Kejayaan Islam Di Periode Lalu

Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi (Jacques C. Reister).

Cukup beralasan jikalau kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa (Montgomery Watt).
Peradaban berhutang besar pada Islam (Presiden AS, Barack Obama).
Pengantar
Pernyataan dari dua cendekiawan Barat dan satu dari orang nomor satu Amerika Serikat ini sengaja saya kutip sekadar ingin menunjukkan, bahwa siapapun yang jujur melihat sejarah tak akan bisa mengelak untuk mengakui keagungan peradaban Islam pada masa kemudian dan sumbangsihnya bagi dunia, termasuk dunia Barat, yang denyutnya masih terasa hingga hari ini. Meski banyak ditutup-tutupi, efek peradaban Islam terhadap kemajuan Barat ketika ini tetaplah nyata.

Tulisan berikut tidak bermaksud membangkitkan romantisme sejarah Islam masa kemudian yang gemilang, yang memang merupakan sebuah realitas sejarah. Kalaupun secuil citra masa kemudian peradaban Islam yang cemerlang sengaja ditampilkan di sini, itu tidak lain sebagai bentuk restrospeksi sekaligus instrospeksi, yang tentu amat diharapkan oleh kaum Muslim ketika ini.

Dengan itu, kaum Muslim secara sadar dan jujur akan bisa melihat kembali kebesaran peradaban Islam masa kemudian sekaligus potensinya untuk kembali hadir pada masa depan untuk yang kedua kalinya. Karena itu, selain merestrospeksi keagungan peradaban Islam masa lalu, goresan pena ini juga lebih dimaksudkan sebagai upaya untuk memproyeksi sekaligus merekontruksi kembali masa depan perabadan Islam di tengah-tengah hegemoni perabadan Barat sekular ketika ini, yang sesungguhnya mulai tampak kerapuhannya dan makin kelihatan tanda-tanda kemundurannya.

Peradaban Islam: Peradaban Emas

1. Tingginya Kemampuan Literasi.
Sebuah peradaban maju, termasuk peradaban Islam, tentu meliputi ruang-lingkup yang sangat luas. Kemajuan peradaban Islam masa kemudian pun demikian. Jika buku dianggap sebagai salah satu warisan sebuah peradaban yang gilang-gemilang maka peradaban Islam menjadi peradaban garda depan yang ditopang oleh buku.

Di samping menjadi sumber ide bagi kemajuan sebuah peradaban, buku juga menjadi ukuran sejauh mana sebuah peradaban dipandang maju. Para khalifah Islam pada masa kemudian memahami benar hal ini. Pada kurun ke-10, misalnya, di Andalusia saja terdapat 20 perpustakaan umum. Yang populer di antaranya yakni Perpustakaan Umum Cordova, yang ketika itu mempunyai tidak kurang dari 400 ribu judul buku. Ini termasuk jumlah yang luar biasa untuk ukuran zaman itu.
Padahal empat kurun setelahnya, dalam catatan Chatolique Encyclopedia, Perpustakaan Gereja Canterbury saja, yang terbilang paling lengkap pada kurun ke-14, hanya miliki 1800 (1,8 ribu) judul buku. Jumlah itu belum seberapa, apalagi jikalau dibandingkan dengan Perpustakaan Darul Hikmah di Kairo yang populer itu, yang mengoleksi tidak kurang 2 juta judul buku.

Perpustakaan Umum Tripoli di Syam—yang pernah dibakar oleh Pasukan Salib Eropa—bahkan mengoleksi lebih dari 3 juta judul buku, termasuk 50 ribu eksemplar al-Quran dan tafsirnya. Di Andalusia, pernah pula terdapat Perpustakaan al-Hakim yang menyimpan buku-bukunya di dalam 40 ruangan. Setiap ruangan berisi tidak kurang dari 18 ribu judul buku. Artinya, perpustakaan tersebut menyimpan sekitar 720 ribu judul buku.
Pada masa Kekhilafahan Islam yang cukup panjang, khususnya masa Kekhalifahan ‘Abbasiyyah, perpustakaan-perpustakaan semacam itu tersebar luas di aneka macam wilayah Kekhilafahan, antara lain: Baghdad, Ram Hurmuz, Rayy (Raghes), Merv (daerah Khurasan), Bulkh, Bukhara (kota kelahiran Imam al-Bukhari), Ghazni, dsb. Lebih dari itu, hal yang lazim ketika itu, di setiap masjid niscaya terdapat perpustakaan yang terbuka untuk umum.

Menggambarkan hal ini, Bloom dan Blair menyatakan, “Rata-rata tingkat kemampuan literasi (kemampuan melek aksara membaca dan menulis Dunia Islam di kurun pertengahan lebih tinggi daripada Byzantium dan Eropa. Karya tulis ditemukan di setiap tempat dalam peradaban ini.” (Jonathan Bloom & Sheila Blair, Islam – A Thousand Years of Faith and Power, Yale University Press, London, 2002, p-105).

2. Lahirnya Banyak Ilmuwan Besar dan Karya-karya Fenomenal Mereka.
Dari perpustakaan-perpustakaan itulah dimulainya penerjemahan buku-buku, yang dilanjutkan dengan pengkajian dan pengembangan atas isi buku-buku tersebut. Dari sini pula sesungguhnya dimulainya kelahiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang kemudian melahirkan karya-karya yang amat mengagumkan, yang mereka sumbangkan demi kemajuan peradaban Islam ketika itu.

Bahkan tokoh-tokoh menyerupai Ibn Sina (terkenal di Barat sebagai Aveciena), Ibn Miskawaih, Asy-Syabusti dan beberapa nama lain mengawali karirnya—sebagai cendekiawan dan ilmuwan Muslim—dari ‘profesi’-nya sebagai penjaga dan pengawas perpustakaan. Ibn Sina, misalnya, yakni seorang pakar kedokteran. Ia meninggalkan sekitar 267 buku karyanya. Al-Qânûn fi al-Thibb yakni bukunya yang populer di bidang kedokteran.

