√ Analisis Budaya Birokrasi Indonesia

Kondisi politik Indonesia ketika ini menandakan bahwa sistem politik yang dikembangkan, terutama pada masa orde gres (Jackson & Pye, 1978) yaitu sistem politik yang banyak berbasis pada budaya politik yang berkembang lebih didominasi oleh  kebudayaan Jawa.


Banyaknya elite politik nasional yang memegang kekuasaan politik berasal dari suku Jawa setidak-tidaknya menandakan kecenderungan tersebut. Demikian pula sikap elit birokrasi nasional dalam menawarkan arah dan kebijakan-kebijakan nasional cenderung mengacu pada sistem budaya Jawa. Beberapa ilmuwan, bahkan menyatakan bahwa karakteristik kebudayaan nasional selama rezim orde gres berkuasa mengalami proses hegemoni kebudayaan Jawa.


Pada tingkat nasional, kebudayaan mengalami proses penjawaan (Jawanisasi). Hegemoni budaya jawa terhadap budaya-budaya lokal lainnya tampak terlihat terperinci pada upaya diterapkannya struktur pemerintahan yang mengacu pada karakteristik masyarakat Jawa, menyerupai politik penyeragaman model pemerintahan desa Jawa sehingga menghilangkan sistem nilai watak dan norma masyarakat setempat.


Melalui penerapan sistem politik sentralistik dan hegemonik, negara cenderung telah membuatkan model kebijakan dan sistem birokrasi pemerintahan yang mengarah pada penyeragaman di hampir semua aspek kebijakan. Dalam kondisi demikian, variasi dan keanekaragaman budaya lokal yang mewarnai sistem birokrasi berubah menjadi  keseragaman budaya  dengan ciri terjadinya sentralisasi kebijakan, pengambilan keputusan, ritual, etos kerja, hingga model kekerabatan birokrasi dengan masyarakatnya. Penerapan sistem birokrasi yang sentralistik menimbulkan intervensi birokrasi pusat ke dalam kehidupan masyarakat kawasan menjadi sangat dominan. Dengan kata lain, telah terjadi proses birokratisasi yang efektif dalam seluruh aspek kehidupan masyarakat secara nasional.


Sistem sentralisasi telah menempatkan sistem pelayanan publik yang dikembangkan menjadi sangat birokratis, formalism, dan berbelit-belit. Kondisi tersebut semakin memperkuat kecenderungan status birokrat memposisikan diri sebagai penguasa ketika berhadapan dengan masyarakat sebagai orang yang dilayani.


Keadaan tersebut menciptakan kontrol publik menjadi lemah karena  masyarakat pengguna jasa menganggap pegawanegeri birokrasi sebagai pihak yang paling tahu dan berkepentingan. Pada akhirnya, apa pun yang dilakukan oleh pegawanegeri dianggap masuk akal dan harus diterima sehingga implikasinya pelayanan publik menjadi tidak responsive terhadap kebutuhan masyarakat pengguna jasanya.


Implementasi kebijakan yang bersifat sentralistik dan penyeragaman tersebut di kawasan dilakukan dengan penyusunan sejumlah kebijakan teknis, yakni dalam bentuk petunjuk pelaksanaan (juklak) dan petunjuk teknis (juknis). Penyimpangan dari juklak dan juknis tersebut akan berakibat fatal lantaran selalu dianggap sebagai penyimpangan. Penyimpangan dari hukum baku akan mendatangkan stigma yang tidak menguntungkan bagi birokrat lantaran mempunyai konsekuensi terhadap karier mereka pada masa mendatang.


Birokrasi dan pegawanegeri di dalamnya terlalu dibebani upaya untuk menerapkan aturan-aturan terperinci secara ketat sehingga mereka kehilangan arah mengenai tujuan utama dari kegiatan mereka. Dalam sistem pelayanan, kecenderungan penguatan pola birokrasi ini dilakukan dengan cara tetap mempergunakan pada pola contoh yang cenderung mempergunakan pola-pola baku dan yang telah ditetapkan dari pusat atau dari Provinsi. Semua instansi rata-rata terlihat belum ada upaya untuk menyesuaikan hukum yang diberlakukan dengan kondisi dan situasi lokal (daerah setempat), bahkan upaya memodifikasi  cara penerapan hukum pun tidak terlihat sama sekali. Birokrasi terlihat menjadi tidak mempunyai visi dan misi yang terperinci dalam menyelenggarakan kegiatan pemerintahan dan pelayanan publik.


