Faktor Penyebab Perubahan Fungsi Seni Tari Tradisional

Faktor eksternal menjadi salah satu penyebab perubahan sebuah karya seni tari tradisonal. Pengaruh eksternal berarti dampak yang tiba dari luar diri insan dan juga dampak dari luar komunitas yang telah menyepakati sebuah seni budaya tadi. Akulturasi sering disebut sebagai salah satu bentuk perubahan itu. Ketika seni tari tradisional kurang diminati, banyak sekali upaya dilakukan supaya bangsa ini mau berpaling pada seni tradisional. Oleh alasannya yakni itu, dibuatlah kreasi tari yang mengolaborasikan gerak adopsi dari negeri Barat ke dalam tari tradisional.

Sekitar tahun 80-an, Tari "Break Dance" atau Tari Kejang merambah bilik kawula muda dengan menjadi tari yang paling isu terkini dikala itu. Tarian tersebut dipelajari dan terdapat di setiap penjuru kota, sampai ke pelosok desa.

Demam Tari Kejang dimanfaatkan untuk mendongkrak Tari Tradisional Jaipongan (dari Jawa Barat) dengan mengolaborasikannya menjadi "Tari Brikpong". Gerakan Break Dance disisipkan pada serangkaian gerak jaipongan, tetapi dengan tabuhan gendang khas gendang Sunda.

Itulah teladan akulturasi yang tidak terasa menyusup ke dalam jiwa cowok Indonesia. Seiring dengan berjalannya waktu, sesuatu yang bukan ciri khas dan kepribadian sendiri, perlahan pudar dan hilang. Akan tetapi seni budaya yang benar-benar refleksi kehidupan masyarakat, tidak akan lekas punah. Kita yakni aset dalam lestari atau tidaknya seni tradisional tersebut.

Pernahkah Anda menonton "Lomba Penari Indonesia" pada salah satu stasiun televisi swasta? Fenomena ekspo tari menjadi ajang aktualisasi diri yang positif. Kemampuan menari dengan teknik tari yang baik sanggup dicapai dengan kondisi badan kita yang memadai bagi standar seorang penari.

Kelenturan, keseimbangan, fleksibilitas tubuh, kekuatan kaki, fisik yang sehat dan prima serta penampilan yang menarik menjadi faktor penentu lolosnya calon sang penari Indonesia. Sekarang, orang menari tidak lagi sekedar hobi atau mengisi waktu luang, tetapi menjadi sebuah profesi, bahkan prestise bila bisa menjadi yang terbaik bagi sebagian orang.

Perubahan kedudukan tari serta fungsinya terjadi alasannya yakni periode globalisasi membuat persaingan hidup sehingga pekerjaan sulit didapat. Dahulu, menari sekadar menghibur hati. Menonton pertunjukan tari juga banyak sekadar berapresiasi untuk menghibur hati dan menambah wawasan bagi penonton "terbatas".

Namun sekarang, kedudukan tari dan penghargaan orang terhadap pertunjukan tari lebih maju dan tinggi. Ukurannya tidak selalu dalam bentuk material, tetapi yang terperinci terlihat dan dirasakan oleh seniman alami ataupun seniman hasil pematangan disiplin ilmu seni. Karena dengan semakin terpenuhinya kebutuhan primer, dengan rileks kita sanggup mengejar kesenangan batin sebagai pemenuhan kebutuhan sekunder.

Ketika masyarakat menganggap sesuatu yang gres sebagai sebuah kemajuan atau modern, serbuan budaya gila menjadi penting untuk membaur dengan budaya negeri sendiri. Pembauran tersebut dianggap sebagai sebuah kreasi gres sepanjang waktu. Namun, ketika tiba hal yang lain, kreasi gres menjadi sesuatu yang usang dan menjadi sebuah tradisi.

Dahulu Jaipongan dianggap sebagai sebuah karya gres yang malah menerima banyak sekali macam kritik tajam dari para pengamat dan praktisi seni tari. Kemudian, tarian dari Jawa Barat ini menjadi ”booming” dan digemari masyarakat secara luas.

Semua orang berbondong-bondong ingin mempelajari tarian ini dan hampir pada setiap program seni hiburan di tempat dan kota mengundang dan menampilkan Tari Jaipongan. Kini, tari ini menjadi sebuah kreasi yang lama, meski bentuk kreativitas dan gaya masih berkembang dan digemari masyarakat secara luas.


Sumber http://seputarsenibudaya.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Faktor Penyebab Perubahan Fungsi Seni Tari Tradisional"

Posting Komentar