√ Emansipasi Perempuan Dalam Perspektif Aturan Islam

Emansipasi perempuan ialah prospek pelepasan perempuan dari kedudukan sosial ekonomi yang rendah, serta pengekangan aturan yang membatasi kemungkinan untuk berkembang dan maju. Dalam bahasa Arab, istilah ini dikenal dengan tahrir al-marah.


Jauh sebelum proklamasi emansipasi wanita, Islam telah lebih dahulu mengangkat derajad perempuan dari masa pencampakan perempuan di kala jahiliah ke masa kemuliaan wanita. Semua sama di hadapan Allah, yang membedakan mereka di hadapan Allah ialah mereka yang paling bertaqwa, taqwa dalam artian menjalankan segala perintahnya dan menjauhi segala larangnnya.


Pemahaman emansipasi perempuan yang berkembang ketika ini mengatasnamakan Hak Asasi Manusia (HAM), menyerukan bahwa emansipasi perempuan ialah menyamakan hak dengan kaum pria, padahal tidak semua hak perempuan harus disamakan dengan pria, dimana berdasarkan saya yang lebih tepat seharusnya ialah “setara”. Mencermati pemahaman tersebut, saya tertarik mengkaji sedikit lebih mendalam terkait emansipasi perempuan dalam perspektif aturan islam.


Ternyata Islam sangat memuliakan wanita. Al-Qur’an dan Sunnah menunjukkan perhatian yang sangat besar serta kedudukan yang terhormat kepada wanita, baik sebagai anak, istri, ibu, saudara maupun kiprah lainnya. Begitu pentingnya hal tersebut, Allah mewahyukan sebuah surat dalam Al-Qur’an kepada Nabi Muhammad yaitu Surat An Nisa’ yang sebagian besar ayat dalam surat ini membicarakan duduk masalah yang bekerjasama dengan kedudukan, peranan dan proteksi aturan terhadap hak-hak wanita.


Sesungguhnya Islam menempatkan perempuan di daerah yang sesuai pada tiga bidang :


Pertama : Bidang Kemanusiaan


Islam mengakui hak perempuan sebagai insan dengan tepat sama dengan pria.


Kedua : Bidang Sosial


Terbuka lebar bagi perempuan di segala jenjang pendidikan, di antara mereka menempati jabatan-jabatan penting dan terhormat dalam masyarakat sesuai dengan tingkatan usianya, masa kanak-kanak hingga usia lanjut. Bahkan semakin bertambah usianya, semakin bertambah pula hak-hak wanita, usia kanak-kanak yang lalu sebagai seorang isteri, hingga menjadi seorang ibu yang menginjak lanjut usia (lansia), yang lebih membutuhkan cinta, kasih dan penghormatan.


Ketiga : Bidang Hukum


Islam menunjukkan pada perempuan hak mempunyai harta dengan tepat dalam mempergunakannya tatkala sudah mencapai usia remaja dan tidak ada seorang pun yang berkuasa atasnya baik ayah, suami, atau kepala keluarga.


Secara lebih rinci, saya akan memberikan mengenai aturan islam yang mengatur perihal emansipasi perempuan yang konon diartikan sebagai tuntutan persamaan gender dengan pria. Adapun dalil-dalilnya ialah sebagai berikut.



  1. Kedudukan perempuan sama dengan laki-laki dalam pandangan Allah. Kedudukan perempuan yang sama dengan laki-laki dalam pandangan Allah sanggup ditilik dalam QS. Al Ahzab : 35, “Sesungguhnya laki-laki dan perempuan muslim, laki-laki dan perempuan mukmin, laki-laki dan perempuan yang tetap dalam keta’atannya, laki-laki dan perempuan yang sabar, laki-laki dan perempuan yang khusyu’, laki-laki dan perempuan yang bersedekah, laki-laki dan perempuan yang berpuasa, laki-laki dan perempuan yang memelihara kehormatannya, laki-laki dan perempuan yang banyak menyebut (nama) Allah, Allah telah menyediakan kepada mereka ampunan dan pahala yang besar”.

    Orang muslim yang dimaksud dalam ayat ini ialah orang-orang yang mengikuti perintah dan menjauhi larangan pada lahirnya, sedangkan yang dimaksud orang mukmin ialah orang-orang yang membenarkan apa yang harus dibenarkan oleh hatinya. Berdasarkan dalil ini, islam menjelaskan bahwa kedudukan antara perempuan dan laki-laki ialah sama, yang membedakan ialah doktrin dan ketakwaannya.

  2. Kedudukan perempuan sama dengan laki-laki dalam berusaha untuk memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaannya. Berkenaan dengan kedudukan tersebut maka dalil dalam Islam sanggup dirujuk dalam QS. An Nisa’ : 4, “Berikanlah maskawin (mahar) kepada perempuan (yang kau nikahi) sebagai pemberian dengan penuh kerelaan. Kemudian jikalau mereka menyerahkan kepada kau sebahagian maskawin itu dengan senang hati, makanlah (ambillah) pemberian itu (sebagai makanan) yang sedap lagi baik akibatnya”.

