Squad, seberapa sering kau membaca sebuah teks fiksi? Kalau kau penyuka cerpen, novel, komik, dan goresan pena fiksi lainnya sih, tampaknya hari-hari kau tidak lepas dari yang namanya membaca ya? Nah, dalam artikel kali ini kita akan membahas mengenai unsur kebahasaan dalam teks fiksi. Kita akan fokus membahas mengenai majas (gaya bahasa), ungkapan, dan peribahasa yang terdapat dalam kutipan cerpen.
Tenang Squad. Cerpennya nggak panjang kok, jadi nggak bakal bikin kau pusing. Kita lihat yuk pola kutipan dari cerpen yang berjudul “Selamat Jalan Ayah” berikut ini!
(sumber: abiummi.com)
Seorang gadis kecil yang tertidur pulas di kamar yang begitu luas untuk anak kecil seukurannya. Sang mentari mulai tersenyum menyapa dunia pagi ini ditemani nyanyian burung terbang kesana kemari. Sinar mentari menyelinap memasuki jendela kecil samping daerah tidur. Udara cuek pun ikut menyerang masuk ke dalam tulang-tulung.
“Kiki…..bangun nak, sudah siang dan saatnya berangkat ke sekolah”, bisik Ibu ke indera pendengaran Kiki.
Namun tidak ada tanggapan dari Kiki, tetapi ibu terus membangunkan Kiki dan mengajaknya ke kamar mandi. Setelah mandi dan sarapan Kiki berangkat ke sekolah diantar ayah dengan kijang. Sementara ibu tetap di rumah, memang dalam keluarga ini ayah sebagai kepala keluarga sekaligus tulang punggung keluarga. Kiki yaitu gadis kecil yang selalu ceria, ramah dan tersenyum kepada siapapun yang ia temui.
Nah, sudah akibat kutipan cerpennya. Sekarang, sama-sama analisis yuk unsur kebahasaannya.
Berdasarkan kutipan cerpen di atas, kita bisa lihat nih jikalau ada majas yang dipakai dalam kutipan cerpen di atas. Kamu tahu majas apa yang dipakai dalam kutipan cerpen tersebut? Yups, tepat. Majas yang dipakai yaitu majas personifikasi. Masih ingat apa itu majas personifikasi?
Perhatikan kalimat berikut!
“Sang mentari mulai tersenyum menyapa dunia pagi ini ditemani nyanyian burung terbang kesana kemari.”
Majas personifikasinya ditunjukkan oleh “Sang mentari mulai tersenyum menyapa dunia...” Ini lantaran kata “mentari” seakan-akan benar-benar tersenyum untuk menyapa dunia. “Mentari” merupakan benda mati yang seakan-akan dibentuk hidup oleh penulis.
Selain majas, ada juga penggunaan ungkapan dalam kutipan cerpen di atas. Perhatikan kalimat berikut.
“Sementara ibu tetap di rumah, memang dalam keluarga ini ayah sebagai kepala keluarga sekaligus tulang punggung keluarga”.
Coba, dari kalimat tadi ada ungkapan apa saja? Yups, "kepala keluarga" dan "tulang punggung". Kata "kepala keluarga" mempunyai arti orang yang bertanggung jawab terhadap keluarganya, sedangkan "tulang punggung" memiliki arti orang yang bertanggung jawab sebagai acuan ekonomi keluarga.
Baca Juga: Karakteristik Karya Sastra Indonesia Tiap Angkatan
Masih ada satu kutipan cerpen lagi nih yang akan kita bahas. Cerpen berikut berjudul “Juru Masak”.
(sumber: fatchefstory.net)
Derajat keluarga Azrial memang seumpama lurah tak berbatu, ibarat sawah tak berpembatang, tak ada yang bisa diandalkan. Tapi tidak patut rasanya Mangkudun memandangnya dengan sebelah mata. Maka, dengan berat hati Azrial melupakan Renggogeni. Ia hengkang dari kampung, pergi membawa luka hati. Awalnya ia hanya tukang basuh piring di Rumah Makan milik seorang perantau dari Lareh Panjang yang lebih dulu mengadu untung di Jakarta. Sedikit demi sedikit dikumpulkannya modal, biar tidak selalu bergantung pada induk semang. Berkat kegigihan dan kerja keras selama bertahun-tahun, Azrial kini sudah jadi juragan, punya enam Rumah Makan dan dua puluh empat anak buah yang tiap hari sibuk melayani pelanggan. Barangkali, ada hikmahnya juga Azrial gagal mempersunting anak gadis Mangkudun.
Kini, lelaki itu kerap disebut sebagai orang Lareh Panjang paling sukses di rantau. Itu sebabnya ia ingin membawa Makaji ke Jakarta. Lagi pula, semenjak ibunya meninggal, ayahnya itu sendirian saja di rumah, tak ada yang merawat, adik-adiknya sudah terbang-hambur pula ke negeri orang. Meski hidup Azrial sudah berada, tapi ia masih saja membujang. Banyak yang ingin mengambilnya jadi menantu, tapi tak seorang wanita pun yang bisa luluhkan hatinya. Mungkin Azrial masih sulit melupakan Renggogeni, atau jangan-jangan ia tak sungguh-sungguh melupakan wanita itu.
Dalam kutipan cerpen tersebut, sanggup ditemukan satu unsur kebahasaan berupa peribahasa. Hayooo...kamu tahu nggak apa peribahasanya? Betul sekali. Peribahasanya yaitu “...seumpama lurah tak berbatu, ibarat sawah tak berpembatang” yang mempunyai arti “tak ada yang bisa diandalkan” yang terdapat pada kutipan tersebut.
Squad, itu tadi pembahasan mengenai unsur kebahasaan dalam teks fiksi. Masih galau dengan unsur kebahasaan? Tenang. Kamu bisa tanya-tanya tutor yang berpengalaman sekaligus diskusi bareng yuk sama teman-teman di seluruh Indonesia. Semuanya bisa kau dapatkan dengan gabung di ruangguru digitalbootcamp sekarang.
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Unsur Kebahasaan Dalam Teks Fiksi"
Posting Komentar