√ Teori Perihal Pemberdayaan Masyarakat

Menurut Sulistiyani (2004) bahwa secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar “daya” yang berarti kekuatan atau kemampuan. Bertolak dari pengertian tersebut, maka pemberdayaan dimaknai sebagai proses untuk memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan, dan atau proses santunan daya, kekuatan atau kemampuan dari pihak yang mempunyai daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya.


Shardlow (1998) dalam Adi (2008) pengertian pemberdayaan, pada pada dasarnya membahas bagaimana individu, kelompok, ataupun komunitas berusaha mengontrol kehidupan mereka sendiri dan mengusahakan untuk membentuk masa depan sesuai dengan keinginan mereka. Dalam kesimpulannya, Shardlow menggambarkan bahwa pemberdayaan sebagai sesuatu gagasan tidaklah jauh berbeda dengan gagasan Biestek (1961) dalam Notoatmodjo (2005) yang dikenal di bidang pendidikan ilmu kesejahteraan sosial dengan nama “self determination”. Prinsip ini pada pada dasarnya mendorong klien untuk menentukan sendiri apa yang harus ia lakukan dalam kaitannya dengan upaya mengatasi permasalahan yang ia hadapi sehingga klien mempunyai kesadaran dan kekuasaan penuh dalam membentuk hari depannya.


Jamasy (2004) mengemukakan bahwa konsekuensi dan tanggung jawab utama dalam aktivitas pembangunan melalui pendekatan pemberdayaan ialah masyarakat berdaya atau mempunyai daya, kekuatan atau kemampuan. Kekuatan yang dimaksud sanggup dilihat dari aspek fisik dan material, ekonomi, kelembagaan, kerja sama, kekuatan intelektual dan komitmen bersama dalam menerapkan prinsip-prinsip pemberdayaan. Kemampuan berdaya mempunyai arti yang sama dengan kemandirian masyarakat. Salah satu cara untuk meraihnya ialah dengan membuka kesempatan bagi seluruh komponen masyarakat dalam tahapan aktivitas pembangunan. Setiap komponen masyarakat selalu mempunyai kemampuan atau berpotensi. Keutuhan potensi ini akan sanggup dilihat apabila di antara mereka mengintegrasikan diri dan bekerja sama untuk sanggup berdaya dan mandiri.


Berdasarkan beberapa pengertian pemberdayaan tersebut, maka sanggup disimpulkan bahwa pada hakikatnya pemberdayaan ialah suatu proses dan upaya untuk memperoleh atau menunjukkan daya, kekuatan atau kemampuan kepada individu dan masyarakat lemah semoga sanggup mengidentifikasi, menganalisis, menetapkan kebutuhan dan potensi serta duduk masalah yang dihadapi dan sekaligus menentukan alternatif pemecahnya dengan mengoptimalkan sumber daya dan potensi yang dimiliki secara mandiri.


Tujuan pemberdayaan berdasarkan Sulistiyani (2004) ialah terbentuknya individu dan masyarakat mandiri. Kemandirian tersebut mencakup kemandirian berpikir, bertindak dan mengendalikan apa yang mereka lakukan. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai dengan kemampuan memikirkan, menetapkan serta melaksanakan sesuatu yang dipandang sempurna demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya atau kemampuan yang dimiliki. Menurut terjadinya keberdayaan pada empat aspek tersebut (kognitif, konatif, afektif dan psikomotorik) akan sanggup menunjukkan donasi pada terciptanya kemandirian masyarakat yang dicita-citakan. Dengan demikian, dalam masyarakat akan terjadi kecukupan wawasan, yang dilengkapi dengan kecakapan keterampilan yang memadai, diperkuat oleh rasa memerlukan pembangunan dan sikap sadar akan kebutuhannya. Kemandirian masyarakat sanggup dicapai tentu memerlukan sebuah proses belajar. Masyarakat yang mengikuti proses berguru yang baik, secara sedikit demi sedikit akan memperoleh daya, kekuatan atau kemampuan yang bermanfaat dalam proses pengambilan keputusan secara mandiri.


