√ Jkn Mematikan Swasta

Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) memasuki tahun keempat dengan gonjang-ganjing kebangkrutan BPJS Kesehatan dan matinya JKN. Selama tiga tahun BPJS Kesehatan defisit lebih dari Rp 18 triliun.


Manajemen buruk, kecurangan dokter dan rumah sakit (RS), kecurangan peserta, dan sebagainya sering menjadi tudingan. Ketidakterbukaan BPJS menambah kecurigaan banyak pihak. Padahal, sebagai tubuh aturan publik, BPJS harus transparan. Manajemen BPJS pun kalapdengan menciptakan aturan waktu tunggu, denda pelayanan, dan upaya lain untuk mengurangi defisit. Upaya-upaya yang tak sesuai dengan tujuan utama JKN.


Kabinet Kerja menerima berkah dari JKN. Kepuasan rakyat terhadap kinerja pemerintah dalam bidang kesehatan di atas 65 persen. Kini, 175 juta orang telah menjadi akseptor JKN. Namun, sekitar separuhnya tak memakai haknya saat perlu rawat jalan RS. Penduduk kelas menengah atas dan banyak pegawai negeri, pejabat yang menciptakan aturan JKN, tak memakai JKN. Mereka lebih menentukan membayar sendiri atau membeli asuransi kesehatan pemanis untuk mereka gunakan.


Bahkan, BPJS Kesehatan pun membeli asuransi pemanis swasta untuk pegawainya. Hal itu merupakan indikasi layanan JKN tak memuaskan. Namun, BPJS Kesehatan mengklaim kepuasan akseptor lebih dari 75 persen. Klaim yang bias alasannya sampel survei hanya dilakukan pada akseptor yang pernah menggunakan.


Meskipun lebih dari 1.000 RS swasta telah bekerja sama dengan BPJS, pemantauan dan laporan publik mengatakan banyak pura-pura RS. Pasien akseptor JKN menerima diskriminasi, bahkan di RS milik pemerintah. Banyak indikasi yang mengatakan bahwa bahwasanya RS setengah hati melayani akseptor JKN.


Waktu kunjungan yang dibatasi pagi dan hari kerja saja, pembatasan kuota pasien JKN, dan pelayanan lab/radiologi pasien JKN sebagian per hari, memaksa pasien JKN bolak-balik menghabiskan waktu dan biaya transpor. Semua itu dilakukan akomodasi kesehatan alasannya bayaran BPJS di bawah harga keekonomian. Selain itu, terdapat diskriminasi besaran bayaran antara akomodasi kesehatan milik pemerintah dan milik swasta.


 


Bayaran akomodasi kesehatan


Diskriminasi bayaran kapitasi dan CBG (casemix based groups) terjadi semenjak 2014. Bayaran kapitasi yaitu pembayaran borongan untuk layanan dokter umum yang meliputi konsultasi, investigasi lab, dan obat. Sejak 2014, besaran kapitasi kepada dokter umum/klinik swasta tidak berubah, yaitu Rp 8.000 per orang per bulan (POPB). Sementara inflasi selama empat tahun sudah hampir 20 persen.


Bidan praktik swasta juga dibayar hanya sekitar separuh dari tarif persalinan rata-rata pada 2013 hingga sekarang. Di tengah jalan, pemerintah dan BPJS menambah layanan yang harus ditanggung dokter dan klinik. Jumlah akseptor kapitasi di dokter umum atau klinik swasta relatif jauh lebih sedikit.


Bayaran kapitasi ke puskesmas hanya beda sedikit, Rp 6.000 POPB, tetapi jumlah akseptor yang diberikan ke puskesmas luar biasa banyak. Di Jakarta ada puskesmas menerima 160.000 peserta, menghasilkan bayaran kapitasi sekitar Rp 1 miliar per bulan.


Di luar bayaran kapitasi, puskesmas masih sanggup kucuran dana APBN dan APBD yang setiap tahun sanggup dinaikkan. Alhasil, puskesmas menerima bayaran hampir dua kali lipat. Namun, dari banyak sekali pemantauan dan evaluasi, kinerja layanan puskesmas lebih buruk dibandingkan dengan kinerja klinik swasta.