Beberapa nama lain yakni Ibn Rusyd (terkenal di Barat sebagai Averous); seorang filosof, dokter sekaligus pakar fikih dari Andalusia. Al-Kulliyât, salah satu bukunya yang terpenting dalam bidang kedokteran, berisi kajian ilmiah pertama mengenai fungsi jaringan-jaringan dalam kelopak mata.
Ada juga az-Zahrawi, kelahiran Cordova. Ia yakni orang pertama yang mengenalkan teknik pembedahan organ tubuh manusia. Karyanya berupa eksiklopedia pembedahan dijadikan referensi dasar dunia kedokteran dalam bidang pembedahan selama ratusan tahun.
Sejumlah universitas Barat juga menjadikannya sebagai acuan. Lalu ada az-Zarkalli, masih dari Cordova. Ia yakni salah spesialis astronomi yang pertama kali mengenalkan astrolobe, yakni istrumen yang digunakan untuk mengukur jarak sebuah bintang dari horison bumi. Penemuan ini menjadi revolusioner lantaran sanggup membantu navigasi maritim yang kemudian mendorong berkembangnya dunia pelayaran secara pesat.

Kemudian ada al-Khawarizmi, jago matematika sekaligus penemu angka nol dan penemu salah satu cabang ilmu matematika, Algoritma, yang diambil dari namanya. Nama lengkapnya Abu Abdullah Muhammad Ibn Musa al-Khwarizmi (770-840) lahir di Khwarizm (Kheva), kota di selatan sungai Oxus (sekarang Uzbekistan) tahun 770 masehi. Pengaruhnya dalam perkembangan matematika, astronomi dan geografi tidak diragukan lagi dalam catatan sejarah.

Beberapa bukunya diterjemahkan ke dalam bahasa Latin pada awal kurun ke-12 oleh dua orang penerjemah terkemuka, yaitu Adelard Bath dan Gerard Cremona. Risalah-risalah aritmatikanya, menyerupai Kitâb al-Jam’a wa at-Tafrîq bi al-Hisâb al-Hindi, Algebra dan Al-Maqâl fî Hisâb al-Jabr wa al-Muqâbilah hanya dikenal dari translasi berbahasa Latin. Buku-buku itu terus digunakan hingga kurun ke-16 sebagai buku pegangan dasar oleh universitas-universitas di Eropa.

Buku geografinya berjudul Kitâb Surât al-Ard yang memuat peta-peta dunia pun telah diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris.
Selanjutnya ada al-Idrisi, pakar geografi. Orang Barat menyebutnya Dreses. Al-Idris (1099-1166) dikenal oleh orang-orang Barat sebagai spesialis geografi. Ia pernah menciptakan bola dunia dari materi perak seberat 400 kilogram untuk Raja Roger II dari Sicilia.
Globe buatan al-Idrisi ini secara cermat memuat pula ketujuh benua dengan rute perdagangannya, danau-danau dan sungai, kota-kota besar, dataran serta pegunungan. Beliau memasukkan pula beberapa informasi wacana jarak, panjang dan ketinggian secara tepat. Bola dunianya itu, oleh Idris sengaja dilengkapi pula dengan Kitâb ar-Rujari (Roger’s Book).

Dialah yang pertama kali memperkenalkan teknik pemetaan dengan metode proyeksi; suatu metode yang
gres dikembangkan oleh ilmuwan Barat, Mercator, empat kurun kemudian.
Selain beliau, masih ada nama yang patut disebut sebagai penyumbang peradaban untuk dunia. Dialah Jabir Ibn Hayyan, masternya ilmu kimia yang diakui oleh dunia. Ide-ide eksperimen Jabir kini lebih dikenal sebagai dasar untuk mengklasifikasikan unsur-unsur kimia, utamanya pada materi metal, non-metal dan penguraian zat kimia.

Pada kurun pertengahan karya-karya ia di bidang ilmu kimia—termasuk kitabnya yang masyhur, Kitâb al-Kimya dan Kitâb as-Sab’în—sudah banyak diterjemahkan ke dalam bahasa latin. Terjemahan Kitâb al-Kimya bahkan telah diterbitkan oleh orang Inggris berjulukan Robert Chester tahun 1444, dengan judul The Book of the Composition of Alchemy.
Buku kedua (Kitâb as-Sab’în) diterjemahkan juga oleh Gerard Cremona. Lalu tak ketinggalan Berthelot pun menerjemahkan beberapa buku Jabir, yang di antaranya dikenal dengan judul Book of Kingdom, Book of the Balances dan Book of Eastern Mercury.

Masih ada ilmuwan lainnya. Dia yakni Nashiruddin ath-Thusi, masternya ilmu astronomi dan perbintangan. Ada Ibnu al-Haitsam, jagoannya ilmu alam dan ilmu pasti. Beliau menulis buku berjudul Al-Manâzir yang berisi wacana ilmu optik. Buku ini diterjemahkan ke dalam bahasa Latin oleh Frederick Reysnar, dan diterbitkan di kota Pazel, Swiss, pada tahun 1572 dengan judul Opticae Thesaurus.
Ada lagi spesialis geografi ulung berjulukan Muhammad bin Ahmad al-Maqdisi. Bukunya, Ahsan at-Taqâsim, merupakan buku geografi yang nilai sastra Arabnya paling tinggi. Buku tersebut menguraikan wacana semenanjung Arabia, Irak, Syam, Mesir, Maroko, Khurasan, Armenia, Azerbaijan, Chozistan, Persia dan Karman. Kemudian ada al-Kindi.

