√ Smart City Vs Smart Village

Sebuah kota bisa disebut sebagai kota pandai atau smart city jika sudah mengintegrasikan teknologi gosip dan komunikasi hingga level tertentu dalam proses tata kelola dan operasional sehari-hari. Integrasi teknologi tersebut dimaksudkan untuk meningkatkan efisiensi, membagikan gosip kepada publik, hingga memperbaiki pelayanan kepada masyarakat ataupun meningkatkan kesejahteraan warga.


Di Indonesia, beberapa kota besar sudah mulai mengadopsi konsep smart city. Sebut saja Jakarta yang mempunyai jadwal Jakarta Smart City semenjak 2014 lalu. Surabaya juga terus menerapkan penemuan guna menjadi smart city, contohnya dengan menerapkan sistem tilang online bagi pengemudi kendaraan bermotor yang melaksanakan pelanggaran kemudian lintas.


Selain dari pihak pemerintah, pihak swasta juga ikut berpartisipasi membantu mewujudkan konsep smart city di Indonesia. Saat ini ada Matakota yang membantu masyarakat ataupun pemerintah memasukkan bermacam-macam gosip menyerupai kemacetan lalu-lintas, peristiwa alam, tindak kriminal, maupun gosip anak hilang. Ada juga Qlue yang memungkinkan masyarakat di aneka macam kota memberikan keluhan terkait kondisi akomodasi umum.


 



Peran internet of things (IoT) dalam mewujudkan konsep smart city sangatlah vital. Perangkat IoT mampu mengirim gosip dan melaksanakan tindak lanjut melalui jaringan dengan campur tangan insan yang minimal, sehingga bisa melaksanakan bermacam-macam fungsi secara otomatis.


Menurut Solution Architect Ericsson Indonesia, Hilman Halim, untuk operasional perangkat IoT hanya memerlukan tiga elemen utama, yakni:



  1. Perangkat fisik,

  2. Jaringan internet, dan

  3. Aplikasi.


Jika tiga elemen ini sudah terpenuhi, maka sejumlah perangkat bisa dikustomisasi sesuai kebutuhan pengguna.


Implementasi IoT dalam mewujudkan smart city bisa beraneka ragam, dibatasi hanya oleh imajinasi dan kemampuan dari para pengembangnya. Hilman menyebutkan lima teladan penerapan IoT yang lazim ditemui dalam konsep smart city akhir-akhir ini:



  • Smart lighting. Tak hanya bisa diterapkan pada lampu penerangan jalan, namun juga untuk lampu kemudian lintas. “Dengan smart lighting, bisa dipantau mana lampu yang sedang rusak. Bisa juga dimatikan atau dinyalakan dari jarak jauh,” terperinci Hilman ketika ditemui di jadwal Selular Congress 2018.

  • Smart parking. Solusi ini bisa dipakai warga untuk mempermudah mencari tempat parkir. Pengguna bisa memesan lebih dulu tempat parkir sebelum tiba di lokasi. Di Indonesia, ada beberapa startup yang menyediakan solusi menyerupai ini menyerupai Smark Parking dan Parkiran.

  • Waste management. Volume sampah di suatu tempat penampungan bisa dipantau dari jarak jauh. Petugas kebersihan tak perlu mendatangi satu per satu tempat sampah untuk memeriksanya.

  • Connected manhole. Solusi ini mempunyai kegunaan untuk memantau temperatur gorong-gorong yang berada di bawah tanah. Karena gorong-gorong tersebut tak hanya berfungsi sebagai saluran air, namun juga untuk menyimpan kabel hingga tempat jalur pipa gas.

  • Smart electricity. Penyedia layanan listrik bisa mengetahui eksklusif data pemakaian listrik pengguna tanpa harus mengirim petugas untuk menyidik di tempat.


 



Meski ada banyak pihak yang berusaha mewujudkan smart city, bukan berarti tak ada tantangan untuk mewujudkan konsep tersebut di Indonesia. Salah satu tantangan tersebut adalah harga perangkat yang tinggi dan terbilang sulit diperoleh.