Budaya birokrasi sanggup digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang mempunyai simbol, orientasi nilai, keyakinan pengetahuan, dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku, dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat. Birokrasi sebagaimana organisasi lainnya, dalam setiap dinamika yang terjadi di dalamnya, selalu mempunyai kekerabatan dengan lingkungan eksternal. Karakter dan model birokrasi yang selama ini berkembang di Indonesia pada hakikatnya merupakan salah satu bentuk interaksi yang terjalin dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial, maupun ekonomi.


Birokrasi, sebagaimana organisasi lainnya tidak lepas dari efek lingkungan budaya, dalam aktivitasnya juga terlibat secara intensif melalui pola-pola interaksi yang terbentuk di dalamnya dengan sistem nilai dan budaya lokal. Budaya birokrasi berkembang disuatu kawasan tertentu tidak sanggup dilepaskan dari pola budaya lingkungan sosial yang melingkupinya. Sehubungan dengan itu, Agus Dwiyanto (2002) mengemukakan bahwa,


“Budaya birokrasi sanggup digambarkan sebagai sebuah sistem atau seperangkat nilai yang mempunyai simbol, orientasi nilai, keyakinan, pengetahuan dan pengalaman kehidupan yang terinternalisasi ke dalam pikiran. Seperangkat nilai tersebut diaktualisasikan dalam sikap, tingkah laku dan perbuatan yang dilakukan oleh setiap anggota dari sebuah organisasi yang dinamakan birokrasi. Setiap aspek dalam kehidupan organisasi birokrasi selalu bersinggungan dengan aspek budaya masyarakat setempat”.


Sebagai suatu variabel dalam organisasi, budaya dipelajari sebagai penggalan dari sistem organisasi secara keseluruhan. Dalam konteks ini, budaya dilihat sebagai sesuatu yang hidup di suatu organisasi yang mengikat semua anggota organisasi dalam upaya mencapai tujuan bersama. Budaya juga sanggup dilihat sebagai penggalan dari suatu lingkungan organisasi yang mempengaruhi sikap dan penampilan (performance) organisasi.


Penerapan konsep birokrasi modern di Indonesia telah dimulai sejak zaman penjajahan Belanda. Birokrasi pada awalnya dikembangkan oleh pemerintah kolonial Belanda dengan maksud untuk mengefektifkan jalannya pemerintahan kolonial di Indonesia. Pada ketika itu pengangkatan pegawai birokrasi ialah untuk mengisi beberapa jabatan birokrasi pada tingkat menengah ke bawah, yang banyak direkrut dari kalangan pribumi. Kaum pribumi yang dijadikan birokrat merupakan kelompok dalam masyarakat yang tergolong pada strata sosial atas, biasanya dari kalangan keturunan darah biru keraton (priyayi, ningrat).


Sejarah pembentukan birokrasi yang berasal dari kalangan darah biru keraton tersebut membawa implikasi pada masuknya efek budaya tradisional keraton ke dalam sistem nilai dan budaya birokrasi. Sejarah pembentukan kultur birokrasi tersebut juga mempunyai kesamaan karakter, baik dalam birokrasi yang terdapat di jawa maupun di hampir seluruh kawasan di Indonesia.