Beliau yakni simbol kedigdayaan ilmuwan Muslim. Jempolan dalam ilmu fisika dan filsafat. Beliau bahkan mewariskan sekitar 256 jilid buku. Lima belas buku di antaranya khusus mengenai meteorologi, anemologi, udara (iklim), kelautan, mata dan cahaya; juga dua buah buku mengenai musik. Muhammad, Ahmad dan Hasan—tiga keturunan Musa Ibnu Syakir, menyumbangkan ilmu teknik pengairan dan matematika.
Lalu mengenai dunia sejarah, filsafat dan sosiologi, ada sang maestronya, yaitu Ibnu Khaldun. Selain mereka, masih banyak lagi ilmuwan dan cendekiawan Muslim lainnya dengan keunggulan dan kepakarannya di bidangnya masing-masing. Orang-orang menyerupai merekalah yang kemudian memperlihatkan banyak sekali sumbangsihnya bagi kemajuan peradaban Islam pada masa kemudian yang masih terasa denyutnya hingga kini, justru pada ketika orang-orang Eropa masih bergulat dengan masa kegelapannya yang panjang.
Tanpa kehadiran para ilmuwan dan cendekiawan Muslim yang telah mewariskan peradaban yang sangat agung, kemajuan peradaban Barat ketika ini mustahil terjadi. Sebab, merekalah sesungguhnya yang menjadi penghubung peradaban Yunani dan Romawi dengan peradaban Eropa ketika ini. Secara jujur, hal ini diakui oleh salah seorang cendekiawan Barat sendiri, yakni Emmanuel Deutscheu yang asal Jerman itu.
Ia mengatakan, “Semua ini (yakni kemajuan peradaban Islam) telah memperlihatkan kesempatan baik bagi kami untuk mencapai kebangkitan (renaissance) dalam ilmu pengetahuan modern. Karena itu, sewajarnyalah kami senantiasa mencucurkan airmata tatkala kami teringat akan saat-saat jatuhnya Granada.” (Granada yakni benteng terakhir Kekhilafahan Islam di Andalusia yang jatuh ke tangan orang-orang Eropa).

Hal senada diungkapkan oleh Montgomery Watt, ketika ia menyatakan, “Cukup beralasan jikalau kita menyatakan bahwa peradaban Eropa tidak dibangun oleh proses regenerasi mereka sendiri. Tanpa dukungan peradaban Islam yang menjadi ‘dinamo’-nya, Barat bukanlah apa-apa.”
Jacques C. Reister juga berkomentar, “Selama lima ratus tahun Islam menguasai dunia dengan kekuatannya, ilmu pengetahuan dan peradabannya yang tinggi.”

Bahkan yang menarik sekaligus mengejutkan, sumbangsih peradaban Islam terhadap dunia, termasuk dunia Barat, juga diakui oleh Presiden Amerika Serikat ketika ini, Barack Obama. Hal itu terungkap ketika dia berpidato tanggal 5 Juli 2009. Dia antara lain menyatakan:
Peradaban berhutang besar pada Islam. Islamlah—di tempat-tempat menyerupai Universitas Al-Azhar—yang mengusung lentera ilmu selama berabad-abad serta membuka jalan bagi era Kebangkitan Kembali dan era

Pencerahan di Eropa.

Inovasi dalam masyarakat Muslimlah yang menyebarkan urutan aljabar; kompas magnet dan alat navigasi; keahlian dalam memakai pena dan percetakan; dan pemahaman mengenai penularan penyakit serta pengobatannya.

Budaya Islam telah memberi kita gerbang-gerbang yang megah dan puncak-puncak menara yang menjunjung tinggi; puisi-puisi yang tak lekang oleh waktu dan musik yang dihargai; kaligrafi yang anggun dan tempat-tempat untuk melaksanakan kontemplasi secara damai. Sepanjang sejarah, Islam telah memperlihatkan melalui kata-kata dan perbuatan bahwa toleransi beragama dan persamaan ras yakni hal-hal yang mungkin (http://jakarta.usembassy.gov.).

Sisi lain Keagungan Peradaban Islam

Selain itu, setidaknya menurut akreditasi Will Durant, kebesaran peradaban Islam juga tampak pada beberapa hal berikut:

a. Jaminan atas keamanan dunia.
Dalam hal ini, Will Durant terperinci mengatakan:
Para Khalifah telah memperlihatkan keamanan kepada insan hingga batas yang luar biasa besarnya bagi kehidupan dan perjuangan keras mereka. Para Khalifah itu juga telah menyediakan aneka macam peluang bagi siapapun yang memerlukannya dan memperlihatkan kesejahteraan selama berabad-abad dalam keluasan wilayah yang belum pernah tercatat lagi fenomena menyerupai itu sehabis masa mereka. Kegigihan dan kerja keras mereka menjadikan pendidikan menyebar luas sehingga aneka macam ilmu, sastra, falsafah dan seni mengalami kejayaan luar biasa; yang menjadikan Asia Barat sebagai cuilan dunia yang paling maju peradabannya selama lima abad. (Will Durant – The Story of Civilization).

b. Menyatukan umat manusia.
Dalam hal ini, Will Durant terang mengakui:
Agama Islam telah menguasai hati ratusan bangsa di negeri-negeri yang terbentang mulai dari Cina, Indonesia, India hingga Persia, Syam, Jazirah Arab, Mesir bahkan hingga Maroko dan Spanyol. Islam pun telah mempunyai harapan mereka, menguasai akhlaknya, membentuk kehidupan¬nya, dan membangkitkan harapan di tengah-tengah mereka, yang meringankan urusan kehidupan maupun kesusahan mereka. Islam telah mewujudkan kejayaan dan kemuliaan bagi mereka sehingga jumlah orang yang memeluknya dan ber¬pegang teguh padanya pada ketika ini [1926] sekitar 350 juta jiwa.
Agama Islam telah menyatukan mereka dan melunakkan hati¬nya walaupun ada perbedaan pendapat maupun latar belakang politik di antara mereka. (Will Durant – The Story of Civilization).

