Kritik terhadap Undang-Undang usang juga disampaikan para anggota dewan perwakilan rakyat dikala menunjukkan jawaban atas RUU Desa. Pendapat “mini DPD” contohnya menyebutkan bahwa selama lebih dari enam dekade, Indonesia mengalami kesulitan yang serius untuk mendudukkan Desa dalam pemerintahan dan pembangunan, termasuk kesulitan membentuk otonomi Desa dengan keragamannya. Secara khusus DPD menyinggung Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang bertahan sekitar 34 tahun dan telah berhasil menyeragamkan Desa dan pratek pemerintahan yang sangat diktatorial terhadap masyarakat Desa sendiri. Undang-Undang tersebut oleh kebanyakan warga di luar Jawa dianggap sebagai bentuk Jawanisasi yang membunuh keragaman aneka macam kesatuan masyarakat aturan budbahasa yang hidup di Nusantara, dan sebab itu dinilai bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945.
Fraksi Partai Demokrat beropini Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang meletakkan posisi Desa berada di bawah kabupaten tidak koheren dan konkruen dengan nafas lain dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yang justru mengakui dan menghormati kewenangan orisinil yang berasal dari hak asal usul’. Partai Demokrat beropini RUU Desa perlu dibahas untuk sanggup menjadi payung aturan warga dan Pemerintahan Desa dalam mengelola dan memajukan Desa.
Fraksi Partai Golkar beropini bahwa ‘dalam perjalanannya Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 belum secara terperinci mengatur tata kewenangan antara pemerintah, pemerintah daerah, dan Desa. Selain itu, desain kelembagaan Pemerintahan Desa yang tertuang dalam Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 belum tepat sebagai visi dan kebijakan untuk membangun kemandirian, demokrasi, dan kesejahteraan Desa’.
Fraksi PKS secara khusus menyebut Undang-undang Nomor 5 Tahun 1974 dan Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 yang dilahirkan pemerintahan Orde Baru telah berhasil “menguniformisasi” sistem Pemerintahan Desa menjadi seragam seluruh Indonesia tanpa memberi ruang sama sekali kepada sistem pemerintahan berdasar pada adat. Dengan dua Undang-Undang itu sistem Desa budbahasa tidak berlaku.
Fraksi Partai Gerinda menyatakan bahwa semua peraturan ihwal pemerintahan tempat dan Desa yang dibentuk sebelumnya “belum sanggup merangkum segala kepentingan dan kebutuhan masyarakat Desa yang kian berkembang”.
Fraksi Partai Hanura bahkan turut mengkritik hasil amandemen, “pada masa Orde Baru, Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 melaksanakan penyeragaman dengan model Desa administratif, yang bukan Desa otonom dan bukan Desa adat. Lebih memprihatinkan lagi, Undang Undang Dasar 1945 amandemen kedua malah menghilangkan istilah “Desa”. Meskipun kata “Desa” hilang, Fraksi Hanura tetap beropini amandemen konstitusi mengharuskan negara melaksanakan rekognisi terhadap kesatuan-kesatuan masyarakat aturan adat. Undang-undang Nomor 22 Tahun 1999 dan Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 bahu-membahu menganut rekognisi itu, tetapi Desa ditempatkan hanya sebagai pecahan atau subsistem dari pemerintahan kabupaten/kota.
Fraksi PPP beropini Undang-undang Nomor 5 Tahun 1979 bukan merupakan bentuk apresiasi dan pemberdayaan terhadap masyarakat dan Desa, tetapi telah mengakibatkan Desa menjadi pecahan integral dari hegemoni rezim atau otoritarian dengan aneka macam manifestasinya, baik melalui penyeragaman bentuk, sentralisasi maupun penghapusan partisipasi dan demokrasi.
Fraksi PKB menyatakan konsepsi dasar yang dianut Undang-undang Nomor 32 Tahun 2004 yaitu otonomi berhenti di kabupaten/kota. Konsekuensinya, pengaturan lebih lanjut ihwal Desa dilakukan oleh kabupaten/kota, sehingga kewenangan Desa yaitu kewenangan kota yang diserahkan kepada Desa.
Lalu apa artinya rekognisi terhadap otonomi Desa menurut hak asal seruan dan hak tradisionalnya?
Series tulisan “Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Negara Indonesia “
- Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Hukum Negara Indonesia (DPDDTHNI) – Pembuka
- DPDDTHNI – Bagian 1 : Desa Pada Jaman Hindia Belanda Hingga Awal Kemerdekaan
- DPDDTHNI – Bagian 2 : Era Orde Baru
- DPDDTHNI – Bagian 3 : Era Reformasi
- DPDDTHNI – Bagian 4 : Perkembangan Wacana di DPR
- DPDDTHNI – Bagian 5 : Lahirnya Undang-undang Nomor 6 Tahun 2014 Tentang Desa
- DPDDTHNI – Bagian 6 : Pembahasan Di DPR
- DPDDTHNI – Bagian 7 : Dari Daftar Inventaris Masalah (DIM) Ke Klaster
- DPDDTHNI – Bagian 8 : Landasan Filosofis, Sosiologis Dan Yuridis
- DPDDTHNI – Bagian 9 : Ketentuan Peralihan Dan Penutup
- DPDDTHNI – Bagian 10 : Pengaturan Lebih Lanjut
- DPDDTHNI – Bagian 11 : Catatan Kaki dan Referensi
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Dinamika Pengaturan Desa Dalam Tata Aturan Negara Indonesia – Bab 4 : Perkembangan Ihwal Di Dpr"
Posting Komentar