Bali dikenal mempunyai tradisi yang berakar berpengaruh dan menjadi ciri khas tersendiri. Salah satunya “ngayah”. Mengacu pada Kamus Bali-Indonesia, 1990, “ngayah” mengandung arti kewajiban sosial masyarakat Bali sebagai penerapan aliran Karma Marga yang dilaksanakan secara bahu-membahu dengan hati tulus lapang dada baik di banjar maupun di daerah suci. Kata “Ngayah” secara harfiah sanggup diartikan melaksanakan pekerjaan tanpa menerima upah.
Sudipta (2016) menyebut, dalam perkembangan zaman yang semakin modern dengan teladan kehidupan masyarakat yang semakin kompleks, maka kegiatan ngayah sudah mulai berkurang dilakukan. Hanya beberapa masyarakat saja yang masih peduli dan memilik waktu luang yang bisa melakukannya. Ditambah lagi perubahan paham kehidupan masyarakat Bali dengan teladan pikir materialis dan kapitalis, maka konsep ngayah telah luntur seiring berjalannya waktu.
Kewajiban krama yang dibebankan untuk ngayah, lantaran terbentur dengan rutinitas/aktivitas kerja, banyak yang sudah digantikan dengan uang (ngayah dana). Bentuk ini memang tidak disalahkan, tetapi yang terpenting ialah tumbuhnya kesadaran dalam diri masyarakat Bali, semoga bisa meluangkan waktunya untuk sanggup melaksanakan kegiatan ngayah. Terlebih kegiatan ngayah tersebut berkaitan dengan ritual keagamaan. Sesibuk apapun, sebagai umat beragama, diwajibkan untuk melaksanakan kegiatan ngayah sebagai wujud rasa bhakti kepada Sang Pencipta.
Lalu, bagaimana kita mesti memaknai konsep “ngayah” di zaman modern ini? Ngayah mesti direkontruksi, diubahsuaikan dengan jiwa zaman.Perubahan yang luar biasa tanggapan industri pariwisata yang menggeser budaya agraris membawa dampak yang tak selalu baik. Kita tentu tak bisa memungkiri perubahan, melestarikan budaya bukan berarti mengembalikan Bali ibarat zaman dahulu alasannya ialah kebudayaan sejatinya bersifat dinamis dan tidak statis (ajeg).
Diperlukan kesadaran bersama untuk mencari jalan keluar aneka macam permasalahan yang ada. Pemerintah juga perlu menciptakan regulasi untuk melindungi budaya Bali semisal hukum bagi perusahaan untuk menawarkan cuti bagi para pekerja ketika ada upacara agama yang mengharuskan mereka untuk ngayah. Jika tidak demikian, budaya “ngayah” akan makin terkikis dan tak lagi bertuah, hanya menjadi dongeng masa kemudian bagi anak-cucu kita kelak.
Gambar oleh Wayan Martino
(Sumber: Bali Wisdom)
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Ngayah, Masihkah Bertuah?"
Posting Komentar