c. Menciptakan kemajuan ekonomi.
Dalam hal ini, Will Durant pun jujur bertutur:
Pada masa pemerintahan Abdurrahman III diperoleh pendapatan sebesar 12,045,000 dinar emas. Diduga berpengaruh bahwa jumlah tersebut melebihi pendapatan pemerintahan negeri-negeri Masehi Latin jikalau digabungkan. Sumber pendapatan yang besar tersebut bukan berasal dari pajak yang tinggi, melainkan salah satu efek dari pemerintahan yang baik serta kemajuan pertanian, industri, dan pesatnya kegiatan perdagangan (Will Durant – The Story of Civilization).

d. Menjamin kesehatan masyarakat.

Dalam hal ini, Will Durant secara terperinci juga menegaskan:
Islam telah menjamin seluruh dunia dalam menyiapkan aneka macam rumah sakit yang layak sekaligus memenuhi keperluannya. Contohnya yakni al-Bimarustan yang dibangun oleh Nuruddin di Damaskus tahun 1160, telah bertahan selama tiga kurun dalam merawat orang-orang sakit tanpa bayaran dan menyediakan obat-obatan gratis. Para sejarahwan berkata bahwa cahayanya tetap bersinar tidak pernah padam selama 267 tahun (Will Durant – The Story of Civilization).

Bukti-bukti Arkeologis Keagungan Peradaban Islam

Pada masa-masa ‘kemunduran’-nya pun, peradaban Islam tetaplah mengagumkan. Sejumlah dokumen di sejumlah museum di Turki yakni di antara saksi bisu keagungan peradaban Islam masa lalu. Kita tahu, Turki pada masa Khilafah Utsmaniah yakni saksi terakhir kemajuan peradaban Islam.
Di Turki hingga hari ini, misalnya, ada sebuah masjid/museum populer berjulukan Aya Sofia. Di Aya Sofia dipamerkan surat-surat Khalifah (“Usmans Fermans”) yang memperlihatkan kehebatan Khilafah Utsmaniyah dalam memperlihatkan jaminan, proteksi dan kemakmuran kepada warganya maupun kepada orang absurd pencari suaka, tanpa pandang agama mereka.

Yang tertua yakni surat sertifikat tanah yang diberikan tahun 925 H (1519 M) kepada para pengungsi Yahudi yang lari dari kekejaman Inquisisi Spanyol pasca jatuhnya pemerintahan Islam di Andalusia. Kemudian surat ucapan terima kasih dari Pemerintah Amerika Serikat atas dukungan pangan yang dikirim Khalifah ke Amerika Serikat yang sedang dilanda kelaparan (pasca perang dengan Inggris), kurun 18.
Lalu surat jaminan proteksi kepada Raja Swedia yang diusir tentara Rusia dan mencari eksil ke Khalifah, 30 Jumadil Awal 1121 H (7 Agustus 1709). Selanjutnya ada surat tertanggal 13 Rabiul Akhir 1282 H (5 September 1865 M) yang memperlihatkan ijin dan ongkos kepada 30 keluarga Yunani yang telah beremigrasi ke Rusia namun ingin kembali ke wilayah Khilafah, lantaran di Rusia mereka justru tidak sejahtera. Yang paling mutakhir yakni peraturan yang membebaskan bea cukai barang bawaan orang-orang Rusia yang mencari eksil ke wilayah Utsmani pasca Revolusi Bolschewik, tertanggal 25 Desember 1920.
Peradaban Islam juga tampak dari aneka macam bangunan kuno yang ketika ini masih bisa disaksikan di aneka macam penjuru dunia. Kordoba sebagai ibukota Khilafah Umayah di Spanyol dibangun pada tahun 750 M. Ia menjadi pusat peradaban hingga 1258 M. Kota renta Kordoba masih bisa kita saksikan sekarang. Sejak berdirinya, kota ini mempunyai drainase yang anggun sehingga jalan-jalan tampak higienis dan asri. Ini yakni suatu teknologi sanitasi—yang Jakarta hari ini perlu iri.

Masjid Agung Kordoba, yang ketika ini hanya tinggal sebagai museum, mempunyai arsitektur yang sangat indah; sekaligus mempunyai fungsi akustik sehingga meskipun ketika itu belum ada alat pengeras bunyi elektronik, bunyi khatib bisa terdengar terperinci hingga pojok-pojok masjid yang cukup besar. Tata ruang masjid juga ditambah dengan pola ventilasi yang luar biasa, yang menjamin cukupnya cahaya dan segarnya udara.
Tidak jauh dari masjid terdapat Taman Alcazar yang sangat indah. Mengingat Andalusia dikelilingi oleh tanah-tanah yang gersang maka keberadaan taman itu mengambarkan sistem irigasi yang baik. Irigasi memang salah satu teknologi yang diwariskan Islam.
Di banyak negeri Timur Tengah, masih dijumpai kincir untuk menaikkan air yang dibangun berabad-abad yang silam—dan kincir ini masih berfungsi! Di beberapa kota gurun pasir juga masih dijumpai sistem distribusi air bawah tanah, yang disebut Qanat.
Dari sekian banyak bangunan fisik berusia renta di Istanbul, yang paling menarik tentu saja yakni masjid-masjid yang indah. Ikon Istanbul yakni masjid Sultan Ahmet, yang berhadapan dengan Aya Sofia. Masjid ini dibangun pada Abad 16 dan satu-satunya masjid yang punya enam minaret.
Ketahanan bangunan ini terhadap gempa telah teruji. Harus diingat bahwa Turki yakni wilayah pertemuan tiga lempeng tektonik, yaitu Eropa, Asia, dan Afrika-Mediteran. Wilayah ini sangat sering diguncang gempa hingga data pertanahan di sana harus terus-menerus di-update lantaran titik-titiknya akan selalu bergeser oleh dinamika bumi. Namun, masjid-masjid di Turki yang dibangun berabad-abad yang kemudian terbukti bertahan hingga kini.

