Tahun kemudian kami sempat sangat murung ketika mengetahui anak pertama kami, Rei (saat ini 4 tahun), ditolak masuk di sekolahnya yang sekarang. Tapi tampaknya memang Tuhan sudah punya planning lain. Banyak hikmah positif yang bisa diambil dari kejadian itu.
Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, hingga berusaha menciptakan bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat andal terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya.
Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memperlihatkan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah menciptakan keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melaksanakan banyak “trial and error” lagi.
Sejak Rei pindah dari sekolah lamanya ke sekolahnya yang sekarang, saya melihat aneka macam kemajuan, baik dari sisi kognitif maupun karakternya. Bisa dibilang kemajuan yang dicapainya dalam waktu 2 bulan sekolah di situ, lebih banyak dari kemajuan yang dicapainya dalam waktu 1 tahun bersekolah di sekolah lamanya. Ternyata metode dan kurikulum sangatlah berpengaruh.
Sekolah lamanya memang tidak menekankan pengajaran calistung dan tidak memberi banyak hapalan (karena itu saya mengijinkan Rei sekolah di situ). Tapi sayangnya metode pengajarannya masih cenderung bersifat konvensional dan satu arah.
Penelitian menyampaikan bahwa metode sekolah yang paling baik untuk anak usia dini yaitu yang mengedepankan eksplorasi dan pengalaman konkret anak berinteraksi dengan benda-benda maupun orang-orang (guru dan teman) secara langsung, serta mengedepankan inisiatif anak (active learning). Metode pengajaran formal menyerupai di kelas justru akan memperlambat perkembangan otaknya.
Pantas saja tidak banyak kemajuan yang saya lihat ketika ia masih bersekolah di sekolah lamanya. Salah satu kemajuan yang saya catat hanyalah ia menjadi lebih berani ketika berada di kawasan umum, dalam arti tidak takut lagi ketika harus berpisah dengan orang tuanya (masih ingat ketika ia nonton pertunjukan Thomas & Friends di mal dan maju ke panggung sendirian). Dia juga sedikit menjadi lebih praktis “diatur” dan mau menurut. Tapi kemampuan komunikasi dan interaksinya dengan sahabat sebayanya dan orang lain masih sangatlah kurang. Saya lihat teman-temannya di kelas juga menyerupai itu, masih cenderung sendiri-sendiri dan kurang berinteraksi satu sama lain. Dari segi perkembangan kognitif juga tampaknya tidak terlalu banyak yang bisa diceritakan.
Yang sedikit mengkhawatirkan adalah, bulan-bulan terakhir ia bersekolah di situ, ia sering sekali bilang “tidak mau sekolah” ketika bangkit pagi-pagi. Dan gurunya mengabarkan bahwa ia sering sekali melamun di kelasnya. Perkiraan saya adalah, Rei bersama-sama merasa tidak cocok bersekolah di situ. Rei yaitu tipe anak kinestetis yang tidak bisa diam, sebab ia butuh menggerakkan tubuhnya untuk belajar. Sayangnya sekolah dengan metode konvensional cenderung menginginkan anak selalu duduk tertib dan hening di kursinya, mendengarkan atau mengikuti isyarat guru. Tidak ada atau sedikit kesempatan bagi Rei untuk bisa bergerak bebas dan bereksplorasi secara aktif. Mungkin ketika ia bengong, sebetulnya ia sedang mengkhayal melaksanakan hal lain yang lebih mengasyikkan. Sayangnya, guru-guru di sana tampaknya tidak bisa melihat hal itu, dan malah menyangka ia sering melamun semenjak ia punya adik. Padahal di rumah kami tetap mencurahkan perhatian sangat besar ke Rei, dan ia tetap ceria menyerupai biasa.
Perkiraan saya terjawab sesudah Rei pindah sekolah. Di sekolah barunya, kebiasaan melamun di kelas tidak tampak lagi. Dengan metode active learning, Rei jadi punya banyak kesempatan untuk bergerak dan bereksplorasi secara aktif, dan ia terlihat jauh lebih senang. Secara bersamaan, kemampuan kognitif dan karakternya juga banyak mengalami perkembangan. Bahkan sudah terlihat ketika gres beberapa ahad saja sekolah di sana.
