Barangkali, tidak banyak yang tahu atau menyadari bahwa tanggal 22 Maret 2012 yang kemudian masyarakat dunia memperingati Hari Air Dunia atau World Water Day. Secara internasional, peringatan Hari Air Dunia tahun ini mengambil tema Water and Food Security atau Air dan Ketahanan Pangan. Di Indonesia, tema yang diusung ialah Ketahanan Air dan Pangan. Agak menyerupai memang, namun peringatan Hari Air Dunia di Indonesia lebih menekankan pada aspek airnya. Pemilihan tema ini tentu bukan tanpa alasan. Hal ini lantaran didasari rendahnya kualitas air, khususnya air minum di Indonesia. Hingga ketika ini, air memang masih menyisakan banyak sekali permasalahan yang cukup pelik. Padahal dengan curah hujan yang mencapai rata-rata 2.779 milimeter per tahun, Indonesia seharusnya bisa menjadi negara yang kaya air. Namun sayangnya, 66 % dari air hujan tersebut justru berubah menjadi tragedi banjir dan tanah longsor yang menyengsarakan rakyat.
Ini bisa terjadi lantaran 66 % air hujan itu tidak bisa diserap bumi tapi secara pribadi melimpas mencari dataran yang lebih rendah, akhir rusaknya lingkungan hidup. Tanah terbuka hijau yang berfungsi untuk menyerap limpahan air telah bermetamorfosis menjadi gedung-gedung yang angkuh. Jalanan tertutup aspal dan semen beton. Tidak menyisakan ruang untuk perembesan air. Akibatnya, ketika demam isu penghujan tiba sejumlah wilayah dilanda tragedi banjir. Dan ketika demam isu kemarau tiba, negara yang kaya air ini pun kekurangan air. Sungguh sangat ironis!
Ketersediaan Air Bersih
Tersedianya air higienis di negeri yang kaya air ini pun menjadi sebuah permasalahan yang tak pernah tertuntaskan. Langkanya air higienis ini makin diperunyam oleh penguasaan sumber daya air dalam negeri oleh perusahaan besar pemilik modal abnormal (private capital). Bahkan penguasaan sumber daya air itu oleh perusahaan abnormal telah mencapai 80 %. Jelas keadaan ini melanggar konstitusi, yaitu pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Tafsir konstitusi menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan diberikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakya. Dikuasai berarti harus dimiliki dan tidak termasuk ke dalam private capital, dan seharusnya masuk kategori state capital.
Dengan penguasaan 80 % sumber daya air oleh pemodal abnormal merupakan suatu pelanggaran konstitusi. Dengan dikuasainya air oleh private capital, masyarakat semakin termarjinalkan oleh pemerintahannya sendiri. Pemerintah tidak menjalankan fungsinya dengan baik dalam melaksanakan amanat konstitusi sehingga tidak menunjukkan jaminan hak atas air di negeri ini. Tidak hanya di Pulau Jawa, hampir di seluruh penjuru negeri praktek menyerupai ini sudah dilakukan secara berjamaah.
Bila dilihat 13 tahun belakangan ini, masyarakat telah dipaksa untuk menikmati air dengan harga yang sangat mahal. Seharusnya rakyat sanggup mendapatkan sumber daya air secara gratis dan itu semua negaralah yang memfasilitasi. Karena itu, kita mengharapkan biar pemerintah kembali kepada amanah konstitusi dengan cara merevisi hukum mengenai privatisasi modal abnormal di sektor air. Untuk itu pelaksanaannya harus diberikan sebesar-besarnya bagi rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33.
Defisit Air Bersih
Meski potensi air tawar di Indonesia masih cukup tinggi yaitu mencapai 1.957 miliar meter kubik per tahun atau 8.223 meter kubik per kapita per tahun, namun belum semua masyarakat sanggup mengakses air bersih. Saat ini gres 66 % dari kebutuhan air di Pulau Jawa pada demam isu kemarau yang mencapai 38,4 miliar per meter kubik yang sanggup diberikan. Kebutuhan air secara nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa lantaran 65 % penduduk Indonesia atau sebanyak 148 juta jiwa bermukim di Pulau Jawa.
