Tulisan ini merupakan kelanjutan dari tulisan Kontroversi Pola Asuh Tidak Pernah Marah dan Berkata "Jangan"
Kalau ingin anak kita menjelma anak yang positif, menjadi orang renta yang sewenang-wenang bukanlah solusinya. Memarahi dan menghukum anak hanya akan menciptakan anak menjadi takut pada orang tuanya; takut ketahuan, takut dihukum, dsb., tapi tidak mendidik dan memberi pengertian yang sesungguhnya pada anak. Malah sanggup jadi nanti anak jadi suka berbohong dan melaksanakan perbuatan sembunyi-sembunyi dari orang tuanya.
Mengasuh anak yakni suatu proses timbal balik, bukan hanya satu arah dari orang renta ke anak. Ini sama saja membangun Trust dua arah antara orang renta dan anak. Tidak pernah memarahi dan tidak pernah berkata "jangan" saja tidak cukup, perlu perjuangan dan tekad untuk membangun korelasi baik dengan anak secara konsisten dan berkesinambungan.
Saya menemukan bahwa kalau kita sanggup menjaga korelasi yang baik dan Trust dua arah dengan anak sudah terbangun, maka anak juga akan menjadi lebih kooperatif dengan kita.
Membangun Trust dan korelasi baik secara konsisten dan berkesinambungan yang saya maksud adalah:
1. Hindari berbantah-bantahan dengan anak
Sebisa mungkin hindari berbantah-bantahan dengan anak dalam hal apapun. Ingat, anak yakni peniru orang tuanya. Jika kita suka membantah perkataan anak, sanggup jadi anak juga nantinya suka membantah kita. Kalau hanya dilema sepele, semoga saja pendapat anak kita iyakan. Kalau memang harus kita koreksi, jangan lakukan secara frontal, tapi secara halus dan sedikit kreatif. Prinsip saya, selama itu tidak berdampak negatif, saya akan iyakan saja. Tujuannya, bila kita memang nanti harus berseberangan pendapat dengan anak, anak juga akan berdasarkan sebab kita terbiasa mencontohkan mirip itu.
Berbantahan ini sanggup diibaratkan mirip peluru yang harus kita irit pemakaiannya. Kalau bukan untuk hal yang krusial, sedapat mungkin peluru tidak kita gunakan.
Contoh menghindari berbantah-bantahan dengan anak:
2. Gunakan kata-kata yang baik, jangan suka berteriak atau terlalu reaktif kepada anak
Lagi-lagi kiprah orang renta yakni memberi pola yang baik kepada anaknya. Gunakan tutur bahasa yang baik dan halus saat berbicara dengan anak, maupun saat menyuruh anak. Jangan gunakan kata "Hayo..!" terlalu sering, kecuali dengan nada yang halus atau saat bercanda. Kalau kita suka berteriak, jangan heran kalau anak kemudian juga suka berteriak-teriak.
Satu lagi, kadang anak suka iseng atau jahil hanya sebab ingin melihat reaksi kita (pengasuhnya), sebab itu jangan terlalu reaktif seperti contohnya sedikit-sedikit teriak "Ya ampun!" atau sedikit-sedikit menyerukan nama si anak, usahakan selalu bersikap damai dan biasa saja. Sikap-sikap tersebut sebenarnya sama saja secara tidak pribadi kita memberi cap "nakal" kepada anak kita.
Hati-hati juga memakai kata-kata kepada anak, sebab konon kata-kata juga yakni doa. Sering saya menemukan orang renta memberi peringatan ke anak dengan kata-kata "Awas nanti jatuh", "Awas nanti kepleset", "Awas nanti kejepit", dan "awas" yang lainnya. Hati-hati, itu sama saja mendoakan hal itu akan terjadi, dan biasanya nanti si orang renta akan berkata "Tuh khan!" saat anak benar-benar jatuh, kepleset, atau kejepit (karena doanya memang mirip itu). Saya sendiri biasa memakai kata-kata kebalikannya mirip "Hati-hati semoga tidak jatuh", "Pelan-pelan semoga tidak kejepit", dst.