Perkembangan-perkembangan yang saya catat:
1. Dalam hal kognitif, minggu-minggu pertama Rei sekolah, ia sudah bisa menghitung benda atau gambar secara runut dan benar (dalam range 1-10), padahal sebelumnya masih sering salah, entah kurang atau kelebihan. Sambil bermain, saya sering tes ia menghitung di rumah, dan jawabannya kini selalu benar. Dan kini saya lihat ia sudah hapal simbol-simbol angkanya juga dari 1 s/d 10. Di sekolahnya, berguru menghitung memang dimulai dari menghitung benda-benda secara riil dulu, gres berguru simbol angkanya. Dengan demikian anak tidak hanya menghapal tapi juga benar-benar mengerti secara konsep.
2. Dalam hal bersosialisasi, kini Rei sudah lebih berani dan punya cita-cita untuk bermain dengan bawah umur sebayanya. Dia juga tidak takut lagi kalau diajak ke kawasan gres dan bertemu orang gres menyerupai sebelumnya. Kepercayaan dirinya terlihat sekali ada peningkatan. Dia tidak malu-malu dan takut lagi ketika harus bermain di lingkungan gres di mana banyak anak yang belum ia kenal. Pernah ketika mengunjungi suatu program reuni, ia sudah pribadi bisa bersahabat dengan anak kecil lain yang ada. Dengan orang remaja pun ia kini lebih komunikatif. Pernah ia kami tinggal hanya bersama pakde dan budenya, dan ia bisa betah bercanda-canda dengan pakde budenya cukup lama, tanpa mainan yang banyak dan tanpa gadget. Kelihatannya ini berkat di sekolahnya anak selalu distimulasi untuk berinteraksi dengan teman-teman maupun gurunya. Daily routine di kelas selalu melibatkan bermain dan berkomunikasi dengan guru maupun teman-teman di kelas lewat metode plan-do-review.
3. Saya bahagia sekali kini Rei sudah bisa lebih fokus kalau diajak membaca buku. Sebelumnya, paling ia hanya bertahan 10 menit kalau dibacakan buku. Sekarang saya lihat ia sudah mau lebih konsen melihat dan mendengarkan, bahkan pernah membaca 1 majalah bersama saya hingga habis. Di sekolah memang ada reading session setiap hari di kelas. Meskipun sekolah belum mengajarkan membaca secara formal, bukan berarti sekolah tidak memperkenalkan membaca sama sekali. Justru sekolah berusaha secara intensif memperkenalkan acara membaca demi menstimulasi ketertarikan anak terhadap buku. Dengan demikian minat anak untuk membaca akan tumbuh sebelum nantinya mereka benar-benar siap untuk berguru membaca. Saya bahagia sekali hal itu sudah mulai terlihat. Rei juga saya lihat sudah mulai mengenal beberapa huruf. Di sekolah ini memang tidak ada paksaan anak harus segera bisa membaca, tapi selalu diadaptasi dengan tahap perkembangan dan kesiapan si anak. Saya sendiri percaya membaca dan menulis bukanlah milestone maupun kebutuhan anak usia dini.
4. Senangnya, sekolah juga mengajarkan life skills. Tahu-tahu Rei sudah bisa mengancing bajunya sendiri dan bisa menggunakan bajunya sendiri. Padahal di rumah kami tidak pernah mengajarkannya. Dalam hal kemampuan makan sendiri, Rei juga sudah mulai terlihat ada kemajuan menggunakan sendok. Dalam hal beres-beres mainan, Rei juga sudah mulai ada kesadaran dan sudah mengerti bagaimana cara membereskan mainan. Sayangnya memang hal-hal di atas masih belum bisa konsisten diterapkan di rumah. Sebetulnya bukan sebab anaknya belum bisa, tapi mungkin sebab orang-orang di rumah masih belum bisa menaruh “kepercayaan” ke Rei dalam hal menggunakan baju dan makan sendiri. Untuk beres-beres mainan, masih harus sering diingatkan, meskipun sebetulnya ia sudah bisa melakukannya sendiri. Ini masih menjadi tantangan untuk kami.
5. Dalam hal bermain sendiri, kini Rei lebih tidak praktis menyerah, dan mau untuk berusaha dan mencoba-coba sendiri. Sebelumnya, ia praktis sekali merengek dan frustasi kalau ia menghadapi kesulitan dalam menggunakan mainannya. Di sekolah memang anak selalu di-encourage untuk berusaha melaksanakan dan memecahkan problem yang dihadapinya sendiri, tidak serta merta pribadi dibantu oleh gurunya.
