Kesehatan masyarakat yaitu hal penting dalam konteks kesejahteraan dan keadilan alasannya yaitu kesehatan dipandang sebagai hak. Kondisi kemiskinan dan kesulitan susukan terhadap pelayanan kesehatan serta biaya kesehatan yang mahal telah menjadi permasalahan yang kompleks yang seringkali dialami masyarakat.
Pemerintah berkewajiban menyelenggarakan pelayanan kesehatan yang murah, adil dan bermutu dan menjamin akomodasi susukan bagi seluruh masyarakat. Untuk itu pemerintah telah menciptakan kebijakan Sistem Jaminan Sosial Nasional dengan membentuk Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan dan Ketenagakerjaan untuk menjamin kepastian pembiayaan kesehatan bagi setiap warga negara termasuk orang miskin.
Meskipun pemerintah telah menyediakan jadwal asuransi kesehatan yang menjamin masyarakat miskin pun sanggup mengakses pelayanan kesehatan secara gratis, kenyataannya masyarakat masih dibebani dengan banyak sekali macam tambahan biaya ibarat obat dan investigasi penunjang lainnya. Hasil pengumpulan data awal di Desa Lameuru, Desa Opaasi, Desa Boro Boro Lameuru Desa Laikandonga di Kecamatan Ranomeeto Barat Babupaten Konawe Selatan menemukan bahwa masyarakat yang dirawat di rumah sakit masih membutuhkan biaya-biaya tambahan ibarat biaya obat, investigasi laboratorium, transportasi ke rumah sakit meskipun mereka termasuk akseptor jadwal BPJS Kesehatan yang dijamin pemerintah. Kondisi ini mendorong Laha Sultra menggagas model alternatif asuransi kesehatan yang diangkat dari nilai-nilai kearifan lokal. Model ini diniatkan sebagai pendukung atau aksesori sistem asuransi kesehatan yang sudah ada.
Menyadari pentingnya hal tersebut, Knowledge Sector Inisiative (KSI) hadir mendukung proses inovasi nilai pendidikan lokal yang sanggup diterapkan dalam proses perubahan kebijakan lokal. Kehadiran KSI telah membantu menunjukkan arah dan peningkatan kapasitas masyarakat dalam pelaksanaan asuransi kesehatan desa.
Mencari Pendidikan Lokal untuk Menggerakan Perubahan
Sulawesi Tenggara yang penduduknya sebagian besar beretnis Tolaki dan tersebar di Kabupaten Konawe, Konawe Selatan, Konawe Utara dan sebagian Kolaka yaitu etnis yang menarik untuk diteliti. Etnis Tolaki ini mempunyai nilai-nilai kearifan lokal warisan turun temurun yang hingga dikala ini masih dilestarikan oleh mereka. Salah satu nilai kearifan lokal itu adalah ‘samaturu, Medulu ronga mepokoo’aso” yang berarti “gotong royong, bersatu dan menyatu”.
Bentuk acara sosial yang biasanya dilaksanakan oleh masyarakat sebagai implementasi dari nilai “samaturu, Medulu ronga mepokoo’aso” adalah “melesi”. “Melesi” bermakna “saling berbagi, saling memberi, saling mencicipi beban yang sedang dialami oleh masyarakat”. Salah satu praktik melesi yang seringkali dilaksanakan yaitu membantu warga masyarakat yang sedang sakit dan dirawat di rumah sakit. Desa Lameuru, Desa Opaasi, Desa Boro-Boro Lameuru dan Desa Laikandonga, Kecamatan Kecamatan Ranomeeto Barat, Kabupaten Konawe Selatan yaitu desa yang masih menerapkan nilai-nilai “samaturu, Medulu ronga mepokoo’aso” dan “melesi” dengan kuat. Hanya praktik melesi di desa-desa ini belum terorganisasi atau dilembagakan dengan baik.
