Lagi-Lagi Ihwal Susu Sapi

Satu lagi artikel yang mengungkapkan wacana kebohongan susu sapi. Sebetulnya masih percaya gak percaya apakah fakta ini benar adanya. Tapi semakin usang semakin masuk akal. Di Indonesia, kepentingan industri lah yang berhasil menutup-nutupi fakta yang tolong-menolong wacana susu sapi, sebab Indonesia merupakan lahan subur untuk susu formula dan UHT.

Berkaca dari pengalaman langsung dengan anak sendiri, memang banyak terjadi perubahan kondisi anak dari yang tadinya minum susu sapi lebih dari 1 liter sehari, dan kini dikurangi menjadi hanya seperempatnya. Dari yang tadinya sering sakit dan simpel sekali muntah, kini lebih sehat dan tidak pernah muntah lagi.

Kalau ada yang bilang badan anak jadi tinggi sebab minum susu sapi, pengalaman langsung saya dulu berkata lain. Saya dan kakak saya sama-sama konsumsi susu sapi ketika kecil, malah mungkin saya lebih doyan susu sapi ketimbang kakak saya. Tapi kenyataannya, kakak saya tinggi besar, sementara saya hingga kini masih segini-segini aja. Faktor genetik lebih menentukan.

Kaprikornus saya menentukan untuk tidak percaya dengan susu sapi.

Berikut ini Artikelnya:


Kebohongan Manfaat Susu, Wajib Anda Ketahui!!!