6. Ini juga penting, sekarang Rei sudah mulai mau mencoba masakan baru. Rei yaitu anak yang picky-eater dan sangat susah diajak mencoba masakan yang ia belum kenal. Untungnya, sekolah menyediakan masakan setiap hari dengan hidangan yang bervariasi dan selalu berganti-ganti. Di sekolah sebelumnya, masakan harus dibawa sendiri dari rumah, jadinya masakan yang dibawa selalu itu-itu saja. Kaprikornus adanya masakan dari sekolah menyerupai kini sangat membantu juga perkembangan Rei. Dia juga mulai suka beberapa masakan gres sebab melihat teman-temannya makan masakan yang sama.
7. Dalam hal berbahasa Inggris, perkembangan Rei cukup signifikan. Sebelum sekolah di HS kami sama sekali tidak pernah mengajak Rei berkomunikasi dalam bahasa Inggris, kecuali menghapalkan nama-nama binatang. Tapi gres seminggu sekolah, Rei sudah bisa saya ajak berkomunikasi dalam bahasa Inggris, meskipun masih kalimat-kalimat yang sangat sederhana. Minimal ia sudah bisa merespon dan menjawab, dan ia sudah tahu bahwa “I” yaitu kata ganti orang pertama. Dia juga mulai sering mengeluarkan kalimat dalam bahasa Inggris, menyerupai “I want to go to pee in the toilet”, “Yes, I want”, “I don’t like it”, “I like it”, "I want to play another one", dsb. Bahasa Inggris saya anggap sebagai bonus, sebab ini bukan tujuan utama saya menyekolahkan ia di sini, apalagi sekedar untuk gaya-gayaan. Alasan saya menentukan sekolah ini yaitu sebab metode dan kurikulumnya secara keseluruhan. Tapi diterapkannya bahasa Inggris akan memberi laba yang disebut bilingual advantage, sebab otak anak berkembang lebih baik ketika ia dibesarkan dalam lingkungan multi-lingual.
Yang saya suka adalah, sekolah ini menerapkan metode multi-age class. Di dalam kelas ada anak yang umurnya setahun di bawah Rei (2,5-3 tahun) dan ada juga yang sudah setahun di atas Rei (5 tahun). Anak-anak yang lebih renta tentu sudah lebih pintar, baik dalam hal berinteraksi maupun hal-hal lainnya, jadi sedikit banyak Rei terbawa oleh bawah umur yang lebih besar itu. Anak yang sudah lebih bisa akan membantu anak yang belum bisa. Sebaliknya, ke bawah umur yang lebih kecil, Rei juga bisa berguru bagaimana 'mengasuh' dan membantu mereka.
Masih ada perkembangan-perkembangan lain selain di atas. Terakhir, gurunya melaporkan bahwa Rei yaitu anak yang paling kritis di kelas. Dia satu-satunya anak yang selalu tahu dan sadar kalau ada perubahan di kelasnya, menyerupai kalau ada benda baru, lokasi benda yang berpindah, atau lainnya, dan ia selalu menanyakannya ke gurunya. Juga kalau ada perubahan daily routine di hari itu, ia yaitu satu-satunya anak yang selalu bertanya kenapa. Dia aneka macam mengajukan pertanyaan, yang kadang gurunya sendiri kehabisan jawaban. Kalau di sekolah konvensional, mungkin hal-hal 'kecil' menyerupai ini akan teredam. Alhamdulillah, di sekolah ini guru bisa memposisikan dirinya sebagai partner dan teman, sehingga bawah umur bisa merasa nyaman bercerita dan bertanya apa saja ke gurunya.
Gurunya juga menceritakan progres komunikasi Rei di kelas yang sudah semakin detil dan kompleks. Dia sudah bisa menciptakan planning secara detail dan memperlihatkan hasilnya ke gurunya. Dalam bermain pun ia sudah bisa bermain dan bekerja sama dengan teman-teman sekelasnya, tidak lagi hanya bermain sendiri.