Untuk skala Pulau Jawa, pada 1930 potensi sumber daya air mencapai 4.760 meter kubik per kapita per tahun. Pada periode 1930 hingga 2000 terjadi penurunan potensi sumber daya air yang mencapai 70 %. Diperkirakan, pada 2015 potensi sumber daya air di Pulau Jawa hanya sekitar 450 meter kubik per kapita per tahun, dan akan semakin menipis pada 2025 yang diperkirakan hanya sekitar 320 meter kubik per kapita per tahun.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Pulau Jawa pada tahun 2025 akan mencapai 181,5 juta jiwa, sedangkan batas maksimal ialah 90,75 juta jiwa. Dengan demikian diperkirakan hanya separuh penduduk di Pulau Jawa yang menerima pasokan air besih.
Untuk wilayah DKI Jakarta, kebutuhan air higienis pada 2025 nanti diperkirakan mencapai 41,6 liter per detik. Artinya, pada 2025 Jakarta akan mengalami defisit air higienis 23.729 liter per detik. Karenanya pemerintah harus segera mencari sumber-sumber air gres di Jakarta. Ketersediaan sumber air di Jakarta ketika ini hanya bisa memasok 2,2 persen dari kebutuhan air higienis warganya.
Padahal jikalau melihat kota besar lainnya di Asia Tenggara, menyerupai di Kuala Lumpur, Singapura, Bangkok, atau Hongkong, pemerintahnya telah bisa menyediakan cadangan air baku hampir 99 %. Khusus Singapura, dengan teknologi canggih yang dimilikinya telah bisa mengubah air maritim menjadi iar tawar dalam volume besar, sehingga sanggup mencukupi kebutuhan warganya.
Saat ini di Jakarta, total beban populasi yang harus terlayani air higienis sebanyak 12,5 juta jiwa dari 9,6 juta penduduk yang terdaftar. Dari jumlah itu, pihak perusaan air minum perpipaan gres bisa memasok air higienis untuk 4,2 juta jiwa atau 44 % warga Jakarta. Diperkirakan 5,37 juta jiwa warga Jakarta masih memakai sumber air tanah dari sumur dangkal dan dalam. Pemerintah pun dituntut sesegera mungkin mencari sumber-sumber air baru, khususnya dari dalam Jakarta. Karena selama ini kebutuhan air di Jakarta sebanyak 95 % diambil dari luar DKI Jakarta.
Permasalahan ketersediaan air higienis di Jakarta ini merupakan citra permasalahan kota-kota besar lainnya di Indonesia, terutama yang posisinya di pesisir pantai, menyerupai Semarang, Surabaya, Ambon, Padang, dan Medan. Khususnya bagi masyarakat yang tempat tinggalnya sangat erat dengan bibir pantai, abarasi air maritim dan resapan air asin yang mencapai rumah-rumah penduduk, menciptakan kualitas air higienis sangat berkurang. Air maritim yang bercampur dengan air tanah menciptakan rasanya asin dan kelat, sangat tidak memenuhi standar kesehatan untuk dijadikan air minum. Bila permasalahan air ini tidak ditangani dengan serius, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, bukan mustahil di kemudian hari Indonesia akan kesulitan memperoleh air bersih.
Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah tempat di Indonesia diharapkan melaksanakan banyak sekali upaya untuk mendapatkan sumber air bersih. Mengandalkan air higienis yang berasal dari sumber mata air, tentu sangat sulit. Apalagi sumber mata air kebanyakan sekarang telah dikuasai oleh perusahaan air kemasan atau botolan.
Ada cara sederhana yang sanggup ditempuh oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Misalnya menerapkan sistem eco drain atau dengan sebanyak-banyaknya menyimpan air bekas yang dihasilkan oleh warga perkotaan pada suatu tempat penyimpanan. Dengan perkembangan teknologi yang ada ketika ini, air bekas yang mengalir di drainase dan sungai-sungai di perkotaan sanggup diolah kembali dan sanggup dijadikan air besih.
Air Bagi Kehidupan
Keberadaan air memang begitu vital bagi kehidupan, khususnya bagi manusia. Statistik mencatat, bahwa setiap orang minum sekitar 2 hingga 4 liter air setiap hari. Selain kebutuhan utama untuk minum, air juga banyak dibutuhkan insan untuk menghasilkan materi makanan.
