Tetapi narasi dominasi Cina yang tak terhindarkan ini bertumpu pada asumsi-asumsi utama yang terlalu sering luput dari pengamatan cermat. Ketika Cina menciptakan terobosan yang lebih dalam di Asia dan di tempat lain di dunia maka banyak pengamat memperkirakan bahwa hanya duduk kasus waktu sebelum Beijing memegang kendali hegemonik atas negara-negara tetangganya.
Tetapi narasi dominasi regional Tiongkok yang tak terhindarkan ini bertumpu pada asumsi-asumsi utama yang terlalu sering luput dari pengamatan cermat. Apakah itu diberikan contohnya bahwa Cina sanggup menerjemahkan volume perdagangan yang diperluas dan investasi infrastruktur saja menjadi kekuatan dan imbas yang lebih besar?
Apakah Washington dan tatanan regional yang telah mereka bantu bangun dan pertahankan benar-benar dalam penurunan yang tak terhindarkan?
Dapatkah pemain film kecil lainnya di Asia Tenggara dan wilayah yang lebih luas dibutuhkan secara pasif menyambut kebangkitan Cina?
Jalan Cina menuju keunggulan regional bisa lebih berliku dari yang dibutuhkan dan imbas AS di Asia menarik daya tahan yang cukup besar dari kepentingan strategis Washington dan jaringan sekutu yang luas.
Selain itu aktor-aktor regional lainnya menyerupai Indonesia, Malaysia, Filipina, Singapura, dan Thailand mempunyai ukuran agensi yang terlalu rendah dalam membentuk lingkungan strategis mereka dan menolak tuntutan Cina yang sombong.
Lansekap regional yang sedang berlangsung kemungkinan akan menjadi tambal sulam dari banyak sekali sentra kekuasaan daripada tarik-menarik antara Beijing dan Washington.
Hanya beberapa bulan sesudah ia mengkonsolidasikan kekuasaan, Presiden Cina Xi Jinping telah menciptakan 2 pidato penting yang memilih visi kebijakan luar negerinya. Yang pertama terjadi pada konferensi profil tinggi Oktober 2013 yang menandai pertemuan kebijakan pertama perihal "negara-negara tetangga" dalam sejarah Tiongkok kontemporer. Para hadirin termasuk Komite Tetap Politbiro dan semua pemain kebijakan luar negeri utama negara itu.
Xi menekankan pentingnya dan perlunya Cina memperdalam kolaborasi ekonomi dan kemitraan keamanan dengan negara-negara di halaman belakangnya. Dalam pidatonya yang bisa dibilang merupakan pernyataan kebijakan luar negeri Cina yang paling penting dalam dekade terakhir Xi yang meminta Beijing untuk "berusaha untuk mempromosikan suatu bentuk kolaborasi keamanan regional" dengan negara-negara tetangga yang ditandai oleh "rasa saling percaya, saling menguntungkan, kesetaraan, dan kolaborasi . "Dia menggarisbawahi pentingnya" menjaga perdamaian dan stabilitas di wilayah tetangga "dan perlunya" mempercepat konektivitas infrastruktur "dan" membangun teladan gres integrasi ekonomi regional."
Pengumuman strategis Xi tiba di belakang serangkaian tanda bahwa kekerabatan Beijing dengan tetangganya memburuk. Negara itu diganggu oleh ketegangan dengan negara-negara di seluruh apa yang disebut Rantai Pulau Pertama yang membentang dari Jepang utara hingga ke penggalan barat Laut Cina Selatan.
Filipina, sekutu AS dan negara penuntut utama di Laut Cina Selatan yang menciptakan keputusan yang belum pernah terjadi sebelumnya untuk membawa Tiongkok ke pengadilan atas perselisihan wilayah maritim mereka, sementara Manila mengeksplorasi kemungkinan membangun pangkalan AS semi-permanen di daerahnya menurut Perjanjian Kerjasama Pertahanan yang Ditingkatkan.
Sementara itu Washington baru-baru ini meluncurkan porosnya pada kebijakan Asia yang dianggap oleh banyak pemimpin Cina sebagai seni manajemen penahanan terselubung yang tipis.
Xi mengakui urgensi mengurangi ketegangan antara Beijing dan negara-negara tetangga kalau-kalau jatuhnya yang terakhir sejalan dengan jaringan aliansi anti-Cina yang dipimpin AS.
Sebagai tanggapan Xi mengambil banyak sekali langkah yang dirancang untuk memperkuat tangan Cina.
Kegiatan reklamasi besar-besaran pada fitur-fitur tanah yang disengketakan di Laut Cina Selatan, mengubah bebatuan, atol, dan ketinggian air pasang menjadi pulau-pulau buatan raksasa yang kini menampung aset militer canggih termasuk elektronik peralatan pengacau, rudal permukaan ke udara, dan rudal jelajah anti-kapal.