Pada ketika penerimaan raport, kami bukan disodorkan dengan laporan nilai-nilai, apalagi ranking kelas, yang mungkin hanya akan menciptakan orang renta stress. Raportnya lebih berupa laporan progres-progres perkembangan Rei beserta foto-foto kegiatannya selama di sekolah sebagai evident. Progres perkembangan tersebut dilandaskan pada KDI (Key Developmental Indicators) yang merupakan framework kurikulum Highscope. Dalam pertemuan penerimaan raport, para guru dan orang renta berdiskusi panjang lebar mengenai progres perkembangan anak, dan apa yang perlu dilakukan untuk mensupport perkembangan selanjutnya. Hebatnya, guru bisa menjelaskan dengan detail mengenai kondisi dan perkembangan si anak di sekolah. Kemudian guru juga menanyakan bagaimana perkembangan anak di rumah, dan selalu mewanti-wanti semoga orang renta memperlihatkan support yang sesuai di rumah semoga ada kesinambungan antara sekolah dan rumah. Sekolah ini sangat sadar akan pentingnya home and school collaboration. Diskusinya sangat membangun, dan tak terasa 45 menit sudah berlalu (slot waktu yang diberikan oleh sekolah).
Bukan berarti semuanya berjalan mulus. Beberapa ahad awal, Rei sempat sedikit 'mogok' sekolah, sebab beberapa kali ia sempat bilang tidak mau berangkat sekolah. Saya lihat ketika itu Rei sedang mengalami masa peralihan. Sekolah yang usang memang hanya 3x seminggu dan hanya 2 jam sekali pertemuan. Sementara sekolah yang gres berlangsung cukup usang dari jam 8.30 s/d 12.00 setiap hari, 5 hari dalam seminggu. Tapi Alhamdulillah, kini sesudah ia sudah nyaman dan bersahabat dengan teman-temannya, tampaknya ia sudah mendapatkan acara sekolah sebagai rutinitas sehari-harinya.
Sebetulnya ada satu hal yang agak mengganjal, yaitu sekolah ini tidak mengajarkan agama untuk tingkat preschool. Padahal awalnya saya ingin sekali bisa memasukkannya ke sekolah yang bernuansa Islam. Sayangnya saya tidak menemukan sekolah Islam yang kurikulumnya sreg di hati saya yang lokasinya juga praktis dicapai.
Sekolah ini beranggapan bahwa agama yaitu konsep yang masih terlalu aneh bagi anak usia dini. Pelajaran agama gres akan diberikan di tingkat SD sesuai agama masing-masing. Karena itu, untuk sementara saya mengirim Rei berguru mengaji rutin di TPA terdekat di rumah. Insya Allah, berguru agama bukan hanya berguru menghafal, tapi juga menghayati akhlaknya. Mudah-mudahan itu semua bisa dimulai dari lingkungan keluarga juga. Kalau dipikir, sebetulnya ini sama saja dengan mengirimnya bersekolah di sekolah negeri yang muridnya beraneka ragam latar belakangnya. Justru memang sebaiknya kita tidak lepas tangan begitu saja menyerahkan pendidikan agama kepada sekolah dan merasa semua akan baik-baik saja. Pemikiran itu yang akhirnya menciptakan saya mantap mengirimnya sekolah di HS.
Yang pasti, saya bahagia sekali Rei bersekolah di situ. Meskipun keseharian sekolah penuh dengan bermain dan fun, tapi ternyata hasilnya justru lebih terlihat di diri anak. Ternyata memang benar, anak bisa lebih banyak berguru kalau dia enjoy dengan apa yang ia lakukan. Dan yang penting bisa memperlihatkan perkembangan kognitif dan karakter yang konkret bagi anak untuk survive di hari ini dan di masa depan. Ini memang sekolah yang menyenangkan bagi anak, juga menyenangkan bagi orang tua.
Seperti kata Ayah Edy (seorang pakar pendidikan anak), kita harus mencari "sekolah yang ramah anak dan ramah otak anak", sebab otak anak tidak akan berkembang ketika anak merasa tertekan akhir diberi banyak materi pelajaran. Menurutnya, salah satu ciri sekolah yang baik yaitu yang hasilnya sanggup segera kita rasakan pada diri anak, tidak hanya dalam hal akademik, tapi terpenting lagi dalam hal perilaku. Pastinya masih ada kekurangan, sebab tidak ada sesuatu yang sempurna. Tapi kian hari kami merasa bahwa kami sudah menciptakan pilihan yang benar. Insya Tuhan bisa. Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Hikmah pertama, kami jadi berusaha lebih keras untuk mengejar “ketertinggalan” yang dialami Rei. Dari mulai mengurangi dan akhirnya menghentikan gadget, lebih banyak berinteraksi dua arah dengannya, hingga berusaha menciptakan bicaranya menjadi lebih jelas, bahkan lewat andal terapi wicara. Alhamdulillah, Rei berhasil dan dinyatakan diterima di percobaan masuknya yang kedua di tahun berikutnya.
