Sejarah Jogja
*Kisah Almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX*
Bagi warga DI Yogyakarta yang usia diatas 50 tahun, tentu sanggup mengenang peran almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau yaitu Raja Kasultanan Yogyakarta, Kepala Daerah DIY, mantan Wapres RI, p0juang dan jagoan negara. Ini yaitu ayah dari Sri Sultan HB X yang ketika ini memerintah.
Almarhum Sultan HB IX dikenal sebagai pemimpin yang amat sangat merakyat dan dicintai rakyat. Beliau sering blusukan ke pasar-pasar bukan untuk cari dukungan, tapi ingin membantu warga miskin. Beliau sudah kaya dan terhormat dari lahir sehingga tidak butuh pencitraan. Sejarah mencatat, dia punya tugas besar dalam kemerdekaan RI dan upaya mempertahankan kemerdekaan. Sampai-sampai dia dan Bung Karno berinisiatif memindahkan ibukota ke Jogja untuk mempertahankan kemerdekaan, serta dia membangunkan gedung Istana Negara di Yogyakarta (sampai kini masih ada gedungnya, disamping Malioboro, seberang Benteng Vredeburg).
Sejarawan mencatat, dia beberapa kali ditawari menjadi Presiden dan beberapa kali berkesempatan menjadi Presiden tapi dia tidak mau. Beliau hanya sekali menjadi Wapres (jaman Soeharto) dan itupun hanya satu periode dan sehabis itu tidak mau lagi dipilih.
Kecintaan warga DIY terhadap almarhum sangat tinggi. Wajar ketika dia wafat tahun 1988, sepanjang jalan dari Keraton hingga Imogiri Bantul (tempat pemakaman) dijejali para pelayat. Diatas 500 ribu pelayat. Guiness Book Of International Record mencatat kejadian itu sebagai jumlah pelayat terbanyak di dunia yang pernah ada. Koran dan media besar nasional pun menjadikannya sebagai topik bahasan utama: perginya pemimpin besar, pembela rakyat nan sejati.
Yang menarik dari dia ialah sikapnya terhadap warga keuturuan Tionghoa. Belau orang yang sangat humanis dan tidak membeda-bedakan, namun urusan kebijakan pemerintahan dia sangat tegas. Salah satu hukum peninggalan dia ialah melarang warga keturunan Tionghoa untuk mempunyai tanah di Jogjakarta, dalam artian tanah sebagai hak milik. Warga keturunan hanya boleh punya Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan. Aturan ini hingga kini masih berlaku di DIY, dan ini salah satu keistimewaan DIY.
Aturan itu lahir alasannya ada sejarahnya. Yakni pada ketika tahun 1948, atau tahun-tahun ketika mempertahankan kemerdekaan RI, sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa lebih menentukan membantu pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia ketimbang ikut berjuang bersama elemen bangsa lainnya untuk mengusir Belanda. Dalam sejarah, ini dicatat sebagai Agresi Militer II Belanda, yakni Desember 1948. Saat itu komunitas Tionghoa yang ada di Jogja justru berpihak dan memperlihatkan sokongan ke Belanda yang sebelumnya sudah menjajah Indonesia 350 tahun.
Sejak itulah Kanjeng Sultan Hamengkubuono IX kemudian mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis Tionghoa di Yogyakarta. Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas Tionghoa akan eksodus dari Yogyakarta. Namun Kanjeng Sultan HB IX masih berbaik hati dan menenangkan ke mereka bahwa meskipun mereka telah berkhianat kepada Negeri ini tetapi tetap akan diakui sebagai tetangga. "Tinggallah di Jogja. Tapi maaf, saya cabut satu hak anda, yaitu hak untuk mempunyai tanah".
Itulah kenapa hingga kini ini pengusaha Tionghoa tidak punya hak milik atas tanah di banyak sekali sentra bisnis di kota Jogja. Mereka hanya sanggup punya hak guna atau hak pakai hingga jumlah tahun tertentu. Hal ini diperkuat bahwa pada 1975, Paku Alam VIII menerbitkan surat arahan kepada bupati dan wali kota untuk tidak memperlihatkan surat hak milik tanah kepada warga negara nonpribumi. Surat ini masih berlaku.
