Smart Parents, berbicara mengenai pilihan pendidikan terbaik untuk anak, memang tidak akan pernah selesai. Selalu saja ada penemuan serta adopsi sistem terbaru sebagai bentuk perbaikan kurikulum pendidikan atau alternatif belajar. Termasuk yang baru-baru ini mulai dikenal di Indonesia, berjulukan pendidikan Waldorf yang diambil dari intisari pemikiran filsuf pendidikan asal Austria bernama, Rudolf Steiner. Kini, sekolah Waldorf mulai dipercaya menjadi opsi pembelajaran gres bagi anak. Bagaimana pola pengajarannya di sekolah? Simak dongeng lengkap hasil wawancara Ruangguru dengan salah satu praktisi pendidikan berbasis Waldorf, Dr. Naomi Soetikno berikut ini.
Sekolah Waldorf Jagad Alit Bandung mengajarkan anak mengelola emosi (Sumber: Facebook Jagad Alit)
"Pendidikan sekolah yang baik, seharusnya bukan hanya memprioritaskan segi kognitif atau inteligensi semata, namun juga penting mengajarkan sikap, cara berinteraksi, serta mengelola emosi," ungkapnya ketika mengawali klarifikasi mengenai pendidikan Waldorf. Menurut Dr. Naomi, sistem pendidikan yang sudah ada semenjak tahun 1919 ini, bisa mengintegrasikan semua yang dibutuhkan dalam tumbuh kembang anak. Contohnya, dengan melibatkan proses karya seni imajinasi menyerupai berpuisi, bernyanyi, drama, bermusik, atau hal-hal yang berkenaan dengan keindahan lain di sekitar anak. Maka, dengan begitu mereka sebagai insan akan lebih menghargai hubungan dengan lingkungannya.
Peran seni yang cukup mayoritas dalam pembelajaran Waldorf juga diperlukan sanggup membantu meningkatkan rasa tenggang rasa yang tinggi terhadap sesama. "Bisa jadi seorang anak pintar, tapi norma sosial justru ia langgar. Lewat seni, ia bisa jadi anak yang lebih santun dalam bertutur kata dan menyadari bahwa insan tidak akan lepas dengan sesamanya," lanjut alumni pendidikan Strata-3 (S3) Fakultas Psikologi, Universitas Padjajaran ini.
Kegiatan yang mempioritaskan seni di sekolah (Sumber: phillywaldorf.com)
Pendidikan Waldorf pun tidak pernah menargetkan semua anak mempunyai tolok ukur yang sama. Kecepatan berguru mereka, kembali pada kemampuan diri masing-masing. Oleh alasannya yaitu itu, tidak banyak buku pelajaran yang dipakai sekolah berbasis Waldorf. Justru, setiap anak sanggup menjadi pembangkit kurikulum bagi dirinya sendiri. Hal inilah yang menciptakan pembelajaran jenis ini tampak sulit diaplikasikan pada sekolah formal. Tidak ada kecepatan berpikir anak yang harus diukur, sangat bertolak belakang dengan standar pendidikan di sekolah nasional. "Pada intinya, proses berpikir kreatif itulah yang dikejar melalui Waldorf. Seni sebagai instrumen yang menarik bagi belum dewasa untuk dieksplorasi, menjadi media berguru yang tepat. Mereka tiba ke sekolah rasanya niscaya jadi senang," lanjut Dr. Naomi.
Di sisi lain, tak hanya siswa yang mendapatkan manfaat dari hal ini, para orang renta pun mencicipi imbas positifnya. Setidaknya, setiap dua ahad sekali terdapat pertemuan wali murid yang berisikan acara berbasis Waldorf, contohnya saja menciptakan kerajinan tangan atau diskusi buku bersama. Orang renta yang menginginkan biar anak sanggup lebih bersahabat dengan seni dan lingkungannya, justru harus mencontohkan terlebih dahulu. Termasuk juga mengurangi penggunaan telepon genggam, biar sanggup menjalani interaksi eksklusif dengan sekitar.
Partisipasi orang renta dalam berguru anak. (Sumber: Facebook Jagad Alit)
Walau sistem pendidikan sekolah Waldorf sangat jauh berbeda dengan sekolah formal pada biasanya, Dr. Naomi tetap optimis semua siswa akan bisa mengikuti paket ujian nasional sebagai syarat kelulusan dan kesetaraan ijazah. "Mereka 'kan sudah dilatih teknik berpikir kreatif sedari dini, itu sebagai modal awal. Makara nantinya mau menghadapi bahan ujian apa saja, niscaya bisa," ucap tenaga pengajar Fakultas Psikologi, Universitas Tarumanegara ini.
Selain bisa menguasai pelajaran apapun, dia juga mengharapkan semakin banyak lagi orang renta di Indonesia yang mengetahui lebih dalam wacana sekolah ini. Pasalnya, ketika ini gres terdapat beberapa lokasi yang mempunyai sekolah Waldorf, yaitu Jakarta, Bandung dan Bali. Itu pun masih di tahap Taman Kanak-Kanak (TK). Ke depannya, Dr. Naomi dan para pelopor Waldorf masih mempunyai tantangan besar untuk melegalisasi yayasan dan juga membangun SD (SD).
Nah, bagi Smart Parents yang tertarik dengan denah pembelajaran menyerupai ini untuk meningkatkan nilai tenggang rasa dan imajinasi berpikir kreatif, sekolah Waldorf bisa menjadi salah satu opsi yang sempurna berguru anak. Anda juga bisa menyeimbangkan berguru si kecil bersama ruangbelajar dengan video pembelajaran beranimasi, latihan soal, rangkuman atau infografis, dan juga catatan berguru sesama siswa! Ayo daftar sekarang.
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Sekolah Waldorf:&Nbsp;Mengenal Alternatif Berguru Anak Terbaru"
Posting Komentar