Bangunan bersejarah semacam ini acak-acakan di seluruh dunia, di tempat Islam pernah berkuasa. Di Cina juga terdapat banyak masjid berusia minimal 1000 tahun. Di India, meski semenjak masa penjajahan Inggris didominasi oleh warga beragama Hindu, sebagian besar bangunannya berarsitektur Islam; termasuk Tajmahal, sebuah bangunan menyerupai masjid yang sangat indah, padahal bantu-membantu hanya makam.
Beberapa bangunan renta masih memegang fungsi menyerupai ketika didirikan dulu, sekalipun mengalami renovasi berkali-kali. Contohnya yakni aneka macam masjid dan universitas di Mesir, Damaskus, atau Istanbul. Universitas al-Azhar di Mesir faktanya yakni universitas tertua di dunia!

Pengaruh Peradaban Islam di Indonesia

Sesungguhnya efek peradaban Islam di Nusantara nyaris merata, mewarnai sebagian besar wilayah, dari ujung barat hingga ke ujung timur. Aceh, yang dijuluki sebagai ‘Serambi Makah’ hanyalah salah satunya. Sejak sebelum kadatangan penjajah Belanda, Aceh telah menerapkan syariah Islam sebagai patokan kahidupan bermasyarakat dan bernegara.
Aceh juga banyak didatangi para ulama dari aneka macam belahan dunia Islam lainnya. Syarif Makkah mengirimkan utusannya ke Aceh seorang ulama berjulukan Syaikh Abdullah Kan’an sebagai guru dan mubalig. Sekitar tahun 1582, tiba dua orang ulama besar dari negeri Arab, yakni Syaikh Abdul Khayr dan Syekh Muhammad Yamani. Selain itu, di Aceh sendiri lahir sejumlah ulama besar, menyerupai Syamsuddin Al-Sumatrani dan Abdul Rauf al-Singkeli.
Abdul Rauf Singkel menerima tawaran dari Sultan Aceh, Safiyat al-Din Shah, untuk menduduki jabatan Kadi dengan sebutan Qadi al-Malik al- Adil yang sudah lowong beberapa usang lantaran Nur al-Din Al-Raniri kembali ke Ranir (Gujarat). Setelah melaksanakan aneka macam pertimbangan, Abdul Rauf mendapatkan tawaran tersebut.

Karena itu, ia resmi menjadi qadi dengan sebutan Qadi al-Malik al- Adil. Selanjutnya, sebagai seorang kadi Abd Rauf diminta Sultan untuk menulis sebuah kitab sebagai patokan (qanun) penerapan syariah Islam. Buku tersebut kemudian diberi judul Mir’at al-Tullab.

Menurut Abd Rauf, naskah Mir’at al-Tullab mengacu pada kitab Fath al-Wahhab karya Abi Yahya Zakariyya al-Ansari (825-925 H). Sumber lain yang digunakan untuk menulis buku ini ialah: Fath-al-Jawwad, Tuhfat al-Muhtaaj, Nihayat al-Muhtaj, Tafsir Baydawi, al-Irsyad, dan Sharh Sahih Muslim. Mir’at al-Tullab mengandung semua aturan fiqh Imam Syafii, kecuali problem ibadah. Walhasil, Aceh sesungguhnya semenjak usang telah mempunyai qanun penerapan syariah Islam yang ditulis oleh Abd Rauf al-Singkeli.
Bahkan banyak bukti yang memperlihatkan adanya korelasi yang bersahabat antara Aceh dan Khilafah Turki Utsmani, sebagai pusat peradaban Islam ketika itu. Peran Sentral Khilafah

