√ Paradoks Sistem Kesehatan Nasional Indonesia

Melihat dalam kacamata sistem, salah satu ilustrasi perihal pihak yang mencoba berinovasi menuntaskan serpihan kasus kesehatan, namun sistem kesehatan menolaknya ialah kasus dr.Terawan.


*Baca goresan pena perihal kasus “dr.Terawan”


Usia impian hidup insan Indonesia memang terlihat meningkat pada tiap tahunnya. Pada 2010, Bank Dunia mencatat angka impian hidup pada usia 69,81 tahun, sedangkan pada 2016 dicatat 70,90 tahun. Ini menarik, membandingkan pada kala pembangunan tiga dekade kemudian yang hanya di angka 52 tahun.


Namun, apakah hal tersebut bisa jadi ukuran bahwa negara berhasil mengusahakan peningkatan impian hidup di negeri ini. Atau lebih jauh, benarkah ada keberhasilan menyediakan layanan kesehatan bagi warganya?


Catatan Bank Dunia perihal impian hidup itu memang terdengar manis. Data empiris tentu menjadi dasar menilai keberhasilan negara. Melihat satu data dan mempedomaninya sebagai satu-satunya faktor penilaian dan pengambilan kebijakan ialah bentuk “dosa pembangunan”. Sebab, banyak data dan faktor lain di lapangan.


Kehadiran Negara


Ini menjadi keprihatinan banyak pihak; tidak sulit menemukan warga Indonesia yang mengalami kasus kesehatan di setiap waktu dalam aneka macam bentuk. Kemiskinan terang menjadi faktor utama. Layanan kesehatan terkesan barang mahal atau langka, yang tidak setiap warga sanggup menikmatinya.


Padahal, regulasi telah diadakan untuk mengatur distribusi kebijakan, termasuk pada kasus kesehatan dari tingkat pusat hingga daerah. Aturan desentralisasi terangkum dalam Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 perihal Pemerintahan Daerah yang juga mengamatkan perihal sistem kesehatan daerah.


Sebenarnya kita tidak perlu jauh-jauh hingga menyoal bagaimana teknologi kedokteran yang Indonesia miliki untuk mengurangi efek penyakit kronis, misalnya. Atau bahkan dengan mengaitkan pada angka usia impian hidup masyarakat. Kondisi yang paling sanggup menggambarkan sistem kesehatan di sebuah negara ialah dengan melihat angka selesai hidup ibu melahirkan. Mengapa? Karena melahirkan ialah kebutuhan paling sederhana sebagai konsekuensi paling dasar dari adanya masyarakat.


Masalah angka selesai hidup ibu sekaligus juga merupakan bentuk kehadiran negara pada penduduknya, perihal mengantarkan populasi gres hadir sebagai serpihan masyarakat, dan mempertahankan ibu untuk tetap hidup.


Di Indonesia, angka selesai hidup ibu melahirkan masih tergolong tinggi. Dalam sasaran global yang sudah lawas pun, Millenium Development Goals (MDGs), kita masih jauh melampaui batas 102 selesai hidup ibu per 100 ribu kelahiran.


Angka kita pada 2015 ialah 305 selesai hidup per 100 ribu kelahiran. Pada 2016, malah meningkat ke angka 359. Sedangkan pemerintah menarget angka selesai hidup ibu pada 2019 kelak akan turun hingga 276 (RPJM 2014-2019). Namun, membandingkan lintasnegara, sasaran kita itu pun masih tidak layak dibandingkan.


Mari kita lihat angka selesai hidup ibu sebagai bentuk kehadiran negara pada porsi paling minimal. Amerika Serikat dianggap sebagai negara dengan tingkat selesai hidup ibu yang paling tinggi di antara negara industri. Pada 1986, angka selesai hidup ibu per 100.000 kelahiran AS ialah 9,1. Pada 2009 melonjak hingga 14 kematian, dan itu telah dianggap sebuah peristiwa dalam sistem kesehatan nasional.


Di Indonesia, regulasi yang mengatur kewajiban tempat mengadakan sistem kesehatan seharusnya berbanding lurus dengan banyaknya pembangunan infrastruktur kesehatan, namun perbaikan kesehatan secara sistemik belum juga tercapai. Dengan pengaturan dalam regulasi tersebut, pemerintah diharapkan lebih bisa berfungsi sebagai pengawas pelayanan kesehatan yang pada hari ini sudah menjadi komoditas komersial.


