Ternyata banyak hal-hal yang selama ini dianut dan dipahami oleh orang bau tanah dalam hal mengasuh anak ialah pemahaman atau mitos yang salah. Celakanya, mitos-mitos tersebut sedikit banyak menghambat perkembangan anak, bahkan sanggup sangat merugikan. Selama lebih dari 3 tahun menjadi seorang ayah, hal-hal tersebut satu per satu mulai terungkap. Dari hasil pengalaman pribadi dengan anak saya sendiri, dan juga hasil mengumpulkan info dari sana sini, saya menyimpulkan hal-hal di bawah ini ialah pemahaman atau mitos yang salah.
Ini merupakan sambungan dari Part 1
Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Ini merupakan sambungan dari Part 1
4. Picky eater ialah keturunan dan tidak sanggup dicegah
Mitos: Sifat picky eater atau pilih-pilih masakan ialah keturunan dan tidak sanggup dicegah. Kalau orang tuanya dulu cenderung picky eater, ada kemungkinan anaknya pun demikian.
Fakta: Menurut penelitian, memang ada gen yang memilih seberapa toleran seseorang dalam mendapatkan suatu rasa tertentu (misalnya rasa pahit). Gen ini disebut sanggup menghipnotis kecenderungan seseorang untuk menjadi picky eater. Tapi gen tersebut bukan semata-mata menjadi penyebabnya. Picky eater juga banyak dipengaruhi oleh lingkungan dan pengalaman seseorang dalam hidupnya, yang bahkan pada jadinya sanggup mengesampingkan gen tersebut.
Kabar baiknya adalah, ini berarti sifat picky eating sanggup ditekan atau sanggup dihilangkan melalui lingkungan dan pengalaman yang dijalani.
Contohnya, orang yang tidak suka sayuran, sanggup saja berubah jadi suka bila sering ditawarkan sajian sayuran, atau bila kondisi menciptakan ia jadinya dengan sukarela mau makan sayuran. Anak kecil pun konon butuh belasan kali dicoba ditawarkan masakan yang awalnya tidak disukai, hingga jadinya ia menyesuaikan diri dengan masakan tersebut dan menjadi suka, asalkan jangan dipaksa.
Di situlah kuncinya. Kesimpulannya, berarti kita sanggup menekan timbulnya sifat picky eating dengan cara menghadirkan pengalaman makan yang menyenangkan bagi anak semenjak ia bayi, yang menciptakan ia mau dengan suka rela makan banyak sekali macam makanan.
Pemberian puree dengan cara menyuapi bayi cenderung mengakibatkan trauma-trauma tertentu pada anak, dan efeknya anak sanggup jadi membenci makanan-makanan tertentu, dan jadinya menjadi picky eater, bahkan hingga ia dewasa. Ini karena:
- Ketika anak tidak mau mendapatkan masakan yang disuapi, biasanya pengasuh akan tetap berusaha memasukkan masakan tersebut ke verbal si anak dengan banyak sekali cara, bahkan dengan “memaksa”.
- Menyuapi berarti mengkondisikan anak berada dalam posisi pasif dan tidak punya kontrol akan apa dan seberapa banyak masakan yang sanggup masuk ke mulutnya. Hal ini justru rentan menciptakan anak jadi gampang tersedak dan muntah, alasannya ialah dengan menyuapi puree berarti menciptakan masakan eksklusif meluncur ke tenggorokan. Apalagi ukuran masakan yang masuk sangat tergantung pada siapa yang menyuapi.
Kedua hal di atas ialah pengalaman yang tidak menyenangkan bagi anak. Bayangkan, kondisi itulah yang harus dihadapi si anak setiap hari selama berbulan-bulan, bahkan bertahun-tahun.
Saya sangat terusik dengan begitu banyaknya picky eater dalam lingkungan keluarga saya. Dari mulai kakak-kakak saya, hingga keluarga istri saya. Pasti ada sesuatu yang salah. Dan saya sadar ada satu kesamaan pada mereka, yaitu mereka menerima pola asuh yang sama saat bayi, yakni disuapi dengan puree.
Saya pun dulunya sangat picky eater hingga dewasa. Tapi sifat itu mulai hilang saat saya kuliah dan harus kos jauh dari orang tua. Otomatis hidup harus lebih irit dan prihatin. Saya pun mulai secara sadar dan sukarela makan masakan yang tadinya tidak saya sukai. Dan kini saya sanggup makan segalanya. Ini artinya sifat picky eating BISA hilang, dan itu alasannya ialah lingkungan dan pengalaman yang pernah saya lalui. Di sisi lain, sifat picky eating pada abang saya belum hilang hingga sekarang, mungkin alasannya ialah belum pernah menjalani pengalaman yang sanggup membuatnya dengan sukarela makan segalanya.
Lalu bagaimana solusinya? Baby-led Weaning (BLW) sanggup menjadi solusinya. Saya sendiri percaya metode dukungan puree dengan menyuapi anak ialah metode yang sudah obsolete. BLW memperlihatkan pengalaman makan yang menyenangkan bagi anak, alasannya ialah anak sanggup mengeksplorasi makanannya sendiri serta memilih apa, bagaimana, dan seberapa banyak ia makan.
Inilah kenapa salah satu masakan yang anak saya paling suka dari bayi hingga kini ialah kerupuk. Ini alasannya ialah masakan itulah yang semenjak awal dikenalkan kepadanya dilakukan dengan pendekatan “BLW” (dalam arti ia boleh memegang dan memasukkannya sendiri ke dalam mulut). Terbukti kan!