Menurut Nasikun (2000) paradigma pembangunan gres berprinsip bahwa pembangunan harus pertama-tama dan terutama dilakukan atas inisitaif dan dorongan banyak sekali kepentingan masyarakat. Masyarakat harus diberi kesempatan untuk terlibat di dalam keseluruhan proses perencanaan dan pelaksanaan pembangunannya; termasuk pemilikan serta penguasaan aset infrastrukturnya sehingga distribusi laba dan manfaat akan lebih adil bagi masyarakat.


Proses pemberdayaan mengandung dua kecenderungan. Pertama, proses pemberdayaan yang menekankan pada proses menunjukkan atau mengalihkan sebagian kekuatan, kekuasaan atau kemampuan kepada masyarakat semoga individu lebih berdaya. Kecenderungan pertama tersebut sanggup disebut sebagai kecenderungan primer dari makna pemberdayaan. Sedangkan kecenderungan kedua atau kecenderungan sekunder menekankan pada proses menstimulasi, mendorong atau memotivasi individu semoga mempunyai kemampuan atau keberdayaan untuk menentukan apa yang menjadi pilihan hidupnya melalui proses obrolan (Pranarka dan Vidhyandika, 1996). Selain itu proses pemberdayaan sanggup dilakukan melalui tiga proses yaitu :



  • Pertama, enciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan potensi masyarakat berkembang (enabling). Titik tolaknya ialah bahwa setiap insan mempunyai potensi yang sanggup dikembangkan. Artinya tidak ada sumber daya insan atau masyarakat tanpa daya. Dalam konteks ini, pemberdayaan ialah membangun daya, kekuatan atau kemampuan, dengan mendorong (encourage) dan membangkitkan kesadaran (awareness) akan potensi yang dimiliki serta berupaya mengembangkannya.

  • Kedua, memperkuat potensi atau daya yang dimiliki oleh masyarakat (empowering), sehingga diharapkan langkah yang lebih positif, selain dari iklim atau suasana.

  • Ketiga, memberdayakan juga mengandung arti melindungi. Dalam proses pemberdayaan, harus dicegah yang lemah menjadi bertambah lemah, oleh alasannya ialah kekurangberdayaannya dalam menghadapi yang berpengaruh (Kartasasmita, 1995).


Komunitas yang baik mempunyai kompetensi yang harus dimiliki masyarakat yaitu, sebagai berikut :



  1. mampu mengidentifikasi duduk masalah dan kebutuhan komunitas,

  2. mampu mencapai kesempatan ihwal sasaran yang hendak dicapai dalam skala prioritas,

  3. mampu menemukan dan menyepakati cara dan alat mencapai sasaran yang telah disetujui, dan

  4. mampu bekerja sama dalam bertindak mencapai tujuan. Kompetensi-kompetensi tersebut merupakan kompetensi pendukung untuk mengantarkan masyarakat semoga bisa memikirkan, mencari dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan sosial (Adi, 2003).


Sebagaimana dikemukakan oleh Montagu & Matson dalam Suprijatna (2000) yang mengusulkan konsep The Good Community and Competency yang mencakup sembilan konsep komunitas yang baik dan empat komponen kompetensi masyarakat. The Good Community and Competency itu ialah :



  1. setiap anggota masyarakat berinteraksi satu sama lain berdasarkan hubungan eksklusif atau kelompok;

  2. komunitas mempunyai kebebasan atau otonomi, yaitu mempunyai kewenangan dan kemampuan untuk mengurus kepentingannya sendiri secara berdikari dan bertanggung jawab;

  3. memiliki vialibilitas yaitu kemampuan memecahkan duduk masalah sendiri;

  4. distribusi kekuasaan secara adil dan merata sehingga setiap orang mempunyai kesempatan dan bebas mempunyai serta menyatakan kehendaknya;

  5. kesempatan setiap anggota masyarakat untuk berpartsipasi aktif untuk kepentingan bersama;

  6. komunitas memberi makna kepada anggota;

  7. adanya heterogenitas/beda pendapat;

  8. pelayanan masyarakat ditempatkan sedekat dan secepat mungkin kepada yang berkepentingan; dan

  9. adanya konflik dan administrasi konflik.


