Saya suka mengikuti tulisan-tulisan Ayah Edy, karena sangat membuka pikiran dan wawasan sebagai orang tua. Pemikiran-pemikirannya problem pendidikan dan pengasuhan anak banyak yang sejalan dengan apa yang aku pikirkan (bahkan yang belum pernah terpikir oleh saya).
Di bawah ini ada satu goresan pena wacana sekolah untuk anak. Saya tidak tahu siapa jago komputer yang beliau sebut di situ, tapi analogi yang disampaikan cukup masuk akal.
Saya sendiri sudah usang mempertanyakan masa-masa aku sekolah dulu, yang berdasarkan aku sangat membosankan dan tidak menyenangkan. Namun hasilnya untuk bekal berjuang di kehidupan kasatmata sangat-sangat jauh. Banyak sekali bekal hidup sesungguhnya yang tidak aku sanggup dari sekolah, meskipun nilai-nilai sekolah aku dulu cukup baik. Alhasil aku betul-betul struggle ketika pertama kali aku lepas dari dingklik pendidikan dan harus mandiri, alias bekerja. Saya dulu berpikir nilai yang baik di sekolah yaitu segalanya, tapi aku salah.
Karena itu, kini aku sangat selektif memilihkan sekolah untuk belum dewasa saya. Sudah bukan jamannya sekolah masih menganut paradigma lama, yang lebih banyak mengedepankan nilai akademik dan cenderung menyamaratakan anak, duduk gotong royong dan berdasarkan apa kata guru. Sekolah yang manis yaitu yang sanggup membangun aksara dan kreatifitas anak, tidak melulu akademik, serta menciptakan anak berkembang sesuai kelebihannya masing-masing.
Saya percaya ketika persaingan di masa depan sudah jauh lebih ketat, yang sanggup survive yaitu manusia-manusia yang kreatif dan punya karakter. Kreatifitas diperlukan dalam segala hal, bahkan untuk profesi yang sangat sederhana sekalipun. Kreatifitas lah yang sanggup memberi nilai tambah dan membedakan seseorang dari yang lainnya, dan pada alhasil membuatnya terus berkembang.
Untungnya, kini di Indonesia (Jakarta tepatnya) sudah banyak pilihan sekolah-sekolah yang tidak lagi menganut paradigma lama, tapi mengedepankan active learning, interaktifitas, kreatifitas, dan membangun aksara anak seutuhnya. Alhamdulillah, bulan kemudian kami sudah mendaftarkan Rei ke salah satu sekolah harapan tersebut. Insya Tuhan ini pilihan yang terbaik untuk anak kami.
Tulisan dari Ayah Edy ini juga sekaligus menjadi materi introspeksi kami sebagai orang bau tanah dalam mendidik anak. Kalau selama ini perkembangan anak masih kurang, dan kami tidak sanggup mengimbangi kemauan anak, mungkin bukan salah si anak, tapi 'prosesor' kami lah yang perlu di-upgrade.
Berikut goresan pena yang diambil dari laman Facebook Komunitas Ayah Edy
Di bawah ini ada satu goresan pena wacana sekolah untuk anak. Saya tidak tahu siapa jago komputer yang beliau sebut di situ, tapi analogi yang disampaikan cukup masuk akal.
Saya sendiri sudah usang mempertanyakan masa-masa aku sekolah dulu, yang berdasarkan aku sangat membosankan dan tidak menyenangkan. Namun hasilnya untuk bekal berjuang di kehidupan kasatmata sangat-sangat jauh. Banyak sekali bekal hidup sesungguhnya yang tidak aku sanggup dari sekolah, meskipun nilai-nilai sekolah aku dulu cukup baik. Alhasil aku betul-betul struggle ketika pertama kali aku lepas dari dingklik pendidikan dan harus mandiri, alias bekerja. Saya dulu berpikir nilai yang baik di sekolah yaitu segalanya, tapi aku salah.
Karena itu, kini aku sangat selektif memilihkan sekolah untuk belum dewasa saya. Sudah bukan jamannya sekolah masih menganut paradigma lama, yang lebih banyak mengedepankan nilai akademik dan cenderung menyamaratakan anak, duduk gotong royong dan berdasarkan apa kata guru. Sekolah yang manis yaitu yang sanggup membangun aksara dan kreatifitas anak, tidak melulu akademik, serta menciptakan anak berkembang sesuai kelebihannya masing-masing.
Saya percaya ketika persaingan di masa depan sudah jauh lebih ketat, yang sanggup survive yaitu manusia-manusia yang kreatif dan punya karakter. Kreatifitas diperlukan dalam segala hal, bahkan untuk profesi yang sangat sederhana sekalipun. Kreatifitas lah yang sanggup memberi nilai tambah dan membedakan seseorang dari yang lainnya, dan pada alhasil membuatnya terus berkembang.
Untungnya, kini di Indonesia (Jakarta tepatnya) sudah banyak pilihan sekolah-sekolah yang tidak lagi menganut paradigma lama, tapi mengedepankan active learning, interaktifitas, kreatifitas, dan membangun aksara anak seutuhnya. Alhamdulillah, bulan kemudian kami sudah mendaftarkan Rei ke salah satu sekolah harapan tersebut. Insya Tuhan ini pilihan yang terbaik untuk anak kami.
Tulisan dari Ayah Edy ini juga sekaligus menjadi materi introspeksi kami sebagai orang bau tanah dalam mendidik anak. Kalau selama ini perkembangan anak masih kurang, dan kami tidak sanggup mengimbangi kemauan anak, mungkin bukan salah si anak, tapi 'prosesor' kami lah yang perlu di-upgrade.
