Amsterdam-Jakarta: NV. W. Versluys, 1957, hal. 67-68.
- Pendjelasan Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 Bagian B abjad C
- Penjelasan Umum, bab Dasar Pemikiran UU Desa.
- R. Yando zhadsfia. Abih Tandeh, Masyarakat Desa di Bawah Rejim Orde Baru. Jakarta: ELSAM, 2000.
- Tim Peneliti PSHK. Studi Tata Kelola Proses Legislasi. Jakarta: PSHK, USAID-Democratic Reform Support Program, 2008
- Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 perihal Pemerintahan Daerah
Series tulisan “Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Negara Indonesia “
- Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Negara Indonesia (DPDDTHNI) – Pembuka
- DPDDTHNI – Bagian 1 : Desa Pada Jaman Hindia Belanda Hingga Awal Kemerdekaan
- DPDDTHNI – Bagian 2 : Era Orde Baru
- DPDDTHNI – Bagian 3 : Era Reformasi
- DPDDTHNI – Bagian 4 : Perkembangan Wacana di DPR
- DPDDTHNI – Bagian 5 : Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
- DPDDTHNI – Bagian 6 : Pembahasan Di DPR
- DPDDTHNI – Bagian 7 : Dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) Ke Klaster
- DPDDTHNI – Bagian 8 : Landasan Filosofis, Sosiologis Dan Yuridis
- DPDDTHNI – Bagian 9 : Ketentuan Peralihan Dan Penutup
- DPDDTHNI – Bagian 10 : Pengaturan Lebih Lanjut
- DPDDTHNI – Bagian 11 : Catatan Kaki dan Referensi
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Aturan Negara Indonesia – Bab 11 : Catatan Kaki Dan Referensi"
Posting Komentar