Untaian Mutiara Dari Bubuk Darda’

KGgoAAAANSUhEUgAAAPAAAACUCAIAAAAiUjOJAAAgAElEQVR Untaian Mutiara dari Abu Darda’

Abu Darda’ dikenal sebagai sahabat yang zuhud dan andal ibadah. Suatu ketika Amirul mukminin Umar bin Khattab ra memanggilnya dan menawarinya sebuah jabatan strategis. Yang mungkin di zaman ini, menjadi rebutan banyak orang. Yakni menjadi gubernur di kota bisnis Internasional, Siria.

Umar berkata, “Wahai Abu Darda’, saya ingin mengangkatmu menjadi gubernur di Damaskus, Siria.”
Sekiranya kita yang ditawari jabatan menyerupai ini tanpa melalui proses Pilgub. Tentu kita akan menerimanya dengan wajah berbinar-binar, senyum mengembang dan hati berbunga-bunga. Walaupun kita tidak yakin akan bisa mengemban amanah besar itu. Tasyakuran tiga hari pun digelar, dengan mengundang masyarakat, politisi dan para tokoh serta para pengusaha tentunya.

Berbeda dengan sahabat agung ini, sehabis mendapatkan ajuan menggiurkan dari sang khalifah ia berujar, “Sekiranya engkau rela saya pergi ke sana (Damaskus) untuk mengajari penduduknya kitab Rabb mereka (al Qur’an) dan sunnah Nabi-Nya serta menjadi imam shalat bagi mereka, maka saya akan taati perintahmu dengan tulus. Tapi bila saya diminta menjadi penguasa (gubernur) di sana, maka saya sama sekali tidak berminat. Biarkan saya (menjadi diriku sendiri)!.”

Barang kali, di zaman ini seorang presiden akan murka dan murka besar, bila ada tawarannya ditolak oleh salah seorang dari rakyatnya.
Tetapi tidak demikian dengan Umar, ia sanggup memahami apa yang ada di hati sahabatnya ini, dan menyetujui persyaratan yang diajukan oleh Abu Darda’. Ia mengutusnya ke Damaskus bukan untuk menduduki jabatan gubernur. Namun menjadi penuntun umat. Obor penerang jalan hidup mereka. Menjadi da’i di jalan Allah Swt.

Umar berkata, “Berangkatlah ke Damaskus dan tunaikan tugasmu dengan baik. Karena profesi itu yang menjadi pilihanmu!.”
Sesampainya di negeri itu, ia saksikan masyarakatnya telah karam dalam kemewahan hidup dan silau dengan bangunan-bangunan megah.

Di atas mimbar, Abu Darda’ dengan bunyi lantang mengingatkan penduduk Damaskus tentang ancaman berjauhan dengan andal ilmu. Silau dengan dunia yang akan ditinggalkan. Membangun perumahan glamor yang tidak dihuni abadi. Gemerlapnya dunia telah menggelapkan mata, dan melupakan hakikat masa depan mereka di akherat sana.

Karena untaian nasihatnya sangat menyentuh kalbu orang yang mendengarnya, maka tidak jarang air mata mengucur membasahi wajah mereka. Isak tangis pun bahkan terdengar dari luar masjid.
Mengapa nasihatnya teramat membekas di hati? Karena nasihatnya memancar dari ketulusan hati, mengalir dari telaga keikhlasan. Dan bukan memantul dari verbal yang haus imbalan dan lapar akan kebanggaan serta sanjungan.

Abu Darda’ mengadakan pendekatan khusus terhadap para pemuda, yang menjadi harapan Negara di masa depan. Baik dan buruknya suatu negeri sangat ditentukan oleh mereka.
Suatu hari ia menasihati seorang pemuda:
• “Wahai anakku, ingatlah Allah di waktu senang, pasti Dia akan mengingatmu di kala susah.”
• “Wahai anakku, jadilah engkau seorang yang berilmu, atau penimba ilmu, atau hadir di majlis ilmu. Dan jangan engkau menjadi orang yang tak pandai yang akan menyebabkanmu binasa karenanya.”
• “Wahai anakku, jadikanlah masjid sebagai daerah tinggalmu. Karena saya pernah mendengar Nabi Saw bersabda, “Masjid yaitu rumah bagi manusia bertakwa.”
• “Wahai anakku, daerah ibadah seorang muslim yaitu rumahnya sendiri. Di sana ia menjaga diri dan pandangannya. Dan hindarilah duduk-duduk di pasar tanpa keperluan, alasannya yang demikian itu termasuk perbuatan tak berkhasiat dan sia-sia.”

