Sejak punya anak, saya banyak sekali belajar, dan terpaksa harus mencar ilmu bagaimana menjadi orang bau tanah yang baik.
Saya mencar ilmu bahwa anak tidak dilahirkan dengan sifat-sifat dan huruf baik dari sananya, di mana orang bau tanah tinggal menikmatinya saja. Sebaliknya, anak juga tidak dilahirkan dengan sifat-sifat dan huruf jelek dari sananya, yang seolah menjadi kutukan bagi orang tuanya. Sejatinya tidak ada anak yang terlahir sebagai anak baik, nakal, atau jahat, yang ada ialah anak lahir dalam keadaan belum mengerti.
Anak menyerupai sebuah komputer yang masih kosong isinya ketika lahir, dan kiprah orang tualah untuk “mengisinya” dengan program-program yang baik.
Saya mencar ilmu bahwa baik buruknya perkembangan anak sangat tergantung dari pola asuh yang didapatnya. Dan semua itu harus diusahakan oleh orang tuanya.
Ternyata tidak bisa kita berpikir, nanti kalau sudah besar juga akan mengerti sendiri. Nanti semakin besar juga akan berubah sendiri. Dari pengalaman saya, ternyata tidak demikian. Bahkan jikalau orang bau tanah lalai, hal-hal jelek yang tidak dikoreksi semenjak dini bisa terbawa terus, bahkan mungkin hingga dewasa. Jauh lebih sulit mengoreksi sesuatu yang sudah terlanjur terbentuk, ketimbang menanganinya semenjak dini. Jalan terbaik ialah dengan mengantisipasi dan mencegah hal jelek terjadi semenjak awal.
Ingin anak menjadi anak yang baik, suka berbagi, kooperatif, suka makan buah dan sayur, tidak gampang putus asa, tidak cengeng, sayang pada kakak/adik, sopan, rajin, sehat secara fisik, dan berjibun hal baik lainnya? Semuanya bisa, tapi jangan harap itu akan tiba dengan sendirinya. Semua harus diusahakan oleh orang tua.
Sebaliknya, kalau anak berubah menjadi anak yang suka membantah, sulit diajak bekerjasama, cengeng, tidak percaya diri, egois, picky-eater, dan banyak sekali sifat jelek lainnya? Jangan menyalahkan si anak. Justru orang bau tanah lah yang harus introspeksi diri bagaimana pola asuh yang sudah diberikan pada si anak selama ini. Bagaimana orang bau tanah memperlakukan anak selama ini. Semua itu tidak terjadi begitu saja, tapi terbentuk dari kebiasaan sehari-hari. Sikap yang ditunjukkan anak kepada orang tuanya ialah refleksi dari perilaku yang orang bau tanah berlakukan kepada si anak.
Jangan juga terjebak menuntaskan dilema dengan menempuh jalan pintas, alasannya ialah kita harus selalu berpikir untuk jangka panjang. Solusi yang baik ialah yang juga akan berefek baik untuk jangka panjang, meskipun lebih sulit. Jalan pintas sering kali hanya akan menuntaskan dilema pada ketika itu saja, tapi belum tentu berefek baik secara jangka panjang, bahkan sering malah mengakibatkan dilema lebih besar di kemudian hari. Bukan sulit, hanya butuh perjuangan lebih.
Seringkali orang bau tanah menganggap anak belum bisa, sehingga mengambil jalan pintas untuk menyelesaikannya. Tapi yang dilakukan orang bau tanah bahwasanya hanya menghindari masalah, bukan menghadapi dan menuntaskan masalah. Ketika kita hanya menghindari masalah, dilema itu akan tetap ada, dan justru bisa berubah menjadi dilema yang lebih besar di kemudian hari. Ingat bahwa orang bau tanah memiliki misi mendidik anak, bukan hanya sekedar yang penting beres.
Anak menangis ketika ditinggal orang bau tanah pergi bekerja? Itu hal yang wajar, alasannya ialah anak belum mengerti. Berilah beliau kesempatan untuk mencar ilmu memahami, untuk mencar ilmu me-manage emosinya. Biasakan tetap pamit pribadi di depan anak ketika akan pergi, hingga anak jadinya mengerti dan menganggap itu hal yang biasa sehingga tidak menangis lagi. Bukan malah selalu rahasia pergi ketika anak sedang bermain. Percayalah, semakin tidak dilatih semenjak dini, anak akan semakin susah diubah. Sering 'membohongi' anak juga akan menumbuhkan rasa insecure dan 'lack of trust' pada anak terhadap orang tuanya sendiri.