Proses pemberdayaan warga masyarakat diharapkan sanggup menimbulkan masyarakat menjadi lebih berdaya berkekuatan dan berkemampuan. Kaitannya dengan indikator masyarakat berdaya, Sumardjo (1999) menyebutkan beberapa ciri warga masyarakat berdaya yaitu :



  1. mampu memahami diri dan potensinya, bisa merencanakan (mengantisipasi kondisi perubahan ke depan),

  2. mampu mengarahkan dirinya sendiri,

  3. memiliki kekuatan untuk berunding,

  4. memiliki bargaining power yang memadai dalam melaksanakan kolaborasi yang saling menguntungkan, dan

  5. bertanggung jawab atas tindakannya.


Slamet (2003) menjelaskan lebih rinci bahwa yang dimaksud dengan masyarakat berdaya ialah masyarakat yang tahu, mengerti, paham termotivasi, berkesempatan, memanfaatkan peluang, berenergi, bisa bekerja sama, tahu banyak sekali alternatif, bisa mengambil keputusan, berani mengambil risiko, bisa mencari dan menangkap gosip dan bisa bertindak sesuai dengan situasi. Proses pemberdayaan yang melahirkan masyarakat yang mempunyai sifat menyerupai yang diharapkan harus dilakukan secara berkesinambungan dengan mengoptimalkan partisipasi masyarakat secara bertanggung jawab. Adi (2003) menyatakan bahwa meskipun proses pemberdayaan suatu masyarakat merupakan suatu proses yang berkesinambungan, namun dalam implementasinya tidak semua yang direncanakan sanggup berjalan dengan mulus dalam pelaksanaannya. Tak jarang ada beberapa kelompok dalam komunitas yang melaksanakan penolakan terhadap ”pembaharuan” ataupun penemuan yang muncul.


Watson dalam Adi (2003) menyatakan beberapa hambatan (hambatan) dalam pembangunan masyarakat, baik yang berasal dari kepribadian individu maupun berasal dari sistem sosial “



  • Berasal dari kepribadian individu; kestabilan (homeostatis), kebiasaan (habit), seleksi ingatan dan persepsi (selective perception and retention), ketergantungan (depedence), super ego yang terlalu kuat, cenderung menciptakan seseorang tidak mau mendapatkan pembaharuan, dan rasa tak percaya diri (self distrust).

  • Berasal dari sistem sosial; janji terhadap norma tertentu (conformity to norms), yang ”mengikat” sebagian anggota masyarakat pada suatu komunitas tertentu, kesatuan dan kepaduan sistem dan budaya (systemic and cultural coherence), kelompok kepentingan (vested interest), hal yang bersifat sakral (the sacrosanct), dan penolakan terhadap ”Orang Luar” (rejection of outsiders).


Pembentukan masyarakat yang mempunyai kemampuan yang memadai untuk memikirkan dan menentukan solusi yang terbaik dalam pembangunan tentunya tidak selamanya harus dibimbing, diarahkan dan difasilitasi. Berkaitan dengan hal ini, Sumodiningrat (2000) menjelaskan bahwa pemberdayaan tidak bersifat selamanya, melainkan hingga sasaran masyarakat bisa untuk mandiri, dan kemudian dilepas untuk mandiri, meskipun dari jauh tetap dipantau semoga tidak jatuh lagi.


Berdasarkan pendapat Sumodiningrat berarti pemberdayaan melalui suatu masa proses belajar, hingga mencapai status mandiri. Proses pemberdayaan masyarakat semestinya juga didampingi oleh suatu tim fasilitator yang bersifat multidisiplin. Tim pendamping ini merupakan salah satu external factor dalam pemberdayaan masyarakat. Peran tim pada awal proses sangat aktif tetapi akan berkurang secara sedikit demi sedikit selama proses berjalan hingga masyarakat sudah bisa melanjutkan kegiatannya secara mandiri. Dalam operasionalnya inisiatif tim pemberdayaan masyarakat akan pelan-pelan dikurangi dan kesudahannya berhenti. Peran tim sebagai fasilitator akan dipenuhi oleh pengurus kelompok atau pihak lain yang dianggap bisa oleh masyarakat.


Bersambung ke : Pemberdayaan Masyarakat Sebagai Suatu Program dan Proses



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Teori Perihal Pemberdayaan Masyarakat"

Posting Komentar