√ Pendapat Ikatan Dokter Anak Indonesia (Idai) Perihal Insiden Luar Biasa Difteri 2017

Difteri merupakan penyakit infeksi yang disebabkan oleh bakteri Corynebacterium diphtheriae yang sangat gampang menular dan berbahaya lantaran sanggup mengakibatkan kematian akhir obstruksi larings atau miokarditis akhir aktivasi eksotoksin. Pada insiden luar biasa (KLB), selain difteri farings, tonsil, dan larings, telah pula dilaporkan terjadinya difteri hidung dan difteri kulit.


Difteri sangat menular melalui droplet dan penularan sanggup terjadi tidak hanya dari penderita saja, namun juga dari karier (pembawa) baik anak maupun pintar balig cukup akal yang tampak sehat kepada orang-orang di sekitarnya.


Kejadian luar biasa yang terjadi di Jawa Timur dan secara sporadik di tempat lain (Pontianak dan Banjarmasin) merupakan indikator bahwa kegiatan imunisasi nasional tidak mencapai sasaran. Oleh lantaran itu, dalam menghadapi dan mengatasi persoalan difteri, kita harus memperbaiki pelaksanaan kegiatan imunisasi secara menyeluruh. Hal tersebut penting untuk menerima perhatian yang serius dari semua kalangan kesehatan, khususnya dokter seorang andal anak.


 


Analisis Situasi


Merebaknya masalah difteri menimbulkan beberapa pertanyaan bagi klinisi yang harus dikaji mengapa hal tersebut sanggup terjadi.



  1. Cakupan imunisasi gagal mencapai target

    • Apakah cakupan imunisasi DPT tidak cukup tinggi untuk mencegah penularan difteri? Data cakupan imunisasi di Indonesia sangat bervariasi bergantung dari mana dan oleh siapa survei tersebut dilakukan (78%-90%). Pencatatan yang dilaksanakan kurang akurat sehingga menghasilkan data yang kurang akurat pula. Catatan pada KMS atau Buku Catatan Kesehatan Anak tidak diisi dengan baik oleh petugas kesehatan yang melaksanakan imunisasi dan tidak disimpan dengan baik oleh orang tua, sehingga sulit diketahui apakah imunisasi anaknya sudah lengkap atau belum.

    • Adanya negative campaign sebagai gerakan anti imunisasi yang marak akhir-akhir ini telah mengakibatkan banyak orang bau tanah menolak anaknya diimunisasi. Program imunisasi sebagai kegiatan nasional seharusnya diikuti dan dilaksanakan oleh semua masyarakat. Maka kelompok anti vaksinasi perlu diatasi dengan cara pendekatan tersendiri dan terencana.



  2. Imunisasi gagal membentuk antibodi secara maksimal pada anak

    • Apakah imunisasi tidak lengkap? Apakah imunisasi ulangan tidak diberikan? Vaksin DPT merupakan vaksin mati sehingga untuk mempertahankan kadar antibodi menetap tinggi di atas ambang pencegahan, sangat dibutuhkan kelengkapan ataupun santunan imunisasi ulangan. Imunisasi DPT lima kali harus dipatuhi sebelum anak berumur 6 tahun.

    • Apakah petugas kesehatan tidak memperlihatkan imunisasi pada anak yang menderita sakit ringan sehingga menimbulkan santunan imunisasi tidak sesuai jadwal atau bahkan tidak diberikan? Kontra indikasi adikara imunisasi yaitu defisiensi imun dan pernah menderita stress berat anafilaksis pada imunisasi terdahulu. Sedangkan demam tinggi atau sedang dirawat lantaran penyakit berat merupakan kontra indikasi sementara, sehingga anak tetap harus diimunisasi apabila telah sembuh. Jangan hingga terjadi missed opportunity untuk memperlihatkan imunisasi hanya lantaran alasan anak sering sakit.

    • Apakah cold chain di semua kemudahan kesehatan telah diperhatikan dengan baik? Vaksin Bio Farma yang dipergunakan untuk kegiatan imunisasi nasional telah dilengkapi dengan vaccine vial monitor (VVM) yang ditempelkan pada botol vaksin untuk monitor suhu vaksin. Petugas medis diharapkan memperhatikan VVM, tanggal kadaluwarsa dan keadaan vaksin (endapan, gumpalan) sebelum disuntikkan. Penyimpanan dan transportasi vaksin harus memperhatikan mekanisme baku cold chain, lantaran vaksin DPT akan rusak kalau membeku atau dibawah 20 C, atau terpapar suhu di atas 80 C. Hal tersebut perlu menerima perhatian para petugas kesehatan baik di rumah sakit, rumah bersalin, ataupun klinik pribadi.




