Yahya Schroder: Rela Meninggalkan Kenikmatan Hidup, Demi Masuk Islam Yahya Schroder: Rela Meninggalkan Kenikmatan Hidup, Demi Masuk Islam




 menjadi bulan bersejarah bagi cukup umur Jerman itu Yahya Schroder: Rela Meninggalkan Kenikmatan Hidup, Demi Masuk Islam Yahya Schroder: Rela Meninggalkan Kenikmatan Hidup, Demi Masuk IslamBulan November tahun 2006, menjadi bulan bersejarah bagi cukup umur Jerman itu. Karena pada ketika itu ia yang masih berusia 17 tahun mengucapkan dua kalimat syahadat dan menjadi seorang Muslim. Ia menentukan Yahya, sebagi nama Islamnya dan semenjak itu cukup umur Jerman yang kini tinggal di Postdam, dikenal dengan nama Yahya Schroder.
Yahya hidup berkecukupan dengan ibu dan ayah tirinya di sebuah desa kecil di Jerman. Ia tinggal di rumah yang besar lengkap dengan bak renang yang luas. Di kamarnya ada tv dan play station dan Yahya tidak pernah kesulitan dalam problem uang. Seperti cukup umur lainnya, Yahya sering pergi bergerombol bersama teman-temannya, minum alkohol atau melaksanakan hal-hal yang konyol.
 
Tapi semua kenikmatan dunia itu harus ia tinggalkan ketika ia tetapkan masuk Islam. Setelah menjadi seorang mualaf, Yahya menentukan tinggal akrab ayahnya yang sudah lebih dulu masuk Islam, di Postdam akrab kota Berlin. Yahya mengaku tidak merasa senang meski ketika masih ikut ibu dan ayah tirinya yang kaya, hidupnya serba enak. "Saya mencari sesuatu yang lain," ujarnya.
Yahya mengenal komunitas Muslim di Postdam ketika ia berusia 16 tahun, lewat ayah kandungnya yang lebih dulu masuk Islam pada tahun 2001. Ketika itu, ia biasa mengunjungi ayah kandungnya sebulan sekali dan sering ikut sang ayah menghadiri pertemuan-pertemuan dengan komunitas Muslim yang diselenggarakan setiap hari Minggu.
 
Yahya merasa tertarik dengan Islam dan ayahnya memperhatikan hal itu. Hingga suatu hari sang ayah menyampaikan tidak mau membahas soal Islam ketika mereka sedang berdua saja. Ayah Yahya menginginkan puteranya itu berguru dari orang-orang yang ilmunya wacana Islam lebih tinggi biar kalau Yahya masuk Islam tidak dipandang cuma ikut-ikutan apa yang telah dilakukan ayahnya.
"Saya oke dengan ayah dan saya mulai menghadiri pertemuan-pertemuan itu sendiri, setiap bulan. Tapi ketika itu terjadi sesuatu hal yang mengubah cara berpikir saya," ujar Yahya.
Yahya bercerita, ia mengalami kecelakaan ketika pergi berenang bersama komunitas Muslim. Ketika ia melompat ke bak renang dari ketinggian, kepalanya membentur dasar bak renang dan tulang punggungnya patah. Ayahnya membawa Yahya ke rumah sakit dan dokter di rumah sakit itu menyampaikan hal yang menciptakan gentar hatinya.
 
"Punggungmu mengalami patah tulang yang parah, satu satu saja gerakan yang salah, sanggup membuatmu lumpuh," kata dokter.
Yahya harus menjalani operasi. Beberapa ketika sebelum masuk ruang operasi, sahabat Yahya di komunitas Muslim berjulukan Ahmir memberinya semangat, "Yahya, kini engkau berada di tangan Allah. Ini menyerupai naik rollercoaster. Sekarang engkau sedang berada dalam puncak kenikmatan naik sebuah rollercoaster dan percayalah pada Allah."
 
Operasi berlangsung selama lima jam dan Yahya gres siuman tiga hari kemudian. "Saya tidak sanggup menggerakan ajudan saya, tapi saya merasa sangat bahagia. Saya bilang ke dokter bahwa saya tidak peduli dengan tangan kanan saya. Saya sudah sangat senang Allah telah membiarkan saya tetap hidup," tutur Yahya. Dokter menyampaikan Yahya harus dirawat di rumah sakit dalam beberapa bulan. Tapi Yahya cuma dua minggu di rumah sakit, lantaran ia berlatih dengan keras. Yahya bahkan sudah sanggup naik turun tangga dua hari sebelum seorang dokter tiba dan menyampaikan bahwa hari itu ia akan berlatih naik tangga.
 