Dengan secuil citra historis mengenai kehebatan peradaban Islam di atas, tentu masuk akal jikalau muncul sejumlah akreditasi dari para cendekiawan yang jujur, sebagaimana terpapar di awal. Pengakuan jujur ini penting dicatat untuk membantah pandangan beberapa pihak yang mengidap Islamophobia akut seolah-olah Islam tidak pernah memperlihatkan sumbangan apapun terhadap peradaban dunia.
Namun, ada satu hal yang belum secara jujur diakui atau paling tidak sering ditutupi, bahwa peradaban Islam yang memperlihatkan sumbangan besar bagi dunia ini terjadi di era Kekhilafahan Islam. Bahkan boleh dikatakan, semua pencapaian kemajuan peradaan Islam itu tidak lepas dari tugas sentral Khilafah. Kecemerlangan sejarah itu terjadi ketika umat Islam menerapkan sistem negara Khilafah yang menjadikan Islam sebagai dasar ideologi dan syariah Islam sebagai dasar aturan yang mengatur segenap aspek kehidupan manusia.
Karena itu, sebuah kepicikan atau kedustaan yang fatal jikalau di satu sisi memuji peradaban Islam, tetapi di sisi lain melepaskan seluruh kemajuan itu dari tugas sentral Khilafah, selain lantaran faktor keyakinan dan syariah Islam. Ketiga hal inilah (akidah, syariah dan Khilafah) yang paling memilih kemunculan peradaban Islam yang agung.
Sayang, ketiga hal ini sering ditutup-tutupi bahkan menjadi obyek penyesatan dengan membangun stigma negatif terhadapnya. Pada tanggal 5 September 2006 Presiden George W. Bush, misalnya, mengatakan, “They hope establish a violent political utopia across the Middle East, which they call Caliphate, where all would be ruled according to their hateful ideology (Mereka berangan-angan untuk membangun utopia-politik kekerasan di sepanjang Timur Tengah, yang mereka sebut dengan Khilafah, dimana semua akan diatur berdasar pada ideologi yang penuh kebencian).”
Senada dengan itu Tony Blair ketika menjadi perdana menteri Inggris menyatakan bahwa salah satu ciri dari ‘ideolog iblis’ (evil ideology) yakni keinginan menegakkan syariah dan Khilafah. Tentu menggelikan sekaligus tidak masuk akal, bagaimana sebuah ideologi kebenciaan, utopis dan penuh kekerasan—ada juga yang menyebutkan sebagai sistem zaman batu—bisa menghasilkan peradaban agung yang diakui cemerlang oleh dunia; bagaimana sistem zaman kerikil bisa menyatukan aneka macam bangsa, warna kulit dan ras di seluruh dunia; bagaimana mungkin pula ‘ideolog setan’ bisa diyakini bahkan diperjuangkan oleh pemeluknya dan bertahanan selama 13 abad. Padahal masa kecemerlangan itu terjadi di bawah naungan sistem Khilafah, yang sering oleh para sejarahwan Barat sering secara kurang pas disebut peradaban Arab, dinasti atau imperium.
Para jago sejarah pun mengakui, Kekhilafahan itu memang ada dan menjadi kekuatan politik real umat Islam. Setelah masa Khulafaur Rasyidin, di belahan Barat Asia muncul kekuatan politik yang mempersatukan umat Islam dari Spanyol hingga al-Sind di bawah Kekhilafahan Bani Umayyah (660-749 M), dilanjutkan Khalifah Abbasiyyah kurang lebih satu kurun (750-870 M), serta Khilafah Utsmani hingga 1924 M.
Adanya kekuatan politik di Asia Barat yang berhadapan dengan Cina telah mendorong tumbuh dan berkembangnya perdagangan di Laut Cina Selatan, Selat Malaka dan Samudra Hindia. Hal ini dengan sendirinya memperlihatkan dampak bagi penyebaran Islam dan tumbuhnya kekuatan ekonomi, lantaran banyak pendakwah Islam sekaligus sebagai pedagang.
Peradaban Barat: Hegemoni yang Rapuh
Sejak runtuhnya Kekhilafahn Turmi Utsmani tahun 1924, dunia ketika ini memang berada dalam genggaman hegemoni peradaban Barat. Hegemoni itu antara lain ditandai oleh dominannya efek negara-negara maju terhadap konstelasi politik dan ekonomi dunia ketika ini. Jika diadakan survei jajak pendapat wacana negara-negara tersukses di dunia ketika ini, orang akan cenderung menyebut sejumlah negara-negara industri maju menyerupai Amerika Serikat (AS), Inggris, Perancis, Jepang, Jerman Italia dan Canada. Negara-negara ini dikenal sebagai kelompok G7.
Menyusul mereka yakni negara-negara Barat lainnya menyerupai Swiss, Swedia, Negeri Belanda, Australia dan sebagainya. Di bawahnya gres menyusul negara-negara ekonomi gres (macan Asia), menyerupai Korea Selatan, Taiwan, Singapura, Malaysia, Cina dan India.
Namun demikian, seluruh “success story” itu dihentikan menutup mata kita pada kebobrokan fundamental yang ada dalam peradaban Barat kapitalis-sekular yang sedang dipraktikkan di negara-negara itu. Kebobrokan itu mau tidak mau akan dirasakan dalam jangka panjang atau dimensinya tak lagi lokal, namun global. Berikut ini hanyalah beberapa di antara tanda kebobrokan itu.
1. Kekeringan Spiritual.
Mungkin kemajuan pembangunan fisik dan materi Barat sangat mengesankan, namun pondasi dan tatanilai kehidupannya sesungguhnya amat rapuh. Akibatnya, kekeringan spiritual dan degradasi moral menjadi tanda-tanda umum. Kita melihat, kebanyakan orang Barat ketika ini memang karenanya meraih sukses secara material.
Namun, pada ketika yang sama, banyak di antara mereka yang mengidap bermacam-macam penyakit sosial semacam hedonisme, yang bahkan berdampak pada munculnya penyakit-penyakit psikologis yang sangat berbahaya. Para pakar ilmu sosial Barat sendiri telah mengakui hal ini. A. Sorokin menyebut adanya “The Crisis of Our Age”; Luis Leahy menyebut terjadinya “kekosongan ruhani, sebagaimana digambarkan dalam bukunya, Esai Filsafat untuk Masa Kini (1991); Carl Gustave Jung menyebut terjadinya “kegersangan psikologis”. Eric Fromm menyebut adanya alienasi (keterasingan).
Barat juga termasuk bangsa dengan angka degradasi moral dan angka kriminalitas yang tinggi. Itulah di antara bentuk kerapuhan masyarakat Barat ketika ini yang maju secara material.