Tentara Pembebasan Rakyat dan meningkatkan pendanaannya untuk fokus pada proyeksi kekuatan ofensif dan kekuatan udara ofensif dan meningkatkan kapasitas pasukan strategis Cina untuk menolak atau meningkatkan biaya kanal AS dan negara-negara besar lainnya ke perairan yang berdekatan dengan Tiongkok jikalau terjadi konflik.
Di bidang diplomatik ia menunjuk Wang Yi, seorang pakar Asia dan diplomat veteran terkemuka sebagai menteri luar negeri barunya. Wang sebelumnya memainkan tugas kunci antara lain selama perundingan Deklarasi 2002 perihal Perilaku Para Pihak di Laut Cina Selatan. Pada bulan yang sama ketika Xi memberikan pidato kebijakan luar negeri utamanya, Perdana Menteri Li Keqiang mengusulkan kerangka kolaborasi gres pada pertemuan puncak antara Cina dan Asosiasi untuk Negara-negara Asia Tenggara (ASEAN).
Kerangka kerja tersebut membayangkan sebuah konsensus politik dua poin perihal peningkatan rasa saling percaya dan keramahan yang baik yang kemungkinan melalui versi Cina dari Perjanjian Amity and Cooperation dikombinasikan dengan paket kolaborasi ekonomi yang berfokus pada ekspansi investasi bilateral, perdagangan, dan infrastruktur. Proposal Li ialah penggalan dari leg kelautan dari Inisiatif Sabuk dan Jalan Cina (BRI), sebuah rencana menyeluruh untuk berinvestasi dalam infrastruktur dan proyek konektivitas lainnya di seluruh Eurasia.
Sebulan sebelumnya di bulan September 2013, Xi memberikan pidato penting lainnya kali ini di Universitas Nazarbayev di Kazakhstan di mana ia meresmikan penggalan darat BRI.
Dengan cara ini Cina mengumumkan upayanya untuk memimpin fase gres persaingan geopolitik yaitu melalui pembangunan infrastruktur.
Yan Xuetong, salah satu cendekiawan kebijakan luar negeri Cina yang paling terkemuka, “Kebijakannya kini ialah untuk memungkinkan negara-negara kecil tetangga] ini mendapatkan manfaat ekonomi dari kekerabatan mereka dengan Cina.
Kami membiarkan mereka menerima manfaat secara ekonomi dan sebagai imbalannya kami mendapatkan kekerabatan politik yang baik.
Kita harus 'membeli' hubungannya."
Pada tahun-tahun berikutnya Cina telah mendanai sejumlah proyek infrastruktur di seluruh Indo-Pasifik dan di tempat lain di dunia.
Beberapa proyek yang paling menonjol di Asia Tenggara termasuk proyek kereta api utama yang disebut East Coast Rail Line dan proyek pelabuhan besar yang disebut Melaka Gateway di Malaysia kereta api yang diusulkan antara kota Cina Kunming dan Singapura kereta cepat Jakarta-Bandung di Indonesia.
Namun setidaknya beberapa dari proyek-proyek ini telah memicu kontroversi di ibukota di seluruh wilayah lantaran sejumlah masalah, termasuk meningkatnya beban utang, persyaratan tidak transparan dan ketidakpedulian yang dirasakan terhadap dampak ekologis.
Tetapi terlepas dari upaya Cina untuk menerjemahkan bobot ekonomi menjadi niat baik diplomatik, banyak dari tetangganya masih menyimpan keraguan perihal Beijing. Sebagian ini duduk kasus skala. Seperti yang dikatakan Perdana Menteri Malaysia Mahathir Mohamad kepada penulis dalam sebuah wawancara pada awal Maret 2019, “dunia selalu takut pada Cina lantaran itu ukuran besar. "Menyoroti realitas struktural yang tak terbantahkan yang membentuk kekerabatan Beijing dengan tetangga terdekatnya, Mahathir menambahkan bahwa" ketika Tiongkok miskin, orang-orang khawatir perihal Cina. Sekarang orang Cina menjadi kaya dan mereka masih khawatir lantaran alasan lain. ”
Perdana menteri Malaysia tidak hanya tokoh yang sangat menonjol di Asia Tenggara tetapi juga salah satu pemimpin daerah yang paling vokal dalam hal-hal yang menyangkut imbas ekonomi Tiongkok. Sejak kembalinya bersejarah ke kekuasaan sesudah hampir 2 dekade pensiun (parsial), maverick Malaysia itu menjadi pemandu sorak yang tidak mungkin untuk skeptisisme terhadap Cina di Indo-Pasifik.
