Artikel Sejarah kelas XI ini membahas semangat usaha nasionalisme. Baik pada masa penjajahan belanda ibarat Budi Utomo, Perhimpunan Indonesia, Indische Partij, dan membandingkannya dengan nasionalisme masa kini
--
Kamu mungkin sering mendengar kata ini. Kata yang sering banget muncul sewaktu bulan Agustus. Kata yang, biasanya dikaitkan dengan jiwa kebangsaan. Kata yang dilekatkan dengan usaha di tanah air.
Tapi, sebenarnya, apa, sih, nasionalisme itu? Siapa yang dapat dianggap punya jiwa nasionalisme? Apakah kau punya jiwa itu?
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia, pengertian nasionalisme yakni “Paham (ajaran) untuk menyayangi bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan.” Mereka yang punya jiwa nasionalisme pertama kali, tentu yakni mereka yang merasa “gemas” dengan penjajahan di Indonesia. Mereka yang gundah dan punya kecintaan yang besar terhadap Nusantara ini.
Luasnya wilayah Indonesia menciptakan kita sulit memilih dengan niscaya siapa yang pertama kali mencicipi jiwa nasionalisme. Bisa jadi salah satu p0juang kita. Bisa jadi ibu-ibu yang ngomel alasannya yakni anaknya menikah dengan kompeni. Bisa jadi kaum buruh yang dijadikan budak. Kamu aja niscaya sebal, kan, ketika ada tamu yang tiba ke rumah, kemudian di ruang tamu bilang, ‘Bro, bikinin jalan tol dari Anyer sampe Panarukan, dong.’
Begitu juga dengan rakyat kita.
Ada begitu banyak perlawanan di tiap kawasan yang di dadanya terbakar perasaan ini. Budi Utomo, misalnya. Organisasi yang berdiri pada 20 Mei 1908 ini beranggotakan mahasiswa STOVIA yang kebanyakan aristokrat dari kaum jawa. Walaupun terkesan elit, tapi tujuan dari pembentukan Budi Utomo sudah jelas: mencapai kemerdekaan Indonesia.
Mahasiswa STOVIA 1916 (Sumber: arsip nasional RI dari hariansejarah.id)
Kerennya, kobaran semangat Budi Utomo ini menjalar ke aneka macam kalangan rakyat. Alhasil, banyak terbentuk organisasi lain ibarat Jong Sumatranen Bond, Jong Minahasa, Jong Batak, Jong Ambon, dan Jong Celebes. Semua itu yakni organisasi perjaka di Indonesia. Kalau organisasi para pesuruh, mungkin namanya Jong Os.
Baca juga: Mengenal Organisasi Kebangsaan: Budi Utomo, Indische Partij, Sarekat Islam
Sama-sama memiliki rasa cinta yang begitu besar terhadap bangsa, mereka berniat menggabungkan diri melalui Kongres Pemuda (30 April-2 Mei 1928) di Batavia. Sampai akhirnya, mereka benaran bergabung pada Kongres Pemuda II (26-28 Oktober 1928).
Semangat nasionalisme para perjaka ini akibatnya dikenang sebagai Hari Sumpah Pemuda.
Selain rakyat yang ada di kawasan kita, jiwa nasionalisme juga timbul dari luar negeri. Para mahasiswa yang sedang mencar ilmu di Belanda, pada tahun 1908, membentuk Indische Vereeniging. Pada mulanya, mereka membentuk ini atas dasar sosial. Namun, seiring berjalannnya waktu, namanya bermetamorfosis Indonesia Vereeniging pada tahun 1922. Mereka pun semakin melebarkan sayapnya dan memasuki dunia politik. Gagasan-gagasannya disalurkan lewat majalah Hindia Putra. Sampai akhirnya, tiga tahun kemudian, mereka menjadi lebih radikal dan mengganti namanya menjadi Perhimpunan Indonesia (PI). Mereka pun secara tegas memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.