Berikut ini yaitu klarifikasi dr. Tan Shot Yen tentang Kebohongan Manfaat Susu yang belum diketahui khalayak ramai. Benarkah susu sapi baik untuk kesehatan, benarkah susu sapi baik untuk tulang? Atau malah sebaliknya. Bahkan itu hanya sekedar bualan belaka, sebagai copywriting sebuah iklan produk susu? Mari kita simak ulasan berikut ini…
Dear dr Tan, saya bahagia sekali membaca rubrik yang Dokter asuh. Jawaban dokter dari setiap pertanyaan sangat tegas, lugas dan cerdas.
Saya pernah dengar seminar dari salah spesialis gizi insan harus mengonsumsi susu semenjak lahir hingga menutup mata (meninggal) sedangkan berdasarkan dokter Tan insan hanya mengonsumsi susu semenjak 0-2 tahun saja itupun hanya ASI.
Saya yang orang awam ini jadi galau Dok. Anak saya sudah berumur 3 tahun, apakah anak saya masih perlu mengonsumsi susu?
Saya harap Dokter berkenan untuk menjawabnya.
Veni, Bekasi
——————————————
Jawaban :
dr. Tan Shot Yen:
Hai Veni,Jika anda mengikuti rubrik saya sungguh-sungguh dan MEMBACA SEMUA INFORMASI BERMANFAAT melalui jalur internet dengan situs-situs yang sanggup dipertanggungjawabkan sebagaimana pernah saya kutipkan sebelumnya, tentu anda tidak akan bingung.
Anda akan terbiasa bertanya,”Mengapa?” dan “Mengapa?” lagi dan selanjutnya menjadi kritis dengan tanggapan yang diberikan sebelum ‘menelan’ mentah-mentah tanggapan dari siapa pun, pakar di bidang apa pun.
Letak permasalahannya bukan pada perdebatan atau siapa yang salah dan siapa yang benar. Jika pendapat pakar (yang bisa salah bisa benar) saja yang dijadikan pegangan, maka kepentingannya terletak justru pada si pakar tersebut – dan apa/siapa yang dibelanya, ada unsur kepentingan apa di balik opini-opininya, pihak mana yang mendukungnya untuk menyuarakan pendapatnya itu.
Begitu pula dengan menghadapi semua paparan saya. Karena itu saya selalu sertakan bacaan atau sumber gosip lain sebagai pembanding, jikalau pembaca membutuhkannya untuk memperluas pandangan serta menilai. Sehingga pada akhirnya kita sama-sama paham, siapa yang diuntungkan atau tolong-menolong masyarakat diperlakukan sebagai tujuan atau sekadar dijadikan sarana belakang layar demi kepentingan yang sesungguhnya BUKAN untuk setinggi-tingginya kesehatan manusia.
Karena itu, ilmu kesehatan sangat mustahil bangun sendiri. Kita perlu merujuk pada antropologi, sejarah contoh hidup dan contoh makan manusia, sejarah kepentingan teknologi industri pangan maupun kesehatan, dan kembali lagi : apakah cocok untuk kesejahteraan insan yang optimal lahir-batin-mental-spiritual?
Saya tidak pernah paham dengan alasan mengapa insan harus mengonsumsi susu selama usia pertumbuhan yang bukan dari ASI, apalagi sepanjang hayat – seolah-olah bahasanya menyerupai yang sering digunakan di kalangan pergaulan anak gadis saya: “Nggak cocok? Paksain ajaaaaaaa!!”
1. Kita perlu mencar ilmu dari binatang menyusui. Bahwa susu hanya cocok sebagai “makanan antara”, ketika bayinya belum sanggup mengunyah dan mencerna.
Begitu bisa tegak, berjalan, mencari makan dan bisa mengunyah masakan padat, maka SUSU BUKAN LAGI KONSUMSI ALAMIAHNYA. Saya tidak menyamakan insan dengan binatang menyusui, tapi kita perlu mencar ilmu dari alam, fakta dan menyadari banyak sekali unsur permainan “kepentingan yang lain” di balik jargon kesehatan yang hanya digunakan untuk nilai jual.
Faktanya, enzim pencernaan insan untuk mencerna susu juga sudah mulai menyusut pada usia 2-3 tahun.
Berbarengan dengan itu, gigi insan pun SUDAH KOMPLIT di usia 2 tahun. Aha! Cocok, bukan? Lepas dari susu, kunyah masakan padatnya!
2. Alam tidak menyediakan susu apa pun selain ASI untuk konsumsi manusia.
Susu sapi hanya untuk generasi penerus sapi. Susunannya pun sama sekali tidak cocok untuk manusia.
Sekali lagi, komposisi susu sapi hanya untuk menciptakan belum dewasa sapi gemuk, bertulang besar, tidak perlu pandai apalagi menikmati umur panjang.
Susu sapi alami sama sekali tidak cocok untuk manusia. Karena “dipaksakan” supaya cocok, maka biar tidak mengandung bakteri, insan melaksanakan sterilisasi susu antara lain dengan pasteurisasi – imbas sampingnya? semua zat gizi susu rusak total (karena itu sesudah proses sterilisasi perlu diimbuhkan banyak sekali zat dari luar supaya kelihatan “bergizi”-proses pasca sterilisasi inilah menciptakan heboh ‘menyusup’nya basil beberapa waktu yang lalu).
