Proses Lebih Penting Daripada Hasil (Kaitannya Dengan Teladan Bimbing Anak)

Pola pikir yang lebih mementingkan HASIL ketimbang PROSES tampaknya memang sudah sangat mendarah daging di masyarakat kita. Dari hal kecil yang bisa kita temui sehari-hari, hingga hal besar, semua mencerminkan kalau ‘kita’ memang lebih bahagia pribadi menikmati hasil, tapi enggan atau malas melewati prosesnya. Ini artinya lebih banyak orang yang tidak sabar, cenderung ambil jalan pintas, dan mau gampangnya saja, yang penting hasilnya tercapai.

Hasil memang penting, tapi proses untuk mencapai hasil itu lebih penting lagi.

Gak percaya?

Tidak usah jauh-jauh. Untuk mendapat nilai A di sekolah, banyak cara yang bisa ditempuh. Lebih baik mana, si Ali yang berguru sungguh-sungguh, atau si Mawar yang mendapat nilai atas hasil mencontek? Dua-duanya sama mendapat nilai A. Tapi proses untuk mencapai nilai A itu yang menciptakan si Ali jauh lebih berkualitas dibanding si Mawar. Di dunia aktual niscaya akan kelihatan ketika mereka harus mengimplementasikan ilmu yang mereka miliki.

Memang sudah puluhan tahun dalam sistem pendidikan kita pun kita diajar untuk lebih mementingkan hasil, bukan proses. Lihat saja bagaimana hasil berguru 6 tahun, 9 tahun, 12 tahun, hanya dinilai dari ujian selama 2 jam dan dihargai dengan angka-angka di selembar ijazah. Pernah gak waktu sekolah kita nyontek dikala ujian, yang penting lulus dan sanggup nilai bagus? Hayo ngaku! Jujur, saya pun pernah, apalagi untuk pelajaran yang saya gak suka. Yang penting nilainya kan. Kesimpulannya, secara sistemik memang contoh pikir kita dibentuk untuk lebih berorientasi pada hasil ketimbang proses.
Tidak heran di Indonesia kemudian banyak terjadi korupsi, lantaran lebih banyak orang yang mementingkan hasil, dan kemudian cenderung menghalalkan segala cara. Kalau sudah begini, galau juga siapa yang harus disalahkan. 

Lalu apa hubungannya dengan contoh asuh anak? 
Banyak. Disadari atau tidak, contoh asuh orang renta di Indonesia cenderung mencerminkan contoh pikir yang berorientasi pada hasil, yang sebetulnya punya imbas yang tidak baik untuk anak.

Contoh pertama ialah dikala menyapih anak (berhenti menyusui ASI dari ibu) di usia 2 tahun. Tahu apa yang biasanya ibu-ibu di Indonesia lakukan? Biasanya (maaf) puting ibunya diolesi dengan pahit-pahitan supaya si anak tidak nyaman lagi menyusui. Cara ini sudah umum dan sudah jadi tradisi ibu-ibu selama berpuluh-puluh tahun. Memang biasanya berhasil dan cepat, dengan tangisan murung si anak tentunya. Tapi ibu-ibu itu tidak sadar efeknya secara psikologis ke anak. Anak akan jadi merasa dibohongi, tidak percaya lagi dengan ibunya, dan pastinya akan merusak ‘bonding’ antara ibu dengan anak. Biasanya imbas jangka pendeknya anak jadi semakin manja dan kolokan ketika bersama ibunya lantaran ia akan selalu cari perhatian. Efek  jangka panjang bisa jadi ’trust’ anak terhadap orang renta jadi berkurang. Lalu apa ada cara lain? Sangat ada. Saya waktu itu menentukan metode hypno-parenting, yaitu dengan berkomunikasi memasukkan sugesti ke anak setiap hari supaya ia mau berhenti menyusu dengan sendirinya. Memang cara ini butuh waktu, pada masalah anak saya 3 ahad lamanya gres benar-benar berhasil. Tapi gak pakai program nangis-nangis murung si anak, dan yang niscaya gak merusak ‘bonding’ antara ibu dan anak (yippeee).

