Saya percaya setiap anak secara naluriah punya kemampuan untuk berguru sendiri secara dapat berdiri diatas kaki sendiri semenjak ia lahir (self-learning). Seorang anak punya kemampuan luar biasa untuk berguru dari setiap kesalahannya sendiri, tanpa perlu ada yang memberitahunya (self-taught).
Sayangnya, sering kali orang tuanya sendirilah justru yang mengakibatkan kemampuan itu memudar seiring anak beranjak besar.
Bagaimana tidak. Orang bau tanah kerap terlalu takut dan tidak rela membiarkan anaknya melaksanakan kesalahan, alias cenderung over-protective.
Ketimbang melihat si anak jatuh akhir mencoba turun sendiri dari kasur, orang bau tanah lebih bahagia memegangi si anak. Ketimbang melihat si anak sedikit tersedak akhir mencoba kuliner baru, orang bau tanah lebih bahagia tidak menawarkan kuliner itu. Ketimbang melihat anaknya menangis, orang bau tanah lebih bahagia membantu anak dalam segala hal.
Ketika anak benar-benar mengalami kesalahan menyerupai jatuh atau tersedak pun, kerap orang bau tanah menawarkan reaksi yang kurang pas. Seperti contohnya berteriak, atau mengasihani anak secara berlebihan. Sering justru anak menangis bukan alasannya yakni kesakitan, tapi akhir melihat reaksi orang tuanya. Reaksi lain yang juga lucu yakni saat anak jatuh atau terantuk, banyak orang bau tanah yang kemudian menghibur anaknya dengan berkata "lantainya nakal", "pintunya nakal". Bagaimana anak bisa berguru dari kesalahannya kalau demikian?
Akibatnya, anak bisa menjadi takut untuk mencoba hal baru, cengeng, ceroboh, atau mempunyai daya juang yang lemah. Bahkan ada yang menjadi cenderung menyalahkan orang lain saat salah.
Mau bukti bahwa seorang anak punya naluri untuk berguru sendiri semenjak bayi?
Anak bayi yang gres lahir bisa dengan sendirinya menyusu dari puting ibunya. Apakah si ibu mengajarinya?
Jika kita mempraktekkan Baby-Led-Weaning saat anak berumur 6 bulan, anak dengan sendirinya akan bisa mengunyah dan menelan makanan. Bahkan kalau tersedak, beliau akan dengan sendirinya tahu bagaimana caranya biar tidak tersedak lagi. Apakah kita bisa memberitahu beliau caranya, sementara beliau belum bisa diajak berkomunikasi secara langsung?
Ada pepatah yang mengatakan:
"Kegagalan bukanlah lawan dari kesuksesan. Kegagalan yakni bab dari kesuksesan."
Demikian juga dengan kemampuan anak.
Ketika anak jatuh, tersedak, terantuk, dsb., bergotong-royong itu yakni bab dari proses dirinya berkembang dan belajar. Kita harus melihatnya bukan sebagai kegagalan si anak, tapi sebagai proses si anak menuju kemampuan yang lebih tinggi, alasannya yakni beliau akan berguru dari kesalahannya itu. Bahkan saat anak menangis sekalipun.
Intinya, anak bisa meraih kemampuan yang diharapkan dengan sendirinya kalau diberi kesempatan.
Inilah yang disebut child empowerment. Ketimbang kita harus selalu mengawasi, mencekoki, menyuapi, dan membantu si anak dalam segala hal, lebih baik kita beri anak kemampuan yang diharapkan itu sendiri, dengan cara memberi kesempatan anak untuk mencobanya sesering mungkin. Sehingga saat kita sedang lengah untuk menjaganya, anak tidak akan dengan begitu praktis mencelakakan dirinya sendiri. Ketika kita tidak punya cukup waktu untuk membantunya, anak tetap bisa melaksanakan sesuatu yang dibutuhkannya sendiri.
Tugas orang bau tanah yakni menjaga dan membimbing anak. Itu bukan berarti membantunya dalam melaksanakan segala hal. Menjaga yakni memastikan biar kondisi fatal tidak terjadi. Membimbing yakni menciptakan anak sadar akan kesalahan yang beliau lakukan.
Ketika anak sudah besar dan mengalami kegagalan, jangan menceramahinya. Lebih baik mengajaknya berdiskusi dan bertanya, berguru apa beliau dari kegagalannya itu?
Karena itulah ada pepatah yang menyampaikan bahwa pengalaman yakni guru yang terbaik. Anak sesungguhnya bisa berguru lebih baik dari pengalamannya sendiri, bukan dari teriakan atau ceramah orang tuanya.
Jadi, ubahlah mindset kita. Jangan terlalu paranoid akan kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan si anak. Berilah anak kesempatan mencoba sebanyak-banyaknya. Biarkan anak melaksanakan kesalahan sebanyak-banyaknya. Karena lewat kesalahannya itulah anak akan berguru menjadi lebih baik.