    Pemberian itu ialah maskawin yang besar kecilnya ditetapkan atas persetujuan kedua pihak, alasannya ialah pemberian itu harus dilakukan dengan ikhlas. Selain dalil tersebut, kedudukan perempuan dan laki-laki dalam berusaha memperoleh, memiliki, menyerahkan atau membelanjakan harta kekayaan sanggup dilihat dalam QS. An Nisa’ : 32, “Dan janganlah kau iri hati terhadap apa yang dikaruniakan Allah kepada sebahagian kau lebih banyak dari sebahagian yang lain. (karena) bagi laki-laki ada bahagian yang mereka usahakan, dan bagi para (wanita) pun ada bahagian dari apa yang mereka usahakan, dan mohonlah kepada Allah sebagian dari karuniaNya.Sesungguhnya Allah Maha MEngetahui segala sesuatu”.

  3. Kedudukan perempuan sama dengan laki-laki untuk menjadi andal waris dan memperoleh warisan, sesuai pembagian yang ditentukan. Kedudukan perempuan dan laki-laki terkait dengan warisan sanggup dirujuk dalam QS An Nisa’ : 7, “Bagi laki-laki ada hak belahan dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, dan bagi perempuan ada hak belahan (pula) dari harta peninggalan ibu bapak dan kerabatnya, baik sedikit atau banyak berdasarkan bahagian yang telah ditetapkan”. Islam merupakan agama yang kaffah,pengaturan terkait kedudukan laki-laki dan perempuan rinci diatur di dalamnya, salah satunya mengenai pembagian warisan.

  4. Hak dan kewajiban perempuan dan pria, dalam hal tertentu sama sanggup dilihat dalam QS Al Baqarah : 228 dan At Taubah : 71) dan dalam hal lain berbeda alasannya ialah kodrat mereka yang sama dan berbeda pula (QS An Nisa’ : 11 dan 43). Kodratnya yang menimbulkan kiprah dan tanggung jawab antara laki-laki dan wanita, maka dalam kehidupan sehari-hari, contohnya sebagai suami isteri, fungsi mereka pun berbeda. Suami (pria) menjadi penanggungjawab dan kepala keluarga, sementara isteri (wanita) menjadi penanggungjawab dan kepala rumah tangga.


Berdasarkan dalil-dalil yang telah saya kemukakan, maka sanggup diketahui bahwa islam sangat menjunjung harkat perempuan bahkan melindungi dari hal yang paling sederhana hingga yang lebih kompleks.


EMANSIPASI BUKAN PEMBEBASAN DIRI


Wanita merupakan belahan terbesar dari komunitas masyarakat secara umum. Apabila mereka baik, pasti masyarakat pun akan menjadi baik. Sebaliknya, apabila mereka rusak, masyarakat pun akan rusak. Sungguh, apabila seorang perempuan muslimah benar-benar memahami agama, aturan dan syari’at Allah, pasti mereka akan bisa melahirkan generasi-generasi gres yang tangguh dan berkhasiat bagi umat seluruhnya.


Dienul Islam sebagai rahmatal lil’alamin, menghapus seluruh bentuk kezhaliman-kezhaliman yang menimpa kaum perempuan dan mengangkat derajatnya sebagai martabat manusiawi. Timbangan kemulian dan ketinggian martabat di sisi Allah ialah takwa, sebagaiman yang terkandung dalam Q.S Al Hujurat : 33. Lebih dari itu Allah menegaskan dalam firman-Nya yang lain (artinya) :



“Barangsiapa yang mengerjakan amalan shalih, baik laki-laki maupun perempuan dalam keadaan beriman, maka bekerjsama akan kami berikan kepadanya kehidupan yang baik dan akan kami beri jawaban pula kepada mereka dengan pahala yang lebih baik dari apa yang telah mereka kerjakan”. (An Nahl : 97)



Dalih emansipasi atau kesamarataan posisi dan tanggung jawab antara laki-laki dan perempuan telah semarak di panggung modernisasi. Hal tersebut dimanfaatkan sebagai peluang dan jembatan emas bagi musuh-musuh Islam dari kaum feminis dan penggerak perempuan anti Islam untuk mengembangkan opini-opini sesat. “Pemberdayaan perempuan”, “kesetaraan gender”, “kungkungan budaya patriarkhi” ialah sebagai propaganda yang tiada henti dijejalkan di benak-benak perempuan Islam sehingga emansipasi lebih condong dimaknai sebagai bentuk pembebasan bagi kaum wanita.


Opini-opini sesat yang terbentuk terkait emansipasi menunjukkan kesan wanita-wanita muslimah yang menjaga kehormatannya dan kesuciannya dengan tinggal di rumah ialah wanita-wanita pengangguran dan terbelakang. Menutup aurat dengan jilbab atau kerudung atau menegakkan hijab (pembatas) kepada yang bukan mahramnya, direklamekan sebagai tindakan jumud (kaku) dan penghambat kemajuan budaya. Oleh alasannya ialah itu biar perempuan sanggup maju, harus direposisi ke ruang rubrik yang seluas-luasnya untuk bebas berkarya, berkomunikasi dan berinteraksi dengan cara yang sesuai dengan anutan islam.