3. Layani anak, turuti kemauan anak, tapi dalam batas yang wajar
Berurusan dengan anak memang kadang melelahkan. Tapi selelah dan sesibuk apapun kita, usahakan untuk selalu merespon panggilan dan seruan anak. Contohnya saat anak memanggil, responlah segera. Ketika anak meminta kita bermain bersamanya, hampirilah segera dan ikutlah bermain. Kalau kita memang sedang sibuk, jangan serta merta pribadi menolaknya. Usahakan untuk menghampirinya dulu, kemudian beri klarifikasi dengan lembut atau beri tahu kapan kita sanggup bermain bersamanya, dan usahakan beri kesibukan yang lain untuk sementara.
Tujuannya adalah, bila kita terbiasa merespon anak dengan baik, kelak anak juga akan merespon seruan kita dengan baik. Lagi-lagi orang renta yakni pola bagi anaknya. Selelah apapun, kalau anak sekedar minta ditemani atau kita duduk di sampingnya, penuhilah segera permintaannya.
Layani anak, tapi tentu dengan batasan yang wajar, bukan berarti kita memanjakannya dan melaksanakan semua untuknya, atau memenuhi apapun permintaannya. Kalau anak minta diambilkan sesuatu yang memang tidak sanggup beliau lakukan sendiri (misalnya meminta diambilkan makan), layanilah segera. Jika sekiranya sesuatu sanggup beliau lakukan sendiri, beri beliau tantangan "Coba kau sanggup gak ambil sendiri?", tapi sambil kita dampingi dan bantu untuk mengajarkan kemandirian. Tapi kalau beliau minta kita yang melakukannya, turuti saja.
4. Jangan memberi cap atau label jelek pada anak di depan matanya
Seringkali saat orang renta sedang kesal kepada anaknya, tak sengaja keluarlah keluh kesah kita di depan anak, mirip "Kamu kok bandel banget sih," atau "Kamu kok susah banget dibilangin," atau sekedar "Kok kau gitu sih."
Hati-hati! Perkataan-perkataan mirip itu sama saja memberi label pada anak. Dan kalau hingga dikatakan berkali-kali, sanggup jadi anak akan mempercayai itu sebagai identitas dirinya, yaitu beliau sebagai anak yang nakal, anak yang susah dibilangin, anak yang "begitu", dan beliau akan berperilaku mirip yang dilabelkan itu. Seburuk apapun sikap anak, dan sekesal apapun kita padanya, jangan hingga kita melontarkan kata-kata mirip itu. Ingat selalu, kata-kata itu tidak akan menuntaskan dilema dan tidak akan menciptakan anak menjadi lebih baik, tapi malah memperburuk keadaan.
5. Beri pengertian, bukan hanya sekedar bilang "jangan"
Anak kecil punya resistensi yang sangat tinggi terhadap kata-kata "jangan", "tidak", "tidak boleh", atau semacamnya. Sebagian anak pribadi memperlihatkan perlawanannya (seperti anak saya :)), sebagian lagi pribadi menangis, ada juga yang kelihatan berdasarkan tapi dengan wajah yang tertekan dan kepercayaan dirinya seolah luntur, apalagi bila beliau sering mengalaminya. Kasihan bukan?
Kata "jangan" memang bukan kata yang efektif untuk anak. Jika kita ingin anak kita tumbuh menjadi anak yang positif, jangan malas untuk memberi klarifikasi untuk sesuatu yang kita larang. Fokus pada apa yang sebaiknya dilakukan, bukan fokus pada apa yang dihentikan dilakukan. Jangan lupa berikan solusi yang lain bila perlu. Anak biasanya akan mendapatkan kalau kita memperlihatkan solusi yang masuk akal.
Contoh:
6. Tidak pernah murka bukan berarti tidak tegas
Tidak pernah murka bukan berarti kita menjadi orang renta yang permisif dan lemah di mata anak.