Jika kita konsisten, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang gigih, tidak praktis menyerah, tidak menyesali nasib saat gagal, selalu mau berguru dan bangun dari kesalahan dan kegagalannya. Singkatnya, menjadi insan yang mempunyai Adversity Quotient yang tinggi. Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Sayangnya, sering kali orang tuanya sendirilah justru yang mengakibatkan kemampuan itu memudar seiring anak beranjak besar.
Bagaimana tidak. Orang bau tanah kerap terlalu takut dan tidak rela membiarkan anaknya melaksanakan kesalahan, alias cenderung over-protective.
Ketimbang melihat si anak jatuh akhir mencoba turun sendiri dari kasur, orang bau tanah lebih bahagia memegangi si anak. Ketimbang melihat si anak sedikit tersedak akhir mencoba kuliner baru, orang bau tanah lebih bahagia tidak menawarkan kuliner itu. Ketimbang melihat anaknya menangis, orang bau tanah lebih bahagia membantu anak dalam segala hal.
Ketika anak benar-benar mengalami kesalahan menyerupai jatuh atau tersedak pun, kerap orang bau tanah menawarkan reaksi yang kurang pas. Seperti contohnya berteriak, atau mengasihani anak secara berlebihan. Sering justru anak menangis bukan alasannya yakni kesakitan, tapi akhir melihat reaksi orang tuanya. Reaksi lain yang juga lucu yakni saat anak jatuh atau terantuk, banyak orang bau tanah yang kemudian menghibur anaknya dengan berkata "lantainya nakal", "pintunya nakal". Bagaimana anak bisa berguru dari kesalahannya kalau demikian?
Akibatnya, anak bisa menjadi takut untuk mencoba hal baru, cengeng, ceroboh, atau mempunyai daya juang yang lemah. Bahkan ada yang menjadi cenderung menyalahkan orang lain saat salah.
Mau bukti bahwa seorang anak punya naluri untuk berguru sendiri semenjak bayi?
Anak bayi yang gres lahir bisa dengan sendirinya menyusu dari puting ibunya. Apakah si ibu mengajarinya?
Jika kita mempraktekkan Baby-Led-Weaning saat anak berumur 6 bulan, anak dengan sendirinya akan bisa mengunyah dan menelan makanan. Bahkan kalau tersedak, beliau akan dengan sendirinya tahu bagaimana caranya biar tidak tersedak lagi. Apakah kita bisa memberitahu beliau caranya, sementara beliau belum bisa diajak berkomunikasi secara langsung?
Ada pepatah yang mengatakan:
"Kegagalan bukanlah lawan dari kesuksesan. Kegagalan yakni bab dari kesuksesan."
Demikian juga dengan kemampuan anak.
Ketika anak jatuh, tersedak, terantuk, dsb., bergotong-royong itu yakni bab dari proses dirinya berkembang dan belajar. Kita harus melihatnya bukan sebagai kegagalan si anak, tapi sebagai proses si anak menuju kemampuan yang lebih tinggi, alasannya yakni beliau akan berguru dari kesalahannya itu. Bahkan saat anak menangis sekalipun.
Intinya, anak bisa meraih kemampuan yang diharapkan dengan sendirinya kalau diberi kesempatan.
Inilah yang disebut child empowerment. Ketimbang kita harus selalu mengawasi, mencekoki, menyuapi, dan membantu si anak dalam segala hal, lebih baik kita beri anak kemampuan yang diharapkan itu sendiri, dengan cara memberi kesempatan anak untuk mencobanya sesering mungkin. Sehingga saat kita sedang lengah untuk menjaganya, anak tidak akan dengan begitu praktis mencelakakan dirinya sendiri. Ketika kita tidak punya cukup waktu untuk membantunya, anak tetap bisa melaksanakan sesuatu yang dibutuhkannya sendiri.
Tugas orang bau tanah yakni menjaga dan membimbing anak. Itu bukan berarti membantunya dalam melaksanakan segala hal. Menjaga yakni memastikan biar kondisi fatal tidak terjadi. Membimbing yakni menciptakan anak sadar akan kesalahan yang beliau lakukan.
Ketika anak sudah besar dan mengalami kegagalan, jangan menceramahinya. Lebih baik mengajaknya berdiskusi dan bertanya, berguru apa beliau dari kegagalannya itu?
Karena itulah ada pepatah yang menyampaikan bahwa pengalaman yakni guru yang terbaik. Anak sesungguhnya bisa berguru lebih baik dari pengalamannya sendiri, bukan dari teriakan atau ceramah orang tuanya.
Jadi, ubahlah mindset kita. Jangan terlalu paranoid akan kesalahan-kesalahan yang mungkin dilakukan si anak. Berilah anak kesempatan mencoba sebanyak-banyaknya. Biarkan anak melaksanakan kesalahan sebanyak-banyaknya. Karena lewat kesalahannya itulah anak akan berguru menjadi lebih baik.
Jika kita konsisten, anak bisa tumbuh menjadi pribadi yang gigih, tidak praktis menyerah, tidak menyesali nasib saat gagal, selalu mau berguru dan bangun dari kesalahan dan kegagalannya. Singkatnya, menjadi insan yang mempunyai Adversity Quotient yang tinggi. Sumber http://ortubelajar.blogspot.com/
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Child Empowerment"
Posting Komentar