Surat arahan tersebut mengizinkan warga keturunan mempunyai tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik (SHM). Bila tanah tersebut sebelumnya dimiliki pribumi, kemudian dibeli warga keturunan, maka dalam jangka tahun pemakaian tertentu tanah itu status kepemilikannya dialihkan pada negara.
Kalangan investor dan cukong sudah beberapa kali menggugat hukum itu dan mengadukan hal itu ke Presiden. Dalihnya ialah hukum itu dianggap rasis dan tidak adil. Para penggugat itu biasanya menyuruh dan mendanai LSM. Namun oleh Mahkamah Agung tetap tidak dikabulkan alasannya hal itu bab dari keistimewaan DIY.
Begitulah almarhum Sri Sultan HB IX yang visioner, tahu bagaimana mengasihi dan menjaga negerinya. Beliau tahu bagaimana berbuat baik kepada sesama dan mengambil pelajaran dari banyak sekali kejadian/sejarah. Setiap membaca biografi dia saya selalu terharu, merindukan pemimpin berkharisma, tidak ambisi kekuasaan dan harta, mengasihi rakyatnya dengan lapang dada bukan alasannya pencitraan, dan hidupnya penuh kesederhanaan.
Semoga Sang Pencipta memuliakan kubur beliau, mengampuni segala dosanya dan mendapatkan semua amal kebaikannya. Aamiiin !!
*Renungkan perihal sejarah Jogja "supaya tau diri dalam bersikap"*
Sumber : disini Sumber http://p-anisa.blogspot.com
*Kisah Almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX*
Bagi warga DI Yogyakarta yang usia diatas 50 tahun, tentu sanggup mengenang peran almarhum Sri Sultan Hamengkubuwono IX. Beliau yaitu Raja Kasultanan Yogyakarta, Kepala Daerah DIY, mantan Wapres RI, p0juang dan jagoan negara. Ini yaitu ayah dari Sri Sultan HB X yang ketika ini memerintah.
sumber photo bonvoyagejogja.com |
Almarhum Sultan HB IX dikenal sebagai pemimpin yang amat sangat merakyat dan dicintai rakyat. Beliau sering blusukan ke pasar-pasar bukan untuk cari dukungan, tapi ingin membantu warga miskin. Beliau sudah kaya dan terhormat dari lahir sehingga tidak butuh pencitraan. Sejarah mencatat, dia punya tugas besar dalam kemerdekaan RI dan upaya mempertahankan kemerdekaan. Sampai-sampai dia dan Bung Karno berinisiatif memindahkan ibukota ke Jogja untuk mempertahankan kemerdekaan, serta dia membangunkan gedung Istana Negara di Yogyakarta (sampai kini masih ada gedungnya, disamping Malioboro, seberang Benteng Vredeburg).
Sejarawan mencatat, dia beberapa kali ditawari menjadi Presiden dan beberapa kali berkesempatan menjadi Presiden tapi dia tidak mau. Beliau hanya sekali menjadi Wapres (jaman Soeharto) dan itupun hanya satu periode dan sehabis itu tidak mau lagi dipilih.
Kecintaan warga DIY terhadap almarhum sangat tinggi. Wajar ketika dia wafat tahun 1988, sepanjang jalan dari Keraton hingga Imogiri Bantul (tempat pemakaman) dijejali para pelayat. Diatas 500 ribu pelayat. Guiness Book Of International Record mencatat kejadian itu sebagai jumlah pelayat terbanyak di dunia yang pernah ada. Koran dan media besar nasional pun menjadikannya sebagai topik bahasan utama: perginya pemimpin besar, pembela rakyat nan sejati.