Selain itu, belum semua daerah di Indonesia mempunyai infrastruktur yang memadai untuk menunjang pemanfaatan IoT. Menurut Fanky Christian dari DPP Asosiasi Sistem Integrator dan Sekuriti Indonesia (Asisindo), pemerintah daerah setempat perlu menyediakan infrastruktur teknologi gosip sebagai langkah awal mewujudkan smart city. Setelah infrastruktur memadai, setiap daerah bisa membuat semacam data center atau command center.


Tantangan lain yang harus dihadapi yaitu mempersiapkan masyarakat untuk mendapatkan perubahan ke arah digitalisasi. Hal ini pernah disampaikan oleh perwakilan pemkot Tangerang Selatan, yang memberikan pesan bahwa tujuan pengembangan smart city adalah memudahkan pelayanan pada masyarakat.


Karena itu, ketika pihak pemerintah sudah menghadirkan layanan berbasis teknologi informasi, masyarakat pun harus sudah siap memanfaatkannya biar pelayanan yang diberikan bisa maksimal.


Kementerian Komunikasi dan Informatika (Kemkominfo) pun memberikan komitmen mereka untuk mendukung pengembangan smart city di Indonesia. Pemerintah sentra bahkan pernah mencanangkan jadwal 100 Smart City yang merupakan jadwal bersama Kementerian Komunikasi dan Informatika, Kementerian Dalam Negeri, Kementerian PUPR, Bappenas dan Kantor Staf Kepresidenan.


Menteri Komunikasi dan Informatika (Menkominfo) menyebutkan bahwa di Indonesia terdapat 514 kabupaten/kota. Dengan jumlah sebanyak itu, maka pengembangan smart city di daerah harus mempertimbangkan penganggaran secara matang apakah bisa bertahan memenuhi kebutuhan anggaran dalam membangun smart city.


Adapun jadwal Menuju 100 Smart City menyasar pemerintah daerah yang telah menyiapkan aneka macam infrastruktur teknologi informasi, sumber daya insan (SDM), serta regulasi yang mengatur kebijakan tersebut. Beberapa teladan pemerintah daerah yang menjadi penerima jadwal ini antara lain Kabupaten Sukoharjo, Boyolali, dan Kota Solo.


 



Sebuah kota bisa disebut sebagai kota pandai atau smart city jika sudah mengintegrasikan t √ Smart City VS Smart Village


 



Sebuah kota bisa disebut sebagai kota pandai atau smart city jika sudah mengintegrasikan t √ Smart City VS Smart Village


 



Pasangan Presiden dan Wapres Republik Indonesia, Joko Widodo dan Jusuf Kalla, dalam pemerintahannya merancang sembilan jadwal prioritas yang disebut dengan Nawacita. Nawacita dibentuk untuk melaksanankan perubahan menuju Indonesia yang berdaulat secara politik, serta sanggup berdiri diatas kaki sendiri dalam bidang ekonomi dan berkepribadian dalam kebudayaan. Salah satu cara yang dipakai untuk mewujudkan keinginan tersebut yaitu dengan melaksanakan pembangunan di aneka macam aspek di seluruh wilayah Indonesia baik di perkotaan maupun pedesaan.


Tahun 2015, jumlah penduduk Indonesia yang tinggal di perkotaan diperkirakan telah mencapai 54 persen. Jika ketika ini penduduk Indonesia sudah lebih dari 240 juta, artinya paling sedikit ada 129,6 juta orang yang memadati perkotaan. Angka ini melambung tinggi dibandingkan hasil sensus penduduk 2010. Berdasarkan data Sensus Penduduk 2010, jumlah penduduk pedesaan mencapai 119.321.070 jiwa (50,21%) dan penduduk perkotaan mencapai 118.320.256 jiwa (49,79%). Ini berarti banyak penduduk tertarik tinggal di kota atau lantaran banyak desa sudah bermetamorfosis kota (perubahan status desa secara administratif). Hal ini disebabkan lantaran kota memperlihatkan peluang lapangan kerja yang lebih banyak dan lebih menjanjikan dari sisi pendapatannya dibandingkan dengan desa, sehingga makin banyak orang berpindah ke kota. Oleh lantaran itu, motif ekonomi cenderung mendominanasi peristiwa perpindahan penduduk dari desa ke kota.