Proses Membangun Asuransi Kesehatan Desa “Melesi”
Ada tantangan tersendiri ketika LAHA Sulawesi Tenggara bersiap membangun asuransi kesehatan “melesi” di desa-desa tersebut. Rasa ketidakpercayaan dari masyakat dan pemerintah desa merupakan hal lebih banyak didominasi yang muncul pada tahapan awal program. Untuk menumbuhkan rasa percaya masyarakat dan pemerintah desa, dilakukanlah pendekatan personal kepada tokoh adat, tokoh agama dan abdnegara pemerintah desa. Kepada mereka LAHA Sultra menunjukkan info secara rinci wacana rencana pembentukan asuransi kesehatan desa termasuk didalamnya pembentukan tubuh pengelola dan pengawas asuransi kesehatan desa kalau nantinya disetujui untuk dibuat di desa. Pendekatan ini merupakan faktor kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat.
Setelah tokoh adat, tokoh agama dan abdnegara pemerintah desa memahami dan mendukung jadwal ini, tahapan selanjutnya yaitu memperkenalkan jadwal asuransi kesehatan desa kepada masyarakat dengan dibantu oleh tokoh adat, tokoh agama, dan abdnegara pemerintah desa. Hasil yang diharapkan dalam proses ini yaitu tumbuhnya dukungan dan janji masyarakat desa untuk membentuk Asuransi Kesehatan Desa “Melesi” dan melembagakannya sebagai wadah yang terkelola dengan baik, jujur dan bertanggungjawab. Semua ini dikelola dan diawasi oleh masyarakat desa setempat menurut peraturan desa. Menyadari bahwa kemampuan pengelolaan asuransi kesehatan desa di setiap desa masih minim, maka dilakukanlah training bagi pengelola dan pengawas asuransi kesehatan desa.
Hasil Pembangunan Asuransi Kesehatan Desa “Melesi”
Saat ini, dari empat desa yang didampingi, praktik pengembangan asuransi kesehatan “melesi” gres berjalan di Desa Opaasi dan Desa Laikandonga. Di Desa Opaasi asuransi diikuti oleh 74 kepala keluarga atau 48,1 persen dari 154 kepala keluarga yang ada, sedangkan di Desa Laikandonga diikuti 50 dari 138 kepala keluarga yang ada di desa. Besaran iuran asuransi per bulan per kepala keluarga yaitu 10 ribu rupiah.
Asuransi desa belum berjalan di Lameuru dan Boro-Boro Opaasi. Faktor penghambat di dua desa ini yaitu kedudukan kepala desa masih belum definitive dan belum memahami seutuhnya wacana jadwal ini.
Kehadiran asuransi desa di Opaasi dan Laikandonga sudah dirasakan keuntungannya oleh warga. Di Opaasi sudah ada tujuh orang, dan di Laikangonga empat orang yang memanfaatkan dana asuransi kesehatan desa ini. Suhertin (53 tahun), salah seorang warga Opaasi pemanfaat asuransi menyatakan bahwa “Asuransi kesehatan desa sangat membatu meringankan biaya selama perawatan di rumah sakit yang tidak di tanggung oleh BPJS Kesehatan baik biaya transportasi maupun biaya lain”. Hal senada juga diungkapkan oleh Nurlian (45 tahun), warga Desa Laikandonga bahwa “Program Askesdes sanggup membantu meringankan biaya yang diharapkan selama perawatan. Walaupun tidak ibarat BPJS tetapi biaya yang di luar BPJS sanggup teratasi ibarat biaya transportasi dan konsumsi selama di rumah sakit, biaya untuk menjamin obat alasannya yaitu pengurusan kartu BPJS masih dalam proses”.
Di Desa Opaasi masyarakat anggota asuransi eksklusif diberikan dana sebesar 500 ribu rupiah bagi mereka yang harus menjalani rawat inap di rumah sakit. Sedangkan di Desa Laikandonga diberikan sebesar 250 ribu rupiah dan 250 ribu rupiah berikutnya diberikan sehabis satu ahad manjalani rawat inap. Masyarakat yang hanya menjalani rawat jalan tidak mendapat santunan dari asuransi kesehatan desa. Hal ini dikarenakan besaran iuran yang dibayarkan masih tergolong kecil dan hanya menurut per kepala keluarga bukan per jiwa. Sebelum asuransi kesehatan desa ini terbentuk, masyarakat desa sulit mendapat santunan dana alasannya yaitu di desa tidak tersedia dana untuk pengobatan. Program asuransi kesehatan desa menjamin ketersediaan dana yang sewaktu-waktu bisa dipakai masyarakat untuk pengobatan.