Sesuai dengan kesepakatan yang ia jalankan dalam pemilihan umum Malaysia tahun 2018, Mahathir telah menerapkan pengawasan yang lebih besar terhadap urusan ekonomi negara itu dengan Cina. Pada bulan November 2018, ia untuk sementara waktu menangguhkan investasi infrastruktur Cina bernilai puluhan miliar dolar secara terbuka mempertanyakan keberlanjutan dan transparansi mereka. Pada awalnya infrastruktur Cina akan dipertimbangkan kembali jikalau bukan penghapusan termasuk proyek pelabuhan Gateway Melaka, proyek East Coast Rail Link senilai $ 20 miliar, dan proyek pipa gas alam utama. Pada bulan April 2019, pemerintah Malaysia mengumumkan bahwa sesudah berbulan-bulan tawar-menawar dan perundingan yang keras, Cina telah setuju untuk mengurangi biaya konstruksi East Coast Rail Link sekitar $ 5 miliar dan memungkinkan partisipasi yang lebih besar dari pekerja dan perusahaan setempat. Status simpulan dari proyek-proyek tersebut di atas bagaimanapun tidak jelas.
Renegosiasi ini mencerminkan bagaimana Malaysia dan negara-negara lain yang berpikiran sama telah memperlihatkan keprihatinan yang semakin besar perihal ekonomi dan khususnya risiko fiskal lantaran mendapatkan terlalu banyak pinjaman Tiongkok dan upaya negara itu untuk bergulat dengan korupsi. Stabilitas fiskal ialah pertimbangan utama. Dihadapkan dengan yang sebagian besar disebabkan oleh kesepakatan ekonomi antara Cina dan manajemen mantan perdana menteri Najib Razak yang diliputi korupsi, pemerintah Malaysia merasa bahwa menilai kembali investasi besar-besaran infrastruktur Tiongkok sangat penting.
Keluhan Mahathir mencerminkan kekhawatiran yang masih ada di antara negara-negara di seluruh Asia perihal risiko tersandung dalam perangkap utang dengan berpartisipasi dalam BRI yang dipimpin Tiongkok. "Jika Anda meminjam sejumlah besar uang, Anda pada balasannya akan berada di bawah imbas dan arah pemberi pinjaman," kata Mahathir kepada penulis, menggarisbawahi ancaman "kepatuhan" paksa jikalau kekuatan yang lebih kecil meminjam di luar "kapasitas mereka untuk membayar." memperingatkan negara peserta biar tidak "membahayakan kebebasan Anda sendiri" lantaran "berhutang terlalu banyak ke Cina."
Agar adil, politik dalam negeri yang berpusat pada dugaan korupsi merupakan faktor utama dalam rekalibrasi kekerabatan Malaysia dengan Cina. Berusaha menolak sikap korup pendahulunya, Mahathir menuduh pemerintah Najib menjual negara itu ke Beijing dengan imbalan suap dan kesepakatan investasi infrastruktur. Sebelum pemilihan 2018 dan transfer kekuasaan berikutnya keputusan Cina untuk memberikan $ 2,3 miliar dukungan kepada manajemen sebelumnya di puncak skandal korupsi 1Malaysia Development Berhad (1MDB) sementara negara-negara lain mulai membekukan rekening bank pemimpin Malaysia hanya selanjutnya mengasingkan oposisi yang dipimpin Mahathir pada ketika itu. Seperti diakui Menteri Keuangan ketika ini Lim Guan, Malaysia mencari Untuk memulihkan keuangan kita dan juga mengembalikan reputasi negara kita di bundar keuangan internasional," reputasi yang telah sangat rusak di tengah skandal korupsi 1MDB dan melemahnya posisi fiskal negara.
Pertimbangan geopolitik regional juga merupakan penggalan dari persamaan. Mengamati penyelesaian hutang-untuk-ekuitas Cina yang kontroversial di tempat lain di Indo-Pasifik, menteri keuangan Malaysia menjelaskan bahwa skenario menyerupai pengambilalihan pelabuhan Sri Lanka oleh Tiongkok untuk membayar utangnya ialah tidak mungkin bagi Malaysia. Selama kunjungan ke Beijing pada Agustus 2018, Mahathir secara terbuka memperingatkan terhadap “kolonialisme baru.” Ia juga menganjurkan obrolan dan kolaborasi dengan peserta utama investasi BRI Tiongkok lainnya termasuk Pakistan yang telah banyak berhutang kecerdikan sebagian lantaran Koridor Ekonomi Cina-Pakistan senilai $ 62 miliar. "Ketika kita berbicara perihal kolonialisme baru," Mahathir mengamati, "apa yang dilakukan orang Cina tidak persis menyerupai itu tetapi mempunyai imbas berkurangnya kebebasan bertindak dari negara lain yang berutang terlalu banyak uang ke Cina."
Bagi negara-negara tetangga, bendera merah utama lainnya ialah ketidakmampuan Tiongkok untuk menghargai kekhawatiran dan kekhawatiran mereka sebagai pemain film geopolitik yang lebih kecil dan kurang berpengaruh. Agar adil pemimpin Malaysia telah mengambil posisi yang agak bernuansa pada investasi Cina. Jauh dari menolak mentah-mentah BRI, ia telah menjelaskan bahwa “kami tidak keberatan mereka mendirikan pabrik untuk menghasilkan barang.” Mahathir melanjutkan, “penting bagi Cina untuk juga memperhatikan pandangan negara lain dan persepsi."