Banyaknya masyarakat yang lebih mayoritas tinggal di perkotaan, memicu pemerintah untuk membangun wilayah pedesaan biar masyarakat tertarik untuk tinggal di desa dan memanfaatkan potensi yang dimiliki desa. Hal tersebut dituangkan pemerintah melalui Nawacita ke-3 yang berbunyi membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan. Untuk mewujudkan hal tersebut, mulai tahun 2015 pemerintah secara sedikit demi sedikit menjalankan amanat yang tertera pada undang-undang nomor 6 tahun 2014 wacana desa yang di dalamnya terdapat kewajiban pemerintah memperlihatkan Dana Desa. Adapun pengalokasian dana desa lebih difokuskan pada pengentasan kemiskinan dan mengatasi ketimpangan antar desa. Dana desa yang dialokasikan pemerintah dipakai untuk membangun daerah perdesaan dengan tujuan mewujudkan kemandirian masyarakat serta membuat desa-desa sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan berkelanjutan.


Terwujudnya desa sanggup berdiri diatas kaki sendiri yang berkelanjutan sanggup menimbulkan desa lebih menarik untuk ditempati, dikunjungi maupun untuk dijadikan sasaran investasi. Oleh alasannya yaitu itu, maka perlu dilakukan upaya untuk merubah pandangan bahwa kota lebih maju, lebih canggih, atau lebih sejahtera bila dibandingkan dengan desa. Anggapan tersebut perlu dibalik dengan langkah-langkah inovatif yang salah satunya dilakukan dengan membuat smart village atau desa cerdas. Smart village merupakan rangkaian dari Program Universal Service Obligation (USO) yang dimaksudkan sebagai sarana memperkenalkan bidang information and communication technology (ICT) pada masyarakat, terutama untuk meningkatkan produktivitas dan perekonomian di daerah. Sementara itu, Smart City and Community Innovation Centre (SCCIC) memformulasikan smart village sebagai sebuah ekosistem yang memungkinkan pemerintah, industri, akademisi maupun elemen masyarakat terlibat untuk menimbulkan desa menjadi lebih baik.


Dalam konsep desa cerdas, tingkat keberhasilan jadwal diukur dengan melihat kinerja pengelolaan sumber daya sehingga menjadi lebih efisien, berkelanjutan dan melibatkan bermacam-macam elemen masyarakat. Konsep Smart Village dibutuhkan biar desa-desa bisa mengetahui permasalahan yang ada di dalamnya (sensing), memahami kondisi permasalahan desa (understanding), dan sanggup mengatur (controlling) aneka macam sumber daya yang ada untuk dipakai secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya. Selain itu, biar jadwal smart village mencapai keberhasilan, diharapkan elemen pendukung yang mencakup 5 (lima) teknologi pintar, yaitu:



  1. sensor pintar,

  2. komunikasi dari satu mesin ke mesin lain,

  3. komputasi awan,

  4. media sosial, dan

  5. teknologi Geographical Information System (GIS).


Namun demikian, dalam implementasinya, ditemukan aneka macam hambatan untuk mewujudkan smart village. Diperlukan upaya yang lebih untuk pengembangan desa mengingat kondisi lokal, ketersediaan infrastruktur yang ada, serta ketersediaan sumber daya yang ada. Di samping itu, juga diharapkan jadwal bersiklus serta keterlibatan lintas sektor sebagai kerja bersama untuk mewujudkan smart village. Membangun smart village atau desa cerdas tidak semata-mata terbatas pada kecanggihan ICT (Information Communication and Technology) saja, tetapi yang lebih utama dan perlu ditekankan yaitu bagaimana konsep smart village ini bisa mengubah kapasitas masyarakat dan cara mereka berinteraksi. Oleh alasannya yaitu itu, diharapkan upaya untuk membuat kesadaran di antara warga desa wacana pentingnya penemuan dalam perjuangan dengan memanfaatkan pengetahuan serta kompetensi penduduk desa melalui pendidikan dan pengembangan keterampilan yang dimiliki.


