Merasa anak suka melawan, tidak mau menurut, susah diajak kerja sama?
Jangan buru-buru mencap jelek atau menyalahkan si anak. Coba introspeksi diri, mungkin cara berkomunikasi orang bau tanah kepada anak yang selama ini salah.
Salah satu kesalahan terbesar orang bau tanah dalam berkomunikasi dengan anak yaitu menganggap anaknya yaitu anak kecil. Maksudnya?
Tentu saja mereka memang masih kecil, tapi yang dimaksud di sini yaitu dalam hal cara memperlakukan si anak. Anak kerap dianggap anak kecil yang pantas untuk dihardik, diomeli, diteriaki, dibentak. Juga omongannya sering kurang dianggap dan didengar.
Padahal anak sejatinya sama saja menyerupai kita insan dewasa, hanya saja mereka bertubuh kecil dan masih harus banyak belajar. Intinya, mereka yaitu insan kecil.
Coba ingat-ingat, seberapa sering kita menegur anak dengan kata "Hayo!", "Eh!", berteriak-teriak memanggil namanya, menegurnya dengan nada tinggi atau bentakan?
Jangan disangka anak bahagia dan merasa yummy ditegur dengan cara menyerupai itu.
Apa efeknya kalau kita kerap melakukannya?
Yang jelas, hubungan dan komunikasi yang faktual antara ortu dan anak akan susah terbangun. Padahal keberhasilan pola asuh (parenting) tergantung seberapa berhasil ortu membangun hubungan timbal balik yang faktual dengan anak, bukan seberapa berhasil menciptakan anak takut pada orang tuanya. Ketika hubungan timbal balik yang faktual sudah terjalin, anak akan dengan sendirinya menjadi lebih kooperatif dengan orang tuanya. Dan ini harus dibangun secara terus menerus.
Sesuai Teori Tangki Cinta Anak, kebutuhan utama anak yaitu rasa kondusif (security), yang sanggup tercapai kalau anak senantiasa merasa dicintai, dihargai, dan diterima apa adanya oleh ayah dan ibunya. Ketika rasa kondusif itu tidak didapat, anak akan cenderung berulah untuk mencari perhatian orang tuanya.
Cara menegur dan memperlakukan anak menyerupai anak kecil tidak mengatakan kalau orang bau tanah menghargai si anak.
Reaksi anak sanggup berbeda-beda. Ada yang menjadi tidak mau berdasarkan apapun kata orang tuanya. Suka membantah. Menjadi manja dan merengek-rengek. Atau sanggup jadi hanya membisu saja.
Jadi, apa yang harus dilakukan orang tua?
Bangunlah komunikasi faktual yang mengatakan bahwa kita menghargai si anak.
Ketika meminta anak membereskan mainan, alih-alih berkata, "Hayo beresin mainannya!" Kita sanggup berkata, "Kalau sudah final bermain, kau beresin ya mainannya." Di sini kita mengatakan kalau kita menghargai kalau anak belum final bermain, juga memakai nada lebih akrab dan tidak terkesan otoriter.
Ketika menyuruh anak mandi, alih-alih berkata, "Hayo sana cepat mandi!" Kita sanggup berkata "Sebentar lagi mandi ya supaya segar."
Masih banyak pola lainnya. Silakan dipikirkan sendiri sesuai kebutuhan. Temukan cara-cara yang kreatif untuk mengajak dan menyuruh anak.
Tapi ini BUKAN berarti orang bau tanah menjadi lembek, permisif, dan mengiyakan begitu saja segala perkataan dan undangan anak. Sama sekali bukan! Ini hanya mengubah cara penyampaian sesuatu ke anak. Seringkali, berdasarkan atau tidaknya anak kepada orang tuanya tergantung bagaimana kebiasaan sang ortu mengkomunikasikan segala sesuatu ke anak. Pada dikala bersamaan, ortu juga harus menjaga kewibawaan dan ketegasan (tegas bukan berarti galak lho).
Cara menegur menyerupai anak kecil bukan dihentikan sama sekali, kadang masih tetap dibutuhkan dalam kondisi "darurat", tapi bukan berarti kita sanggup melakukannya setiap hari dan setiap saat.
Saya bukan cuma 1-2 kali melakukannya, tapi saya selalu berusaha dengan segala kerendahan hati mengoreksi diri sendiri. Keberhasilan pola asuh itu tergantung bagaimana orang bau tanah mau berbesar hati untuk senantiasa introspeksi dan mengoreksi diri. Perilaku anak yang bermasalah pasti berpangkal pada pola asuh dari orang tuanya.
Percayalah, semakin ortu tidak mau berubah, anak akan semakin berulah, dan semakin juga ortu akan selalu emosi dibuatnya, sehingga jadi bulat setan yang tidak berujung. Kita tidak sanggup mengharapkan anak yang mengikuti keadaan terhadap ortunya, sebab jiwa mereka belum matang. Makara ortu lah yang harus berubah mengikuti keadaan terhadap mereka. Anak bukanlah robot, tapi insan yang punya perasaan dan pikiran.
Jangan lupa, lebih mendengarkan anak juga akan menciptakan anak merasa dihargai. Saya pernah membahasnya di artikel The Power of "Listening".
Silakan diperhatikan dan diamati. Jika kita konsisten, pasti anak akan lebih kooperatif dan gampang untuk diajak kerja sama.
Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Jangan buru-buru mencap jelek atau menyalahkan si anak. Coba introspeksi diri, mungkin cara berkomunikasi orang bau tanah kepada anak yang selama ini salah.
Salah satu kesalahan terbesar orang bau tanah dalam berkomunikasi dengan anak yaitu menganggap anaknya yaitu anak kecil. Maksudnya?
Tentu saja mereka memang masih kecil, tapi yang dimaksud di sini yaitu dalam hal cara memperlakukan si anak. Anak kerap dianggap anak kecil yang pantas untuk dihardik, diomeli, diteriaki, dibentak. Juga omongannya sering kurang dianggap dan didengar.
Padahal anak sejatinya sama saja menyerupai kita insan dewasa, hanya saja mereka bertubuh kecil dan masih harus banyak belajar. Intinya, mereka yaitu insan kecil.
Coba ingat-ingat, seberapa sering kita menegur anak dengan kata "Hayo!", "Eh!", berteriak-teriak memanggil namanya, menegurnya dengan nada tinggi atau bentakan?
Jangan disangka anak bahagia dan merasa yummy ditegur dengan cara menyerupai itu.
Apa efeknya kalau kita kerap melakukannya?
Yang jelas, hubungan dan komunikasi yang faktual antara ortu dan anak akan susah terbangun. Padahal keberhasilan pola asuh (parenting) tergantung seberapa berhasil ortu membangun hubungan timbal balik yang faktual dengan anak, bukan seberapa berhasil menciptakan anak takut pada orang tuanya. Ketika hubungan timbal balik yang faktual sudah terjalin, anak akan dengan sendirinya menjadi lebih kooperatif dengan orang tuanya. Dan ini harus dibangun secara terus menerus.
Sesuai Teori Tangki Cinta Anak, kebutuhan utama anak yaitu rasa kondusif (security), yang sanggup tercapai kalau anak senantiasa merasa dicintai, dihargai, dan diterima apa adanya oleh ayah dan ibunya. Ketika rasa kondusif itu tidak didapat, anak akan cenderung berulah untuk mencari perhatian orang tuanya.
Cara menegur dan memperlakukan anak menyerupai anak kecil tidak mengatakan kalau orang bau tanah menghargai si anak.
Reaksi anak sanggup berbeda-beda. Ada yang menjadi tidak mau berdasarkan apapun kata orang tuanya. Suka membantah. Menjadi manja dan merengek-rengek. Atau sanggup jadi hanya membisu saja.
Jadi, apa yang harus dilakukan orang tua?
Bangunlah komunikasi faktual yang mengatakan bahwa kita menghargai si anak.
Ketika meminta anak membereskan mainan, alih-alih berkata, "Hayo beresin mainannya!" Kita sanggup berkata, "Kalau sudah final bermain, kau beresin ya mainannya." Di sini kita mengatakan kalau kita menghargai kalau anak belum final bermain, juga memakai nada lebih akrab dan tidak terkesan otoriter.
Ketika menyuruh anak mandi, alih-alih berkata, "Hayo sana cepat mandi!" Kita sanggup berkata "Sebentar lagi mandi ya supaya segar."
Masih banyak pola lainnya. Silakan dipikirkan sendiri sesuai kebutuhan. Temukan cara-cara yang kreatif untuk mengajak dan menyuruh anak.
Tapi ini BUKAN berarti orang bau tanah menjadi lembek, permisif, dan mengiyakan begitu saja segala perkataan dan undangan anak. Sama sekali bukan! Ini hanya mengubah cara penyampaian sesuatu ke anak. Seringkali, berdasarkan atau tidaknya anak kepada orang tuanya tergantung bagaimana kebiasaan sang ortu mengkomunikasikan segala sesuatu ke anak. Pada dikala bersamaan, ortu juga harus menjaga kewibawaan dan ketegasan (tegas bukan berarti galak lho).
Cara menegur menyerupai anak kecil bukan dihentikan sama sekali, kadang masih tetap dibutuhkan dalam kondisi "darurat", tapi bukan berarti kita sanggup melakukannya setiap hari dan setiap saat.
Saya bukan cuma 1-2 kali melakukannya, tapi saya selalu berusaha dengan segala kerendahan hati mengoreksi diri sendiri. Keberhasilan pola asuh itu tergantung bagaimana orang bau tanah mau berbesar hati untuk senantiasa introspeksi dan mengoreksi diri. Perilaku anak yang bermasalah pasti berpangkal pada pola asuh dari orang tuanya.
Percayalah, semakin ortu tidak mau berubah, anak akan semakin berulah, dan semakin juga ortu akan selalu emosi dibuatnya, sehingga jadi bulat setan yang tidak berujung. Kita tidak sanggup mengharapkan anak yang mengikuti keadaan terhadap ortunya, sebab jiwa mereka belum matang. Makara ortu lah yang harus berubah mengikuti keadaan terhadap mereka. Anak bukanlah robot, tapi insan yang punya perasaan dan pikiran.
Jangan lupa, lebih mendengarkan anak juga akan menciptakan anak merasa dihargai. Saya pernah membahasnya di artikel The Power of "Listening".
Silakan diperhatikan dan diamati. Jika kita konsisten, pasti anak akan lebih kooperatif dan gampang untuk diajak kerja sama.
Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Kesalahan Terbesar Ortu Dalam Berkomunikasi Dengan Anak"
Posting Komentar