Berikut goresan pena yang diambil dari laman Facebook Komunitas Ayah Edy
PEMIKIRAN SEORANG PROGRAMMER KOMPUTER TENTANG SEKOLAH
Saya terkesan dengan klarifikasi spesialis komputer wacana analogi perbandingan proses berpikir anak2 dengan orang dewasa.
Ada sebuah pertanyaan menarik bagi kita wacana anak2 kita yg sering dinyatakan bermasalah disekolah,
ANAK KITA ATAU SEKOLAHNYA YANG BERMASALAH ?
Keluarga Indonesia yg berbahagia,
Ternyata belum dewasa kita itu dirancang dengan kekuatan dan kecepatan berpikir yg sangat tingkat tinggi, jikalau dibandingkan dengan Prossesor (otaknya) Komputer mungkin setara dengan Pentium Core I-3, I-5 atau I-7 (Kecepatan tertinggi note book dikala ini) atau bahkan lebih hebat lagi.
Namun sayangnya kekuatan dan kecepatan para orang bau tanah dan guru sering kali berada jauh di bawah itu semisal komputer ada di kecepatan Pentium 3 atau mungkin malah dibawahnya lagi (kecepatan komputer 10-20 tahun yang silam).
Di dunia komputer kecepatan prossesornya (otak komputer) selalu di tambah (di up grade) hampir setiap tahunnya. Sementara kecepatan otak orang bau tanah dan guru sangat jarang sekali mendapat up grade (penambahan melalui pelatihan, seminar, parenting Workshop dsb)
Sehingga banyak anak2 yg cepat bosen berguru disekolah alasannya yaitu materinya itu lagi dan itu lagi, cara mengajarnya begitu lagi, begitu lagi, tidak ada peningkatan, tidak ada variasi, sangat tidak kreatif dan membosankan, miskin ide2 dan pembaharuan padahal para gurunya sudah bertahun2 mengajar disana.
Alih2 orang bau tanah dan guru berguru menambah kekuatan dan kecepatan berpikirnya (mengupgrade) biar sanggup lebih kreatif, menarik dan inovatif dalam mengajar atau mengajak anak belajar, melainkan orang bau tanah dan guru lebih suka melimpahkan kesalahan kepada murid atau anaknya.
Yang katanya Malaslah, tidak sanggup konsentrasilah, suka termangu lah, ngantuk atau bahkan tertidur.
Meskipun kita sudah punya banyak orang tua/guru yg menyadari hal ini, namun jauh lebih banyak orang bau tanah dan guru tidak menyadari kekurangan dirinya hingga sering kali yg dipersalahkan malah anak-anaknya, suka ngobrol di kelas, suka termangu dikala belajar, yang katanya ADD lah, ADHD, Learning Disable, Malas Belajarlah, Malas Mencatat lah dan segudang tuduhan lainnya.
Padahal yg sesungguhnya terjadi yaitu alasannya yaitu kita kurang inovatif dalam menyelenggarakan proses berguru mengajar.
Coba Bayangkan dari zaman kita dulu bersekolah kira-kira 20-30 tahun yg lalu, hingga anak2/cucu kita bersekolah sekarang, berguru itu masih selalu di identikkan dengan mencatat dan selalu berada di ruang kelas serta PR atau pekerjaan rumah yg bertumpuk, makin banyak tumpukannya dianggap makin hebat.
Dan bahkan ada sekolah yg menunjukkan PR untuk masa liburan sekolah, padahal liburan itu jelas2 bertujuan untuk refreshing otak anak.
Sesungguhnya anak2 kita yaitu mahluk pembelajar yg canggih, yg tidak sanggup lagi memakai cara2 berguru yg sudah ketinggalan zaman dan tidak sesuai dengan kecanggihan otaknya.
Anak2 zaman kini jauh lebih suka praktek langsung, diskusi, membongkar2, merakit, mencetak berguru luar ruang dan bukannya seharian penuh duduk di kursi mendengarkan gurunya dan latihan soal dsb…
Anak2 kita lebih semangat jikalau berguru itu yaitu proses praktek eksklusif dilapangan baik dengan alat ataupun tidak, setidaknya menyerupai dengan metode yg diselenggarakan oleh Kids Zania. (ini sama sekali bukan promo KZ lho… alasannya yaitu ini yaitu yg paling gampang untuk dibayangkan).
Kaprikornus jikalau cara pembelajarannya masih monoton dan tidak inovatif menyerupai ini, maka jangan kaget jikalau akan ada lebih banyak lagi anak yg kurang suka bersekolah atau anak yg dinyatakan bermasalah oleh guru dan sekolahnya.
Orang bau tanah dan sekolah biasanya cenderung akan mengaitkan inovatif dengan biaya mahal sebagai dalihnya, padahal inovatif itu tidak harus memakai alat yg mahal, tidak harus mengeluarkan biaaya apapun, banyak sekolah2 menyerupai Balita Schooling Komunitas HS Bantaran Rel Pasar Minggu dll, yg memanfaatkan hal2 bekas yg murah-meriah sebagai media pembelajaran yg inovatif.
Semisal pergi keluar ruangan mengamati serangga2 apa saja yg ada di sekitar halaman sekolah juga tidak perlu ada biaya tambahan, melaksanakan wawancara terhadap para pedagang disekitar sekolah, untuk mengetahui seluk beluk berdagang dan barang dagangan mereka juga tidak perlu ada biaya.
Kaprikornus bahwasanya anak yg malas berguru atau kita yang malas berinovasi?
Anaknya yg bermasalah atau sekolahnya yang kurang inovatif ?
Anaknya yg bermasalah atau sekolahnya yang kurang inovatif ?
Mari kita renungkan bersama biar sanggup memetik hikmahnya.
by ayah edy
Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Analogi Sekolah Dan Komputer"
Posting Komentar