Skeptisisme Malaysia yang meningkat terhadap Beijing di bawah Mahathir sangat relevan untuk setidaknya 2 alasan utama. Pertama, Malaysia secara historis berada di antara teman-teman terdekat Cina dan kawan dagang dan investasi setidaknya semenjak mantan pemimpin Cina Deng Xiaoping mulai mencari pemulihan kekerabatan dengan Asia Tenggara pada awal 1980-an. Kedua lantaran Malaysia ialah negara yang relatif maju, berukuran sedang, pengalamannya bahkan lebih instruktif untuk memahami pandangan negara-negara yang lebih besar dan lebih maju di Asia Tenggara dan melampaui menyerupai Laos, Pakistan, atau Sri Lanka tidak pernah bisa. Bagaimanapun negara-negara Asia yang lebih maju dengan peringkat kredit yang kuat umumnya sanggup mengandalkan forum keuangan internasional atau investor swasta untuk mengumpulkan dana untuk proyek infrastruktur. Sebaliknya negara-negara miskin dengan peringkat kredit yang lebih lemah cenderung mempunyai opsi yang lebih terbatas yang menjelaskan ketergantungan mereka pada pemberi pinjaman menyerupai Cina. Malaysia, di bawah pemerintahan Najib menjadi dongeng peringatan perihal bagaimana bahkan negara-negara Asia yang lebih maju sanggup menjadi mangsa beban utang Cina.
Malaysia bukan satu-satunya pemain film di Asia Tenggara yang menghadapi tantangan perihal bagaimana menanggapi anjuran diplomatik Cina. Pushback Kuala Lumpur telah menggemakan skeptis Cina dan Cina menjajakan negara-negara tetangga lainnya khususnya Indonesia.
Memang Beijing telah menciptakan terobosan ekonomi di Asia Tenggara menyerupai halnya di banyak penggalan dunia lainnya. Beijing memperluas pangsa perdagangannya Asia Tenggara dan Asia secara lebih luas. Profesor AS David Kang telah mencatat secara eksponensial pangsa perdagangan dan investasi di Cina yang diperluas selama 2 dekade terakhir.
Namun integrasi ekonomi yang digerakkan Tiongkok menginspirasi ledakan reaksi nasionalis dan proteksionis terhadap imbas Beijing yang meningkat terhadap negara-negara tetangga. Keadaan ini menyerupai dengan istilah "transformasi besar" yang diciptakan untuk melabeli integrasi ekonomi yang cepat di bawah kapitalisme dan reaksi balik yang muncul di antara partai-partai yang terancam dan terpinggirkan. Integrasi dalam hal ini antara Cina dan negara-negara tetangganya mungkin juga menghasilkan kebencian dan reaksi yang sebaliknya bukannya pawai linier menuju harmoni yang didorong pasar.
Selain itu akun konvensional dari kekerabatan ekonomi Cina yang berkembang dengan negara-negara tetangga kehilangan asimetri yang mencolok dalam volume perdagangan dan persyaratan antara Beijing dan kawan dagangnya.Cina menjalankan surplus perdagangan yang melebar dengan hampir semua negara tetangganya di Asia Tenggara. Ada kebencian di seluruh daerah perihal relokasi manufaktur kelas bawah ke Cina daratan selama beberapa dekade terakhir sementara banyak perusahaan kecil dan menengah bersusah payah dengan masuknya produk-produk Cina yang murah. Meskipun investasi Cina di wilayah ini meluas, ketergantungan negara itu yang pada pekerja Cina selain teknologi dan kecakapan teknik Cina hanya memperburuk ketidakpuasan di antara penduduk setempat di negara-negara penerima.
Asimetri ini telah menghidupkan kembali impuls proteksionisme yang telah usang mendidih di antara negara-negara berkembang yang membenci dominasi ekonomi neokolonial Barat pada kurun kedua puluh. Justru konteks inilah yang Mahathir, pewaris Gerakan Non-Blok kurun ke-21 yang paling terkemuka sedang berbicara ketika di berbicara perihal "kolonialisme baru" di Asia. Apa yang memperburuk posisi Cina dan memperkuat ketegangan yang tumbuh dengan negara-negara regional yang lebih berdikari ialah serangan pesona negara yang terkadang disalahpahami dan pendekatan diplomatik Whiplash Xi.