Metode puree memang menciptakan progres awal makan bayi jadi cepat, tapi sanggup menjadi peristiwa untuk perkembangan si anak 10-20 tahun ke depan, alasannya ialah kecenderungan menjadi picky eater. Orang bau tanah pun pusing dibuatnya.
Sebaliknya, saya perkirakan progres makan bayi BLW akan sangat lambat di awal-awal, tapi sanggup menjadi modal yang sangat baik hingga ia dewasa, yaitu dalam hal menaklukkan banyak sekali jenis masakan termasuk buah dan sayur-sayuran. Orang bau tanah pun happy kalau anaknya suka buah dan sayuran.
Jadi, pilih yang mana?
5. Bayi dan batita tidak sanggup diajak komunikasi
Mitos: Bayi belum sanggup diajak bicara dan diberi tahu, alasannya ialah bayi belum mengerti bahasa. Bayi hanya sanggup kita ajak bermain, dan kita tenangkan bila menangis. Jika anak suka rewel atau menangis, itu di luar kendali kita. Orang bau tanah hanya sanggup bereaksi dengan menenangkan dan menghiburnya.
Fakta: Bayi sangat sanggup diajak berkomunikasi, bahkan semenjak dalam kandungan. Hanya memang ada trik dan caranya, tidak menyerupai berkomunikasi dengan orang dewasa. Inilah gunanya ilmu Hypno-parenting yang pernah saya tulis pada artikel Hypno-parenting, Apakah Itu?. Intinya adalah, kita harus berkomunikasi dengan Bahasa positif (tidak memakai kata negatif menyerupai “jangan”, “tidak boleh”, “tidak”, dst.). Saya sudah membuktikannya berkali-kali.
Efek negatif dari mitos ini:
- Orang bau tanah kerap hanya reaktif terhadap kondisi anaknya, misal bila anak menangis, ketakutan, atau rewel, dan tidak tahu cara mencegahnya.
- Orang bau tanah sering terpicu temperamennya dan murka pada si anak alasannya ialah galau bagaimana cara menghadapi anak dengan benar. Padahal anak balita sebaiknya tidak dimarahi, apalagi hingga dibentak.
- Ketika anak masih bayi atau batita, orang bau tanah kerap mengambil jalan pintas dengan membohongi si anak, contohnya memakai pahit-pahitan saat sedang menyapih dari ASI.
Memang hypno-parenting bukan berarti solusi dari segalanya dan tidak selalu 100% berhasil. Tapi ilmu ini sangat membantu.
Satu pola Pengalaman pribadi saya. Ketika anak saya berumur 1 tahunan dan mulai mengenal orang-orang terdekatnya, ia cenderung takut bila diajak ke kawasan keramaian dan bertemu banyak orang, menyerupai contohnya di pesta pernikahan.
Suatu saat kami ajak ia ke ajakan ijab kabul tanpa memberitahu dia. Di sana ia rewel dan sama sekali tidak mau ditegur siapa pun, bahkan sekedar salam, dan inginnya selalu mengajak ke luar gedung.
Belajar dari insiden di atas, di hari lain saat mengajaknya ke pesta pernikahan, sebelum berangkat saya berkata kepadanya,
“Rei, nanti kita mau ke kawinan teman papa, di sana banyak om dan tante teman papa. Nanti Rei senyum aja ya, yang berani, kalau diajak salam mau, yang anteng duduk.”
Dan eng ing eng… benar saja, sempurna itulah kondisi ia selama di sana. Menakjubkan kan!
Perhatikan bahwa saya tidak memakai kata-kata negatif menyerupai "Jangan nangis", "Jangan takut", "Jangan rewel". Tapi semuanya ialah kalimat positif.
Saya juga sudah menandakan saat menyapih dari ASI. Saya keukeuh tidak mau pakai cara istri saya memakai pahit-pahitan. Yang saya lakukan ialah memberi sugesti positif setiap malam. Saya bilang,
“Rei sudah besar, kalau minum susu pakai botol aja ya. Kalau mau bobo eksklusif bobo aja, nanti dipuk-puk sama mama atau papa, lebih enak.”
Dan Alhamdulillah, dalam 3 ahad Rei sudah lepas dari ASI, tanpa nangis-nangis, dan tanpa merusak bonding dengan mamanya.
Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58Related Posts :
Wish List For My Second Child, KelvinPengalaman yakni guru terbaik. Your best teacher is your last mistakes. Belajar dari pengalaman dengan anak pertama, Rei, beserta segala ke… Read More...
Kesalahan Terbesar Ortu Dalam Berkomunikasi Dengan AnakMerasa anak suka melawan, tidak mau menurut, susah diajak kerja sama? Jangan buru-buru mencap jelek atau menyalahkan si anak. Coba introspe… Read More...
Tantangan: Tidak Pernah Murka Dan Berkata Jangan Pada AnakYup, semenjak anak pertama saya (Rei) lahir hingga kini umur 3,5 tahun, saya belum pernah memarahi dan berkata "jangan" ke dia. Saya sama se… Read More...
Melawan Mitos Wacana Pengasuhan Anak (Part 2)Ternyata banyak hal-hal yang selama ini dianut dan dipahami oleh orang bau tanah dalam hal mengasuh anak ialah pemahaman atau mitos yang sal… Read More...
Kontroversi Rujukan Didik Tidak Pernah Memarahi Dan Berkata Jangan Ke AnakKonsep contoh asuh yang tidak pernah memarahi dan tidak pernah berkata "jangan" kepada anak tampaknya memang masih dianggap sesuatu yang abn… Read More...
0 Response to "Melawan Mitos Wacana Pengasuhan Anak (Part 2)"
Posting Komentar