Dikisahkan ada sepasang suami istri yang berjulukan Made Galung dan Ketut Srimpin sedang mengadakan perjalanan ke rumah saudaranya yang berada di desa Sumber Jaya. Saudaranya itu akan mengadakan program janji nikah putranya yang pertama. Untuk hingga ke desa saudaranya yang jauh itu Made Galung dan Ketut Srimpin naik kuda alasannya yaitu kondisi jalan yang penuh dengan kubangan lumpur yang dalam dan tidak memungkinkan mereka mengendarai sepeda motor atau mobil. Jalan jalan di kawasan mereka rusak parah sehingga dikenal dengan istilah Jalan Jeglongan Sewu.
Pagi-pagi sekali berangkatlah Made Galung dan Ketut Srimpin naik kuda yang berjulukan I Kacang, yang merupakan satu-satunya kuda milik mereka. I Kacang yaitu kuda jantan yang bertubuh sehat dan berpengaruh tapi berperawakan sangat kecil. Karena badannya yang kecil itulah suami istri itu memberi nama kudanya I Kacang. Perjalanan itu mereka perkirakan akan memakan waktu satu hari penuh oleh alasannya yaitu itu mereka juga menyiapkan makanan dan miniman yang cukup banyak untuk bekal selama dalam perjalanan.
Setelah mengadakan perjalanan selama beberapa usang mereka melewati sebuah desa yang cukup ramai yang berjulukan Desa Anyar Sari. Melihat suami istri yang badannya sama-sama subur itu orang-orang di desa Anyar Sari saling berbisik-bisik. Kemudian salah satu di antara mereka yakni Pak Agus berbicara cukup keras.
“Lihatlah betapa sialnya nasib kuda itu badannya yang kecil harus membawa beban yang demikian berat. Membawa kedua tuannya yang berbadan gendut ditambah barang bawaanya yang banyak. Sungguh mereka tidak berperikemanusiaan”. Mendengar ucapan Pak Agus itu Made Galung kemudian turun dari kudanya. Ia merasa ucapan Pak Agus ada benarnya juga. Made Galung merasa kasihan melihat kudanya yang tampak kelelahan. Karena itu ia tetapkan berjalan kaki saja, mengikuti istrinya yang naik kuda.
Setelah meneruskan perjalanan selama beberapa ketika sampailah mereka di desa Bali Bandung. Di desa ini mereka juga berpapasan dengan orang-orang yang berbisik-bisik ketika melihat mereka. Salah satu dari orang-oran itu yakni Pak Gatri berkata dengan lantang.
“Hai Ibu Muda, tidakkah engaku merasa kasihan melihat suami mu yang berjalan kaki di belakang mu. Suami Mu tampaknya kelelahan alasannya yaitu usianya yang tidak lagi muda mungkin saja suami mu menderita asam urat atau rematik. Sementara dirimu enak-enakan naik kuda. Dimana rasa baktimu pada suami mu? Bukankah suami itu harusnya dihormati menyerupai tuhan oleh istrinya?” Mendengar ucapan Pak Gatri itu Ketut Srimpin turun dari kudanya dan berpikir bahwa suaminya yang lebih pantas naik kuda dibandingkan dirinya yang masih muda. Ia kemudian merayu suaminya semoga mau naik kuda sedangkan ia melanjutkan perjalanan dengan berjalan kaki di depan suaminya.
Mereka kemudian melanjutkan perjalanan dan kemudian melewati desa Bali Luhur. Di desa ini mereka juga bertemu dengan orang-orang yang berkumpul sambil berbisik-bisik melihat kearah mereka. Dari kerumuna orang-orang itu Pak Karye lantas berkata dengan marah.
“Dimana rasa sayangmu terhadap istrimu. Badanmu kelihatan sehat dan berpengaruh mengapa engkau menyuruh istrimu jalan kaki, sedangkan engkau malah enak-enak naik kuda. Tidakkah seharusnya engkau yang jalan kaki? Sungguh engkau suami yang kejam” Mendengar kata-kata Pak Karye kemudian Made Galung turun dari kuda. Kemudian mereka setuju meneruskan perjalanan dengan berjalan kaki sementara kudanya mengikuti di belakang.
Setelah melaksanakan perjalanan beberapa jam sampailah mereka di desa Bali.Kalang Di desa ini mereka juga bertemu dengan orang-orang yang sedang berkumpul sambil berbisik-bisik sambil mengeleng-gelengkan kepala dengan heran. Kemudian Pak Agung berteriak dari kerumunan.
“Hei…!!! kalian ini yaitu orang-orang yang ajaib dan bodoh. Mengapa menentukan berkalan kaki? padahal kalian membawa seekor kuda. Sungguh kami tidak mengerti jalan pikiran kalian”.
Tinggallah Sepasang suami istri itu yang kebingungan alasannya yaitu semua yang dilakukan selalu terlihat salah oleh orang-orang yang mereka jumpai di jalan.
Kejadian menyerupai dongeng di atas sering kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari. Meskipun kita sudah berusaha berbuat baik, mengabdikan diri dengan ikhlas, tetap saja ada orang yang menganggap salah dari setiap tindakan yang kita lakukan. Karena orang menilai tergantung dari sudut pandangnya masing-masing. Sudut pandang yang selalu menilai negatif itu disebut Mata Setan
Terkadang kita tidak harus mendengarkan perkataan orang. Tetaplah berbuat baik sesuai dengan niat dan keyakinan kita.
Tetapi tidak berarti kita mengabaikan kritik dan saran dari orang lain. Karena kritik dan saran penting untuk memperbaiki kesalahan-kesalahan yang mungkin sudah kita perbuat.
Sumber http://blijengah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Mata Setan, Perjalanan Penuh Dilema"
Posting Komentar