"Alhamdulillah saya cuma dua minggu di rumah sakit. Sekarang saya sudah sanggup menggerakan ajudan saya. Kecelakaan itu telah banyak mengubah kepribadian saya," saya Yahya.
"Saya merasakan, ketika Allah menginginkan sesuatu terjadi, hidup seseorang berubah total dalam hitungan detik. Oleh lantaran itu, saya lebih menghargai kehidupan dan mulai berpikir wacana kehidupan saya dan Islam, tapi ketika itu saya masih tinggal di sebuah desa kecil," kisah Yahya.
 
Keinginan Yahya untuk menjadi seorang Muslim makin kuat, sehingga ia berani tetapkan untuk meninggalkan keluarganya di desa itu. Yahya menuturkan, "Saya meninggalkan ibu dan ayah tiri saya, meninggalkan gaya hidup saya yang glamor dan pergi ke Postdam, tinggal di apartemen kecil ayah kandung saya. Saya tak keberatan harus menempati sebuah dapur kecil, lantaran saya cuma membawa sedikit pakaian, buku-buku sekolah dan beberapa CD."
"Kedengarannya saya kehilangan segalanya, tapi saya merasa bahagia, sebahagia ketika saya siuman di rumah sakit sesudah kecelakaan jelek itu," ujar Yahya.
 
Diejek Teman Sekolah
Sehari sesudah hari pertamanya masuk sekolah di Postdam, Yahya mengucapkan dua kalimat syahadat. Yahya pun menjalani kehidupan barunya sebagai seorang Muslim, meski di sekolah banyak yang mengejeknyakarena menjadi seorang Muslim. Beberapa orang menganggapnya "gila" bahkan tidak percaya kalau dirinya orang Jerman asli.
 
"Saya melihatnya sebagai hal yang biasa lantaran gosip yang mereka baca di media wacana Islam dan Muslim. Media massa menulis wacana Islam yang disebut teroris, Usamah bin ladin, Muslim yang jahat, dan sebagainya," tukas Yahya.
Sepuluh bulan berlalu dan situasi mulai berubah. Yahya aktif berdakwah pada teman-teman sekelasnya dan ia mendapatkan sebuah ruangan untuk salat, padahal cuma ia satu-satunya siswa Muslim di sekolahnya.
 
"Teman-teman sekelas berubah, yang dulunya menarik hati saya lantaran masuk Islam, kini banyak bertanya wacana Islam dan mereka mengakui Islam tidak sama dengan agama-agama lainnya. Menurut mereka, Islam itu keren!" kata Yahya menirukan pendapat teman-temannya.
Yahya mengungkapkan, teman-teman sekolahnya menilai Muslim mempunyai adat yang baik dalam berinteraksi dengan sesama manusia, bebas dari tekanan sahabat sekelompok menyerupai yang terjadi di sekolah mereka. Saat itu siswa-siswi di sekolah Yahya cenderung berkelompok atau membentuk genk, mulai dari genk hip hop, punk hingga kelompok genk siswa yang hobinya berpesta. Setiap siswa berusaha keras untuk diterima menjadi anggota genk itu.
 
Tapi Yahya, ia sanggup berteman dengan siapa saja. "Saya tidak perlu mengenakan pakaian khusus biar terlihat keren. Yang terjadi malah, genk-genk itu sering mengundang saya dan teman-teman Muslim saya ke pesta-pesat barbeque mereka," tandasnya.
"Yang istimewa dari semua ini adalah, mereka menghormati saya sebagai seorang Muslim. Mereka membelikan makanan halal buat saya dan mereka menggelar dua pesta barbeque, satu untuk mereka dan satu untuk kami yang Muslim. Masyarakat disini sudah mulai terbuka dengan Islam," sambung Yahya mengenang masa-masa sekolahnya.
 
Yahya menambahkan, ia merasa lebih gampang menjadi seorang mualaf daripada menjadi seorang yang memang sudah Muslim semenjak lahir. Ia banyak melihat banyak bawah umur muda Muslim yang ingin menjadi orang Jerman dan melihat Islam hanya sebagai tradisi. Anak-anak muda itu, kata Yahya, bersedia melepas 'tradisi' keislamannya supaya sanggup diterima di tengah masyarakat Jerman.
"Meskipun faktanya, orang-orang Jerman tetap tidak mau mendapatkan mereka meski mereka melepas agama Islamnya," ujar Yahya.
 
Ia mengakui, kehidupan seorang Muslim di Jerman tidak gampang lantaran secara umum dikuasai masyarakat Jerman buta wacana Islam. "Kalau mereka ditanya wacana Islam, mereka akan menyampaikan sesuatu wacana Arab. Buat mereka, pertanyaan itu menyerupai soal matematika, Islam=Arab". Padahal negara ini mempunyai bangsa yang besar," tukas Yahya.
(ln/readislam/eramuslim.com)

Sumber http://mawasangka-bagea.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Yahya Schroder: Rela Meninggalkan Kenikmatan Hidup, Demi Masuk Islam Yahya Schroder: Rela Meninggalkan Kenikmatan Hidup, Demi Masuk Islam"

Posting Komentar