Mari kita renungi beberapa butir hikmah Abu Darda’ di atas.
Mengingat Allah Swt di kala senang, maka Dia akan mengingat kita di kala susah.
Hal ini senada dengan sabda Nabi saw, “Kenali Allah di waktu lapang, pasti Dia akan mengenalimu di kala sempit.” HR. Al Hakim.

Tapi yang banyak dialami oleh kita justru sebaliknya, di mana kita menyebut nama Allah Swt dikala kita sakit, bangkrut, gagal menempuh cita, lengser dari jabatan, ambruk, kondisi payah, miskin, terhimpit hutang, popularitas redup, terbebani dilema hidup yang berat dan seterusnya. Pada dikala itu kita ingat dan berdo’a kepada-Nya. Karena kita yakin tak sanggup bertumpu kepada makhluk-Nya yang lemah menyerupai kita. Karena kita sadar, hanya Dia-lah yang bisa menolong dan menyelamatkan kita dari keterpurukan dan kelemahan serta kesempitan hidup.

Namun di dikala kesuksesan, kelapangan, kejayaan dan keberuntungan menyapa kita, seperti; popularitas di puncak, duduk di dingklik jabatan, asset bertebaran di mana-mana, kekayaan berlimpah, badan sehat bugar, perniagaan laku bagus dan harapan tergapai dan yang senada dengan itu. Kala kejayaan menaungi kita, Allah Swt pun kita lupakan. Karena kita merasa bahwa semua kesuksesan itu lahir dari perjuangan dan kecerdasan kita sendiri dan tak ada campur tangan Allah Swt. Padahal bila Dia tidak membantu dan merestui kita, maka semua itu akan menjauh dari kita. Sehebat dan sekuat apapun kita.
Abu Darda’ juga mendorong kita untuk selalu berada di ruang atau majlis ilmu pengetahuan. Entah itu sebagai pentransfer ilmu yang dimiliki, atau sebagai pelajar atau sebagai pendengar nasihat. Karena hanya dengan ilmu, arah petunjuk jalan menuju Allah dan puncak penghambaan diri kepada-Nya menjadi terperinci benderang. Tanpa ilmu, maka jalan menuju ke sana menjadi gelap, tak tentu arah. Pada balasannya kita akan tersesat jalan dan terlempar ke jurang kehinaan.

Sa’id bin Musayyib rahimahullah, ulama tabi’in senior yang mempunyai santri ribuan, ia biasa menghadiri majlis ilmu ulama lain. Tujuan semoga ia terbiasa mendengarkan hikmah dari orang lain dan mendapatkan pahala menghadiri majlis ilmu.

Menjadikan masjid sebagai daerah tinggal kita, maknanya yaitu hati kita senantiasa terpaut dan terikat dengan masjid. Rindu untuk selalu berdekatan dan bermunajat kepada Allah Swt. Orang yang hatinya selalu tergantung di masjid, merupakan satu dari tujuh golongan yang akan mendapat naungan Allah Swt pada hari kiamat, sebagaimana yang pernah disabdakan Nabi saw.

Nasihat terakhir dari sahabat agung ini yaitu semoga kita tidak menimbulkan rumah kita sebagai kuburan. Tiada cahaya al Qur’an di sana. Tidak ditunaikan shalat-shalat sunnah di sana. Tiada majlis ilmu di dalamnya. Tiada nilai-nilai tarbiyah yang kita tularkan pada anak dan istri kita dan seterusnya.

Rasulullah Saw pernah berpesan, “Apabila salah seorang di antara kau selasai melakukan shalat (fardhu) di masjidnya, maka sisakanlah sebagian shalat yang lain (sunnah) di rumahnya, alasannya bahwasanya Allah menimbulkan sebagian shalat yang ditunaikan di rumahnya sebagai suatu kebaikan.” HR. Muslim.

Sumber http://mawasangka-bagea.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "Untaian Mutiara Dari Bubuk Darda’"

Posting Komentar