Di tengah kehebohan Indonesia Vereeniging, pada 1912, tiga serangkai mendirikan Indische Partij di dalam negeri. Ya, sesuai namanya, “Partij” yang dimaksud yakni partai politik. Bukan party ajeb-ajeb. Terbentuknya Indische Partij sedikit banyak menciptakan pemerintah Hindia Belanda kalang-kabut. Mereka mulai panik dan (mungkin) berpikir, “Wah, makhluk apaan lagi nih?”
Kiri ke kanan Suwardi S, Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo (sumber: berdikarionline.com)
Rasa nasionalisme tiga serangkai dan para anggota dilempar dalam bentuk kritikan terhadap pemerintah Hindia Belanda. Ya, mereka dengan aktif “memprotes” Hindia Belanda. Puncaknya pada tahun 1913, ketika pemerintah kolonial berencana menciptakan pesta untuk merayakan 100 tahun lepasnya penjajahan Perancis. Ironisnya, Belanda menggelar “pesta kemerdekaan” di tanah air kita. Di negara yang tidak “mereka merdekakan”. Apalagi, rencananya, mereka berniat “menarik uang” dari rakyat Indonesia untuk membiayai pesta tersebut.
Dan Suwardi Suryaningrat, atau lebih dikenal dengan nama Ki Hajar Dewantara, sang “ahli pendidikan” itu muncul. Dia melempar kritikan dengan menciptakan artikel berjudul Als ik een Nederlander (Seandainya Aku Seorang Belanda) yang berisi sindiran terhadap kolonial. Enggak. Tulisan itu nggak dibentuk di instagram stories dengan background hitam dan goresan pena putih. Dia secara frontal menerbitkannya melalui surat kabar De Express.
Artikel Als ik een Nederlander (Seadainya Aku Seorang Belanda)
Hasilnya? Belanda kocar-kacir. Mereka khawatir akan terjadi “ledakan amarah” dari rakyat yang membacanya. Apalagi alasannya yakni goresan pena itu diterjemahkan ke bahasa Melayu. Takut ada pergolakan politik yang terjadi, Suwardi, Douwes Dekker, dan Cipto Mangunkusumo pada 6 September 1913, dibawa ke Belanda lewat Tanjung Priok.
Tapi, bukan Suwardi kalau tidak melawan. Ketika singgah di Teluk Benggala, ia sempat melempar “bom” ke wajah pemerintah kolonial Hindia Belanda. Kalau bukan alasannya yakni jiwa nasionalismenya, kita tidak tahu lagi harus menyebutnya dengan apa.
Di Belanda, tiga serangkai ini berpisah jalan; Cipto berkawan dengan penggerak Sociaal-Democratische Arbeiders-Partij (SDAP), Douwes pindah ke Swiss dan Jerman sembari menulis untuk majalah De Indier, sementara Suwardi mendekat ke Indische Vereeniging.
Setahun sebelum pesta-pora Belanda atas 100 tahun lepasnya penjajah Perancis, Sarekat Dagang Islam, yang dipimpin oleh H.O.S Cokroaminoto, berubah nama menjadi Sarekat Islam. Mereka, ibarat halnya orang-orang yang merasa muak dengan penjajahan, menghilangkan kata “dagang” untuk dapat memperluas ruang geraknya. Ya, soalnya, kan, agak asing kalau ada perkumpulan dagang tapi masuk-masuk ke ranah politik.
Nasionalisme Kini
Ketika membaca dongeng tadi, jiwa nasionalisme kita niscaya bangkit. Di masa lalu, perasaan itu lah yang menjadi kompas mereka untuk melaksanakan gerakan dan perlawanan terhadap penjajah. Tapi, bagaimana dengan ketika ini? Ke mana seharusnya perasaan nasionalisme membawa kita?
Soekarno pernah bilang bahwa usaha kita lebih berat alasannya yakni kita melawan bangsa sendiri. Ya. coba, deh, kau pikirkan dalam-dalam: kita melawan diri kita sendiri.