 


Penanggulangan dari aspek pencegahan


Upaya pencegahan harus dilakukan bahu-membahu dengan tindakan deteksi dini kasus, pengobatan kasus, acuan ke rumah sakit, mencegah penularan, dan memberantas karier. Upaya pencegahan sanggup ditujukan kepada anggota IDAI dan kepada masyarakat.


Untuk anggota IDAI



  1. Jangka pendek Di tempat KLB dilakukan outbreak response immunization (ORI), yaitu santunan imunisasi DPT/ DT kepada semua anak berumur <15 tahun yang tinggal di tempat KLB (umur 2-7 tahun diberikan DPT, >7 tahun diberikan DT atau dT). Di tempat non-KLB dibutuhkan kesiapsiagaan dengan memperhatikan kelengkapan status imunisasi setiap anak yang berobat. Segera lengkapi apabila status imunisasi belum lengkap (3x sebelum umur 1 tahun, 1x pada tahun kedua, 1x pada umur 5 tahun atau sebelum masuk sekolah dasar). Selain itu perlu juga dilengkapi imunisasi yang lainnya.

  2. Jangka panjang, untuk tempat KLB perlu dilakukan gerakan imunisasi terpadu untuk meningkatkan cakupan imunisasi DPT sehingga mencapai 95% dari sasaran anak <15 tahun.

  3. Seluruh anggota IDAI harus membantu pelaksanaan tindakan preventif dan kuratif terhadap difteri dengan memperlihatkan edukasi kepada masyarakat melalui media lokal menyerupai radio, TV, surat kabar, atau majalah, serta membuatkan leaflet berisi klarifikasi perihal penyakit, penanggulangan serta pencegahannya.

  4. Seluruh anggota IDAI diharapkan bersedia membantu Pemda setempat untuk bahu-membahu menanggulangi difteri secara khusus dan meningkatkan cakupan imunisasi di tempat terkait. Kegiatan tersebut sanggup dilakukan dengan kerjasama IDAI Cabang, IDI wilayah, dan IBI wilayah.

  5. Seluruh anggota IDAI memantau adanya masalah difteri di tempat masing-masing dan segera melaporkan kepada Dinas Kesehatan setempat apabila ditemukan kecurigaan kasus. 


Untuk masyarakat



  1. Kenali tanda-tanda awal difteri.

  2. Segera ke Puskesmas atau Rumah Sakit terdekat apabila ada anak mengeluh nyeri tenggorokan disertai bunyi berbunyi menyerupai mengorok (stridor), khususnya anak berumur < 15 tahun.

  3. Anak harus segera dirawat di rumah sakit apabila dicurigai menderita difteria semoga segera menerima pengobatan dan investigasi laboratorium untuk memastikan apakah anak benar menderita difteria.

  4. Untuk memutuskan rantai penularan, seluruh anggota keluarga serumah harus segera diperiksa oleh dokter apakah mereka juga menderita atau karier (pembawa kuman) difteri dan menerima pengobatan (eritromisin 50mg/kg berat tubuh selama 5 hari).

  5. Anggota keluarga yang telah dinyatakan sehat, segera dilakukan imunisasi DPT.

    • Apabila belum pernah menerima DPT, diberikan imunisasi primer DPT tiga kali dengan interval masing-masing 4 minggu.

    • Apabila imunisasi belum lengkap segera dilengkapi (lanjutkan dengan imunisasi yang belum diberikan, tidak perlu diulang),

    • Apabila telah lengkap imunisasi primer (< 1 tahun) perlu ditambah imunisasi DPT ulangan 1x.



  6. Masyarakat harus mengetahui dan memahami bahwa sehabis imunisasi DPT, adakala timbul demam, nanah dan nyeri ditempat suntikan DPT, yang merupakan reaksi normal dan akan hilang dalam beberapa hari. Bila anak mengalami demam atau nanah di tempat suntikan, boleh minum obat penurun panas parasetamol sehari 4 x sesuai umur, sering minum jus buah atau susu, serta pakailah baju tipis atau segera berobat ke petugas kesehatan terdekat.


 


Penutup



  • Kejadian luar biasa pada difteri harus segera diatasi secara terencana, baik untuk jangka pendek maupun jangka panjang.

  • Edukasi mengenai imunisasi harus senantiasa diberikan oleh setiap petugas kesehatan pada setiap kesempatan bertemu orang bau tanah pasien.

  • Seluruh anggota IDAI diharapkan turut berpartisipasi aktif dalam memberantas difteri dan meningkatkan cakupan imunisasi DPT.


 


Pengurus Pusat Ikatan Dokter Anak Indonesia

Satuan Tugas Imunisasi


*sumber : idai.or.id



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Pendapat Ikatan Dokter Anak Indonesia (Idai) Perihal Insiden Luar Biasa Difteri 2017"

Posting Komentar