2. Kesenjangan Kaya-Miskin.
Kesenjangan kaya-miskin yakni fenomena dunia yang bantu-membantu gres terjadi kurang dari seabad terakhir. Pada ketika ini, 20% penduduk dunia (The Club of Rich) mempunyai 83% kekayaan dunia, mengendalikan 81% perdagangan dunia, mendapatkan 81% hasil investasi, seraya memakai 70% energi, 85% persedian kayu dunia, dan 60% pangan. Perbandingan pendapatan 20% penduduk terkaya dunia dengan 20% penduduk termiskin dunia yakni 60 berbanding [1] .
Pada tahun 1980, misalnya, untuk mendapatkan satu lokomotif dari Swiss, negara berkembang sanggup menukar dengan 12910 karung kopi. Sepuluh tahun kemudian (1990), mereka membutuhkan 45800 karung kopi! Tren ini terus memburuk semenjak perdagangan bebas ala WTO diterapkan.
Untuk sekuntum bunga cengkeh yang dipetik di Kolumbia (Amerika Latin), petaninya mendapatkan kurang lebih 4 sen-dolar. Bersama biaya produksi dan margin profit, total sebesar sekitar 10 sen-dolar akan tinggal di Kolumbia. Di pasar Eropa, harga selesai dari sekuntum bunga cengkeh ini yakni 1 dolar! Keuntungan yang terbesar dinikmati oleh para pedagang. Para pedagang kelas dunia ini didominasi para kapitalis besar!

3. Hancurnya Keluarga.
Hancurnya sebuah peradaban sering dimulai dari hancurnya keluarga. Keluarga yakni benteng terakhir yang mempertahankan nilai-nilai luhur, kasih sayang dan kebahagiaan. Ketika keluarga hancur maka seseorang yang tumbuh remaja akan kehilangan contoh wacana makna hidup dan kebahagiaan. Fenomena ini benar-benar terjadi di Barat, termasuk di Amerika Serikat. Hal ini tampak dari semakin tingginya angka perceraian dan pada ketika yang sama menurunnya minat orang untuk menikah (orang merasa lebih kondusif untuk hidup bersama tanpa ikatan).
Pada tahun 2003, misalnya, hanya terdapat tiap 1000 penduduk 7,5 ijab kabul baru, dan sebaliknya 3,8 perceraian. Selain perceraian, kasus bunuh diri terjadi tiap 16 menit sekali di AS, dan setiap kasus mengakibatkan dampak sosial pada minimal enam orang.
Walhasil semakin banyak belum dewasa yang tumbuh hanya dengan satu orang renta (single parent), baik lantaran perceraian maupun kehamilan di luar nikah. Di AS pada tahun 2002 terdapat 21,5 juta anak menyerupai ini (pada 13,4 juta orangtua tunggal). Tiap 5 dari 6 orang renta tunggal ini yakni wanita. Anak yang dibesarkan dari orangtua tunggal terbukti cenderung lebih gampang terjebak dalam kriminalitas, kehamilan di usia belasan tahun atau kecanduan narkoba. Fenomena ini bukan monopoli AS, namun juga sanggup diamati di hampir semua negara Barat yang dikalim berperadaban maju tersebut.

4. Ancaman Militer Terhadap Negara Lain
AS yakni negeri yang bantu-membantu mempunyai sumberdaya energi melimpah. PLTA-PLTA terbesar di dunia ada di sana. Demikian juga dengan pembangkit tenaga nuklir. Ada 104 PLTN di seluruh AS dengan kapasitas total 99,2 GigaWatt. (Bandingkan dengan kapasitas seluruh pembangkit listrik PLN di Indonesia yang total hanya: 13,7 GigaWatt!). Selain itu para fisikawan juga sedang sibuk melaksanakan riset nuklir fusi yang diharapkan sanggup menghasilkan energi murah dan higienis dari hidrogen berat yang melimpah di air laut.
Jika demikian, kita pantas bertanya, mengapa mereka perlu menyerbu Irak, juga Afganistan?
ecara resmi mereka ingin memburu senjata pemusnah massal dan menggulingkan rezim diktator. Namun, kedua alasan ini tampak terperinci kebohongannya, lantaran Badan Atom PBB sudah terperinci menyatakan tidak ada pengembangan senjatan nuklir di Irak, bahkan hingga kini hal itu tidak terbukti. Senjata nuklir justru malah terperinci ada di Israel dan tidak diusik.
Sementara itu, rezim diktator juga ada di banyak negara lain. Karena itu, orang menerka berpengaruh bahwa alasan sesungguhnya yakni bisnis minyak dan senjata dari para penyelenggara negara itu.
Jadi, meski AS mempunyai kapasitas energi nuklir yang sangat besar, kepentingan yang besar dari segelintir elit atas bisnis minyaknya telah mengalahkan segalanya. Benarlah kata-kata bijak, “Dunia amat cukup untuk memberi makan semua manusia, namun tidak akan pernah cukup untuk memenuhi kerakusan mereka.”

5. Krisis Ekonomi.
Krisis ekonomi yang kini melanda hampir seluruh benua Eropa dan Amerika, juga Asia termasuk Indonesia, sesungguhnya hanyalah repetisi (pengulangan) belaka dari krisis-krisis sebelumnya yang ‘diproduksi’ oleh sistem ekonomi Kapitalisme sebagai salah satu pilar peradaban Barat ketika ini. Tahun 1992, Prof. Figgie, penasihat Bill Clinton (saat itu masih calon presiden) mempublikasikan bukunya yang menghebohkan: The Coming Collapse of America and How to Stop It.
Dalam buku itu Figgie menggambarkan bahwa defisit AS yang mulai terjadi semenjak Perang Vietnam akan menjadi sangat berbahaya akhir bunga berbunga. Jika pada tahun 1992, defisit AS mengakibatkan “gunung hutang” sebesar empat triliun dolar, maka tahun 2000 diproyeksikan menjadi 13 triliun dolar.
Defisit yang luar biasa ini suatu ketika akan membawa konsekuensi meningkatnya inflasi, kenaikan pajak, kenaikan suku bunga, kredit susah, pertumbuhan ekonomi turun, standar hidup turun, ekonomi dalam negeri di luar kontrol dan karenanya status adikuasa dunia AS akan hilang.

