Satu lagi goresan pena dari Ayah Edy yang sanggup jadi materi renungan orang tua, dan ternyata sejalan dengan yang saya percaya selama ini. Sering saya mempunyai pemikiran, tapi tidak sanggup secara gamblang saya ungkapkan apa dan kenapanya. Tulisan Ayah Edy sering kali membukakan mata saya, dan menciptakan saya berteriak "aha!".
Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Kali ini dilema perlukah anak bersaing dan berkompetisi menjadi pemenang?
Mau sedikit cerita. Rei hingga kini belum punya piala apapun, dan belum pernah memenangkan lomba apapun. Selain memang di sekolah maupun lingkungannya tidak pernah mengadakan lomba apapun, kami juga tidak mengejar dan mencari-cari untuk mengikutkan Rei dalam lomba-lomba.
Saya pribadi percaya, jaman kini lebih penting orang untuk berkolaborasi daripada mengalahkan satu sama lain. Karena itu dari mulai menentukan sekolah, saya mau sekolah yang tidak lagi menerapkan sistem ranking di kelas. Saya tidak mau anak mempunyai persepsi bahwa hidup yaitu wacana berusaha menjadi pemenang dan harus mengalahkan orang lain.
Mau bukti bahwa sistem ranking di sekolah punya pengaruh buruk? Tidak usah jauh-jauh, lihat saja kondisi kemudian lintas di jalan sehari-hari. Lebih banyak orang yang tidak mau menyerah satu sama lain, cenderung gengsi untuk memberi jalan, dan seperti menyebabkan jalanan ajang balapan. Belum lagi dilema mengantri, orang Indonesia dikenal paling susah antri. Ini alasannya semenjak kecil di sekolah kita selalu ditanamkan untuk selalu berusaha menjadi juara, menjadi nomor satu, atau minimal di atas yang lainnya. Anak yang punya ranking atas dan nilainya lebih tinggi lah yang dianggap lebih pintar. Secara tidak sadar, nilai-nilai tersebut terbawa dalam keseharian kita. Akibatnya dalam segala hal kita cenderung selalu ingin jadi yang lebih atas, lebih dulu, lebih cepat dibanding orang lain. Namun sayangnya kerap tersalurkan secara negatif. Padahal insan punya potensinya masing-masing yang berbeda.
Saya pernah membaca, ada satu sekolah Islam bertaraf internasional yang sangat anti dengan kompetisi dan lomba untuk belum dewasa hingga tingkat SD. Tapi saya juga melihat ada sekolah lain yang justru selalu sibuk mengadakan lomba ini itu bahkan dari semenjak tingkat PAUD atau TK, dan saya tidak melihat manfaat yang sanggup didapat oleh si anak itu sendiri (tentu sekolah menyerupai ini eksklusif saya coret dari daftar). Saya lebih oke dengan sekolah yang pertama.
Mau sedikit cerita. Rei hingga kini belum punya piala apapun, dan belum pernah memenangkan lomba apapun. Selain memang di sekolah maupun lingkungannya tidak pernah mengadakan lomba apapun, kami juga tidak mengejar dan mencari-cari untuk mengikutkan Rei dalam lomba-lomba.
Saya pribadi percaya, jaman kini lebih penting orang untuk berkolaborasi daripada mengalahkan satu sama lain. Karena itu dari mulai menentukan sekolah, saya mau sekolah yang tidak lagi menerapkan sistem ranking di kelas. Saya tidak mau anak mempunyai persepsi bahwa hidup yaitu wacana berusaha menjadi pemenang dan harus mengalahkan orang lain.
Mau bukti bahwa sistem ranking di sekolah punya pengaruh buruk? Tidak usah jauh-jauh, lihat saja kondisi kemudian lintas di jalan sehari-hari. Lebih banyak orang yang tidak mau menyerah satu sama lain, cenderung gengsi untuk memberi jalan, dan seperti menyebabkan jalanan ajang balapan. Belum lagi dilema mengantri, orang Indonesia dikenal paling susah antri. Ini alasannya semenjak kecil di sekolah kita selalu ditanamkan untuk selalu berusaha menjadi juara, menjadi nomor satu, atau minimal di atas yang lainnya. Anak yang punya ranking atas dan nilainya lebih tinggi lah yang dianggap lebih pintar. Secara tidak sadar, nilai-nilai tersebut terbawa dalam keseharian kita. Akibatnya dalam segala hal kita cenderung selalu ingin jadi yang lebih atas, lebih dulu, lebih cepat dibanding orang lain. Namun sayangnya kerap tersalurkan secara negatif. Padahal insan punya potensinya masing-masing yang berbeda.
Saya pernah membaca, ada satu sekolah Islam bertaraf internasional yang sangat anti dengan kompetisi dan lomba untuk belum dewasa hingga tingkat SD. Tapi saya juga melihat ada sekolah lain yang justru selalu sibuk mengadakan lomba ini itu bahkan dari semenjak tingkat PAUD atau TK, dan saya tidak melihat manfaat yang sanggup didapat oleh si anak itu sendiri (tentu sekolah menyerupai ini eksklusif saya coret dari daftar). Saya lebih oke dengan sekolah yang pertama.
Manusia tidak harus selalu menjadi nomor satu. Allah melahirkan tiap insan dengan purpose-nya masing-masing. Lebih penting untuk menemukan purpose tersebut dan menjalankannya dengan sebaik-baiknya.
Saya lebih senang kalau belum dewasa saya kelak sanggup menjadi insan yang mempunyai kegunaan bagi orang banyak, ketimbang hanya sibuk untuk menjadi nomor satu (yang berarti harus mengalahkan orang lain). Bahkan saya punya mimpi anak saya kelak sanggup menjadi entrepreneur (pengusaha) yang berhasil sehingga sanggup memberi pekerjaan dan berarti membuka pintu rejeki bagi banyak orang. (Ada yang bilang jangan takut untuk bermimpi, alasannya semua dimulai dari mimpi). Aamiiin.
