Toko Jepang sebagai Mata-mataPemilik dan pengelola toko Jepang diduga berpengaruh mata-mata. Mereka kembali ke Indonesia untuk bekerja pada pemerintah pendudukan. 11 June 2018 Toko Jepang "Banzai". PEMERINTAH Jepang mengumumkan pecahnya Perang Pasifik. Orang-orang Jepang di Hindia Belanda diberi tahu bahwa perang dengan Belanda tidak terhindarkan lagi. Pada 1941, melalui kedutaan dan konsulat jenderalnya, pemerintah Jepang membujuk orang-orang Jepang yang tinggal di tempat selatan untuk kembali ke Jepang.Secara sedikit demi sedikit orang-orang Jepang pulang dengan kapal-kapal yang mengadakan pelayaran secara rutin ke Hindia Belanda. Kapal pertama berjulukan Kitano Maru mengangkut wanita dan belum dewasa pulang ke Jepang. Kapal terakhir ialah Fuji Maru. Berlabuh di Batavia pada 22 November 1941, kemudian ke Semarang, Surabaya, Kalimantan, Banjarmasin, Makassar, dan meninggalkan Indonesia melalui pelabuhan Gorontalo pada 2 Desember 1941 dengan penumpang sekira 5.000 orang. Pada 10 Desember kapal hingga di pelabuhan Kota Nagasaki di Pulau Kyushu. “Toko Jepang pada prinsipnya terbengkalai atau dibeli pedagang Tionghoa. Ada sebagian diklaim pemerintah militer Jepang,” kata sejarawan Meta Sekar Puji Astuti. “Tetapi, banyak sumber menyebutkan terbengkalai.” Sementara itu, pada 8 Desember 1941 melalui siaran radio diumumkan perang antara Belanda dan Jepang. Pada 9 Januari 1942, Belanda menangkap sekira 2093 orang Jepang –hampir semuanya laki-laki– yang masih berada di Hindia Belanda dan mengasingkannya ke Australia. Dalam dokumen wacana acara spionase orang-orang Jepang, Ten Years Japanese Toil in The Netherlands East Indies, yang diterbitkan pemerintah Hindia Belanda pada 1942, disebutkan bahwa mereka yang diasingkan ke Australia merupakan penjahat politik dan beberapa di antara mereka merupakan “mata-mata angkatan laut.” Didahului kekalahan Belanda dari Jerman, Jepang memanfaatkannya untuk masuk ke Indonesia. Jepang mengambil-alih pendudukan pada Maret 1942. “Sejarah toko Jepang ini dapat dikatakan terhapus dari Hindia Belanda yang kemudian digantikan dengan sejarah pendudukan Jepang di Hindia Belanda,” kata Meta. Meskipun sebagian besar pemilik dan pengelola toko Jepang kembali ke Jepang, namun sekira 707 orang Jepang kembali ke Indonesia. Menurut Meta, kembalinya mereka sebagai pegawai pemerintah militer Jepang menguatkan dugaan bahwa semua mantan pemilik dan pengelola toko Jepang itu ialah kaki tangan atau kepetangan Jepang di Indonesia. “Mereka tiba bukan untuk berdagang, tetapi bekerja untuk pemerintah pendudukan,” kata Meta, penulis buku Apakah Mereka Mata-mata? Orang-orang Jepang di Indonesia 1868-1942. Tsutsumibayashi sendiri sudah pulang jauh sebelum masa perang sebab alasan kesehatan. Dalam perjalanan, ia meninggal di pulau kecil Ogasawara, akrab Tokyo pada 1935 sebab kanker paru-paru. Jaringan tokonya, Nanyo, kemudian diambil-alih para pegawainya. Namun, mereka pun harus kembali ke Jepang begitu genderang perang telah ditabuh. |
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Toko Jepang Sebagai Mata-Mata"
Posting Komentar