Anak pilih-pilih masakan dan sangat picky-eater? Adalah mitos jikalau ada yang menyampaikan bahwa Picky-eater ialah sifat keturunan. Menurut penelitian, tidak ada gen pembawa sifat picky-eater. Yang ada ialah gen menyangkut selera akan rasa manis, asin, asam, pahit, pedas, dst. Itupun bisa berubah menurut pengalaman yang diterima. Picky-eater lebih dikarenakan anak kurang menerima pengalaman makan yang baik dan positif ketika masih kecil. Juga kurangnya stimulasi pada anak. Coba ingat-ingat lagi apakah kita sudah menunjukkan pengalaman makan yang baik ketika anak masih kecil dulu? Bagaimana perilaku dan perlakuan kita setiap kali beliau susah atau tidak mau makan? Apakah kita menunjukkan ia banyak kesempatan untuk mengeksplorasi makanan, bukan melulu disuapi? Apakah kita menerapkan jendela makan sehingga anak tahu rasanya lapar dan kenyang? Seringkali orang bau tanah lupa bahwa makan juga ialah proses mencar ilmu dan stimulasi untuk anak, bukan hanya dilema mengisi perut dan pertumbuhan.
Anak susah diajak kerjasama alias tidak kooperatif? Tengok bagaimana cara kita berkomunikasi dan memperlakukan anak setiap harinya. Apa kita sudah menerapkan cara berkomunikasi dan berinteraksi yang positif? Atau kita selalu menegur anak dengan nada tinggi, teriakan, dan hardikan, juga suka 'membantah' omongannya?
Anak sangat cengeng dan selalu menangis hiperbola ketika jatuh? Coba lihat bagaimana reaksi kita selama ini ketika beliau jatuh. Apakah ikut berteriak dan mengasihani secara berlebihan? Kita seharusnya melihat insiden jatuh sebagai proses anak belajar, bukan sebagai suatu kegagalan atau ketidakmampuan anak. Anak niscaya mencar ilmu sesuatu dari jatuhnya itu, yaitu bagaimana semoga beliau tidak jatuh lagi. Keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama. Kaprikornus orang bau tanah justru harus memberi semangat ini kepada anak. Bukan mengasihaninya secara hiperbola atau malah menjadi over-protective.
Dan masih banyak sekali contoh-contoh lainnya.
Semua itu butuh proses, tidak ada yang instan. Orang bau tanah harus mau sabar melalui semua prosesnya, bukan hanya mau hasilnya saja. Jika prosesnya baik, otomatis hasilnya juga akan baik.
Membesarkan anak memang bukan hal yang mudah, bisa ditanyakan kepada semua orang bau tanah di seluruh dunia. Mengharapkan semuanya berjalan mulus dan sesuai kemauan kita ialah hal yang mustahil. Mengeluh pada setiap kesulitan yang kita temui ketika menghadapi anak bukanlah perilaku yang adil kepada Sang Pencipta. Bagaimana bisa kita begitu memohon kepada-Nya mengharapkan kehadiran si buah hati, tapi kemudian sedikit-sedikit mengeluh dan murka ketika kita sudah diberi?
Sesulit apapun, memiliki anak ialah hal yang harus disyukuri. Merekalah ladang pahala kita. Mereka juga lah penerus amal kita ketika kita sudah tidak ada lagi di dunia.
Kalau diingat-ingat, banyak sekali kesalahan yang kami lakukan dalam mengasuh anak pertama kami, sehingga banyak hal-hal yang harus kami koreksi dan betulkan belakangan. Dan ternyata jauh lebih sulit mengoreksi sesuatu jikalau sudah terlanjur terbentuk, meskipun bukan tidak mungkin.
Tentu sedikit banyak ada rasa penyesalan. Tapi tidak ada gunanya larut dalam penyesalan. Tidak ada gunanya juga berusaha mencari dan menuding siapa yang salah, yang hanya akan menguras energi tidak berguna. Yang paling penting ialah menyadari apa kesalahan itu, dan pelajaran apa yang bisa kita sanggup dari kesalahan itu, serta bagaimana semoga kita menjadi lebih baik lagi ke depannya. Terutama alasannya ialah saya masih harus juga membesarkan anak kedua (dan Insya Tuhan ketiga juga).
