Jejak pengaturan perihal Desa sanggup ditelusuri jauh sebelum Indonesia merdeka. Kumpulan masyarakat yang terikat pada budpekerti tertentu hidup di Desa-Desa atau nama lain sesuai dengan karakteristik setempat. Dalam hubungan organisasi pemerintahan Hindia Belanda, Desa diakui sebagai suatu kesatuan aturan yang berdasar pada adat. Hakim-hakim Desa diakui secara resmi pada tahun 1935.
Sejarah perjalanan tata Pemerintahan Desa selama ini berubah-ubah seiring dengan dinamika kondisi dan situasi politik nasional. Perubahan itu sejalan dengan politik aturan nasional yang dituangkan ke dalam peraturan perundang-undangan.
Ketika Indonesia merdeka, Pemerintahan Desa memiliki landasan konstitusional. Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945 menyebutkan, “Pembagian kawasan Indonesia atas kawasan besar dan kecil, dengan bentuk susunan pemerintahannya ditetapkan dengan undang-undang, dengan memandang dan mengingati dasar permusyawaratan dalam sistem pemerintahan negara, dan hak-hak asal usul dalam daerah-daerah yang bersifat istimewa”.
Penjelasan Undang Undang Dasar 1945 menyatakan lebih lanjut konsep pembagian kawasan itu. “Dalam territoir Indonesia terdapat lebih kurang 250 Zelfbesturende landschappen dan Volksgemeenshappen, hal ini menyerupai layaknya Desa di Jawa dan Bali, negeri di Minangkabau, dusun, dan marga di Palembang dan sebagainya. Daerah-daerah itu memiliki susunan orisinil dan oleh hasilnya sanggup dianggap sebagai kawasan yang bersifat istimewa. Negara Republik Indonesia menghormati kedudukan daerah-daerah istimewa tersebut dan segala peraturan negara yang mengenai daerah-daerah itu akan mengingati hak-hak asal usul kawasan tersebut”.
Pengertian dari zelfbesturende landschappen yakni kawasan swapraja, yaitu wilayah yang dikuasai raja yang mengakui kekuasaan dan kedaulatan pemerintah Belanda melalui perjanjian politik (verklaring). Sedangkan volksgemeenschappen tidak dijelaskan lebih lanjut oleh Penjelasan Undang Undang Dasar 1945, hanya saja diberikan pola Desa di Jawa dan Bali, nagari di Minangkabau, dusun dan marga di Palembang.
Meskipun keduanya diperlakukan sama, berdasarkan Yando (2000:52), ada perbedaan fundamental keduanya. Tidak ada landschappen (swapraja) yang berada dalam wilayah volksgemeenschappen. Secara hierarkis, kedudukan Zelfbesturende landschappen berada di atas Volksgemeenschappen. Sesuai amanat Pasal 18 Undang Undang Dasar 1945, pemerintah kawasan diberi wewenang mengatur dan mengurus rumah tangga wilayahnya sendiri. Dalam santunan wewenang itu, berdasarkan F. Sugeng Istanto (1971:28), pembuat undang-undang menganut paham bahwa untuk sanggup menyelenggarakan pemerintahan kawasan yang sebaik-baiknya pemerintah kawasan harus diberi otonomi yang seluas-luasnya. Paham itu dituangkan dalam beberapa undang-undang yang lahir pasca kemerdekaan.
Kedudukan Desa telah diatur semenjak awal kemerdekaan melalui Undang-undang Nomor 1 Tahun 1945 perihal Peraturan Mengenai Kedudukan Komite Nasional Daerah yang mengakui kewenangan otonom Desa contohnya pada pemungutan pajak kendaraan dan rooiver gooningen. Pada waktu itu ada kekhawatiran yang dipelopori oleh Soepomo bahwa struktur pemerintahan yang gres akan menghilangkan keberadaan struktur Pemerintahan Desa yang masih hidup, sehingga perlu diberi proteksi dan waktu untuk mempelajari (menginventarisasi) lagi keberadaan masyarakat Desa (adat). Kemudian tiga tahun sesudahnya dalam Undang-undang Nomor 22 Tahun 1948 perihal Pemerintahan Daerah terdapat pengaturan lebih lanjut mengenai kawasan otonom, yang dibagi ke dalam kelompok Daerah Otonom Biasa dan Daerah Otonom Istimewa. Diatur pula mengenai bentuk dan susunan serta wewenang dan kiprah Pemerintahan Desa sebagai suatu kawasan otonom yang berhak mengatur dan mengurus pemerintahannya sendiri.
Diwarnai dinamika hubungan sentra dan kawasan menyerupai pemberontakan PRRI/Permesta, lahirlah sejumlah regulasi lain yang mengatur perihal Desa, antara lain Undang-undang Nomor 1 Tahun 1957 perihal Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, Undang-undang Nomor 18 Tahun 1965 perihal Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah, dan Undang-undang Nomor 19 Tahun 1965 perihal Desapraja.
Desapraja yakni kesatuan masyarakat aturan yang tertentu batas-batas daerahnya, berhak mengurus rumah tangganya sendiri, menentukan penguasanya, dan memiliki harta benda sendiri. Aturan ini dimaksudkan untuk mempercepat terwujudnya Daerah Tingkat III di seluruh wilayah Indonesia.
Series tulisan “Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Negara Indonesia “
- Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Negara Indonesia (DPDDTHNI) – Pembuka
- DPDDTHNI – Bagian 1 : Desa Pada Jaman Hindia Belanda Hingga Awal Kemerdekaan
- DPDDTHNI – Bagian 2 : Era Orde Baru
- DPDDTHNI – Bagian 3 : Era Reformasi
- DPDDTHNI – Bagian 4 : Perkembangan Wacana di DPR
- DPDDTHNI – Bagian 5 : Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
- DPDDTHNI – Bagian 6 : Pembahasan Di DPR
- DPDDTHNI – Bagian 7 : Dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) Ke Klaster
- DPDDTHNI – Bagian 8 : Landasan Filosofis, Sosiologis Dan Yuridis
- DPDDTHNI – Bagian 9 : Ketentuan Peralihan Dan Penutup
- DPDDTHNI – Bagian 10 : Pengaturan Lebih Lanjut
- DPDDTHNI – Bagian 11 : Catatan Kaki dan Referensi
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Aturan Negara Indonesia – Bab 1 : Desa Pada Jaman Hindia Belanda Hinga Awal Kemerdekaan"
Posting Komentar