Seiring dengan perkembangan peradaban insan dengan peningkatan kebutuhan insan yang senantiasa menjadikan insan termotivasi secara agressif menjejaki baik sumber-sumber produksi maupun tempat pemasaran hasil karya penemuan setiap insan. Tentunya tiada lain ialah untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Maka terjadilah percampuran antara kebutuhan dan keahlian diantara mereka.Barangkali dengan cara ini sehingga tekstil tradisional ikut berkembang.
Tekstil tradisional Indonesia berkembang dengan kreativitas setempat baik imbas dari suku maupun bangsa lain. Secara geografis, posisi Indonesia terletak pada persimpangan kebudayaan besar, antara dua benua Asia dan Australia, serta dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Gelombang kontak perdagangan yang melewati wilayah negara kepulauan Indonesia memperlihatkan imbas dan mengakibatkan akulturasi (percampuran) budaya yang tampak pada pengembangan karya kerajinan tekstil di Indonesia. Kain-kain tradisional di wilayah kepulauan Indonesia ini pada awalnya merupakan alat tukar/barter yang dibawa oleh pedagang pendatang dengan penduduk orisinil dikala membeli hasil bumi dan rempah-rempah di Indonesia.
Sekitar era ke-15 Masehi, pedagang muslim Arab dan India melaksanakan kontak dagang dengan mendatangi pulau Jawa dan Sumatra. Pengaruh Islam secara eksklusif sanggup dilihat pada tekstil Indonesia. Beberapa batik yang dibentuk di Jambi dan Palembang di Sumatra, serta di Utara Jawa, dibentuk dengan memakai ayat-ayat yang berasal dari bahasa Arab Al Qur’an.
Di Indonesia juga terdapat kain sarung kotak-kotak dan polos yang banyak dipakai di Semenanjung Arab, Timur Laut Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasik. Pada era ke-13 pedagang Gujarat memperkenalkan Patola, yaitu kain dengan teknik tenun ikat ganda dari benang sutra yang merupakan busana Gujarat, Barat Laut India. Proses pembuatan kain Patola sangat rumit sehingga di India kain ini dipakai dalam banyak sekali upacara yang berafiliasi dengan kehidupan manusia, ibarat kelahiran, perkawinan dan maut juga sebagai penolak bala. (Buku Batik Motif Jawa, Yoshimoto)
Tekstil tradisional Indonesia berkembang dengan kreativitas setempat baik imbas dari suku maupun bangsa lain. Secara geogras, posisi Indonesia terletak pada persimpangan kebudayaan besar, antara dua benua Asia dan Australia, serta dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sumber: ‘Kain ‘ penerbit Dian Rakyat
Melalui perdagangan dengan bangsa Gujarat, keberadaan kain Patola terse-bar luas di kepulauan Nusantara. Kain Patola umumnya hanya dimiliki oleh kalangan terbatas. Penduduk setempat yang telah mempunyai keterampilan menenun pun mencoba mereproduksi kain yang sangat berharga tersebut dengan tenun ikat pakan. Di Maluku, kain ini sangat dihargai dan dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang atau leher. Para penenun di Nusa Tenggara Timur menyebarkan corak kain tenun yang dipengaruhi oleh corak yang terdapat pada kain Patola, dengan corak yang berbeda untuk raja, pejabat, dan kepala adat dalam jumlah yang sangat terbatas dan hanya dikenakan pada upacara–upacara adat. Kain Patola dari Lio NTT ini ada yang dibentuk sepanjang 4 meter yang disebut katipa berfungsi sebagai epilog jenazah. Sumber: ‘Kain ‘ penerbit Dian Rakyat
Motif Patola juga dikembangkan menjadi kain Cinde di tempat Jawa Tengah. Kain Cinde tidak dibentuk dengan teknik tenun ikat ganda, tetapi dibentuk dengan teknik direct print, cap atau sablon. Kain ini dipakai sebagai celana dan kain panjang untuk upacara adat, ikat pinggang untuk pernikahan, serta kemben dan selendang untuk menari. Kain serupa terdapat pula di Palembang, disebut kain Sembagi. Sembagi yang berwarna jelas dipakai pada upacara mandi pengantin dan hiasan dinding pada upacara adat. Kain Sembagi yang berwarna gelap dipakai untuk epilog jenazah.