Pemerintah Desa Opaasi dan Desa Laikandonga sangat mendukung asuransi kesehatan desa dengan menerbitkan peraturan desa dan keputusan kepala desa. Hal ini menarik alasannya yaitu pemerintah desa menganggap bahwa jadwal ini sangat bersentuhan eksklusif dengan masyarakat dan dikelola dan diawasi eksklusif oleh masyarakat. Kepala Desa Opaasi, Rasman menyatakan, “Asuransi kesehatan desa “melesi” sangat membantu masyarakat yang belum mempunyai kartu BPJS, meringankan biaya perawatan selama di rawat di rumah sakit dan merupakan suatu kebiasaan suku tolaki untuk bahu-membahu membantu keluarga yang membutuhkan bantuan”. Pendapat yang sama juga diungkapkan oleh Samnani, Kepala Desa Laikandonga.
Asuransi kesehatan desa “melesi” juga mendapat dukungan Puskesmas Ranomeeto Barat. Dadang, salah seorang Puskesmas menyatakan, “Kegiatan Askesdes yang telah ada erat kaitannya dengan desa sehat yang tertuang di Perda Kabupaten Konawe selatan wacana Desa Mandara Mendidoha (DMM). Pihak puskemas berharap dilibatkan dalam kegiatan Askesdes.”
Untuk menjamin pengelolaan asuransi kesehatan desa berjalan jujur, adil dan bertanggungjawab, setiap desa membentuk tubuh pengelola dan tubuh pengawas. Badan ini dipilih oleh masyarakat desa melalui lembaga musyawarah desa dan ditetapkan dengan keputusan kepala desa. Pengelolaan asuransi kesehatan desa sehari-hari diatur melalui petunjuk teknis pengelolaan asuransi kesehatan desa.
“Melesi” sebagai Model Asuransi Kesehatan Desa
Nilai-nilai pendidikan lokal yang ada di masyarakat mempunyai peranan penting kalau sanggup dijadikan dasar dalam menyusun kebijakan publik alasannya yaitu nilai tersebut diyakini dan sudah teruji bisa dipraktikkan dengan baik. Dari pengalaman pengembangan Asuransi Kesehatan Desa, LAHA Sultra berguru bahwa bahwa janji pemerintah desa yang tinggi akan mendukung keberhasilan dan keberlanjutan program. Sosialisasi dan pengenalan jadwal kepada masyarakat akan menyebabkan keterlibatan aktif masyarakat dan mewujudkan relasi positif antara pemerintah dan masyarakat.
Tantangan terberat untuk kelanjutan jadwal ini yaitu bagaimana mengkomunikasikan dan melembagakan asuransi kesehatan desa “melesi” menjadi kebijakan daerah, bahkan kalau memungkinkan menjadi kebijakan nasional. Saat ini di Kabupaten Konawe Selatan telah lahir peraturan kawasan tentang Mandara Medidoha yaitu peraturan kawasan yang akan mewujudkan desa sehat, pandai dan sejahtera. Salah salah satu aspek yang diatur dalam peraturan kawasan ini yaitu partisipasi masyarakat dalam kesehatan. Namun, tugas spesifik apa yang bisa dilakukan oleh masyarakat dalam hal pembiayaan kesehatan misalnya, belum termuat secara jelas.
Nilai pendidikan lokal yang sudah dilaksanakan oleh masyarakat dalam bentuk Asuransi Kesehatan Desa “Melesi” ini perlu terus menerus dikomunikasikan kepada para pengambil kebijakan sehingga sanggup dijadikan sebagai model asuransi sosial yang bertumpu kepada nilai “samaturu, medulu ronga mepokoo’aso”.
*Sumber : ksi indonesia
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ “Melesi” Sebagai Embrio Pembentukan Asuransi Kesehatan Desa"
Posting Komentar