Begitu pula biar kolesterol susu sapi yang tinggi tidak menciptakan insan kegemukan dan naik kolesterolnya, ditemukanlah teknik yang menciptakan susu sapi mendapat istilah ‘skim’, sebab minyaknya ditarik/diambil – imbas sampingnya? insan tetap gemuk.
Karena bukan melulu kolesterol yang bermasalah, tapi GULA SUSU (Laktosa) dan KEASAMANNYA yang menciptakan tulang justru semakin keropos.
Supaya “cocok” juga untuk kebutuhan kecerdasan anak manusia, maka pemaksaannya yaitu lewat jalur teknologi.
Susu sapi yang miskin gizi itu ditambahkan zat-zat/asam amino yang diduga sebagai potongan dari kebutuhan perkembangan saraf dan otak.
Padahal, kecerdasan LEBIH DARI SEKADAR ASAM AMINO atau zat yang diimbuhkan tersebut. Kecerdasan anak berkaitan sangat bersahabat dengan IMD (Inisiasi Menyusu Dini) ketika anak mengintegrasikan KECERDASAN PERTAMANYA secara instinktual untuk merayap menemukan puting susu ibu selepas dilahirkan sekaligus gerakan merayap tersebut menuntaskan dan mengintegrasikan refleks-refleks primitifnya!
Kecerdasan terletak pada antibodi prima MANUSIA yang alami, yang hanya terdapat dalam ASI hingga usia 2 tahun saja.
Kecerdasan juga bekerjasama dengan pematangan “sambungan-sambungan sistem syaraf” dari 3 susunan otak insan (reptilian brain yang primitif: hanya mengurus sistem pertahanan diri/survival, mamalian brain yang berfungsi mengenali cinta, rasa aman, peduli, kekeluargaan dan neo-mamalian brain yang gres sesudah usia 6 tahun mengenal istilah cara pikir ‘rasional’.
Kecerdasan insan bukan melulu wacana pandai berhitung dan berbahasa asing, tapi cerdas secara emosional, spiritual. Sehingga yang menciptakan insan maju dan makmur bukan hanya mereka yang ber IQ (Intelligence Quotient) tinggi, tapi juga ber EQ (Emotional Quotient) tinggi sehingga bisa menjalin relasi, serta ber SQ (Spiritual Quotient) membanggakan- sehingga bisa bersyukur, bekerjasama mesra dengan Penciptanya.
Mana ada anak sapi bisa begini?
3. Jika argumen bahwa susu diasup sebagai sumber kalsium (yang dipercaya menguatkan tulang), maka perlu ditegaskan kembali :
APAKAH HANYA SUSU SATU-SATUNYA SUMBER KALSIUM?
Saya meragukan ‘nasehat-nasehat’ yang menganjurkan orang minum susu akhirnya sebatas sebab penelitian yang sangat sepihak, sangat kadaluwarsa bahkan, dan celakanya : sebab ‘kepercayaan’ seri nutrisi jaman penjajahan Belanda yang masih berurat akar.
Tulang pun menjadi berpengaruh BUKAN SEMATA-MATA HANYA KARENA KALSIUM. Melainkan kita perlu mengasup Magnesium, Seng (Zinc), Boron, Mangaan, Provitamin D-3, dll.
Nenek moyang kita sebelum mengenal pabrik susu tidak pernah menderita patah tulang akhir keropos sebelum waktunya. mengapa? sekali lagi, mereka mengonsumsi masakan ALAM yang DIKUNYAH, yang juga memperkuat tulang selepas susu ibu di atas 2 tahun!
Saya pernah menulis di tabloid ini pula, bahwa mengonsumsi 1 cangkir selada bokor (iceberg lettuce) menawarkan kekuatan tulang yang di hari tua, mencegah terjadinya patah tulang panggul! (telah dirisetkan oleh para ahli dari Harvard University, Amerika Serikat yang melibatkan 72.000 wanita).
Kalsium pada susu yang bukan ASI sekali lagi saya tegaskan, TIDAK DIKENAL oleh badan manusia. Oleh karenanya bersifat “Non-bio-available”- jadi, bukannya menciptakan tulang lebih kuat, malah kalsium akan ‘nyasar’ ke daerah yang salah… dan daerah yang paling sering menjadi sasaran pendaratan kalsium adalah.. dinding pembuluh darah!
Bukannya mendapat manfaat positif dari susu, malah mendapat bonus penyakit yang sangat tidak menyenangkan: penebalan dinding pembuluh darah dan segala jadinya (sebagaimana telah dipaparkan dalam salah satu jurnal kedokteran anak oleh Dr. Frank Oski, Upstate Medical Center Department of Pediatrics, USA). Orang Amerika dan Eropa Utara mengonsumsi 800 mg – 1200 mg kalsium sehari, tapi tetap saja mereka lebih menderita osteoporosis/keropos tulang daripada orang Asia dan Afrika yang mengonsumsi 300 mg – 500 mg kalsium per hari.
Mengapa? daging merah, gula, tepung dan materi masakan berupa bumbu non-alam menimbulkan keasaman darah meningkat.
Untuk menetralisirnya, badan mengambil kalsium (yang bersifat alkalis) dari tulang. Sehingga problem osteoporosis bukanlah bahwa seseorang itu tidak cukup memakan kalsium.