Di masa sekarang, terkadang kita sulit membedakan mana yang termasuk nasionalisme dan mana yang bukan. Apakah orang yang melaksanakan upacara di hari senin lebih nasionalisme dibanding mereka yang tidak? Apakah nasionalisme itu soal mengenakan seragam rapi? Baju putih dan celana merah. Baju putih dan celana biru. Baju putih dan celana panjang abu-abu.
Apakah mereka yang berpetualang untuk hingga ke sekolah. Mereka yang, jangankan memikirkan seragam, sepatu dan buku saja belum tentu ada. Mereka yang ke sekolah harus menyusuri sungai. Melawan bahaya buaya. Membasahi rok dan celana dari air sungai. Apa mereka tidak lebih nasionalisme daripada kita?
Siswa SDN 101976, Deliserdang, SumUt, melintasi sungai untuk sekolah (Sumber: Tribunnews.com)
Bagaimana cara kita mengukur nasionalisme di masa sekarang? Apalagi, ketika ini, nasionalisme sering dikaitkan dengan kebudayaan. Orang yang lebih sering mengenakan pakaian budbahasa seringkali dianggap berjiwa nasionalisme. Tapi, apakah mereka yang tidak menggunakannya lantas dianggap tidak punya jiwa nasionalisme? Apakah Douwes Dekker lebih tidak nasionalisme dibanding Cipto Mangunkusumo alasannya yakni ia keturunan Belanda?
Satu hal yang perlu kita pahami adalah, mengutip MK Ridwan dari geotimes, kebudayaan yakni urusan ascribed (sosiologi). Biasanya terikat pada atribut seseorang. Di sisi lain, nasionalisme yakni achieved (tuntutan politik). Biasanya, keterlibatan dalam nasionalisme, mau tidak mau, akan mengorbankan kebudayaan. Contoh: Bahasa Indonesia. Sebagaimana yang kita tahu, bahasa nasional kita yakni bahasa Indonesia. Dan, ya, mau tidak mau, hal itu akan “mengorbankan” bahasa-bahasa kawasan yang biasa kita pakai. Tapi, bukan berarti nasionalisme itu hal yang buruk. Tujuannya tetap untuk mempersatukan kita sebagai sebuah bangsa yang sama.
Supaya kita tidak terjebak dalam masalah “siapa yang punya jiwa nasionalisme” ini, kayaknya, kita harus kembali pada arti nasionalisme itu sendiri: paham untuk menyayangi bangsa dan negara sendiri; sifat kenasionalan.
Kata yang seharusnya kita ambil dari pengertian itu yakni cinta. Dan, sama kayak ke orang lain, cinta itu adanya di dalam hati. Bisa jadi rasa cinta itu bermetamorfosis dedikasi ibarat Butet Manurung yang mengajar Suku Anak Dalam di Jambi demi pendidikan Indonesia. Atau Muslimah Hafsari di Belitung yang menjadi pengajar yang digambarkan dalam film Laskar Pelangi.
Sumber: liputan6.com dan tempo.co
Tetapi, bukan mustahil rasa cinta itu bermetamorfosis hal-hal lain; musikus yang berkancah di internasional, atlet e-sport yang mengharumkan nama bangsa, polisi yang mengatur jalan, politisi yang memperbaiki kebijakan, pemain bola, pebulutangkis, penulis yang membuatkan kebaikan, atau warga biasa yang selalu tertib pada peraturan.
Karena meskipun nasionalisme kini dan dulu terkesan berbeda, tapi ada satu poin yang tidak dapat hilang: cinta pada tanah air.
Dan mereka yang lebih cinta, tidak akan lebih banyak minta.
Gimana, seru nggak bahan kali ini? Kalau kau ingin mempelajari bahan ini sambil menonton video beranimasi lengkap dengan latihan soal, yuk coba tonton lewat ruangbelajar.
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Sejarah Kelas 11 | Nasionalisme Dulu Dan Kini: Pilih Yang Mana?"
Posting Komentar