Merasakan kegagalan waktu jalan-jalan itu menyakitkan. Apalagi gagal mencapai titik tempat wisata yang hanya tinggal sedikit lagi sudah sampai. Sakitnya tuh di sini, kata lagu dangdut yang sedang ngetop (sambil nunjuk betis), alasannya yakni perjalanannya cukup jauh melintas kebun kopi di lereng Gunung Pasang, Jember.
Awalnya saya merasa bahagia ketika tahu di Jember, kampung saya, ada jeram yang cukup tinggi. Senang alasannya yakni di tempat lain saya pernah mengunjungi beberapa air terjun. Misalnya di Jawa Barat pernah sekitar 4 air terjun, atau di tempat ini disebut curug. Di Malang juga pernah berkunjung di 2 air terjun, atau coban jikalau kata orang Malang. Makanya di kampung sendiri jadi tertantang untuk mendatanginya.
Googling sebentar dan didapat info sebagai berikut: jeram tingginya 82m, berlokasi di Desa Suci, Kec Panti, Kab Jember, Jawa Timur. Atau dari sentra kota Jember berjarak sekitar 16 Km ke arah barat daya. Cukup tinggi juga jeram nya walau saya pernah lihat yg lebih tinggi dan lebih deras. Sudah lihat juga gambar-gambarnya yang ada di internet yang menciptakan jadi lebih semangat untuk tiba ke sana.
Akhirnya, ketika libur lebaran, diputuskan untuk tiba ke sana. Berbekal info dari hasil googling perihal jarak, arah jalan, kordinat gps dan tentu saja handphone dengan google maps untuk memandu perjalanan. Sengaja berangkat pagi dari rumah orang bau tanah yang jauh dari sentra kota, sekitar 40 km atau satu jam perjalanan, biar hingga di tempat tujuan tidak terlalu siang.
Sebagai patokan pertama yakni ikuti petunjuk arah yang ada di pertigaan Rambipuji. Ada rambu ke arah jeram Tancak, belok ke kanan jikalau dari arah kota Jember atau belok kiri dari arah kampung saya.
Setelah mengikuti arah, ternyata perjalanan tidak semudah yang dibayangkan. Karena tidak ada lagi petunjuk arah ke jeram Tancak di beberapa persimpangann. Walhasil sempat belok ke tempat yang salah ketika ketemu persimpangan. Parahnya lagi, dari orang yang saya tanya, mereka tidak tahu ketika saya tanya arah ke jeram Tancak.
Sempat tidak semangat alasannya yakni nyasar. Ditambah lagi gps di handphone yang ngadat alasannya yakni ketika dimasukan kordinat ternyata menunjuk ke tempat yang salah. Sehingga bayangan perjalanan yang asyik ternyata malah sebaliknya.
Dalam kondisi begini ada saja anggota badan yang protes menginginkan penyaluran. Ingin pipis maksudnya. Untung saja di bersahabat situ ada gerai ****mart, sehingga sanggup sekalian belanja perbekalan, kudapan dan minuman sekalian numpang ke toilet. Syukur-syukur sanggup bertanya ke kasirnya perihal arah ke jeram Tancak. Untuk yang terakhir ini jawabnya tetap mengherankan, alias tidak tahu.
Sambil menenangkan diri di parkiran depan toko, sambil otak-atik gps biar sanggup bekerja menyerupai yang diinginkan. Ternyata alat tidak pernah salah, yang salah yakni yang mengoperasikannya. Dan ketemulah cara mengkonversi kordinat gps yg didapat dari situs ke format yang dimengerti oleh google maps. Arah perjalanan pun sudah sanggup diketahui dan dipandu oleh gps.
Walau perjalanan masih sekitar 11 km lagi dari sini berdasarkan gps, tapi pikiran jadi semangat lagi alasannya yakni sudah menemukan arah yang benar. Saya jadi tidak yakin di warta awal yang saya catat jikalau jarak ke jeram Tancak ke sentra kota Jember yakni 16 km. Sepertinya lebih. Itu pun tak apa alasannya yakni perjalanan relatif lancar walau harus lewat jalan yang tidak semuanya mulus. Masih banyak ruas jalan yang hanya berbatu saja khas pedesaan.