Dalam masalah Singapura masalahnya tidak sepenuhnya ekonomis.Salah satu aspek dari pertengkaran diplomatik negara-kota yang semakin terbuka dengan Beijing ialah meningkatnya kekhawatiran atas campur tangan Cina dalam politik domestik. Seperti yang dikatakan oleh diplomat veteran Singapura Bilahari Kausikan, Cina terlibat dalam "operasi pengaruh" habis-habisan yang berupaya untuk menggalang kelompok etnis Cina di seluruh Asia di bawah bendera Partai Komunis Tiongkok.Penggabungan Kantor Urusan Luar Negeri Tiongkok ke dalam United Front Work Department telah mengisyaratkan lahirnya seni manajemen gres ini yang sangat kontras dengan klaim Beijing yang tidak campur tangan dalam urusan dalam negeri negara lain.
Singapura khawatir perihal pengaburan Beijing yang sepertinya disengaja atas perbedaan antara huaren (etnis Tionghoa dari semua kebangsaan) dan huaqiao (warga Cina yang tinggal di luar negeri). Seperti Kausikan menekankan dalam pidato Juli 2018 yang populer perihal operasi imbas Tiongkok di Asia Tenggara, “titik dari pekerjaan front persatuan yang sedang berlangsung ialah untuk mengaburkan perbedaan antara domestik dan internasional dan mempromosikan kepentingan partai di mana pun berada, domestik atau internasional.” Dia melanjutkan untuk memperlihatkan bahwa kampanye semacam ini “mewakili penolakan atau penolakan terhadap norma Westphalian non-campur tangan dalam urusan internal, yang diabadikan dalam Pasal 41 Konvensi Wina perihal Hubungan Diplomatik.” Bilahari beropini bahwa sikap Cina semacam itu merupakan suatu bentuk "penjangkauan" strategis dalam hubungannya dengan negara-negara tetangga.
Perkembangan ini sangat mengkhawatirkan dalam konteks klaim bahwa “perwujudan peremajaan besar bangsa Tiongkok membutuhkan upaya bersama putra dan putri Tiongkok di dalam dan luar negeri.” Itu lebih benar mengingat bahwa ada banyak sebagai 60 juta orang etnis Tionghoa yang tinggal di seluruh dunia, banyak dari mereka tinggal di negara-negara tetangga di Asia Tenggara.
Singapura telah mengambil setidaknya beberapa langkah untuk menopang pertahanannya. Pada 2017, negara-kota Huang Jing, seorang profesor kelahiran Cina terkemuka di Sekolah Kebijakan Publik Lee Kuan Yew sesudah menuduh sarjana itu "bekerja sama dengan biro intelijen gila dari Cina" dan upaya untuk terlibat dalam " subversi dan campur tangan gila dalam politik domestik Singapura. ”Singapura juga memperketat undang-undang keamanan sibernya terhadap informasi dan propaganda palsu termasuk dari aktor-aktor luar negeri yang bermusuhan. Dan kekhawatiran Singapura terhadap kekuatan tajam Cina daratan juga sanggup diperlihatkan ketika negara kota itu tetapkan untuk membangun Pusat Kebudayaan Cina Singapura untuk menegaskan interpretasinya yang unik perihal warisan budaya Tiongkok.
Kampanye disinformasi Rusia dan campur tangan dalam pemilihan AS dan Eropa kemungkinan berfungsi sebagai seruan bangun terhadap gangguan serupa dan kampanye infiltrasi oleh Cina untuk menghipnotis politik Singapura. Seperti yang dicatat oleh manifestasi dari "kekuatan tajam" menyerupai itu melibatkan kampanye oleh "rezim sewenang-wenang yang kuat dan ambisius" yang "berpusat pada gangguan dan manipulasi" urusan publik di negara-negara asing.
Pertengkaran Singapura dengan Beijing terkadang mempunyai implikasi keamanan yang lebih tajam. Ketegangan bilateral tumbuh pada isu terkini panas 2016 ketika Singapura meminta Cina dan Filipina untuk menghormati putusan arbiter terkait dengan Konvensi PBB perihal Hukum Laut (UNCLOS) di tengah masalah arbitrase yang diprakarsai Manila terhadap teritorial Beijing yang menyapu wilayah maritim Beijing. klaim Beijing bagaimanapun menafsirkan ini sebagai tantangan eksklusif ke posisi tiga tidak: nonparticipation, nonrecognition, dan ketidakpatuhan dengan proses arbitrase UNCLOS. Pertahanan yang lebih akrab dan kolaborasi strategis antara Singapura dan Taiwan juga memicu kontroversi. Pada simpulan 2016, Tiongkok bahkan menyiratkan sementara sekelompok kendaraan lapis baja Singapura transit melalui Hong Kong dari latihan militer di Taiwan.
Episode ini memicu krisis diplomatik dan perundingan selama berminggu-minggu sebelum kapal induk Terrex Singapura balasannya dikembalikan. Terganggu oleh meningkatnya ketegasan maritim Cina, Singapura telah meningkatkan kolaborasi militernya dengan AS dengan memberikan kanal permanen ke kapal-kapal tempur pesisir AS serta orang-orang dari kawan yang sepaham menyerupai Australia, India, Jepang, dan Taiwan. Bahkan beberapa analis strategis mulai berbicara perihal prospek memperluas setidaknya beberapa elemen yaitu format untuk kolaborasi strategis yang dilembagakan antara Australia, India, Jepang, dan AS untuk memasukkan Singapura. Sementara itu negara-kota ini dengan cepat memperluas kemampuan militernya lantaran mencapai tertinggi 12 tahun pada tahun 2019 meskipun terjadi perlambatan ekonomi.