Dalam hal memberi makan anak, lebih banyak lagi kasusnya. Kebanyakan ibu-ibu hanya berfokus pada usaha supaya si anak makannya banyak dan berat badannya cepat naik (sekali lagi, yang penting hasil). Akibatnya banyak praktek contoh asuh yang sebetulnya kurang baik untuk anak. Contohnya:
  • Anak cenderung disuapi dengan porsi sangat banyak setiap kali makan yang mungkin melebihi kapasitas lambungnya. Bahkan ketika anak sudah menolak disuapi, orang renta akan tetap berusaha menyuapi makanan hingga habis.
  • Ibu menentukan jam makan anak di mana anak harus makan tanpa mempedulikan sinyal apakah si anak masih kenyang atau sudah lapar.
  • Kalau anak tidak mau makan, cara paling simpel ialah menjejali anak dengan susu sapi (formula atau UHT) yang penting kenyang dan bisa dianggap sudah makan. 
Padahal untuk anak usia dini, makan juga ialah proses belajar. Belajar mengenali rasa yang beraneka ragam, berguru mengenali tekstur makanan yang beraneka ragam, berguru mengunyah, berguru menelan, berguru supaya tidak tersedak, berguru mencicipi lapar dan kenyang, berguru melatih motorik lisan dan rahangnya untuk bekal ia bisa bicara nantinya, juga berguru melatih motorik halus tangannya supaya ia bisa makan sendiri dan melaksanakan acara lainnya nanti. Yang sering dilupakan, selain panca inderanya yang belajar, sistem pencernaannya juga sedang berlatih, dan belum tentu bisa menyerap makanan sebanyak yang diberikan. Tapi dengan metode jaman dulu, anak tidak punya kesempatan untuk berguru itu semua, selain hanya menjadi gemuk dan sasaran kenaikan berat tubuh tercapai. Untuk dibilang sehat pun masih menjadi tanda tanya besar, lantaran gemuk tidak identik dengan sehat.

Sorry to say, saya punya pengalaman jelek dengan metode proteksi makan jaman dulu pada anak saya yang pertama. Perkembangan kemampuan makannya lambat, yang berefek juga pada perkembangan motorik lainnya. Perpindahan dari puree ke makanan padat ialah usaha besar, anak masih sering tersedak hingga umur 2 tahunan. Kemampuan bicaranya juga terlambat, lantaran otot rahang dan mulutnya jadi kurang terlatih. Waktu makan merupakan ajang yang penuh emosi, amarah, dan omelan (sebab anak tidak mau makan, hingga anak tidak bisa diam), yang ternyata punya imbas psikologis jangka panjang yang amat buruk. Anak pertama saya hingga kini menjadi anak yang sangat picky-eater dan cenderung curiga jikalau diberi makanan baru.

Untuk anak kedua, saya coba menerapkan metode BLW (Baby-Led Weaning), di mana anak akan dibiarkan makan sendiri memakai tangannya semenjak awal sesuai instingnya. Anak yang menentukan apa, kapan, dan seberapa banyak ia akan makan. Metode BLW ini berdasarkan saya metode yang sangat berorientasi pada proses, dan bisa menawarkan banyak manfaat bagi si anak, tidak hanya dalam hal kemampuan makannya tapi juga kemampuan lainnya ibarat motorik mulut, badan, dan tangannya. Kecurigaan besar muncul dari kanan kiri. Takut anaknya tersedak, takut makannya terlalu sedikit, takut berat badannya tidak bertambah, dlsb. Kekhawatiran itu berdasarkan saya wajar, lantaran memang metode ini masih ajaib dan sangat bertolak belakang dengan metode usang yang sudah dikenal selama puluhan tahun. Membawa perubahan itu tidak gampang. Terus terang kami masih berjuang untuk menciptakan orang-orang sepenuhnya percaya dengan metode ini. Dan akhirnya saya harus berkompromi mengambil jalan tengah dengan menawarkan si kecil puree + BLW.

Namun biarpun tidak sepenuhnya menjalankan BLW, hasil positif sudah sangat terlihat terang pada anak saya yang kedua di usianya yang menjelang 10 bulan ini:
  • Usia 8 bulanan sudah mulai bisa bangun sendiri dengan berpegangan ke pinggiran boks bayi, dan di usianya kini sudah bisa merangkak dengan sangat lancar. Ini berkat semenjak usia 6 bulan anak sudah dibiasakan duduk setiap kali makan, sehingga tulang punggungnya cepat terlatih untuk besar lengan berkuasa menopang badannya.
  • Kemampuan motorik halus tangannya berkembang pesat. Di usianya kini ia sudah bisa mengambil biji polong memakai jarinya dengan akurat dan memasukkan ke mulutnya.
  • Di usia 8-9 bulan ia sudah mulai bisa mengoceh “ba”, “pa”, “ma”, “ga”, berkat rahangnya yang selalu dilatih untuk mengunyah. 
  • Kekhawatiran anak akan tersedak ternyata sama sekali tidak pernah terjadi. Bahkan kini ia sudah bisa makan makanan semi padat ibarat perkedel, daging fillet, kentang, pasta, dll. Tentunya ini akan sangat membantu proses transisi ke makanan padat bahwasanya nanti.
Luar biasa hasilnya. Jujur, sangat jauh dengan pencapaian anak pertama saya di usia yang sama. Andaikan ia diberi kesempatan untuk 100% BLW, niscaya akan lebih lagi. BLW tidak hanya memupuk kemampuan-kemampuan ibarat di atas, tapi juga bisa melatih anak menjadi lebih fokus. Bertolak belakang dengan metode usang yang justru mengajarkan anak untuk tidak fokus. Bayangkan, ketika bayi, anak biasanya gres bisa disuapi ketika perhatiannya berhasil dialihkan ke mainan atau hal lain. Kalau sudah agak besar, hasilnya anak harus disuapi makan sambil digendong, nonton televisi, main, jalan-jalan, atau acara lainnya.