Yang menarik dari dia ialah sikapnya terhadap warga keuturuan Tionghoa. Belau orang yang sangat humanis dan tidak membeda-bedakan, namun urusan kebijakan pemerintahan dia sangat tegas. Salah satu hukum peninggalan dia ialah melarang warga keturunan Tionghoa untuk mempunyai tanah di Jogjakarta, dalam artian tanah sebagai hak milik. Warga keturunan hanya boleh punya Hak Pakai atau Hak Guna Bangunan. Aturan ini hingga kini masih berlaku di DIY, dan ini salah satu keistimewaan DIY.
Aturan itu lahir alasannya ada sejarahnya. Yakni pada ketika tahun 1948, atau tahun-tahun ketika mempertahankan kemerdekaan RI, sejarah mencatat bahwa etnis Tionghoa lebih menentukan membantu pasukan Belanda yang ingin kembali menjajah Indonesia ketimbang ikut berjuang bersama elemen bangsa lainnya untuk mengusir Belanda. Dalam sejarah, ini dicatat sebagai Agresi Militer II Belanda, yakni Desember 1948. Saat itu komunitas Tionghoa yang ada di Jogja justru berpihak dan memperlihatkan sokongan ke Belanda yang sebelumnya sudah menjajah Indonesia 350 tahun.
Sejak itulah Kanjeng Sultan Hamengkubuono IX kemudian mencabut hak kepemilikan tanah terhadap etnis Tionghoa di Yogyakarta. Tahun 1950, ketika NKRI kembali tegak dan berhasil dipertahankan dengan keringat dan darah, komunitas Tionghoa akan eksodus dari Yogyakarta. Namun Kanjeng Sultan HB IX masih berbaik hati dan menenangkan ke mereka bahwa meskipun mereka telah berkhianat kepada Negeri ini tetapi tetap akan diakui sebagai tetangga. "Tinggallah di Jogja. Tapi maaf, saya cabut satu hak anda, yaitu hak untuk mempunyai tanah".
Itulah kenapa hingga kini ini pengusaha Tionghoa tidak punya hak milik atas tanah di banyak sekali sentra bisnis di kota Jogja. Mereka hanya sanggup punya hak guna atau hak pakai hingga jumlah tahun tertentu. Hal ini diperkuat bahwa pada 1975, Paku Alam VIII menerbitkan surat arahan kepada bupati dan wali kota untuk tidak memperlihatkan surat hak milik tanah kepada warga negara nonpribumi. Surat ini masih berlaku.
Surat arahan tersebut mengizinkan warga keturunan mempunyai tanah dengan status hak guna bangunan (HGB), bukan hak milik (SHM). Bila tanah tersebut sebelumnya dimiliki pribumi, kemudian dibeli warga keturunan, maka dalam jangka tahun pemakaian tertentu tanah itu status kepemilikannya dialihkan pada negara.
Kalangan investor dan cukong sudah beberapa kali menggugat hukum itu dan mengadukan hal itu ke Presiden. Dalihnya ialah hukum itu dianggap rasis dan tidak adil. Para penggugat itu biasanya menyuruh dan mendanai LSM. Namun oleh Mahkamah Agung tetap tidak dikabulkan alasannya hal itu bab dari keistimewaan DIY.
Begitulah almarhum Sri Sultan HB IX yang visioner, tahu bagaimana mengasihi dan menjaga negerinya. Beliau tahu bagaimana berbuat baik kepada sesama dan mengambil pelajaran dari banyak sekali kejadian/sejarah. Setiap membaca biografi dia saya selalu terharu, merindukan pemimpin berkharisma, tidak ambisi kekuasaan dan harta, mengasihi rakyatnya dengan lapang dada bukan alasannya pencitraan, dan hidupnya penuh kesederhanaan.
Semoga Sang Pencipta memuliakan kubur beliau, mengampuni segala dosanya dan mendapatkan semua amal kebaikannya. Aamiiin !!
*Renungkan perihal sejarah Jogja "supaya tau diri dalam bersikap"*
Sumber : disini Sumber http://p-anisa.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Jasmerah | Sejarah Jogja"
Posting Komentar