Dalam beberapa hal goresan Singapura yang semakin besar dengan Cina bahkan lebih mencengangkan daripada Malaysia terutama mengingat susunan etnis lebih banyak didominasi Tiongkok di negara kota itu dan ikatan diplomatik dan ekonomi yang semakin akrab dengan daratan. Bagaimanapun almarhum perdana menteri Singapura Lee Kuan Yew memainkan tugas penting dalam membentuk tidak hanya kebijakan ekonomi Cina sesudah masa jabatan Mao Zedong tetapi juga kekerabatan diplomatiknya dengan Barat.
Perdebatan strategis yang sedang berlangsung di dalam dan di antara negara-negara inti Asia Tenggara hanya mempercayai mitos kecerdikan diplomatik Cina dan perkiraan keliru perihal keniscayaan hegemoni regional Cina. Celah antara Cina dan banyak negara di Asia Tenggara memperlihatkan bahwa profil regional Cina yang tumbuh belum semulus yang pertama kali terlihat. Semakin Beijing memperluas pengaruhnya terhadap wilayah ini dengan cara mengepal, semakin mengingatkan para tetangga postkolonial yang lebih kecil perihal kengerian tidak hanya kolonialisme Barat tetapi juga sistem anak sungai pra-modern yang berpusat pada Cina. Integrasi yang lebih besar dengan Cina juga menghasilkan rasa proteksi diri dan kebutuhan akan otonomi di banyak negara tetangganya.
Di luar keinginannya yang terkadang tuli terhadap tetangga-tetangganya, anjuran aktual Tiongkok untuk keunggulan strategis di Indo-Pasifik telah menghantam setidaknya 3 alasan lain.
Untuk satu hal pendakian Tiongkok yang gres mulai terjadi selama periode kebangkitan strategis AS dalam beberapa hal, terutama di bawah pemerintahan Presiden Donald Trump yang telah memperlihatkan pengendalian diri yang jauh lebih sedikit daripada pendahulunya dalam hal menantang Tiongkok. Narasi konvensional di antara para analis perihal manajemen Trump ialah salah satu retret strategis AS terutama mengingat kurangnya popularitas presiden di wilayah tersebut serta keputusannya untuk membatalkan kesepakatan perdagangan Trans-Pacific Partnership (TPP), sebuah pilar dari pemerintahan sebelumnya. menyeimbangkan kembali ke Asia.
Tetapi tugas Washington dalam lanskap regional Asia lebih kompleks dari itu. AS telah meningkatkan kebebasan operasi navigasi (FONOPs) dan b0mer nuklir patroli udara di Laut Cina Selatan secara terbuka menentang klaim teritorial maritim yang berlebihan tetapi diperebutkan Cina.
Pemerintahan Trump telah memberikan kelonggaran yang lebih besar kepada Pentagon untuk mengusut ketegasan maritim Cina, termasuk pada keputusan mengenai FONOP. Washington juga telah memalsukan pembiayaan militer asingnya ke sekutu-sekutu utama regional termasuk Filipina secara terbuka menyerukan Cina untuk menghapus aset militer canggih dari fitur-fitur yang dipersengketakan di Laut Cina Selatan dan bahkan tetapkan untuk memperlakukan Pasukan paramiliter Cina yang beroperasi di daerah itu sebagai perpanjangan de facto dari angkatan maritim Cina. Pemerintahan Trump bahkan mengambil langkah yang belum pernah terjadi sebelumnya secara terbuka menyarankan bahwa hal itu akan tiba untuk menyelamatkan Filipina dalam kejadian konflik dengan Beijing di Laut Cina Selatan.
Washington juga meningkatkan keterlibatan ekonominya di Asia. Pada 2018, Kongres AS mengesahkan Asia Reassurance Initiative Act yang bernilai miliaran dolar yang menambah jejak dan diplomasi pertahanan dan militer negara itu di Indo-Pasifik. Sementara itu Utilisasi Investasi yang Lebih Baik senilai $ 60 miliar yang mengarah ke Undang-Undang Pembangunan bertujuan untuk memobilisasi investasi AS yang berkualitas tinggi di pasar strategis khususnya di Asia Timur. Bagi Washington dan sekutu-sekutunya, upaya-upaya ini intinya perihal menegakkan “Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka,” yaitu dengan melestarikan hukum liberal secara luas, baik formal maupun informal, yang mengatur interaksi antar negara.