Cuma ada yang sedikit menghambat ketika lewat jembatan darurat. Jembatan sepanjang sekitar 20 m dengan rangka besi, tapi papan kayu untuk yang dilintasinya. Harus ekstra hati-hati ketika melintas, khususnya untuk mobil. Harus sanggup mengepaskan antara ban dan lintasan kayu yang ada di jembatan. Kalau meleset kemungkinan kendaraan beroda empat akan tersangkut, apalagi jikalau kendaraan beroda empat dengan jarak bodi ke jalan yang pendek. Itu pun harus bergantian melintasnya dengan arah yang ada di seberang.
|
Jembatan darurat. Foto: Jemberian traveler via http://desakemiripanti.blogspot.com |
Ingat jembatan darurat tadi jadi teringat petaka banjir bandang yang terjadi di tempat Panti di awal th 2006. Apakah jembatan
darurat ini yakni salah satu yang diterjang pada banjir bandang itu?
Setelah menahan nafas ketika menyeberangi jembatan darurat, saya sanggup bernafas lebih lega alasannya yakni jalanan sudah mulus lagi. Apalagi di depan sudah memasuki plang yang bertuliskan PDP (perusahaan tempat perkebunan) Kebun Gunung Pasang. PDP yakni BUMD milik Pemkab Jember. Di dalam komplek perkebunan ini ada portal sebagai pintu gerbang untuk jeram tancak. Tentu harus membayar tiket lebih dulu di sini. (foto gerbang gunung pasang)
|
Gerbang masuk perkebunan Gunung Pasang. Foto: pribadi |
Masih perlu sekitar 20 menit lagi untuk hingga di tempat parkir terakhir sebelum naik ke atas. Ini yakni perkampungan penduduk yang sebagian besar yakni pekerja dan penggarap di perkebunan kopi. Tempat parkir ini bahwasanya yakni tanah kosong yang dikelola penduduk stempat sebagai parkir. Kebanyakan untuk sepeda motor. Untuk kendaraan beroda empat tetap parkir di pinggir jalan. Perjalanan menuju ke tempat ini melewati jalan yang tidak terlalu bagus. Jalanan berada di antara tebing dan lembah di sisi sebelahnya. Kalau kita memandang ke lembah, dari kejauhan terlihat sebagian kota Jember yang dilihat dari ketinggian. Tidak heran jikalau di tempat ini menjadi favorit anak muda yang sedang pacaran.
Setelah parkir perjalanan dilanjutkan dengan berjalan kaki. Menurut papan yang ada di depan pabrik kopi Gunung Pasang, jarak yang ditempuh ke jeram tancak yakni 2,5 km. Sepertinya jarak yang tidak terlalu jauh dan masih sanggup dibayangkan kadar capeknya. Tapi ketika saya coba tanya ke penjaga parkir, berapa usang perjalanan dengan jalan kaki. Jawabannya yakni 1,5 jam paling cepat. Lho kok sanggup usang sekali? Begitu pikir saya sambil memulai jalan kaki menuju air terjun.
Walau di awal perjalanan kaki, jalanan setapak yang mulus, beberapa ratus meter kemudian sudah terlihat aslinya. Jalanan setapak berbatu, dan agak menanjak. Masih juga harus melintasi sungai kecil. Perlu sekitar 30 menit jalan kaki untuk mencapai persimpangan jalan yang berada di kebun kopi. Kita sanggup beristirahat sebentar di sini untuk mengurangi ngos2an perjalanan dari bawah tadi, sambil menikmati hijaunya pohon pohon kopi dan udara segar yang semilir.
|
Rombongan di belakang saya ini tertawa besar hati di awal perjalanan. Foto: pribadi |
|
Pabrik Gunung Pasang & peringatan sebelum ke jeram Tancak. Bener itu 2,5 km? Foto: pribadi |
|
Kondisi jalan di awal naik. Foto: Pribadi |
Dari pesimpangan ini kita ambil jalan yang lurus ke atas. Tidak sanggup pribadi lurus, tapi harus belok sedikit terus ambil yang jalan lurus ke atas. Tujuan berikutnya yakni hingga dengan ketemu sungai dengan batu-batu yang besar dan deras airnya. Walau jaraknya tidak sejauh dari awal naik hingga persimpangan tadi, tapi dari sini medannya lebih menantang.