Masalahnya yaitu mereka kehilangan kalsium. Dengan demikian, mengasup lebih banyak kalsium ke dalam badan bukanlah jawabannya, sebab Anda bisa kehilangan lebih banyak daripada yang Anda asup (misalnya dengan tetap memakan daging merah, gula, terigu, beras, banyak sekali saus dan kecap produksi pabrik, dll).
Apabila ekstra kalsium yang dikonsumsi berasal dari masakan yang mengandung protein tinggi menyerupai susu, keju dan es krim, keadaan menjadi lebih jelek sebab masakan ini yaitu pembentuk asam yang sangat tinggi. Tubuh semakin kehilangan kalsium.
4. Dari hasil konvensi dunia (World Breastfeeding Week, 1-7 Agustus 2006), Elisabeth Sterken, BSc.MSc Nutritionist INFACT Canada/North America menuliskan bahwa susu bukan ASI menyebabkan: meningkatnya risiko asma, alergi, penurunan perkembangan kecerdasan, peningkatan risiko bisul jalan masuk napas atas, kekurangan nutrisi yang tidak didapatkan dalam susu non ASI, risiko kanker masa anak, risiko penyakit kronik, risiko diabetes, risiko penyakit kardiovaskuler, risiko kegemukan, risiko bisul pencernaan, risiko radang telinga, risiko semua imbas samping akhir PENAMBAHAN ZAT YANG TIDAK SEMESTINYA DALAM SUSU BUBUK/CAIR (sudah terbukti mulai basil hingga melamin, bukan? tunggu saja ‘seri berikutnya’)
Anda belum mengikuti pembinaan saya mengenai “teknik membaca label masakan produksi pabrik”, bukan? Naaaaaahh!! ada baiknya anda mulai membalik kemasan susu anak anda. Banyak istilah “ajaib” yang menciptakan anda mengerenyitkan dahi.
Semua susu sudah mengandung laktosa/gula susu, menyerupai saya sebut di atas. Namun supaya “betah” di pengecap anak yang doyan manis “tingkat tinggi” (yang penting doyan, kan?
Mana ada pabrik mau peduli dengan problem kelebihan karbohidrat buruk!) tetap diimbuhi “sukrosa” (gula rantai panjang!) atau “corn syrup” (gula ‘pembunuh’ nomor satu di Amerika Serikat), belum lagi “perisa” (Apakah anda paham betul istilah ini? Nama lainnya yaitu rasa SINTETIS!), dan susunya pun berasal dari “skimmed, powdered, milk”.
Bahkan susu cair pun melalui proses skim dahulu. Anda perlu pun bisa terheran-heran, mengapa susu yang sudah cair perlu dijadikan bubuk, kemudian dibentuk ‘cair’ lagi.
30-40 tahun yang kemudian (ketika anak Indonesia mentah-mentah menolak susu sebab tidak doyan anyir susu dan harus ‘dipaksa’ minum), label komposisi susu debu cukup tertulis: WHOLE MILK. Titik.
Risiko whole milk pun menciptakan insan terpaksa menyerupai sapi sungguhan: gemuk, bodoh, lamban, berusia pendek).
Semestinya para pakar yang memang mau menyuarakan wacana susu, sebelumnya perlu mengikuti konvensi dunia serupa ini yang memang diselenggarakan bagi para pakar, pengayom kesehatan dan gosip yang terbaru bagi masyarakatnya.
Konvensi ilmiah yang berkualitas tinggi dan kredibel tentu diselenggarakan tanpa sponsor pabrik teknologi pangan atau farmasi yang memiliki kepentingan di dalamnya!
5. Sebagai tambahan, salah satu pilihan : anda bisa membuka situs Dr. Mercola, http://www.mercola.com, ketik “milk” (atau topik apa pun yang anda ingin ketahui) di kolom mesin pencari artikelnya. Anda akan berkelana ke ‘dunia baru’ dan membaca banyak sekali hal yang telah diperjuangkan banyak orang ketika ini, sementara negara kita masih menjadi ‘keranjang pembuangan’ banyak sekali produk yang sudah tidak lagi diterima masyarakat dari mana produk itu berasal.
Saya sangat meratapi kepercayaan dan mitos akan susu ini merasuk di benak ibu-ibu yang hidup dengan ekonomi pas-pas-an, sehingga ada faham ‘asal anak sudah minum susu, rasanya aman!’ – padahal gizi anak membutuhkan lebih.
Anak bergigi membutuhkan masakan untuk dikunyah, dengan sumber karbohidrat-protein-dan lemak yang jauh lebih tinggi tingkatannya.
Bukan susu yang berasal dari sapi dengan pakan buatan insan berjulukan MBM/Meat-Bone-Meal yang menimbulkan sapi membentuk protein asing berjulukan Prion sebagai cikal bakal sapi gila/madcow (Lihat Nyata edisi II Agustus 08, edisi IV Mei 08)
Anak-anak kita bertulang dan bergigi berpengaruh hingga simpulan hayatnya sebab gaya hidup sehat, bukan minum susu segelas tiap malam sambil terpana di depan televisi atau game komputer, yang lincah hanya kedua jempol tangan kanan-kirinya.
Gaya hidup sehat mengandalkan masakan alam lepas campur tangan industri, badan bergerak keseluruhan bermain petak umpet, lompat tali atau layang-layang.
Sumber : Rubrik dr. Tan Shot Yen di tabloid Nyata.

SUMBER 

Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Lagi-Lagi Ihwal Susu Sapi"

Posting Komentar