Meskipun kita melatih anak untuk menentukan sendiri apa yang diinginkannya, tapi bukan berarti segala sesuatu harus kita tanyakan ke anak, boleh atau tidak, mau atau tidak. Jika suatu hal memang harus dilakukan atau dijalani, pribadi saja gunakan kalimat perintah dan bukan kalimat tanya. Tapi ingat, tetap disampaikan dengan baik dan lembut.
Di bawah ini pola kalimat yang tegas vs kalimat yang lemah:
Untuk mendiamkan bukan berarti kita harus selalu menuruti seruan anak. Kalau memang itu tidak sanggup dipenuhi, tetaplah konsisten menolak. Jika ia tetap menangis, berusaha tenangkanlah, tapi jangan memarahi.
Berdasar pengalaman, kalau kita terbiasa tegas, anak juga jadi tidak suka memaksa.
Trik yang biasa saya lakukan untuk menenangkan anak yang menangis sebab permintaannya tidak dipenuhi:
7. Tetap beri hukuman atau konsekuensi
Kadang kita tetap perlu memberi anak konsekuensi atau hukuman bila anak tetap tidak mau berdasarkan atau di luar kendali. Tapi konsekuensi di sini bukan berupa eksekusi yang keras. Konsekuensi di sini sifatnya pribadi sanggup dirasakan anak dan sanggup menciptakan anak merasa kurang nyaman, tapi tidak hingga memarahi atau membuatnya menangis. Boleh sedikit mengancam, tegas, tapi tetap tidak dengan nada marah.
Contoh:
Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Kalau ingin anak kita menjelma anak yang positif, menjadi orang renta yang sewenang-wenang bukanlah solusinya. Memarahi dan menghukum anak hanya akan menciptakan anak menjadi takut pada orang tuanya; takut ketahuan, takut dihukum, dsb., tapi tidak mendidik dan memberi pengertian yang sesungguhnya pada anak. Malah sanggup jadi nanti anak jadi suka berbohong dan melaksanakan perbuatan sembunyi-sembunyi dari orang tuanya.
Saya menemukan bahwa kalau kita sanggup menjaga korelasi yang baik dan Trust dua arah dengan anak sudah terbangun, maka anak juga akan menjadi lebih kooperatif dengan kita.
Membangun Trust dan korelasi baik secara konsisten dan berkesinambungan yang saya maksud adalah:
1. Hindari berbantah-bantahan dengan anak
Sebisa mungkin hindari berbantah-bantahan dengan anak dalam hal apapun. Ingat, anak yakni peniru orang tuanya. Jika kita suka membantah perkataan anak, sanggup jadi anak juga nantinya suka membantah kita. Kalau hanya dilema sepele, semoga saja pendapat anak kita iyakan. Kalau memang harus kita koreksi, jangan lakukan secara frontal, tapi secara halus dan sedikit kreatif. Prinsip saya, selama itu tidak berdampak negatif, saya akan iyakan saja. Tujuannya, bila kita memang nanti harus berseberangan pendapat dengan anak, anak juga akan berdasarkan sebab kita terbiasa mencontohkan mirip itu.
Berbantahan ini sanggup diibaratkan mirip peluru yang harus kita irit pemakaiannya. Kalau bukan untuk hal yang krusial, sedapat mungkin peluru tidak kita gunakan.
Contoh menghindari berbantah-bantahan dengan anak:
- Ketika bermain dengan anak, saya akan membiarkan anak menjadi leader dan melaksanakan apapun yang beliau mau. Toh ini hanya bermain, tidak ada yang benar ataupun salah. Seperti contohnya saat bermain lego, bentuk apapun yang beliau buat akan tetap saya apresiasi, meskipun bentuknya tidak karuan. Juga saat menggambar, bermain play-doh, dll.
- Ketika menyuapinya makan, kalau beliau berkata makanannya masih panas meskipun berdasarkan kita sudah dingin, turuti saja. Daripada berbantah-bantahan yang menciptakan suasana makan juga jadi penuh emosi, akal-akalan saja kita dinginkan sebentar. Biasanya anak juga mau kalau memang beliau lapar.