Di bidang perdagangan, AS secara terbuka mencari perubahan fundamental dalam kebijakan perdagangan dan industri Cina mempertanyakan kelayakan BRI untuk menghindari investasi teknologi tinggi Tiongkok terutama di sektor strategis. Sementara kesenjangan relatif antara kecakapan ekonomi dan militer Beijing dan Washington telah secara dramatis menyempit dalam dekade terakhir, Cina masih tertinggal jauh di belakang AS dalam hal stok sumber daya netto termasuk kekuatan lunak, teknologi mutakhir, modal manusia, perangkat keras militer, mineral berharga, dan sumber daya alam lainnya, dan aset ekonomi lainnya yang sanggup dimobilisasi pada masa konflik. Seperti yang dicatat oleh cendekiawan Michael Beckley bahwa “kekuatan suatu negara bukan berasal dari sumber daya bruto, tetapi dari sumber daya nettonya dari sumber daya yang tersisa sesudah mengurangi biaya pembuatannya.” Selain itu Cina menghadapi tantangan struktural internal besar-besaran tantangan demografis yang akan datang. dari populasi yang menua, meningkatnya keresahan sosial, meningkatnya degradasi lingkungan, dan ketidakseimbangan ekonomi di sektor real estat dan perbankan negara itu.
Agar adil, "kebangkitan" AS telah sebagian besar di bidang pushback militer terhadap Cina dan ada kekhawatiran mendalam di antara kawan regional dan sekutu atas prediksi kebijakan AS di bawah populis di Gedung Putih. Namun survei terbaru memperlihatkan bahwa sebagian besar dunia masih lebih suka AS daripada Cina sebagai pemimpin global.
Di luar upaya Washington sendiri untuk menanggapi pendakian Cina, patut dicatat bagaimana sekutu AS dan kawan yang berpikiran sama mengisi kekosongan yang ditinggalkan oleh kebijakan proteksionis Trump. Apa yang menambah keunggulan AS atas Cina ialah tahan usang luas yang jaringan aliansi regional terutama dengan kekuatan menengah yang membuatkan umum meskipun tidak identik, kekhawatiran perihal meningkatnya ketegasan Cina, negara-negara menyerupai Australia, Jepang, dan, semakin, India. Beberapa dari kekuatan regional ini yaitu Jepang dan Australia sepertinya berkomitmen pada visi Washington perihal "Indo-Pasifik yang bebas dan terbuka" dan mendukung tekanan balik yang dipimpin AS terhadap Tiongkok. Dalam konteks inilah seseorang harus memahami upaya Jepang yang berhasil, bahu-membahu dengan Australia untuk menyadarkan versi revisi TPP Mitra AS cukup bisa dalam hak mereka sendiri. Jepang, sekutu perjanjian AS sudah mempunyai inisiatif konektivitas bernilai miliaran dolar sendiri yang mendanai sejumlah besar proyek infrastruktur kritis di seluruh Asia Tenggara. Australia dan ASEAN telah menandatangani perjanjian investasi yang bertujuan untuk "mengembangkan jaringan proyek infrastruktur berkualitas tinggi, untuk menarik investasi swasta dan publik." India secara terpisah memperluas dukungan pembangunannya ke dan kolaborasi strategis dengan negara-negara ASEAN.
Alih-alih mengandalkan kode atau inisiatif AS, masing-masing kekuatan menengah ini melibatkan anggota ASEAN baik secara bahu-membahu atau secara individu untuk membantu melestarikan dan memperdalam tatanan menurut hukum di Indo-Pasifik. Pertarungan strategis yang sedang berlangsung ini tidak diperjuangkan terutama dengan mencari cara untuk mencocokkan inisiatif Cina dengan dolar demi dolar. Sebaliknya, dan yang lebih penting, ini ialah persaingan atas peraturan dan regulasi yang akan mengatur pembangunan global dan investasi infrastruktur strategis. Memang, masih terlalu dini untuk berbicara perihal aliansi Quad yang sepenuhnya kohesif melawan Cina tetapi masing-masing dari empat kekuatan Quad telah memperlihatkan minat yang meningkat dalam membantu kebutuhan dan aspirasi pembangunan dan keamanan Asia Tenggara.
Tidak menyerupai Washington dan daftar kawan yang kuat, Cina hampir tidak mempunyai sekutu tunggal yang sanggup mendapatkan amanah untuk mempromosikan visi dan nilai-nilai untuk wilayah tersebut. Baik Korea Utara dan Pakistan, yang dianggap sebagai kawan strategis terdekat Beijing telah berusaha untuk mendiversifikasi kekerabatan eksternal mereka dalam beberapa tahun terakhir. Pyongyang telah mengusahakan perundingan eksklusif dengan Washington yang sebagian besar dengan tujuan menghapus hukuman eksekusi terhadap ekonomi yang gagal. Islamabad yang pada gilirannya telah berputar ke Arab Saudi mendapatkan dana talangan lain dari Dana Moneter Internasional untuk mengurangi ketergantungan negara yang berlebihan dan menggembungkan beban utang lantaran BRI.