Diperlukan sekitar 40 menit dari percabangan jalan tadi hingga sungai. Perjalanan dengan jalan setapak yang menyempit dan menanjak. Melewati rumpun bambu yang rimbun. Melintasi bekas pohon tumbang yang masih melintang di jalan. Dan terus menanjak lagi di jalan sempit di antara pohon kopi hingga hingga di sungai besar.
Sambil duduk-dudk di watu besar di sungai ini, air terjunnya masih belum terlihat. Tapi bunyi deburan airnya sudah terdengar dari sini. Karena tumpahan jeram tadi mengalir ke sungai ini. Untuk melihatnya kita sanggup dengan menyusuri sungai ini atau naik ke tebing lagi yang berada di seberang sungai. Tebing berupa watu padas setinggi sekitar 10 m tapi dengan sudut kemiringan hampir 90 derajat. Dan tentu saja licin alasannya yakni untuk kesana harus menyeberangi sungai. Sehingga tampaknya cukup membahayakan untuk dilintasi. Hal ini yang jadinya menciptakan kami tidak sanggup untuk meneruskan perjalanan lagi.
Apakah kami kecewa? Ya tentu saja kecewa. Dan inilah bahwasanya yang saya maksud dengan kecewa di awal goresan pena ini. Kecewa alasannya yakni tinggal sedikit lagi 'tantangan' untuk sanggup melihat jeram tapi tidak kami lakukan. Istri saya tidak sanggup, tepatnya tidak mau memaksakan diri lagi untuk menaiki tanjakan vertikal itu. Dan saya pun mengiyakan untuk menyudahi petualangan kita hingga di sungai ini.
Sebenarnya ada alasan lain kenapa mengalah tidak melanjutkan naik ke atas. Kami tadi tersesat. Ya tersesat pas di persimpangan pertama itu. Mestinya kami belok ke kiri sedikit terus lanjut naik ke atas. Tetapi saya salah ambil jalan yang ke arah kanan. Tersesatnya pun tidak mengecewakan jauh, sekitar 20 menit perjalanan atau 40 menit bolak balik hingga kembali di persimapangan tadi. Atau hingga dengan melintasi jembatan bambu yang ada di bawah tebing. Kami kecapean gara-gara itu.
Ternyata yang tersesat bukan hanya kami saja. Setidaknya ada 3 orang yang ketika berpapasan dan mengaku salah jalan. Susahnya alasannya yakni semakin jauh tidak ada petunjuk jalan dan tidak ada petani atau penduduk setempat alasannya yakni memang wilayahnya yang makin sepi.
Akhirnya dengan tenaga yang tersisa, kami pun turun kembali ke parkiran mobil. Masih lewat rute yang sama, tapi dengan kecepatan yg berbeda. Walau jalanan menurun, tapi kami tidak sanggup untuk berjalan lebih cepat.
Walau kecewa alasannya yakni gagal tidak melihat air terjun, perjalanan kali ini tetap berkesan. Memandang lereng yang hijau sepanjang perjalanan, buah kopi yang berwarna kuning, hijau dan merah dan wanginya bunga kopi yang tertiup semilir angin. Walau kaki pegel tapi mata tetep seger.
Kami pun jadinya lanjut ke sentra kota Jember untuk mengisi perut alasannya yakni makan siang yg sudah telat.
|
Orang ini besar lengan berkuasa sekali. Saya jalan bawa diri saja sudah ngos-ngosan. Foto: pribadi |
|
Merah, kuning, hijau buah kopi. Foto pribadi |
|
Jalan menuju air terjun. Foto: prbiadi |
|
Kesasar. Foto: pribadi |
|
Nyasarnya hingga jembatan bambu ini. Foto: pribadi |
|
Jalan setapak tapi nanjak. Foto; pribadi |
|
Mulai memasuki lorong rimbunan bambu. foto: pribadi |
|
Jalan setapak, berbatu, menanjak di sela-sela pohon kopi. Foto: pribadi |
|
Waktu sudah turun dari jeram ada petani yang sedang mennyortir biji kopi. foto: pribadi |
Sumber http://akamali.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Gagal Melihat Riam Tancak Di Jember"
Posting Komentar