- Kalau anak salah menunjuk nama suatu benda, jangan pribadi menyalahkan dan mengoreksinya secara frontal. Anak biasanya akan merasa terintimidasi, dan sanggup pribadi menangis. Kita lihat dulu mengapa anak hingga salah menyebutnya. Bisa jadi benda itu memang mirip dengan sesuatu yang beliau ketahui. Kemudian sanggup saja kita bilang "Oh iya, mirip kodok ya... tapi lihat itu ada banyak giginya tajam-tajam... oh, ternyata itu buaya."
2. Gunakan kata-kata yang baik, jangan suka berteriak atau terlalu reaktif kepada anak
Lagi-lagi kiprah orang renta yakni memberi pola yang baik kepada anaknya. Gunakan tutur bahasa yang baik dan halus saat berbicara dengan anak, maupun saat menyuruh anak. Jangan gunakan kata "Hayo..!" terlalu sering, kecuali dengan nada yang halus atau saat bercanda. Kalau kita suka berteriak, jangan heran kalau anak kemudian juga suka berteriak-teriak.
Satu lagi, kadang anak suka iseng atau jahil hanya sebab ingin melihat reaksi kita (pengasuhnya), sebab itu jangan terlalu reaktif seperti contohnya sedikit-sedikit teriak "Ya ampun!" atau sedikit-sedikit menyerukan nama si anak, usahakan selalu bersikap damai dan biasa saja. Sikap-sikap tersebut sebenarnya sama saja secara tidak pribadi kita memberi cap "nakal" kepada anak kita.
Hati-hati juga memakai kata-kata kepada anak, sebab konon kata-kata juga yakni doa. Sering saya menemukan orang renta memberi peringatan ke anak dengan kata-kata "Awas nanti jatuh", "Awas nanti kepleset", "Awas nanti kejepit", dan "awas" yang lainnya. Hati-hati, itu sama saja mendoakan hal itu akan terjadi, dan biasanya nanti si orang renta akan berkata "Tuh khan!" saat anak benar-benar jatuh, kepleset, atau kejepit (karena doanya memang mirip itu). Saya sendiri biasa memakai kata-kata kebalikannya mirip "Hati-hati semoga tidak jatuh", "Pelan-pelan semoga tidak kejepit", dst.
3. Layani anak, turuti kemauan anak, tapi dalam batas yang wajar
Berurusan dengan anak memang kadang melelahkan. Tapi selelah dan sesibuk apapun kita, usahakan untuk selalu merespon panggilan dan seruan anak. Contohnya saat anak memanggil, responlah segera. Ketika anak meminta kita bermain bersamanya, hampirilah segera dan ikutlah bermain. Kalau kita memang sedang sibuk, jangan serta merta pribadi menolaknya. Usahakan untuk menghampirinya dulu, kemudian beri klarifikasi dengan lembut atau beri tahu kapan kita sanggup bermain bersamanya, dan usahakan beri kesibukan yang lain untuk sementara.
Tujuannya adalah, bila kita terbiasa merespon anak dengan baik, kelak anak juga akan merespon seruan kita dengan baik. Lagi-lagi orang renta yakni pola bagi anaknya. Selelah apapun, kalau anak sekedar minta ditemani atau kita duduk di sampingnya, penuhilah segera permintaannya.
Layani anak, tapi tentu dengan batasan yang wajar, bukan berarti kita memanjakannya dan melaksanakan semua untuknya, atau memenuhi apapun permintaannya. Kalau anak minta diambilkan sesuatu yang memang tidak sanggup beliau lakukan sendiri (misalnya meminta diambilkan makan), layanilah segera. Jika sekiranya sesuatu sanggup beliau lakukan sendiri, beri beliau tantangan "Coba kau sanggup gak ambil sendiri?", tapi sambil kita dampingi dan bantu untuk mengajarkan kemandirian. Tapi kalau beliau minta kita yang melakukannya, turuti saja.