 



Desa memegang peranan penting dalam pembangunan nasional. Bukan hanya dikarenakan sebagian besar rakyat Indonesia bertempat tinggal di desa, tetapi desa memperlihatkan sumbangan besar dalam membuat stabilitas nasional. Pembangunan desa yaitu merupakan cuilan dari rangkaian pembangunan nasional. Berbagai bentuk dan jadwal untuk mendorong percepatan pembangunan daerah perdesaan telah dilakukan oleh pemerintah, namun hasilnya masih belum signifikan dalam meningkatkan kualitas hidup dan kesejahteraan masyarakat. Menurut Badan Pusat Statistik (BPS), mayoritas penduduk miskin di Indonesia mendiami daerah perdesaan. Rendahnya kesejahteraan masyarakat di daerah perdesaan disebabkan antara lain oleh penyebaran sumber daya ekonomi yang tidak merata antara desa dan kota.


Desa-desa di Indonesia mempunyai ciri khas unik tersendiri serta permasalahan yang berbeda. Persoalan ekonomi masih menjadi hambatan bagi tercapainya Smart Village. Menurut Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi (2015), meskipun pembangunan ekonomi khususnya sektor produksi telah diintervensi melalui pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, namun secara kelembagaan, reformasi perdesaan masih mengalami hambatan di kelompok tani menyerupai Koperasi Unit Desa (KUD) atau Badan Usaha Unit Desa (BUUD).


Untuk mengatasi permasalahan ini, pembangunan desa harus dilakukan dengan cerdas (smart), yaitu biar penyelesaian dilema sanggup dilakukan lebih cepat dibandingkan pertumbuhan dilema itu sendiri. Solusi cerdas yang dimaksud yaitu dengan menerapkan desa cerdas (smart village), yaitu sebuah ekosistem yang memungkinkan pemerintah, industri, akademisi maupun elemen masyarakat terlibat untuk menimbulkan desa menjadi lebih baik. Dalam konsep desa cerdas, konsep menjadi lebih baik diukur dengan melihat kinerja pengelolaan sumber daya sehingga menjadi lebih efisien, berkelanjutan dan melibatkan bermacam-macam elemen masyarakat. Konsep Smart Village dibutuhkan biar desa-desa tersebut bisa mengetahui permasalahan yang ada di dalamnya (sensing), memahami kondisi permasalahan tersebut (understanding), dan sanggup mengatur (controlling) aneka macam sumber daya yang ada untuk dipakai secara efektif dan efisien dengan tujuan untuk memaksimalkan pelayanan kepada warganya.


Dengan diberlakukannya Undang-undang nomor 6 tahun 2014 wacana Desa maka menjadi peluang yang sangat besar bagi setiap desa yang ada di Indonesia untuk bisa membuatkan setiap potensi yang dimilikinya secara sanggup berdiri diatas kaki sendiri sesuai kebutuhan masing-masing dalam rangka mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Potensi desa yaitu daya, kekuatan, kesanggupan dan kemampuan yang dimiliki oleh suatu desa yang mempunyai kemungkinan untuk sanggup dikembangkan dalam rangka meningkatkan kesejahteraan masyarakat.


Untuk membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah-daerah dan desa dalam kerangka negara kesatuan, pemerintah Indonesia melalui Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal dan Transmigrasi menerapkan taktik membangun desa dalam kerangka optimalisasi melalui:



  1. perubahan paradigma pihak yang berkepentingan;

  2. penguatan basis komunitas;

  3. proteksi komunitas;

  4. penguatan sumber daya manusia; dan

  5. penguatan modal sosial.


Dari studi pustaka mengenai pendekatan Smart Village yang ada di dunia dan juga dengan melihat indikator yang dipakai untuk menghitung masyarakat berkelanjutan, terlihat bahwa masing-masing pendekatan mempunyai kekuatannya masing-masing.


Sebagaimana yang terlihat pada penggunaan terminologi Smart Village, India dan Kenya mempunyai definisi yang berbeda. India membangun konsep Smart Village melalui ekosistem sedangkan Kenya, khususnya desa Ikisaya membangun konsep Smart Village dengan fokus pada permasalahan utama di daerah mereka yaitu listrik. Keduanya mempunyai irisan di acara dimana edukasi masyarakat atau reformasi nilai merupakan cuilan dari ekosistem Smart Village sementara di Kenya, edukasi ini diharapkan untuk mendukung keberlanjutan energi terbarukan di daerah tersebut. Irisan antara kedua negara yang mengadopsi pendekatan berbeda ini mengimplikasikan bahwa pendekatan ekosistem bisa berjalan selaras dengan pendekatan sektoral.