Selain makan, masih banyak lagi hal-hal yang memperlihatkan bahwa banyak orang renta yang cenderung berorientasi pada hasil, bukan proses. Contohnya:
  1. Membohongi anak. Biasanya kalau orang renta tidak bisa memenuhi seruan anak atau sudah ‘kepepet', biar cepat kemudian orang renta membohongi anak. Misalnya: di situ gelap, di situ ada hantu, dsb. Hati-hati, anak cepat atau lambat bisa mengetahui apakah orang tuanya berbohong atau tidak. Jika terlalu sering, lama-lama anak benar-benar tidak percaya lagi pada orang tuanya.
  2. Menyembunyikan mainan atau barang. Biasanya ini cara cepat untuk menuntaskan dilema kalau si anak suka menciptakan berserakan mainan atau suatu barang. Seharusnya yang dilakukan bukan menyembunyikan barang atau mainan tersebut, tapi mengajari anak bagaimana cara yang benar memakai barang atau mainan tersebut. Jika memang barang itu bukan untuk dimainkan, beri pengertian. Memang kadang tidak hanya satu kali pribadi berhasil, tapi pribadi menyembunyikan barang tidak akan mendidik anak.
  3. Menyelesaikan dilema dengan menghilangkan masalah. Contohnya ketika anak mengganggu adiknya, cara paling cepat menuntaskan dilema ini ialah dengan membawa pergi atau menjauhkan adiknya. Tapi cara ini tidak akan mendidik anak untuk menuntaskan masalah. Jika ini jadi kebiasaan, ke depannya bisa jadi anak akan selalu ingin lari dari dilema dan menjadi denial jikalau menghadapi problem. Seharusnya yang dilakukan ialah mengajari anak untuk menghadapi dan  membina kekerabatan yang baik dengan adiknya. Sekali lagi, mungkin tidak hanya satu kali pribadi berhasil, tapi butuh proses.
  4. Terlalu banyak intervensi. Banyak orang renta yang terlalu khawatir anak tidak bisa melaksanakan ini dan itu, alhasil orang renta jadi selalu ingin mengintervensi atau membantu apapun yang anaknya lakukan. Misalnya dalam hal makan sendiri, bermain, memakai mainan, mengerjakan tugas, membereskan mainan, dsb. Memang segalanya jadi cepat selesai, tapi anak juga jadi tidak berguru apa-apa.

Intinya, kalau kita memperhatikan proses dan tidak hanya mengejar hasil, justru kita akan mendapat hasil yang lebih baik. Memang mengikuti proses itu kadang melelahkan dan butuh waktu, tapi itulah yang diharapkan oleh anak kita, kalau kita ingin mereka berkembang secara lebih positif.

Karena itu dalam menentukan sekolah, saya juga mau sekolah yang berorientasi pada proses, bukan sekolah yang sekedar mengejar nilai-nilai semata bagi para muridnya. Saya mau sekolah yang guru-gurunya paham fase perkembangan anak, dan sangat memperhatikan perkembangan sekecil apapun yang terjadi pada setiap anak muridnya. Sekolah yang mengerti pentingnya aspek-aspek perkembangan anak, tidak hanya dari sisi kognitif dan akademis, tapi juga dari sisi psikologis, sosial, emosional, perilaku, dan karakternya. Contohnya, daripada buru-buru mengajarkan anak menghapal dan mengeja karakter supaya cepat bisa membaca, lebih baik menstimulasi dan menanamkan dulu minat dan ketertarikannya pada buku. Dengan demikian ketika sudah bisa membaca, anak juga akan gemar membaca. Lebih penting menciptakan anak suka membaca daripada buru-buru menciptakan anak cepat bisa membaca.

Tulisan ini bukan untuk menyalahkan perseorangan atau siapapun. Tulisan ini merupakan kritik saya terhadap contoh asuh yang sudah usang berlaku dalam masyarakat kita, sekaligus ‘curhat’ kegemasan saya melihat contoh asuh jaman dulu. Rasanya ingin ada gerakan revolusi contoh asuh.

Saya yakin ini bukan dilema bisa atau tidak bisa… tapi dilema mau atau tidak mau.

Maukah kita memberi kesempatan pada anak kita untuk belajar?
Maukah kita bersabar mengikuti perkembangan anak kita langkah demi langkah?
Maukah kita menjadi lebih baik?

Semoga membuka mata.

Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "Proses Lebih Penting Daripada Hasil (Kaitannya Dengan Teladan Bimbing Anak)"

Posting Komentar