4. Jangan memberi cap atau label jelek pada anak di depan matanya
Seringkali saat orang renta sedang kesal kepada anaknya, tak sengaja keluarlah keluh kesah kita di depan anak, mirip "Kamu kok bandel banget sih," atau "Kamu kok susah banget dibilangin," atau sekedar "Kok kau gitu sih."
Hati-hati! Perkataan-perkataan mirip itu sama saja memberi label pada anak. Dan kalau hingga dikatakan berkali-kali, sanggup jadi anak akan mempercayai itu sebagai identitas dirinya, yaitu beliau sebagai anak yang nakal, anak yang susah dibilangin, anak yang "begitu", dan beliau akan berperilaku mirip yang dilabelkan itu. Seburuk apapun sikap anak, dan sekesal apapun kita padanya, jangan hingga kita melontarkan kata-kata mirip itu. Ingat selalu, kata-kata itu tidak akan menuntaskan dilema dan tidak akan menciptakan anak menjadi lebih baik, tapi malah memperburuk keadaan.
5. Beri pengertian, bukan hanya sekedar bilang "jangan"
Anak kecil punya resistensi yang sangat tinggi terhadap kata-kata "jangan", "tidak", "tidak boleh", atau semacamnya. Sebagian anak pribadi memperlihatkan perlawanannya (seperti anak saya :)), sebagian lagi pribadi menangis, ada juga yang kelihatan berdasarkan tapi dengan wajah yang tertekan dan kepercayaan dirinya seolah luntur, apalagi bila beliau sering mengalaminya. Kasihan bukan?
Kata "jangan" memang bukan kata yang efektif untuk anak. Jika kita ingin anak kita tumbuh menjadi anak yang positif, jangan malas untuk memberi klarifikasi untuk sesuatu yang kita larang. Fokus pada apa yang sebaiknya dilakukan, bukan fokus pada apa yang dihentikan dilakukan. Jangan lupa berikan solusi yang lain bila perlu. Anak biasanya akan mendapatkan kalau kita memperlihatkan solusi yang masuk akal.
Contoh:
- Suatu saat anak saya bermain mobil-mobilan di atas piano saat berkunjung ke rumah pakdenya. Tentu kita takut pianonya akan terbaret. Untuk melarangnya, saya berkata padanya: "Itu punya pakde, kasihan pakde nanti kalo pianonya baret-baret, nanti pakde jadi sedih. Boleh main di situ, tapi pianonya ditutup taplak dulu ya." Alhamdulillah beliau menurut. Besok-besoknya saya lihat beliau sendiri yang minta ditutup taplak dulu waktu mau main mobil-mobilan di situ lagi. Saya menentukan untuk mengajarkan beliau berempati, ketimbang berkata "Nanti pakde marah."
- Ketika berkunjung ke toko mainan di sebuah mal, anak saya menunjuk satu mainan untuk minta dibelikan. Saya tidak serta merta berkata tidak, tapi saya ajak dulu melihat mainannya bersama-sama. Kemudian saya bilang: "Mainannya elok sekali ya. Coba papa lihat dulu harganya... wah, ternyata mahal sekali harganya. Rei mau? Ok, nanti kita beli ya, tapi papa harus nabung dulu soalnya harganya mahal. Nanti kalo tabungannya sudah cukup, sanggup deh kita beli. Sekarang kita coba cari yang lain dulu yuk," dan saya menunjuk mainan yang jauh lebih murah. Sekarang kalau anak saya diberi uang, beliau niscaya minta uang itu ditabung, bukan untuk pribadi dijajankan. Alhamdulillah, malah sekalian mengajarkan anak untuk menabung.
6. Tidak pernah murka bukan berarti tidak tegas
Tidak pernah murka bukan berarti kita menjadi orang renta yang permisif dan lemah di mata anak.
Meskipun kita melatih anak untuk menentukan sendiri apa yang diinginkannya, tapi bukan berarti segala sesuatu harus kita tanyakan ke anak, boleh atau tidak, mau atau tidak. Jika suatu hal memang harus dilakukan atau dijalani, pribadi saja gunakan kalimat perintah dan bukan kalimat tanya. Tapi ingat, tetap disampaikan dengan baik dan lembut.