 



Gagasan mengenai desa cerdas mulai muncul tanggapan dari pergeseran pandangan desa usang menuju desa baru. Desa usang melihat desa sebagai (1) kampung halaman, (2) wilayah manajemen dan organisasi pemerintahan paling kecil, (3) masyarakat tanpa pemerintah dan pemerintahan. Sementara itu pandangan gres mengenai desa melihat bahwa desa laksana negara kecil yang mempunyai wilayah, kekuasaan, pemerintahan, institusi lokal, penduduk, rakyat, warga, masyarakat, tanah, dan sumberdaya ekonomi. Berdasarkan pandangan gres mengenai desa, maka desa berkewajiban memperlihatkan dan meningkatkan pelayanan kepada masyarakat desa. Selanjutnya, untuk mempercepat peningkatan kualitas pelayanan kepada masyarakat desa, maka perlu ditetapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) Desa untuk sanggup mewujudkan kesejahteraan umum sesuai dengan kewenangan desa. Adapun SPM yang harus dimiliki desa antara lain: penyediaan dan penyebaran gosip pelayanan, penyediaan data dan gosip kependudukan dan pertanahan, pemberian surat keterangan, penyederhanaan pelayanan dan pengaduan masyarakat (Permendagri no 2 tahun 2017). SPM yang sudah diterapkan suatu desa selanjutnya sanggup membawa desa menuju konsep desa cerdas/smart village.


Konsep smart village yang diadopsi dari smart city mengedepankan tatanan kota yang sanggup memudahkan masyarakat untuk mendapatkan gosip secara cepat dan tepat. Smart village fokus pada pengintegrasian IoT (Internet of Things), teknologi informasi, digitalisasi yang berkontribusi terhadap perkembangan masyarakat yang modern dan berkelanjutan (Karlsen, 2017). Smart village/desa cerdas dan berkelanjutan bertujuan untuk mencapai kebahagiaan hidup, meningkatkan kualitas hidup, efisiensi, dan daya saing, serta memastikan pemenuhan kebutuhan dalam aspek ekonomi, sosial, dan lingkungan. Selain itu, penerapan konsep desa cerdas juga diharapkan bisa menarik warga, pengusaha, dan pekerja, serta menyediakan ruang yang lebih kondusif dengan layanan yang lebih baik dan lingkungan inovatif yang mendorong solusi kreatif, sehingga membuat lapangan kerja dan mengurangi ketidaksetaraan.


Framework mengenai smart city mulai diperkenalkan oleh Cohen (pengusaha dari University of Colorado) pada tahun 2012. Dalam perkembanganya, kerangka yang dikembangkannya tersebut mulai banyak diadopsi oleh negara-negara di seluruh dunia untuk merencanakan dan mengimplementasikan konsep smart city. Adapun tujuan dari diberlakukannya smart village yaitu peningkatan kualitas hidup dan pelayanan kepada masyarakat dalam aneka macam bidang, mencakup sosial, ekonomi, dan lingkungan. Terdapat enam indikator keberhasilan penerapan smart village sebagai berikut: (1) smart people, yaitu masyarakat pandai terkait kreativitas dan modal sosial; (2) smart economy, yaitu ekonomi pandai berupa penemuan dan persaingan; (3) smart environment, yaitu lingkungan pandai mencakup keberlanjutan dan sumber daya; (4) smart governance, yaitu pemerintahan yang cerdas sebagai biro pengubah, pemberdaya, dan partisipan; (5) smart life, yaitu cerdas hidup berupa kualitas hidup dan kebudayaan; dan (6) smart mobility, yaitu mobilitas pandai dalam hal transportasi dan infrastruktur.


Penerapan konsep smart village di Indonesia pada alhasil sanggup membantu merealisasikan Nawacita ke-3, yaitu “Membangun Indonesia dari pinggiran dengan memperkuat daerah dan desa”. Nawa Cita menjadi landasan arah kebijakan pembangunan. Hal ini sesuai dengan UU Desa nomor 6 tahun 2014 yang menghendaki terwujudnya Indonesia yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian, berlandaskan gotong royong. Dengan demikian maka dalam pengembangan smart village diharapkan sinergi antara catur sakti yang merupakan intisari dari UU Desa dan Tri Sakti Nawa Cita.