Hikmah kedua adalah, kami jadi bisa lebih membandingkan hasil pendidikan antara sekolah yang satu dengan yang lainnya, dan menilai mana kurikulum yang memperlihatkan hasil yang lebih nyata. Dan dengan begitu juga kami bisa lebih yakin apakah kami sudah menciptakan keputusan yang tepat. Untuk anak kedua, kami jadi bisa lebih siap dan tidak perlu melaksanakan banyak “trial and error” lagi.
Sejak Rei pindah dari sekolah lamanya ke sekolahnya yang sekarang, saya melihat aneka macam kemajuan, baik dari sisi kognitif maupun karakternya. Bisa dibilang kemajuan yang dicapainya dalam waktu 2 bulan sekolah di situ, lebih banyak dari kemajuan yang dicapainya dalam waktu 1 tahun bersekolah di sekolah lamanya. Ternyata metode dan kurikulum sangatlah berpengaruh.
Sekolah lamanya memang tidak menekankan pengajaran calistung dan tidak memberi banyak hapalan (karena itu saya mengijinkan Rei sekolah di situ). Tapi sayangnya metode pengajarannya masih cenderung bersifat konvensional dan satu arah.
Penelitian menyampaikan bahwa metode sekolah yang paling baik untuk anak usia dini yaitu yang mengedepankan eksplorasi dan pengalaman konkret anak berinteraksi dengan benda-benda maupun orang-orang (guru dan teman) secara langsung, serta mengedepankan inisiatif anak (active learning). Metode pengajaran formal menyerupai di kelas justru akan memperlambat perkembangan otaknya.
“Learning progress may actually be slowed by overly academic preschool experiences that introduce formalized learning experiences too early for a child’s developmental status.”
—Rebecca Marcon, Developmental Psychologist
—Rebecca Marcon, Developmental Psychologist
Pantas saja tidak banyak kemajuan yang saya lihat ketika ia masih bersekolah di sekolah lamanya. Salah satu kemajuan yang saya catat hanyalah ia menjadi lebih berani ketika berada di kawasan umum, dalam arti tidak takut lagi ketika harus berpisah dengan orang tuanya (masih ingat ketika ia nonton pertunjukan Thomas & Friends di mal dan maju ke panggung sendirian). Dia juga sedikit menjadi lebih praktis “diatur” dan mau menurut. Tapi kemampuan komunikasi dan interaksinya dengan sahabat sebayanya dan orang lain masih sangatlah kurang. Saya lihat teman-temannya di kelas juga menyerupai itu, masih cenderung sendiri-sendiri dan kurang berinteraksi satu sama lain. Dari segi perkembangan kognitif juga tampaknya tidak terlalu banyak yang bisa diceritakan.
Yang sedikit mengkhawatirkan adalah, bulan-bulan terakhir ia bersekolah di situ, ia sering sekali bilang “tidak mau sekolah” ketika bangkit pagi-pagi. Dan gurunya mengabarkan bahwa ia sering sekali melamun di kelasnya. Perkiraan saya adalah, Rei bersama-sama merasa tidak cocok bersekolah di situ. Rei yaitu tipe anak kinestetis yang tidak bisa diam, sebab ia butuh menggerakkan tubuhnya untuk belajar. Sayangnya sekolah dengan metode konvensional cenderung menginginkan anak selalu duduk tertib dan hening di kursinya, mendengarkan atau mengikuti isyarat guru. Tidak ada atau sedikit kesempatan bagi Rei untuk bisa bergerak bebas dan bereksplorasi secara aktif. Mungkin ketika ia bengong, sebetulnya ia sedang mengkhayal melaksanakan hal lain yang lebih mengasyikkan. Sayangnya, guru-guru di sana tampaknya tidak bisa melihat hal itu, dan malah menyangka ia sering melamun semenjak ia punya adik. Padahal di rumah kami tetap mencurahkan perhatian sangat besar ke Rei, dan ia tetap ceria menyerupai biasa.
Perkiraan saya terjawab sesudah Rei pindah sekolah. Di sekolah barunya, kebiasaan melamun di kelas tidak tampak lagi. Dengan metode active learning, Rei jadi punya banyak kesempatan untuk bergerak dan bereksplorasi secara aktif, dan ia terlihat jauh lebih senang. Secara bersamaan, kemampuan kognitif dan karakternya juga banyak mengalami perkembangan. Bahkan sudah terlihat ketika gres beberapa ahad saja sekolah di sana.