Motif Patola memengaruhi motif batik Jlamprang yang berwarna cerah yang berkembang di Pekalongan, dan motif Nitik yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta yang berwarna sogan (kecokelatan), indigo (biru), kuning dan putih. Corak Patola juga berkembang di Pontianak, Gorontalo, dan kain tenun Bentenan di Menado. Sumber: Traditional Indonesia Textiles by John Gillow
Kain dengan teknik tenun ikat ganda dibentuk di Desa Tenganan Pegeringsingan di Bali. Kain sakral tersebut dikenal dengan nama kain Gringsing yang artinya bersinar. Teknik tenun ikat ganda hanya dibentuk di tiga tempat di dunia, yaitu di Desa Tenganan Bali, Indonesia (kain Gringsing), di Kepulauan Okinawa, Jepang (tate-yoko gasuri) dan Gujarat India (kain Patola). Teknik tenun ikat ganda ialah tenun yang kedua arah benangnya, baik benang pada lungsin maupun pakan diwarnai dengan teknik rintang warna untuk membentuk motif tertentu. Sumber: ‘Kain ‘ penerbit Dian Rakyat
Kreativitas bangsa Indonesia bisa menyebarkan satu jenis kain tenun Patola Gujarat menjadi bermacam-macam tekstil yang sangat indah di seluruh tempat di Indonesia. Contoh perkembangan kain Patola ini hanya salah satu dari bukti kreativitas tinggi yang dimiliki oleh bangsa kita. Pada tekstil tradisional, selain untuk memenuhi kebutuhan sandang, juga mempunyai makna simbolis di balik fungsi utamanya.
beberapa kain tradisional Indonesia dibentuk untuk memenuhi cita-cita penggunanya untuk memperlihatkan status sosial maupun kedudukannya dalam masyarakat melalui simbol- simbol bentuk ragam hias dan pemilihan warna. Selain itu ada pula kain tradisional Indonesia yang dikerjakan dengan melantunkan doa dan menghiasinya dengan potongan kata maupun kalimat doa sebagai ragam hiasnya. Tujuannya, biar yang mengenakan kain tersebut diberi kesehatan, keselamatan, dan dilindungi dari marabahaya. Nilai Simbolik Status sosial, ekonomi, pendidikan, profesi, dll.
Kain tradisional Indonesia dibentuk dengan ketekunan, kecermatan yang teliti dalam menyusun ragam hias, corak warna maupun maknanya. Akibatnya, kain Indonesia yang dihasilkan mengundang kekaguman dunia internasional alasannya ialah kandungan nilai estetikanya yang tinggi.Dengan demikian maka dapatlah dipastikan bahwa texstil tradisional indonesia berkembang melalui ercampuran budaya setempat dan dari luar.
Tekstil tradisional Indonesia berkembang dengan kreativitas setempat baik imbas dari suku maupun bangsa lain. Secara geografis, posisi Indonesia terletak pada persimpangan kebudayaan besar, antara dua benua Asia dan Australia, serta dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik.
Gelombang kontak perdagangan yang melewati wilayah negara kepulauan Indonesia memperlihatkan imbas dan mengakibatkan akulturasi (percampuran) budaya yang tampak pada pengembangan karya kerajinan tekstil di Indonesia. Kain-kain tradisional di wilayah kepulauan Indonesia ini pada awalnya merupakan alat tukar/barter yang dibawa oleh pedagang pendatang dengan penduduk orisinil dikala membeli hasil bumi dan rempah-rempah di Indonesia.
Sekitar era ke-15 Masehi, pedagang muslim Arab dan India melaksanakan kontak dagang dengan mendatangi pulau Jawa dan Sumatra. Pengaruh Islam secara eksklusif sanggup dilihat pada tekstil Indonesia. Beberapa batik yang dibentuk di Jambi dan Palembang di Sumatra, serta di Utara Jawa, dibentuk dengan memakai ayat-ayat yang berasal dari bahasa Arab Al Qur’an.