Masalah besar lainnya dengan anjuran Cina untuk menjadi yang utama di Indo-Pasifik ialah bahwa beberapa negara Asia Tenggara berusaha untuk mendiversifikasi kemitraan strategis dan sumber-sumber investasi gila mereka. Meskipun dikenal lantaran ketegangan historisnya dengan Barat, para pemimpin Malaysia (Mahathir) dan Filipina (Presiden Rodrigo Duterte) belum lagi para pemimpin Komunis Vietnam telah menyambut kerjasama strategis yang lebih akrab dengan dan investasi dari AS dan yang penting Jepang. Bahkan negara-negara miskin di Asia Tenggara menyerupai Kamboja, Laos, dan Myanmar telah secara proaktif mencari investasi pembangunan dan infrastruktur Jepang untuk mengurangi ketergantungan mereka pada Cina.
Ini lantaran negara-negara Asia Tenggara baik kecil maupun besar dengan cemburu berusaha untuk mempertahankan otonomi strategis pascakolonial mereka yang memainkan satu kekuatan besar terhadap yang lain sambil menghindari ketergantungan pada kekuatan gila apa pun. Baik negara-negara Asia Tenggara berpenghasilan rendah dan menengah juga telah dengan tekun mencari, baik secara bilateral maupun multilateral (melalui ASEAN), diversifikasi kekerabatan strategis dengan sejumlah kekuatan Indo-Pasifik, termasuk tidak hanya hina dan AS tetapi juga India, Jepang, dan Rusia.
Negara-negara Asia Tenggara juga menginginkan bermacam-macam sumber investasi dan bantuan. Pada tahun-tahun awal era pasca-Perang Dingin, Amerika Serikat berfungsi sebagai penjamin keamanan utama di Asia Tenggara sementara Jepang telah bertindak sebagai pemain ekonomi utama semenjak Perang Dunia II. "Gelombang" pertama investasi Jepang di Asia Tenggara terjadi selama tahun 1980-an dan 1990-an, dan yang kedua telah terjadi selama dekade terakhir, lantaran Jepang telah berupaya memberikan alternatif kepada pihak ketiga kepada pembiayaan Cina. Harus diakui kemunculan Cina sebagai pemain ekonomi utama telah memperluas kumpulan kawan strategis Asia Tenggara lantaran AS dan Jepang telah memainkan tugas yang kurang memilih dalam beberapa tahun terakhir.
Bagaimanapun, negara-negara Asia Tenggara tidak digadaikan di papan catur geopolitik tetapi pemain aktif dengan agensi yang cukup besar dalam membentuk masa depan strategis mereka sendiri. Hasil dari lanskap strategis yang sangat dinamis dan diperebutkan ini ialah munculnya tatanan regional horizontal yang berlawanan dengan tatanan yang terutama hierarkis, Sino-sentris atau yang dipimpin AS. Kemungkinan akan ada banyak sentra kekuasaan dan banyak sekali tingkat kebebasan strategis yang diberikan kepada masing-masing negara, dan tidak ada kekuatan tunggal yang akan bisa membentuk aktivitas keamanan, ekonomi, dan diplomatik regional sepenuhnya. Munculnya kerjasama berbicara-ke-berbicara antara sekutu AS dan kawan strategis yang telah bertindak semakin berdikari dari diktat Trump, merupakan indikasi jaringan kolaborasi yang fleksibel yang muncul di Indo-Pasifik.
Tantangan terbesar terhadap upaya Cina untuk hegemoni di Indo-Pasifik terutama Asia Tenggara ialah pendekatannya yang tidak canggih terhadap diplomasi regional. Beijing telah dihantui oleh bentuk hegemonik keangkuhan yang mengalienasi proyek infrastruktur besar-besaran yang kurang transparan dan berkelanjutan, pengabaian terbuka terhadap pencarian negara-negara kecil untuk otonomi, dan meningkatnya ketegasan di tengah sengketa yang sedang berlangsung di Laut Cina Selatan.Tidak heran survei otoritatif< di seluruh Asia Tenggara memperlihatkan bahwa 70 % responden ingin pemerintah mereka berhati-hati dalam mengambil terlalu banyak utang melalui BRI Cina sementara kurang dari setengahnya menyatakan keyakinannya pada kemampuan Cina untuk memainkan tugas kepemimpinan daerah yang konstruktif. Negara yang paling tepercaya di mata negara-negara Asia Tenggara tetap Jepang. Cina tidak diragukan lagi pemain utama di wilayah ini tetapi jauh dari hegemonnya yang tak terhindarkan.
Landing Page: https://track.fiverr.com/visit/?bta=42435&nci=5650&utm_campaign=&landingPage=thofiba.blogspot.com
Sumber http://tipsorialindo.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Serangan Andal Di Asia Terhadap Kebangkitan Tiongkok"
Posting Komentar