Bayaran CBG juga diskriminatif terhadap RS swasta. Bayaran CBG yang ditetapkan pemerintah tidak sesuai konsep pembayaran borongan berbasis risiko. Seharusnya bayaran CBG sama besar antar-kelas RS dan memperhitungkan dana APBN/APBD yang masuk ke RS pemerintah. Namun, semenjak 2014, RS kelas C dan D dibayar sekitar sepertiga untuk kasus dan tingkat kesulitan yang sama.


Teori ekonomi, untuk mendorong persaingan sehat dan efisiensi, RS harus dibayar sama untuk kasus dan tingkat kesulitan yang sama. Lagi pula, kebanyakan RS swasta dikategorikan kelas C dan D oleh pemerintah. Maka, jadilah bayaran ke RS milik pemerintah yang umumnya masuk kelas B, A, dan kelas khusus, 2-3 kali lebih besar. Padahal, RS milik pemerintah masih sanggup kucuran dana APBN dan APBD. Keluhan pimpinan RS swasta yang begitu banyak sepertinya tidak berefek. Tidak mengherankan jikalau RS swasta mematok kuota bagi pasien JKN dan sering memaksa pasien mambayar sendiri layanan yang diterimanya, tidak memakai hak JKN.


Dengan bayaran yang di bawah harga keekonomian dan tidak diadaptasi dengan inflasi, akomodasi kesehatan swasta dibayar semakin kecil. Padahal, bayaran awal pun sudah di bawah harga keekonomian. Kabarnya, Kementerian Keuangan-lah yang mematok kenaikan bayaran CBG tidak lebih dari 6 persen per tiga tahun. Kebijakan ini sama sekali tidak masuk nalar sehat dan akan mematikan swasta.


Ketika Indonesia masuk abad reformasi, tarif telepon dinaikkan biar swasta berminat investasi. Namun, di abad JKN, tarif JKN malah ditekan jauh di bawah harga keekonomian. Tender obat pun ditekan pada harga terendah, mengakibatkan spekulan yang ikut tender. Industri farmasi besar yang ikut tender e-catalogue tidak memadai jumlahnya. ”Jangankan ada ruang pengembangan, biaya produksi untuk kualitas yang manis saja sulit dicapai,” begitu ucap seorang pengusaha farmasi.


 


Iuran – biang keladi


Dalam policy paper yang diluncurkan Oktober 2016, Bank Dunia mengimbau Indonesia untuk memperbesar belanja kesehatan. Tentu termasuk iuran JKN. Mengapa? Karena semenjak 40 tahun lalu, belanja kesehatan Indonesia terendah di dunia untuk kelas ekonomi yang sama. Belanja JKN 2016 hanya sekitar Rp 35.000 POPB. Iuran rata-rata yang diterima BPJS Kesehatan sekitar Rp 34.000 POPB. Iuran Penerima Bantuan Iuran yang dibayar dari dana APBN hanya Rp 23.000 POPB.


Sangat kontras dengan premi jaminan kesehatan pejabat tinggi yang dibayar dari APBN yang mencapai Rp 2 juta POPB. Namun, jaminan kesehatan pejabat itu ke perusahaan asuransi, bukan ke BPJS Kesehatan. Belanja kesehatan rata-rata penduduk Indonesia pada 2013, sebelum JKN, sudah mencapai Rp 136.000 POPB. Jelas, iuran yang ditetapkan pemerintah jauh di bawah harga keekonomian yang memungkinkan layanan kesehatan berkembang.


Akankah Indonesia keluar dari buruknya layanan kesehatan? Keberanian dan konsistensi Presiden Jokowi dengan Nawacita 5, peningkatan kualitas bangsa, sanggup mengubah. Namun, pejabat Indonesia harus berani keluar dari belenggu ”tidak ada fiskal”, lagu usang yang selalu diputar. Nawacita belum diikuti kebijakan operasional yang konsisten.


Ditulis oleh : Hasbullah Thabrany, Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (CSSUI), Konsultan Dewan Jaminan Sosial Nasional – Pandangan Pribadi


*Sumber: kompas.id



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Jkn Mematikan Swasta"

Posting Komentar