Di bawah ini pola kalimat yang tegas vs kalimat yang lemah:
- Ketika sedang menemani main: "Papa mau ke kamar mandi dulu, Rei tunggu di sini sebentar ya." vs "Papa mau ke kamar mandi dulu sebentar, boleh?"
- Ketika mau mandi: "Nanti 10 menit lagi Rei mandi ya," vs "Rei mau gak mandi sekarang?"
- Ketika batal melaksanakan sesuatu: "Rei, ternyata antriannya panjang, kita pindah ke sana saja ya semoga lebih cepat," vs "Yah antriannya panjang, gimana donk Rei?"
Untuk mendiamkan bukan berarti kita harus selalu menuruti seruan anak. Kalau memang itu tidak sanggup dipenuhi, tetaplah konsisten menolak. Jika ia tetap menangis, berusaha tenangkanlah, tapi jangan memarahi.
Berdasar pengalaman, kalau kita terbiasa tegas, anak juga jadi tidak suka memaksa.
Trik yang biasa saya lakukan untuk menenangkan anak yang menangis sebab permintaannya tidak dipenuhi:
- Jangan fokus pada dilema yang membuatnya menangis. Misalnya kalau kita mau melarangnya makan es krim sebab sudah malam, jangan bilang "Kan ini sudah malam" berkali-kali. Dijamin anak niscaya akan menangis tambah keras. Cukup bilang satu kali saja.
- Kemudian jauhkan anak dari sumber dilema (yang menciptakan beliau menangis). Ajak anak keluar atau ke ruangan lain.
- Berusaha tenangkan anak dengan duduk di sampingnya, atau kalau anak masih kecil sanggup sambil kita gendong. Tapi jangan mendiamkan anak dengan kata-kata "Jangan nangis dong", "Gak mau ah kalo nangis terus", "Anak laki gak boleh nangis", atau kata-kata yang seolah memojokkannya. Cukup dampingi saja, anak butuh rasa diterima.
- Kemudian ajak anak mengobrol sambil mengalihkan perhatiannya ke hal lain, cari hal yang kira-kira sanggup membuatnya tertarik. Misalnya dengan melihat bintang di langit, atau bermain suatu mainan sambil bercanda. Ajak mengobrol hingga anak damai dan perhatiannya teralihkan.
- Setelah anak benar-benar tenang, gres kita sanggup membahas lagi topik yang membuatnya menangis, sambil kita beri pengertian. Misal: "Kalau mau es krim besok siang aja ya, kalo kini kan sudah malam, semoga kau gak sakit"
7. Tetap beri hukuman atau konsekuensi
Kadang kita tetap perlu memberi anak konsekuensi atau hukuman bila anak tetap tidak mau berdasarkan atau di luar kendali. Tapi konsekuensi di sini bukan berupa eksekusi yang keras. Konsekuensi di sini sifatnya pribadi sanggup dirasakan anak dan sanggup menciptakan anak merasa kurang nyaman, tapi tidak hingga memarahi atau membuatnya menangis. Boleh sedikit mengancam, tegas, tapi tetap tidak dengan nada marah.
Contoh:
- Pernah suatu hari anak saya melempar barang-barang dari lemari di kamar, dan tidak mau berhenti meskipun sudah diberi tahu. Saya pribadi berdiri dan berkata, "Oh Rei mau lempar-lempar barang. Kalo gitu papa ke luar kamar dulu ya, nanti kalo Rei sudah selesai, gres papa masuk lagi." Saya tahu beliau tidak nyaman berada di kamar sendirian. Benar saja beliau pribadi teriak "Jangan... jangan", kemudian saya tanya "Rei masih mau lempar-lempar?", impulsif beliau jawab "Gak" dan pribadi berhenti melempar-lempar barang. Tapi saya tidak hingga menakut-nakuti dia, sebab saya tidak ingin beliau menjadi anak yang penakut.
Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Membangun Trust & Menjaga Relasi Baik Dengan Anak"
Posting Komentar