Sudah merupakan aksioma zaman modern, bahwa perempuan itu mulia. Hanya saja semua orang tidak sepakat dalam menentukan kriterium yang dipakai dalam mengukur tingkat kemuliaannya. Banyak yang melihat kepada kecantikannya. Ada juga yang melihat dari kemandirian dan posisi sosialnya. Ada juga yang melihat dari segi yang lebih abstrak, menyerupai kualitas spiritual dan akhlaknya.


Para pembela kaum perempuan terus menerus mengkampanyekan persamaan hak antara laki-laki dan perempuan di semua bidang kehidupan. Sayangnya, perjuangan persamaan (emansipasi) itu cenderung ditampilkan dengan menafikan pelbagai perbedaan kodrati antara dua kelompok insan berlainan jenis ini. Ada sebuah ungkapan ironis, bahwa dunia perempuan itu dibatasi empat dinding tembok. Sedangkan dunia kaum lelaki dibatasi oleh garis cakrawala. Maka emansipasi berarti “mendobrak” dinding pemisah yang membatasi ruang gerak kaum wanita. Apakah benar demikian? Tentunya harus merujuk kembali kepada beberapa aspek dalam menjelaskan hakikat persamaan antara laki-laki dan perempuan ini biar dalam “ketidaksamaan” yang tak terpungkiri itu, tetap sanggup bertindak obyektif dan adil.


Perlu ditekankan bahwa emansipasi bukanlah pembebasan diri wanita. Selama ini, emansipasi lebih cenderung diartikan sebagai persamaan gender yang berimplikasi pada bentuk kebebasan memilih. Memilih dalam arti demikian disebut-sebut sebagai belahan dari hak asasi manusia. Misalnya, menentukan menjadi perempuan karier, padahal kiprah mencari nafkah ialah kewajian seorang suami. Hal tersebut dianggap sebagai perwujudan bahwa kedudukan perempuan dan laki-laki ialah sama. Pada dasarnya, Islam membolehkannya tetapi ada batasannya dan tentunya tidak melanggar syari’. Sebagaimana telah tertulis dalam QS Al Baqarah : 228, “Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya dengan cara yang ma’ruf’.


Islam didzalimi dengan berjuta anggapan, bahwa Islam tidak menunjukkan kesempatan kepada kaum perempuan untuk aktif di dalam kehidupan bermasyarakat dan memperoleh hak-hak politiknya. Ini tidak lepas dari misunderstanding dan perilaku apriori terhadap ajaran-ajaran Islam. Menurut Yusuf Qardhawy, Islam membolehkan kaum perempuan untuk menduduki posisi yang tertinggi di dalam pengadilan, mencalonkan diri menjadi anggota tubuh legislatif dan mendapat hak-hak politiknya secara umum. Tokoh intelektual Timur Tengah ini berdalilkan kepada QS At Taubah : 7 yang menyatakan: “Al-Mukminuun walmukminaat ba’dhuhum auliyaa’u ba’dhin” yang artinya “Orang-orang yang beriman, baik laki-laki maupun perempuan saling menjadi auliya’ antara satu sama lain”.


Pengertian kata Auliya’, yang termaktub dalam ayat yang tersebut secara definitif meliputi kerjasama, bantuan, saling pengertian dalam konteks saling menyuruh untuk mengerjakan yang ma’ruf dan mencegah dari kemungkaran.


Hal tersebut berarti meliputi pula segala segi kebaikan ataupun perjuangan perbaikan kualitas hidup umat, contohnya menunjukkan pesan yang tersirat (kritik) kepada penguasa. Senada dengan pendapat Yusuf Qardhawi, Imam Abu Hanifah beropini bahwa membolehkan perempuan untuk menjadi hakim selain dalam masalah qishash dan hudud. Dan Imam Al-Thabary dan Ibn Hazm juga beropini yang demikian.


Jadi, pemahaman mengenai emansipasi perempuan harus dilihat dari aneka macam aspek. tidak hanya dilihat dari aspek penuntutan hak saja, tetapi juga harus dilihat dari pemenuhan kewajiban. Perkembangan zaman mendengungkan emansipasi sebagai penuntutan hak-hak saja tetapi mengesampingkan kewajiban yang menjadi konsekuensi dari hak-hak tersebut. Contoh konkritnya, perempuan diperbolehkan berkarier, tetapi juga harus memenuhi kewajibannya menyerupai tetap menggunakan hijabnya dalam bekerja dan mengetahui posisinya di aneka macam kiprah lainnya, yakni sebagai istri dan sebagai ibu. Dengan demikian, makna emansipasi berdasarkan perspektif aturan islam tidak hanya menjabarkan mengenai penuntutan hak saja akan tetapi juga menjelaskan perihal kewajiban-kewajiban merupakan konsekuensi dari hak yang bertujuan untuk memuliakan perempuan itu sendiri.


Wallahu A’lam Bishawab ..


*persembahan untuk para Kartini Milenial



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Emansipasi Perempuan Dalam Perspektif Aturan Islam"

Posting Komentar