Adapun aneka macam macam konsep smart village yang diterapkan di aneka macam desa di Indonesia, diantaranya:



  1. Desa Cerdas Pondok Ranji, Ciputat Timur, Tangerang Selatan. Smart village di Desa Pondok Ranji menjadi tempat berguru bagi warga Tangsel yang ingin mengejar paket A, B, dan C untuk jenjang SD hingga dengan Sekolah Menengan Atas di luar acara berguru di sekolah, tanpa harus mengeluarkan biaya.

  2. Desa Loram Wetan, Kudus. Desa cerdas dan command center di Loram Wetan ini merupakan implementasi dari penandatanganan kerjasama antara Bupati Kudus dengan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesai (LIPI) untuk mewujudkan Kudus sebagai paku buminya pendidikan di Indonesia. Sementara untuk command center merupakan cuilan dari visi untuk mewujudkan Kudus sebagai Smart City, sehingga melalui command center diharapkan masyarakat sanggup mengakses gosip dengan mudah, pelayanan keluhan dan/atau komplain masyarakat sanggup tertangani dengan baik lantaran terkoneksi dengan aplikasi Menara (Menjaga Amanah Rakyat). Selain itu, melalui command center, disediakan juga display Closed Circuit Television (CCTV) yang sanggup memantau seluruh sudut wilayah kota Kudus dan display produk UKM warga untuk memperkenalkan produk orisinil masyarakat Kudus.

  3. Desa di Banyuwangi. Smart village yang dikembangkan di Banyuwangi yaitu “Smart Kampung” dengan kriteria: (1) pelayanan publik berbasis teknologi informasi, (2) pendidikan dengan kursus bahasa abnormal gratis, (3) kampung e-learning, yaitu pembelajaran desa berbasis digital kolaborasi, (4) jadwal Garda Ampuh (Gerakan Angkat Anak Muda Putus Sekolah) dengan menyediakan tabungan ribuan pelajar desa Rp 1 juta per siswa, pinjaman uang saku tiap hari, dan biaya transport yang difokuskan di desa dengan potensi kemiskinan tinggi, (5) integrasi Puskesmas dan desa untuk jemput, rawat warga miskin yang sakit.

  4. Desa Alastengah, Kecamatan Paiton, Kabupaten Probolinggo. Desa Alastengah banyak menghasilkan produk dari hasil kreativitas masyarakat dengan memanfaatkan limbah dan barang-barang bekas, menyerupai wadah pensil dari botol plastik, wadah asbak dari kayu bekas. Adapun konsep smart village yang dipakai oleh desa ini yaitu smart village berbasis android, yaitu penggunaan gosip melalui internet/smartphone untuk memasarkan produk hasil kreativitas masyarakat. Dengan demikian diharapkan calon konsumen sanggup menghubungi penjual secara eksklusif dengan melihat titik lokasi penjual melalui integrasi teknologi Global Positioning System/GPS (Supriadi, A.; M.N. Fadli, K. Malik, 2016).

  5. Desa Cibuntu, Cirebon. Desa Cibuntu berjarak 30 km dari kota Cirebon. Desa ini menghasilkan kapak dan perkakas lain yang terbuat dari batu. Di desa ini sulit mendapatkan sinyal seluler lantaran belum adanya Base Transceiver Station (BTS). Dengan keterbatasan tersebut, maka konsep smart village yang diterapkan di desa ini yaitu pembuatan wajan bolik untuk memperkuat sinyal seluler sehingga internet lebih gampang diakses dan promosi wisata lebih sanggup digencarkan, sehingga sanggup meningkatkan taraf hidup serta pelayanan kepada masyarakat (Hakim, 2017).

  6. Desa Pacing. Di desa Pacing, penerapan smart village nampak pada perancangan dan pembangunan Masjid Desa Pacing yang mengedepankan konsep Eco-architecture sebagai konsep Local Genius Arsitektur Nusantara. Konsep eco-architecture ini diartikan sebagai karya arsitektur yang hijau, sehat, dan erat dengan lingkungan. Konsep ini menekankan adanya ketergantungan secara fisik dari masyarakat pada kondisi lingkungan, mensyaratkan adanya peningkatan tingkat kesehatan sehingga kualitas hidup meningkat dan mendorong terciptanya sustainable development (Permana, 2011).