Tulisan ini ialah refleksi saya pribadi, dan sebagai pengingat semoga saya selalu istiqomah berusaha terus mencar ilmu menjadi orang bau tanah yang baik. Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Saya mencar ilmu bahwa anak tidak dilahirkan dengan sifat-sifat dan huruf baik dari sananya, di mana orang bau tanah tinggal menikmatinya saja. Sebaliknya, anak juga tidak dilahirkan dengan sifat-sifat dan huruf jelek dari sananya, yang seolah menjadi kutukan bagi orang tuanya. Sejatinya tidak ada anak yang terlahir sebagai anak baik, nakal, atau jahat, yang ada ialah anak lahir dalam keadaan belum mengerti.
Anak menyerupai sebuah komputer yang masih kosong isinya ketika lahir, dan kiprah orang tualah untuk “mengisinya” dengan program-program yang baik.
Saya mencar ilmu bahwa baik buruknya perkembangan anak sangat tergantung dari pola asuh yang didapatnya. Dan semua itu harus diusahakan oleh orang tuanya.
Ternyata tidak bisa kita berpikir, nanti kalau sudah besar juga akan mengerti sendiri. Nanti semakin besar juga akan berubah sendiri. Dari pengalaman saya, ternyata tidak demikian. Bahkan jikalau orang bau tanah lalai, hal-hal jelek yang tidak dikoreksi semenjak dini bisa terbawa terus, bahkan mungkin hingga dewasa. Jauh lebih sulit mengoreksi sesuatu yang sudah terlanjur terbentuk, ketimbang menanganinya semenjak dini. Jalan terbaik ialah dengan mengantisipasi dan mencegah hal jelek terjadi semenjak awal.
Ingin anak menjadi anak yang baik, suka berbagi, kooperatif, suka makan buah dan sayur, tidak gampang putus asa, tidak cengeng, sayang pada kakak/adik, sopan, rajin, sehat secara fisik, dan berjibun hal baik lainnya? Semuanya bisa, tapi jangan harap itu akan tiba dengan sendirinya. Semua harus diusahakan oleh orang tua.
Sebaliknya, kalau anak berubah menjadi anak yang suka membantah, sulit diajak bekerjasama, cengeng, tidak percaya diri, egois, picky-eater, dan banyak sekali sifat jelek lainnya? Jangan menyalahkan si anak. Justru orang bau tanah lah yang harus introspeksi diri bagaimana pola asuh yang sudah diberikan pada si anak selama ini. Bagaimana orang bau tanah memperlakukan anak selama ini. Semua itu tidak terjadi begitu saja, tapi terbentuk dari kebiasaan sehari-hari. Sikap yang ditunjukkan anak kepada orang tuanya ialah refleksi dari perilaku yang orang bau tanah berlakukan kepada si anak.
Jangan juga terjebak menuntaskan dilema dengan menempuh jalan pintas, alasannya ialah kita harus selalu berpikir untuk jangka panjang. Solusi yang baik ialah yang juga akan berefek baik untuk jangka panjang, meskipun lebih sulit. Jalan pintas sering kali hanya akan menuntaskan dilema pada ketika itu saja, tapi belum tentu berefek baik secara jangka panjang, bahkan sering malah mengakibatkan dilema lebih besar di kemudian hari. Bukan sulit, hanya butuh perjuangan lebih.
Seringkali orang bau tanah menganggap anak belum bisa, sehingga mengambil jalan pintas untuk menyelesaikannya. Tapi yang dilakukan orang bau tanah bahwasanya hanya menghindari masalah, bukan menghadapi dan menuntaskan masalah. Ketika kita hanya menghindari masalah, dilema itu akan tetap ada, dan justru bisa berubah menjadi dilema yang lebih besar di kemudian hari. Ingat bahwa orang bau tanah memiliki misi mendidik anak, bukan hanya sekedar yang penting beres.
Anak menangis ketika ditinggal orang bau tanah pergi bekerja? Itu hal yang wajar, alasannya ialah anak belum mengerti. Berilah beliau kesempatan untuk mencar ilmu memahami, untuk mencar ilmu me-manage emosinya. Biasakan tetap pamit pribadi di depan anak ketika akan pergi, hingga anak jadinya mengerti dan menganggap itu hal yang biasa sehingga tidak menangis lagi. Bukan malah selalu rahasia pergi ketika anak sedang bermain. Percayalah, semakin tidak dilatih semenjak dini, anak akan semakin susah diubah. Sering 'membohongi' anak juga akan menumbuhkan rasa insecure dan 'lack of trust' pada anak terhadap orang tuanya sendiri.