Di Indonesia juga terdapat kain sarung kotak-kotak dan polos yang banyak dipakai di Semenanjung Arab, Timur Laut Afrika, Asia Selatan, Asia Tenggara, dan Kepulauan Pasik. Pada era ke-13 pedagang Gujarat memperkenalkan Patola, yaitu kain dengan teknik tenun ikat ganda dari benang sutra yang merupakan busana Gujarat, Barat Laut India. Proses pembuatan kain Patola sangat rumit sehingga di India kain ini dipakai dalam banyak sekali upacara yang berafiliasi dengan kehidupan manusia, ibarat kelahiran, perkawinan dan maut juga sebagai penolak bala. (Buku Batik Motif Jawa, Yoshimoto)
Tekstil tradisional Indonesia berkembang dengan kreativitas setempat baik imbas dari suku maupun bangsa lain. Secara geogras, posisi Indonesia terletak pada persimpangan kebudayaan besar, antara dua benua Asia dan Australia, serta dua samudra, yaitu Samudra Hindia dan Samudra Pasifik. Sumber: ‘Kain ‘ penerbit Dian Rakyat
Melalui perdagangan dengan bangsa Gujarat, keberadaan kain Patola terse-bar luas di kepulauan Nusantara. Kain Patola umumnya hanya dimiliki oleh kalangan terbatas. Penduduk setempat yang telah mempunyai keterampilan menenun pun mencoba mereproduksi kain yang sangat berharga tersebut dengan tenun ikat pakan. Di Maluku, kain ini sangat dihargai dan dikenakan dengan cara dililitkan di pinggang atau leher. Para penenun di Nusa Tenggara Timur menyebarkan corak kain tenun yang dipengaruhi oleh corak yang terdapat pada kain Patola, dengan corak yang berbeda untuk raja, pejabat, dan kepala adat dalam jumlah yang sangat terbatas dan hanya dikenakan pada upacara–upacara adat. Kain Patola dari Lio NTT ini ada yang dibentuk sepanjang 4 meter yang disebut katipa berfungsi sebagai epilog jenazah. Sumber: ‘Kain ‘ penerbit Dian Rakyat
Motif Patola juga dikembangkan menjadi kain Cinde di tempat Jawa Tengah. Kain Cinde tidak dibentuk dengan teknik tenun ikat ganda, tetapi dibentuk dengan teknik direct print, cap atau sablon. Kain ini dipakai sebagai celana dan kain panjang untuk upacara adat, ikat pinggang untuk pernikahan, serta kemben dan selendang untuk menari. Kain serupa terdapat pula di Palembang, disebut kain Sembagi. Sembagi yang berwarna jelas dipakai pada upacara mandi pengantin dan hiasan dinding pada upacara adat. Kain Sembagi yang berwarna gelap dipakai untuk epilog jenazah.
Motif Patola memengaruhi motif batik Jlamprang yang berwarna cerah yang berkembang di Pekalongan, dan motif Nitik yang berkembang di Yogyakarta dan Surakarta yang berwarna sogan (kecokelatan), indigo (biru), kuning dan putih. Corak Patola juga berkembang di Pontianak, Gorontalo, dan kain tenun Bentenan di Menado. Sumber: Traditional Indonesia Textiles by John Gillow
Kain dengan teknik tenun ikat ganda dibentuk di Desa Tenganan Pegeringsingan di Bali. Kain sakral tersebut dikenal dengan nama kain Gringsing yang artinya bersinar. Teknik tenun ikat ganda hanya dibentuk di tiga tempat di dunia, yaitu di Desa Tenganan Bali, Indonesia (kain Gringsing), di Kepulauan Okinawa, Jepang (tate-yoko gasuri) dan Gujarat India (kain Patola). Teknik tenun ikat ganda ialah tenun yang kedua arah benangnya, baik benang pada lungsin maupun pakan diwarnai dengan teknik rintang warna untuk membentuk motif tertentu. Sumber: ‘Kain ‘ penerbit Dian Rakyat
Kreativitas bangsa Indonesia bisa menyebarkan satu jenis kain tenun Patola Gujarat menjadi bermacam-macam tekstil yang sangat indah di seluruh tempat di Indonesia. Contoh perkembangan kain Patola ini hanya salah satu dari bukti kreativitas tinggi yang dimiliki oleh bangsa kita. Pada tekstil tradisional, selain untuk memenuhi kebutuhan sandang, juga mempunyai makna simbolis di balik fungsi utamanya.
beberapa kain tradisional Indonesia dibentuk untuk memenuhi cita-cita penggunanya untuk memperlihatkan status sosial maupun kedudukannya dalam masyarakat melalui simbol- simbol bentuk ragam hias dan pemilihan warna. Selain itu ada pula kain tradisional Indonesia yang dikerjakan dengan melantunkan doa dan menghiasinya dengan potongan kata maupun kalimat doa sebagai ragam hiasnya. Tujuannya, biar yang mengenakan kain tersebut diberi kesehatan, keselamatan, dan dilindungi dari marabahaya. Nilai Simbolik Status sosial, ekonomi, pendidikan, profesi, dll.
Kain tradisional Indonesia dibentuk dengan ketekunan, kecermatan yang teliti dalam menyusun ragam hias, corak warna maupun maknanya. Akibatnya, kain Indonesia yang dihasilkan mengundang kekaguman dunia internasional alasannya ialah kandungan nilai estetikanya yang tinggi.Dengan demikian maka dapatlah dipastikan bahwa texstil tradisional indonesia berkembang melalui ercampuran budaya setempat dan dari luar.
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Sejarah Perkembangan Tekstil Tradisional Indonesia"
Posting Komentar