  7. Desa Geluran Taman, Sidoarjo. Di desa Geluran Taman, Sidoarjo, mengimplementasikan smart village melalui smart education, dimana bahasa Inggris diajarkan secara non formal kepada masyarakat di desa ini, khususnya bagi belum dewasa usia pra sekolah hingga belum dewasa usia SD, sehingga kemampuan masyarakat dala bebahasa Inggris sanggup meningkat.


 



Berdasarkan data yang ada mengenai penerapan smart village di aneka macam desa di Indonesia, maka sanggup disimpulkan bahwa masih terjadi perbedaan konsep smart village  dengan implementasi riil desa cerdas. Adapun konsep smart village yang diharapkan yaitu desa cerdas yang sudah menerapkan Standar Pelayanan Minimal (SPM) yang dipersyaratkan yang sanggup didukung dengan penggunaan teknologi yang mutakhir, sehingga pelayanan kepada masyarakat sanggup dilakukan dengan lebih cepat dan dihasilkan sustainable development. Sedangkan kenyataannnya, desa cerdas yang ada di Indonesia lebih mengutamakan penggunaan teknologi/internet sebagai pendukung untuk penyebaran gosip secara cepat terkait produk yang dihasilkan oleh desa ataupun sasaran dalam kemajuan kehidupan masyarakat di aneka macam bidang, sehingga  tercipta sustainable development di desa terkait.


Melihat kondisi tersebut, maka berikut rekomendasi yang dikemukakan biar sanggup membuat kemandirian desa yang mendukung konsep smart village yang diharapkan:



  1. Penyusunan pedoman mengenai konsep smart village sehingga sanggup diberlakukan sistem yang seragam dan sanggup dijadikan sebagai tumpuan bagi desa-desa lain yang ingin membuatkan konsep smart village di desanya.

  2. Perhatian yang mendalam dan berkelanjutan dari pemerintah desa terkait potensi desa yang sanggup dikembangkan yang pada alhasil bisa meningkatkan pelayanan publik dan mendukung terciptanya sustainable development.

  3. Keterlibatan stakeholder terkait untuk mendukung terciptanya smart village.


Adapun rekomendasi taktik lain yang sanggup dipakai untuk mendukung terciptanya desa cerdas yaitu taktik yang telah diterapkan oleh Kementerian Desa, Pembangunan Daerah Tertinggal, dan Transmigrasi Republik Indonesia dalam membuatkan desa sanggup berdiri diatas kaki sendiri menyerupai di bawah ini:



  1. Membangun kapasitas warga dan organisasi masyarakat sipil di desa yang kritis dan dinamis. Dengan cara ini diharapkan potensi dan sumber daya yang dimiliki desa sanggup digali lebih lanjut lantaran terdapat sinergi yang baik antara penduduk dengan forum desa yang ada. Adapun langkah-langkah yang sanggup ditempuh, diantaranya:

    • Melakukan assesment dan pemetaan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa.

    • Mengorganisasi dan memfasilitasi proses penguatan kapasitas organisasi kemasyarakatan desa melalui penyelenggaraan program/kegiatan yang berorientasi pada peningkatan kapasitas organisasi.

    • Pelibatan organisasi kemasyarakatan desa dalam proses-proses pengambilan kebijakan publik yang diselenggarakan pemerintah desa.



  2. Memperkuat kapasitas pemerintahan dan interaksi dinamis antara organisasi warga dalam penyelenggaraan pemerintahan desa. Dengan cara ini diharapkan terjadi sinergi yang baik antara pemerintah desa, organisasi yang ada di desa, dan warga desa untuk lebih memantapkan konsep smart village yang berkesinambungan.

  3. Membangun sistem perencanaan dan penganggaran desa yang responsif dan partisipatif. Dengan cara ini diharapkan sasaran dari implementasi smart village sanggup terarah dan terukur dengan baik.


Semoga bermanfaat ..


*disarikan dari aneka macam sumber



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Smart City Vs Smart Village"

Posting Komentar