Perkembangan-perkembangan yang saya catat:
1. Dalam hal kognitif, minggu-minggu pertama Rei sekolah, ia sudah bisa menghitung benda atau gambar secara runut dan benar (dalam range 1-10), padahal sebelumnya masih sering salah, entah kurang atau kelebihan. Sambil bermain, saya sering tes ia menghitung di rumah, dan jawabannya kini selalu benar. Dan kini saya lihat ia sudah hapal simbol-simbol angkanya juga dari 1 s/d 10. Di sekolahnya, berguru menghitung memang dimulai dari menghitung benda-benda secara riil dulu, gres berguru simbol angkanya. Dengan demikian anak tidak hanya menghapal tapi juga benar-benar mengerti secara konsep.
2. Dalam hal bersosialisasi, kini Rei sudah lebih berani dan punya cita-cita untuk bermain dengan bawah umur sebayanya. Dia juga tidak takut lagi kalau diajak ke kawasan gres dan bertemu orang gres menyerupai sebelumnya. Kepercayaan dirinya terlihat sekali ada peningkatan. Dia tidak malu-malu dan takut lagi ketika harus bermain di lingkungan gres di mana banyak anak yang belum ia kenal. Pernah ketika mengunjungi suatu program reuni, ia sudah pribadi bisa bersahabat dengan anak kecil lain yang ada. Dengan orang remaja pun ia kini lebih komunikatif. Pernah ia kami tinggal hanya bersama pakde dan budenya, dan ia bisa betah bercanda-canda dengan pakde budenya cukup lama, tanpa mainan yang banyak dan tanpa gadget. Kelihatannya ini berkat di sekolahnya anak selalu distimulasi untuk berinteraksi dengan teman-teman maupun gurunya. Daily routine di kelas selalu melibatkan bermain dan berkomunikasi dengan guru maupun teman-teman di kelas lewat metode plan-do-review.
3. Saya bahagia sekali kini Rei sudah bisa lebih fokus kalau diajak membaca buku. Sebelumnya, paling ia hanya bertahan 10 menit kalau dibacakan buku. Sekarang saya lihat ia sudah mau lebih konsen melihat dan mendengarkan, bahkan pernah membaca 1 majalah bersama saya hingga habis. Di sekolah memang ada reading session setiap hari di kelas. Meskipun sekolah belum mengajarkan membaca secara formal, bukan berarti sekolah tidak memperkenalkan membaca sama sekali. Justru sekolah berusaha secara intensif memperkenalkan acara membaca demi menstimulasi ketertarikan anak terhadap buku. Dengan demikian minat anak untuk membaca akan tumbuh sebelum nantinya mereka benar-benar siap untuk berguru membaca. Saya bahagia sekali hal itu sudah mulai terlihat. Rei juga saya lihat sudah mulai mengenal beberapa huruf. Di sekolah ini memang tidak ada paksaan anak harus segera bisa membaca, tapi selalu diadaptasi dengan tahap perkembangan dan kesiapan si anak. Saya sendiri percaya membaca dan menulis bukanlah milestone maupun kebutuhan anak usia dini.
4. Senangnya, sekolah juga mengajarkan life skills. Tahu-tahu Rei sudah bisa mengancing bajunya sendiri dan bisa menggunakan bajunya sendiri. Padahal di rumah kami tidak pernah mengajarkannya. Dalam hal kemampuan makan sendiri, Rei juga sudah mulai terlihat ada kemajuan menggunakan sendok. Dalam hal beres-beres mainan, Rei juga sudah mulai ada kesadaran dan sudah mengerti bagaimana cara membereskan mainan. Sayangnya memang hal-hal di atas masih belum bisa konsisten diterapkan di rumah. Sebetulnya bukan sebab anaknya belum bisa, tapi mungkin sebab orang-orang di rumah masih belum bisa menaruh “kepercayaan” ke Rei dalam hal menggunakan baju dan makan sendiri. Untuk beres-beres mainan, masih harus sering diingatkan, meskipun sebetulnya ia sudah bisa melakukannya sendiri. Ini masih menjadi tantangan untuk kami.