Menurut Dwiyanto (2001),


“Rendahnya kinerja birokrasi publik sangat dipengaruhi oleh budaya paternalisme yang masih sangat kuat, yang cenderung mendorong pejabat birokrasi untuk lebih berorientasi pada kekuasaan daripada pelayanan, menempatkan dirinya sebagai penguasa dan memperlakukan para pengguna jasa sebagai obyek pelayanan yang membutuhkan bantuannya. Disamping itu, rendahnya kinerja juga disebabkan oleh sistem pembagian kekuasaan yang cenderung memusat pada pimpinan. Struktur birokrasi yang hierarkis mendorong adanya pemusatan kekuasaan dan wewenang pada atasan sehingga pejabat birokrasi yang eksklusif berafiliasi dengan para pengguna jasa sering tidak mempunyai wewenang yang memadai untuk merespons dinamika yang berkembang dalam penyelenggaraan pelayanan”.


Dalam konteks ini, paternalisme mempunyai dua dimensi yaitu pertama, kekerabatan paternalisme antar pegawanegeri birokrasi dengan masyarakat dan kedua, kekerabatan paternalisme yang terjadi antara pimpinan dan bawahan dalam sebuah organisasi. Paternalisme yang pertama lebih menunjuk pada kekerabatan yang bersifat eksternal, sedangkan yang kedua lebih menekankan pada kekerabatan yang bersifat internal. Sifat budaya dualisme dalam birokrasi ini tercermin dalam pemberian pelayanan publik, birokrasi mempunyai orientasi nilai yang berbeda dan saling bertentangan. Pada satu sisi, birokrasi dituntut harus loyal kepada pimpinan dan pada sisi yang lain diharuskan untuk mengaktualisasikan prinsip abdi masyarakat, yaitu sebagai pemberi pelayanan kepada masyarakat dan harus mementingkan masyarakat yang dilayaninya.


Kondisi politik Indonesia ketika ini menandakan bahwa sistem politik yang dikembangkan √ Analisis Budaya Birokrasi Indonesia


Budaya paternalisme yang terus ada di dalam pegawanegeri birokrasi pemerintahan sedikit banyak dipengaruhi oleh faktor-faktor internal maupun eksternal pegawai atau pegawanegeri birokrasi sendiri,  yaitu :


Pertama, faktor internal pegawai


Sikap dan mental pegawai yang sanggup menurunkan kemampuan pegawanegeri untuk berbuat optimal di lingkungan kerja antara lain sanggup di lihat melalui beberapa sikap yaitu  adalah,



  • Sikap mental yang berorientasi membelanjakan daripada menghasilkan. Para birokrat menganggap bahwa anggaran dan akomodasi mereka yaitu milik negara sehingga mereka tidak perlu bersusah payah untuk mengelolah secara baik apalagi memberi nilai tambah pada aset-aset itu. Mereka bahkan cenderung ceroboh dalam mengelolah aset-aset tersebut.

  • Sikap minta dilayani, bukan melayani. Sedikit banyak di Indonesia hal ini merupakan warisan paham masa lampau baik masa kerajaan yang menempatkan birokrat sebagai priyayi, maupun masa penjajahan yang menempatkan birokrat sebagai ambtenaar yang mempunyai hak-hak dan status khusus.

  • Motivasi birokrat pada umumnya keliru (tidak memahami dan tidak sesuai dengan fitrah dasar kiprah institusi birokrasi). Mereka mendaftar menjadi pegawai bukan untuk melayani dan mengabdi, melainkan mencari status dan gaji, sehingga tentu saja tatkala mereka bekerja, orientasi mereka tidak sesuai dengan kiprah dan fungsi utama birokrasi.


Kesemua sikap mental itu menimbulkan dampak negatif berupa ketidakprofesionalan aparatur birokrasi dalam bekerja, sehingga mereka tidak bisa dalam menjalankan kiprah secara baik.


Kedua, faktor eksternal pegawai.


Faktor eksternal pegawai sanggup dilihat dari sikap mental masyarakat yaitu watak, tabiat, pola berpikir masyarakat  yang selalu mempunyai kekerabatan dengan lingkungan eksternal, yang pada hakekatnya merupakan suatu interaksi yang terjalin dengan lingkungan, baik yang menyangkut aspek politik, budaya, sosial, maupun ekonomi dalam mengemban kiprah birokrasi secara  baik. Namun di antara sikap tersebut di atas masih terdapat sikap atau pola pikir masyarakat yang menghambat pembangunan  yang antara lain :



  • Sikap apatis (non partisipatif dan permisif), yakni tidak peduli dan tidak mau tahu terhadap apapun yang terjadi di sekelilingnya, termasuk apa yang terjadi pada birokrasi.