Anak pilih-pilih masakan dan sangat picky-eater? Adalah mitos jikalau ada yang menyampaikan bahwa Picky-eater ialah sifat keturunan. Menurut penelitian, tidak ada gen pembawa sifat picky-eater. Yang ada ialah gen menyangkut selera akan rasa manis, asin, asam, pahit, pedas, dst. Itupun bisa berubah menurut pengalaman yang diterima. Picky-eater lebih dikarenakan anak kurang menerima pengalaman makan yang baik dan positif ketika masih kecil. Juga kurangnya stimulasi pada anak. Coba ingat-ingat lagi apakah kita sudah menunjukkan pengalaman makan yang baik ketika anak masih kecil dulu? Bagaimana perilaku dan perlakuan kita setiap kali beliau susah atau tidak mau makan? Apakah kita menunjukkan ia banyak kesempatan untuk mengeksplorasi makanan, bukan melulu disuapi? Apakah kita menerapkan jendela makan sehingga anak tahu rasanya lapar dan kenyang? Seringkali orang bau tanah lupa bahwa makan juga ialah proses mencar ilmu dan stimulasi untuk anak, bukan hanya dilema mengisi perut dan pertumbuhan.
Anak susah diajak kerjasama alias tidak kooperatif? Tengok bagaimana cara kita berkomunikasi dan memperlakukan anak setiap harinya. Apa kita sudah menerapkan cara berkomunikasi dan berinteraksi yang positif? Atau kita selalu menegur anak dengan nada tinggi, teriakan, dan hardikan, juga suka 'membantah' omongannya?
Anak sangat cengeng dan selalu menangis hiperbola ketika jatuh? Coba lihat bagaimana reaksi kita selama ini ketika beliau jatuh. Apakah ikut berteriak dan mengasihani secara berlebihan? Kita seharusnya melihat insiden jatuh sebagai proses anak belajar, bukan sebagai suatu kegagalan atau ketidakmampuan anak. Anak niscaya mencar ilmu sesuatu dari jatuhnya itu, yaitu bagaimana semoga beliau tidak jatuh lagi. Keledai saja tidak jatuh di lubang yang sama. Kaprikornus orang bau tanah justru harus memberi semangat ini kepada anak. Bukan mengasihaninya secara hiperbola atau malah menjadi over-protective.
Dan masih banyak sekali contoh-contoh lainnya.
Semua itu butuh proses, tidak ada yang instan. Orang bau tanah harus mau sabar melalui semua prosesnya, bukan hanya mau hasilnya saja. Jika prosesnya baik, otomatis hasilnya juga akan baik.
Membesarkan anak memang bukan hal yang mudah, bisa ditanyakan kepada semua orang bau tanah di seluruh dunia. Mengharapkan semuanya berjalan mulus dan sesuai kemauan kita ialah hal yang mustahil. Mengeluh pada setiap kesulitan yang kita temui ketika menghadapi anak bukanlah perilaku yang adil kepada Sang Pencipta. Bagaimana bisa kita begitu memohon kepada-Nya mengharapkan kehadiran si buah hati, tapi kemudian sedikit-sedikit mengeluh dan murka ketika kita sudah diberi?
Sesulit apapun, memiliki anak ialah hal yang harus disyukuri. Merekalah ladang pahala kita. Mereka juga lah penerus amal kita ketika kita sudah tidak ada lagi di dunia.
Kalau diingat-ingat, banyak sekali kesalahan yang kami lakukan dalam mengasuh anak pertama kami, sehingga banyak hal-hal yang harus kami koreksi dan betulkan belakangan. Dan ternyata jauh lebih sulit mengoreksi sesuatu jikalau sudah terlanjur terbentuk, meskipun bukan tidak mungkin.
Tentu sedikit banyak ada rasa penyesalan. Tapi tidak ada gunanya larut dalam penyesalan. Tidak ada gunanya juga berusaha mencari dan menuding siapa yang salah, yang hanya akan menguras energi tidak berguna. Yang paling penting ialah menyadari apa kesalahan itu, dan pelajaran apa yang bisa kita sanggup dari kesalahan itu, serta bagaimana semoga kita menjadi lebih baik lagi ke depannya. Terutama alasannya ialah saya masih harus juga membesarkan anak kedua (dan Insya Tuhan ketiga juga).
Tulisan ini ialah refleksi saya pribadi, dan sebagai pengingat semoga saya selalu istiqomah berusaha terus mencar ilmu menjadi orang bau tanah yang baik. Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Refleksi Menjadi Orang Tua: Semua Itu Harus Diusahakan"
Posting Komentar