5. Dalam hal bermain sendiri, kini Rei lebih tidak praktis menyerah, dan mau untuk berusaha dan mencoba-coba sendiri. Sebelumnya, ia praktis sekali merengek dan frustasi kalau ia menghadapi kesulitan dalam menggunakan mainannya. Di sekolah memang anak selalu di-encourage untuk berusaha melaksanakan dan memecahkan problem yang dihadapinya sendiri, tidak serta merta pribadi dibantu oleh gurunya.
6. Ini juga penting, sekarang Rei sudah mulai mau mencoba masakan baru. Rei yaitu anak yang picky-eater dan sangat susah diajak mencoba masakan yang ia belum kenal. Untungnya, sekolah menyediakan masakan setiap hari dengan hidangan yang bervariasi dan selalu berganti-ganti. Di sekolah sebelumnya, masakan harus dibawa sendiri dari rumah, jadinya masakan yang dibawa selalu itu-itu saja. Kaprikornus adanya masakan dari sekolah menyerupai kini sangat membantu juga perkembangan Rei. Dia juga mulai suka beberapa masakan gres sebab melihat teman-temannya makan masakan yang sama.
7. Dalam hal berbahasa Inggris, perkembangan Rei cukup signifikan. Sebelum sekolah di HS kami sama sekali tidak pernah mengajak Rei berkomunikasi dalam bahasa Inggris, kecuali menghapalkan nama-nama binatang. Tapi gres seminggu sekolah, Rei sudah bisa saya ajak berkomunikasi dalam bahasa Inggris, meskipun masih kalimat-kalimat yang sangat sederhana. Minimal ia sudah bisa merespon dan menjawab, dan ia sudah tahu bahwa “I” yaitu kata ganti orang pertama. Dia juga mulai sering mengeluarkan kalimat dalam bahasa Inggris, menyerupai “I want to go to pee in the toilet”, “Yes, I want”, “I don’t like it”, “I like it”, "I want to play another one", dsb. Bahasa Inggris saya anggap sebagai bonus, sebab ini bukan tujuan utama saya menyekolahkan ia di sini, apalagi sekedar untuk gaya-gayaan. Alasan saya menentukan sekolah ini yaitu sebab metode dan kurikulumnya secara keseluruhan. Tapi diterapkannya bahasa Inggris akan memberi laba yang disebut bilingual advantage, sebab otak anak berkembang lebih baik ketika ia dibesarkan dalam lingkungan multi-lingual.
Yang saya suka adalah, sekolah ini menerapkan metode multi-age class. Di dalam kelas ada anak yang umurnya setahun di bawah Rei (2,5-3 tahun) dan ada juga yang sudah setahun di atas Rei (5 tahun). Anak-anak yang lebih renta tentu sudah lebih pintar, baik dalam hal berinteraksi maupun hal-hal lainnya, jadi sedikit banyak Rei terbawa oleh bawah umur yang lebih besar itu. Anak yang sudah lebih bisa akan membantu anak yang belum bisa. Sebaliknya, ke bawah umur yang lebih kecil, Rei juga bisa berguru bagaimana 'mengasuh' dan membantu mereka.
Masih ada perkembangan-perkembangan lain selain di atas. Terakhir, gurunya melaporkan bahwa Rei yaitu anak yang paling kritis di kelas. Dia satu-satunya anak yang selalu tahu dan sadar kalau ada perubahan di kelasnya, menyerupai kalau ada benda baru, lokasi benda yang berpindah, atau lainnya, dan ia selalu menanyakannya ke gurunya. Juga kalau ada perubahan daily routine di hari itu, ia yaitu satu-satunya anak yang selalu bertanya kenapa. Dia aneka macam mengajukan pertanyaan, yang kadang gurunya sendiri kehabisan jawaban. Kalau di sekolah konvensional, mungkin hal-hal 'kecil' menyerupai ini akan teredam. Alhamdulillah, di sekolah ini guru bisa memposisikan dirinya sebagai partner dan teman, sehingga bawah umur bisa merasa nyaman bercerita dan bertanya apa saja ke gurunya.
Gurunya juga menceritakan progres komunikasi Rei di kelas yang sudah semakin detil dan kompleks. Dia sudah bisa menciptakan planning secara detail dan memperlihatkan hasilnya ke gurunya. Dalam bermain pun ia sudah bisa bermain dan bekerja sama dengan teman-teman sekelasnya, tidak lagi hanya bermain sendiri.