  • Mentalitas menerabas (hedonistik dan pragmatis) tidak mau repot dan cenderung cari yummy saja, sehingga ikut menyuburkan pungli dan kongkalikong (Koentjoroningrat, dalam Setiono, 2000).

  • Rasa ketergantungan masyarakat yang berlebihan terhadap birokrasi, sehingga mau mendapatkan saja banyak sekali perlakuan yang menyimpang.


Adanya tuntutan otonomi kawasan yang makin menguat, sementara dalam konteks global kita mengetahui bahwa banyak sekali perubahan tengah terjadi dengan cepat di seluruh dunia, baik dalam hal ilmu pengetahuan dan teknologi, sistem informasi, perdagangan politik, dan sebagainya. Berbagai perubahan itu menimbulkan lahirnya konsep globalisasi, perdagangan bebas, meningkatnya intensitas kekerabatan antara polarisasi dan ekonomi antar negara.


Fenomena-fenomena tersebut menimbulkan birokrasi terus tertinggal dan sulit menyesuaikan banyak sekali perubahan yang terjadi dengan cepat. Konsep, kebijakan, struktur dan pola kerja yang disusun menjadi cepat kadaluwarsa (out of date) sehingga tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sudah berubah. Akibatnya masyarakat menjadi semakin kecewa dengan kinerja birokrasi.


Faktor-faktor tersebut menimbulkan birokrasi yang jelek sehingga fungsi-fungsinya tidak sanggup tercapai dengan optimal. Untuk meminimalisir aspek-aspek hambatan itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi untuk mengkaji ulang paradigma birokrasi “lama” yang telah tertinggal dari kemajuan jaman.


Kondisi politik Indonesia ketika ini menandakan bahwa sistem politik yang dikembangkan √ Analisis Budaya Birokrasi Indonesia


Seluruh paparan di atas, sanggup kita simpulkan menjadi suatu pandangan singkat yaitu dimana budaya birokrasi Indonesia sebagai penggalan dari budaya politik merupakan manifestasi sistem kepercayaan nilai-nilai yang dihayati, sikap, dan sikap yang terefleksikan ke dalam orientasi birokrasi terhadap masyarakat dan lingkungannya. Budaya birokrasi di Indonesia yang merupakan penggabungan nilai-nilai tradisional dan  modern  tercermin secara nyata dalam sikap pegawanegeri birokrasinya. Oleh lantaran itu, birokrasi Indonesia lebih mencerminkan pencampuran antara karakteristik birokrasi Weberian dengan karakteristik birokrasi yang berakar pada budaya lokal. Budaya birokrasi menyerupai ini menawarkan peluang pada munculnya sikap dan sikap paternalistic yang merugikan kepentingan masyarakat secara luas.


Kondisi politik Indonesia ketika ini menandakan bahwa sistem politik yang dikembangkan √ Analisis Budaya Birokrasi Indonesia


Nilai-nilai tradisional yang menjadi ciri khas dari budaya feodal justru lebih tampak menonjol dalam sistem birokrasi modern yang ingin diterapkan. Simbol budaya priyayi yang menjadi simbol status dari budaya feodal lebih banyak diadopsi dan diminati oleh para anggota birokrasi. Konsep, kebijakan, struktur dan pola kerja yang disusun menjadi cepat kadaluwarsa (out of date) sehingga tidak sesuai lagi dengan keadaan yang sudah berubah. Sehingga untuk meminimalisir aspek-aspek hambatan itu, perlu dilakukan reformasi birokrasi untuk mengkaji ulang paradigma birokrasi “lama” yang telah tertinggal dari kemajuan jaman.


Semoga bermanfaat ..


*disarikan dari banyak sekali sumber



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

Related Posts :

0 Response to "√ Analisis Budaya Birokrasi Indonesia"

Posting Komentar