Persoalannya, perbaikan kesehatan masyarakat ialah hal yang cukup kompleks. Masih terdapat banyak distorsi kebijakan dalam sistem kesehatan kita. Kita mungkin tidak terlalu melihat kondisi itu di Jawa. Tetapi, di luar Jawa, rasio penduduk dan akomodasi kesehatan saja sering jomplang.


Dengan kondisi yang lebih baik dalam iklim investasi bidang kesehatan dan proteksi regulasi tersebut, pemerintah sanggup bertindak. Tujuan dari penguatan regulasi ialah dua hal, yaitu 1) perbaikan mutu yang berkelanjutan, dan 2) pengendalian, pengawasan, tertib administrasi, proteksi masyarakat. Kedua hal tersebut yang sebetulnya diharapkan dalam pelayanan yang mengedepankan responsivitas layanan kesehatan.


Kompleksitas kasus sistem kesehatan ini disebabkan pula oleh political will masing-masing daerah. Sebagai pola ialah Undang-Undang Kesehatan Nomor 39 Tahun 2009 yang dinilai “mengancam” pengabdian para tenaga medis di daerah-daerah terpencil dalam tugasnya mengobati warga pinggiran yang miskin. Regulasi ini melarang perawat untuk melaksanakan praktik bidang kesehatan di luar keahlian dan kewenangan.


Pada pelaksanaannya, jaringan Puskesmas yang jumlahnya hanya 6 ribuan unit se-Indonesia tidak sanggup melaksanakan kinerjanya sesuai standar. Tidak semegah bilangan jumlahnya, kasus akomodasi ialah pokok kasus klasik. Puskesmas hanya dijaga oleh beberapa perawat dan dokter serta peralatan dan obat yang tidak memadai.


Puskesmas Pembantu pun hanya dilakukan oleh satu bidan desa tanpa peralatan yang cukup. Hal itulah yang “memaksa” para perawat di tempat terpencil untuk berinisiatif memfasilitasi warga miskin yang tidak terjamah akomodasi kesehatan pemerintah.


*Baca goresan pena perihal “Kesehatan Di Desa


Bukan kasus bila pelarangan tersebut dilakukan pada dikala kondisi sistem kesehatan telah baik. Dengan begitu, praktik perawat (atau dokter kontroversial stroke di atas) menyerupai itu ialah hal yang tidak dianjurkan. Selain kasus detail kedokteran, praktik para perawat dan dokter di luar sistem tersebut bekerjsama bisa juga dipahami sebagai sebuah keterpaksaan.


Infrastuktur, fasilitas, peralatan, dan SDM kesehatan ialah hal utama. Karena itu, terobosan dalam menajemen sitem kesehatan benar-benar diperlukan. Beberapa hal yang menjadikan keruntuhan organisasi sektor publik ialah kegagalan strategi, tidak bisa beradaptasi, kecurangan manajemen di tingkat atasnya, dan lemahnya pengawasan.


Dengan adanya UU Reformasi Jaminan Sosial pun masih banyak yang harus dilakukan. Bahkan dalam substansi peraturan yang masih belum memberi hukuman tempat dalam soal kualitas kesehatan penduduknya. Anggaran yang dikatakan telah jauh meningkat pun intinya hanya sanggup untuk memenuhi kebutuhan di beberapa tempat saja, dan banyak tempat lain masih kesulitan untuk menyediakan pelayanan minimalnya.


Salah satu hal yang perlu dibenahi dengan cepat ialah ketidaknormalan fungsi organisasi, yaitu fleksibilitas dan penyesuaian terhadap kondisi lapangan, perencanaan, dan inovasi.


Memang, segala sesuatu membutuhkan proses. Namun, perihal kesehatan ialah kasus yang tidak sanggup menunggu waktu. Pemerintah berkewajiban menyediakan pelayanan kesehatan yang demokratis bagi warganya, tidak terus-menerus dibayangi soal biaya dan standar pelayanan.


Sebagai pamungkas, manajemen sistem kesehatan ialah hal urgen yang harus segera dilakukan untuk menghentikan segala kasus tersebut.


*disarikan dari aneka macam sumber



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Paradoks Sistem Kesehatan Nasional Indonesia"

Posting Komentar