Pada ketika penerimaan raport, kami bukan disodorkan dengan laporan nilai-nilai, apalagi ranking kelas, yang mungkin hanya akan menciptakan orang renta stress. Raportnya lebih berupa laporan progres-progres perkembangan Rei beserta foto-foto kegiatannya selama di sekolah sebagai evident. Progres perkembangan tersebut dilandaskan pada KDI (Key Developmental Indicators) yang merupakan framework kurikulum Highscope. Dalam pertemuan penerimaan raport, para guru dan orang renta berdiskusi panjang lebar mengenai progres perkembangan anak, dan apa yang perlu dilakukan untuk mensupport perkembangan selanjutnya. Hebatnya, guru bisa menjelaskan dengan detail mengenai kondisi dan perkembangan si anak di sekolah. Kemudian guru juga menanyakan bagaimana perkembangan anak di rumah, dan selalu mewanti-wanti semoga orang renta memperlihatkan support yang sesuai di rumah semoga ada kesinambungan antara sekolah dan rumah. Sekolah ini sangat sadar akan pentingnya home and school collaboration. Diskusinya sangat membangun, dan tak terasa 45 menit sudah berlalu (slot waktu yang diberikan oleh sekolah).
Bukan berarti semuanya berjalan mulus. Beberapa ahad awal, Rei sempat sedikit 'mogok' sekolah, sebab beberapa kali ia sempat bilang tidak mau berangkat sekolah. Saya lihat ketika itu Rei sedang mengalami masa peralihan. Sekolah yang usang memang hanya 3x seminggu dan hanya 2 jam sekali pertemuan. Sementara sekolah yang gres berlangsung cukup usang dari jam 8.30 s/d 12.00 setiap hari, 5 hari dalam seminggu. Tapi Alhamdulillah, kini sesudah ia sudah nyaman dan bersahabat dengan teman-temannya, tampaknya ia sudah mendapatkan acara sekolah sebagai rutinitas sehari-harinya.
Sebetulnya ada satu hal yang agak mengganjal, yaitu sekolah ini tidak mengajarkan agama untuk tingkat preschool. Padahal awalnya saya ingin sekali bisa memasukkannya ke sekolah yang bernuansa Islam. Sayangnya saya tidak menemukan sekolah Islam yang kurikulumnya sreg di hati saya yang lokasinya juga praktis dicapai.
Sekolah ini beranggapan bahwa agama yaitu konsep yang masih terlalu aneh bagi anak usia dini. Pelajaran agama gres akan diberikan di tingkat SD sesuai agama masing-masing. Karena itu, untuk sementara saya mengirim Rei berguru mengaji rutin di TPA terdekat di rumah. Insya Allah, berguru agama bukan hanya berguru menghafal, tapi juga menghayati akhlaknya. Mudah-mudahan itu semua bisa dimulai dari lingkungan keluarga juga. Kalau dipikir, sebetulnya ini sama saja dengan mengirimnya bersekolah di sekolah negeri yang muridnya beraneka ragam latar belakangnya. Justru memang sebaiknya kita tidak lepas tangan begitu saja menyerahkan pendidikan agama kepada sekolah dan merasa semua akan baik-baik saja. Pemikiran itu yang akhirnya menciptakan saya mantap mengirimnya sekolah di HS.
Yang pasti, saya bahagia sekali Rei bersekolah di situ. Meskipun keseharian sekolah penuh dengan bermain dan fun, tapi ternyata hasilnya justru lebih terlihat di diri anak. Ternyata memang benar, anak bisa lebih banyak berguru kalau dia enjoy dengan apa yang ia lakukan. Dan yang penting bisa memperlihatkan perkembangan kognitif dan karakter yang konkret bagi anak untuk survive di hari ini dan di masa depan. Ini memang sekolah yang menyenangkan bagi anak, juga menyenangkan bagi orang tua.
Seperti kata Ayah Edy (seorang pakar pendidikan anak), kita harus mencari "sekolah yang ramah anak dan ramah otak anak", sebab otak anak tidak akan berkembang ketika anak merasa tertekan akhir diberi banyak materi pelajaran. Menurutnya, salah satu ciri sekolah yang baik yaitu yang hasilnya sanggup segera kita rasakan pada diri anak, tidak hanya dalam hal akademik, tapi terpenting lagi dalam hal perilaku. Pastinya masih ada kekurangan, sebab tidak ada sesuatu yang sempurna. Tapi kian hari kami merasa bahwa kami sudah menciptakan pilihan yang benar. Insya Tuhan bisa. Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Cerita Sehabis 4 Bulan Sekolah Di Preschool Hs"
Posting Komentar