Pada masa Bill Clinton, kepanikan atas situasi ini menciptakan pernah beberapa forum federal menyerupai museum dan kebun hewan ditutup untuk sementara lantaran pegawainya tidak bisa digaji. Memang, peristiwa menyerupai yang dikhawatirkan Figgie hingga awal 2006 belum terjadi lantaran “kecerdasan” para ekonomnya yang menjadwal ulang semua hutang-hutang negara itu ke tahun-tahun ketika Clinton sudah tidak lagi menjabat.
Namun, ada spekulasi bahwa George W. Bush melaksanakan perang global terhadap terorisme lantaran ingin mengalihkan perhatian rakyat AS atas krisis ekonomi dalam negeri itu, sekaligus menambah cadangan ekonominya sendiri. Kenyataannya, sehabis Bush lengser dan digantikan Obama, ketika ini krisis ekonomi AS tiba-tiba terkuak, yang diawali oleh macetnya dalam jumlah besar kredit di sektor properti.
Krisis AS yang kemudian terus meluas dan berdampak luar biasa ini hingga hari ini diprediksi masih terus berlangsung dan belum ada tanda-tanda ke arah pemulihan. Akibatnya, di negara adikuasa AS sendiri, juga di sejumlah besar negara-negara Eropa, angka pengangguran makin meningkat. Entah, kapan krisis ini akan berakhir. Yang pasti, banyak kalangan menilai, inilah babak selesai dari Kapitalisme Barat. Ini berarti, peradaban Barat dengan Kapitalisme sebagai penopang utamanya sesungguhnya sedang di ambang kematiannya.
Kembalinya Peradaban Islam: Pasti!
Di tengah hegemoni peradaban Barat yang tampak mulai jompo ini, bahkan sedang menuju titik balik ke arah kehancurannya, bagaimana dengan masa depan peradaban Islam? Adakah peradaban Islam mempunyai peluang untuk kembali tampil ke permukaan? Mampukah peradaban Islam menjadi tantangan gres bagi hegemoni peradaban Barat ketika ini?

Jawaban: pasti! Tentu tanggapan ini bukan sekadar sebuah apologia. Pasalnya, sumber ide bahkan belakang layar hidup peradaban Islam yakni al-Quran yang diturunkan empat belas kurun lalu, yang keberadaannya akan terpelihara hingga Hari Kiamat. Artinya, selama al-Quran ada, potensi kebangkitan kembali peradaban Islam juga tetap ada. Sebab, sekali lagi, al-Quranlah sumber ide sekaligus belakang layar hidup peradaban Islam, baik pada masa kemudian maupun pada masa depan. Kenyataan ini diakui pula oleh sejumlah cendekiawan Barat berikut ini:
Hendaklah diingat, al-Quran memegang peranan yang lebih besar bagi kaum Muslim daripada Alkitab dalam agama Kristen. Ia bukan saja kitab suci dari kepercayaan mereka, tetapi juga merupakan text-book dari upacara agamanya dan prinsip-prinsip aturan kemasyarakatan…Demikianlah, sehabis melintasi masa selama 13 kurun al-Quran tetap merupakan kitab suci bagi seluruh Turki, Iran, dan hampir seperempat penduduk India. Sungguh, sebuah kitab menyerupai ini patut dibaca secara meluas di Barat, terutama di masa kini… (E. Denisen Ross, menyerupai dikutip dalam buku Kekaguman Dunia Terhadap Islam).

Prof. G. Margoliouth dalam De Karacht van den Islam juga menulis:

Penyelidikan telah menunjukkan, bahwa yang diketahui oleh sarjana-sarjana Eropa wacana falsafah, astronomi, ilmu pasti, dan ilmu pengetahuan semacam itu, selama beberapa kurun sebelum Renaissance, secara garis besar tiba dari buku-buku Latin yang berasal dari bahasa Arab dan al-Quranlah yang—walaupun tidak secara langsung— memperlihatkan dorongan pertama untuk studi-studi itu di antara orang-orang Arab dan kawan-kawan mereka. Itu sebabnya, W.E. Hocking berkomentar:
Oleh lantaran itu, saya merasa benar dalam penegasan saya, bahwa al-Quran mengandung banyak prinsip yang dibutuhkan untuk pertumbuhannya sendiri. Sesunguhnya sanggup dikatakan bahwa hingga pertengahan kurun ke tigabelas, Islamlah pembawa segala apa yang tumbuh yang sanggup dibanggakan oleh dunia Barat (The Spirit of World Politics, 1932, hlm. 461).

Persoalannya tinggal berpulang pada kaum Muslim ketika ini sebagai pewaris hakiki peradaban Islam yang gemilang: Maukah mereka kembali pada al-Quran? Berminatkah mereka kembali menjadikan al-Quran sebagai rujukan hidup? Terpanggilkah mereka untuk menjadikan kembali al-Quran sebagai sumber ide sekaligus belakang layar hidup peradaban Islam masa depan?
Pertanyaan di atas sepertinya mulai terjawab dengan munculnya antusiasme kaum Muslim di seluruh dunia untuk kembali pada al-Quran dan Islam. Di seluruh dunia, termasuk di Indonesia, kerinduan kaum Muslim terhadap akidah, syariah, juga Khilafah—sebagai tiga pilar peradaban Islam—mulia menggeliat semenjak beberapa tahun lalu.

Karena itu, pada ketika peradaban Barat ketika ini hampir-hampir tersungkur, masa depan peradaban Islam sesungguhnya amatlah cerah. Sebentar lagi, kebangkitan kembali peradaban Islam bukan lagi sekadar mimpi, tetapi niscaya akan mewujud dalam kenyataan
Sumber http://mawasangka-bagea.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Kejayaan Islam Di Periode Lalu"

Posting Komentar