Saya lebih senang kalau belum dewasa saya kelak sanggup menjadi insan yang mempunyai kegunaan bagi orang banyak, ketimbang hanya sibuk untuk menjadi nomor satu (yang berarti harus mengalahkan orang lain). Bahkan saya punya mimpi anak saya kelak sanggup menjadi entrepreneur (pengusaha) yang berhasil sehingga sanggup memberi pekerjaan dan berarti membuka pintu rejeki bagi banyak orang. (Ada yang bilang jangan takut untuk bermimpi, alasannya semua dimulai dari mimpi). Aamiiin.
Berikut ini goresan pena dari Ayah Edy menyerupai yang saya kutip dari FB dan web-nya:
BANYAK ORANG TUA PERCAYA DENGAN MENDORONG ANAKNYA UNTUK BERSAING DAN BERKOMPETISI AKAN MEMBUAT HIDUP ANAKNYA KELAK AKAN MENJADI LEBIH BAIK ?
Namun berdasarkan Einstein, potret dunia ketika ini malah menunjukkan sebaliknya, KARENA PERSAINGANLAH MAKA JURANG PERBEDAAN MISKIN DAN KAYA SEMAKIN LEBAR DAN PARAH.
Sadarilah bahwa selama setiap orang masih meyakininya maka POTRET DUNIA AKAN TERUS SEPERTI INI.
Siapa pernah membaca kisah seorang yang TIDAK SUKA BERSAING dalam hidupnya ?
HIDUP INI BUKANLAH SEBUAH PERLOMBAAN DAN PERSAINGAN YANG KUAT MENGALAHKAN YANG LEMAH
HIDUP INI BUKANLAH PERSAINGAN UNTUK MENJADI YANG TERBAIK, MELAINKAN PERSAINGAN UNTUK MENJADI YANG PALING BERGUNA BAGI ORANG LAIN.
Dr. Arun suatu ketika memetik sebuah kisah wacana pola nyata Bijaksana dari sebuah buku yg ditulis oleh James Bender berjudul “How to Talk Well” (New York;McGray-Hill Book Company,Inc., 1994)
Sebagai klarifikasi lanjutan kepada mahasiswanya mengenai pemahamannya wacana bijaksana dan pintar.
Nah Apakah keluarga Indonesia masih ingat quotenya Dr Arun...?
Berikut petikannya;
Banyak orang tua, pendidik dan guru lebih suka dan senang bila murid2nya Pintar. Saya lebih suka dan senang bila murid2 saya menjadi lebih BIJAKSANA.
Mengapa? Karena orang yg Bijaksana sudah tentu akil tapi orang yg akil belum tentu bijaksana.
Lalu apa bedanya ?
Pintar yaitu mengarahkan cara berpikir untuk sanggup mengambil ke
untungan dari orang lain sedangkan Bijaksana yaitu mengarahkan cara berpikir untuk sanggup menciptakan semua orang beruntung.
untungan dari orang lain sedangkan Bijaksana yaitu mengarahkan cara berpikir untuk sanggup menciptakan semua orang beruntung.
–Dr. Arun Gandhi-
Pendidik dengan hati
Pendidik dengan hati
Berikut kira-kiara petikan terjemahan kisah seorang pengusaha jagung yg bijaksana;
Di sebuah pedesaan, daerah di mana tanah yang sangat subur sanggup menumbuhkan tunas-tunas jagung, ada seorang petani yang berhasil memenangkan kontes pertanian selama bertahun-tahun. Hal ini menarik perhatian seorang wartawan, alasannya di desa itu ada puluhan petani yang juga mempunyai kebun jagung.
Untuk mengungkap diam-diam kemenangan selama bertahun-tahun itu, sang wartawan mengunjungi sang petani untuk wawancara singkat.
“Apakah Anda mempunyai diam-diam khusus untuk memenangkan kontes hasil panen jagung terbaik setiap tahun?” tanya sang wartawan.
Petani yang tampak bersahaja itu tersenyum kemudian menjawab, “Saya tidak punya diam-diam khusus, alasannya bibit jagung milik saya yang memenangkan kontes, pada risikonya selalu saya bagi-bagikan pada petani lain, alasannya itu yaitu bibit jagung terbaik.”
Sang wartawan tampak bingung, berarti semua petani mempunyai bibit jagung yang sama-sama baik. “Mengapa Anda membagikan bibit jagung terbaik? Bukankah semua petani di desa ini mengikuti kontes yang sama, Anda tak takut kalah?”
Sang petani terkekeh pelan, “Aku sama sekali tidak memikirkan menang ataupun kalah, anak muda. Kau harus tahu bahwa angin sanggup menerbangkan serbuk sari bunga-bunga jagung dan terbang dari satu ladang ke ladang yang lain. Bila ada serbuk sari flora jagung dengan bibit yang jelek terbang ke ladang jagungku, itu akan menurunkan kualitas jagung saya dan juga seluruh hasil jagung penduduk desa ini. Saya ingin menerima hasil jagung terbaik, alasannya itulah saya menolong tetangga saya untuk menerima bibit jagung yang baik pula.”
Itulah citra seorang petani jagung yang bijak yg tidak berusaha untuk mencari laba semata dari orang lain dan lingkungan sekitarnya, tapi mencari laba dengan cara menciptakan orang2 di sekitarnya juga beruntung.
Semoga menjadi ide dan pencerahan bagi kita dalam mengarungi kehidupan ini.
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Perlukah Punya Anak Pemenang?"
Posting Komentar