United Nation Water (UNW) menyebutkan, dalam proses mendapatkan setiap 1 kg daging, dibutuhkan 15. 000 liter air. Dan dari setiap kg gandum membutuhkan air sedikitnya 1.500 liter. Menurut World Water Council, pada 2020 penggunaan air diperkirakan akan meningkat sebesar 40 % dan 17 % air akan dibutuhkan untuk produksi pangan guna memenuhi kebutuhan dari pertumbuhan populasi. Demikian pula untuk memproduksi barang-barang industri, air menjadi salah satu materi baku yang sangat dibutuhkan.
WHO mencatat, 884 juta orang di seluruh dunia tidak mempunyai saluran terhadap air bersih, termasuk di Indonesia. Dampaknya pun cukup besar. Tercatat, hampir 1,5 juta anak di dunia meninggal setiap tahun akhir air yang tercamar. Berdasarkan data yang dimiliki WHO, sebanyak 1.500 kiloliter kubik lebih air limbah diproduksi dunia. Ironisnya, di negara-negara berkembang, menyerupai di Indonesia, lebih dari 80 % air limbah tersebut tidak didaur ulang. Padahal, sejatinya air limbah bisa dimanfaatkan untuk sumber energi dan keperluan irigasi.
Kualitas air di Indonesia, khususnya di tempat perkotaan, sungguh memprihatinkan. Sungai-sungai di Indonesia, menyerupai sungai Ciliwung di Jakarta dan sungai Citarum di Jawa Barat tercatat dalam jajaran sungai paling terkontaminasi di dunia. Keadaan ini tentu sangat disayangkan, mengingat sungai merupakan salah satu sumber air baku. Pencemaran air tawar (air minum) menjadi problem bagi sekitar setengah dari pupulasi dunia. Setiap tahun ada sekitar 250 juta kasus penyakit yang berafiliasi dengan air, dengan kira-kira 5 hingga 10 juta kematian.
Dengan banyak sekali permasalahan tersebut, dibutuhkan adanya kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk gotong royong melestarikan sumber daya air secara berkelanjutan, yang tentunya harus melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Momentum Hari Air Dunia harus bisa meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya air sebagai sumber kehidupan manusia. Karena dengan menjaga kualitas air, keberlangsungan hidup insan di dunia ini akan selalu terjaga. Sumber http://mawasangka-bagea.blogspot.com
Ini bisa terjadi lantaran 66 % air hujan itu tidak bisa diserap bumi tapi secara pribadi melimpas mencari dataran yang lebih rendah, akhir rusaknya lingkungan hidup. Tanah terbuka hijau yang berfungsi untuk menyerap limpahan air telah bermetamorfosis menjadi gedung-gedung yang angkuh. Jalanan tertutup aspal dan semen beton. Tidak menyisakan ruang untuk perembesan air. Akibatnya, ketika demam isu penghujan tiba sejumlah wilayah dilanda tragedi banjir. Dan ketika demam isu kemarau tiba, negara yang kaya air ini pun kekurangan air. Sungguh sangat ironis!
Ketersediaan Air Bersih
Tersedianya air higienis di negeri yang kaya air ini pun menjadi sebuah permasalahan yang tak pernah tertuntaskan. Langkanya air higienis ini makin diperunyam oleh penguasaan sumber daya air dalam negeri oleh perusahaan besar pemilik modal abnormal (private capital). Bahkan penguasaan sumber daya air itu oleh perusahaan abnormal telah mencapai 80 %. Jelas keadaan ini melanggar konstitusi, yaitu pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945. Tafsir konstitusi menyatakan bahwa bumi, air, dan kekayaan alam dikuasai negara dan diberikan sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakya. Dikuasai berarti harus dimiliki dan tidak termasuk ke dalam private capital, dan seharusnya masuk kategori state capital.
Dengan penguasaan 80 % sumber daya air oleh pemodal abnormal merupakan suatu pelanggaran konstitusi. Dengan dikuasainya air oleh private capital, masyarakat semakin termarjinalkan oleh pemerintahannya sendiri. Pemerintah tidak menjalankan fungsinya dengan baik dalam melaksanakan amanat konstitusi sehingga tidak menunjukkan jaminan hak atas air di negeri ini. Tidak hanya di Pulau Jawa, hampir di seluruh penjuru negeri praktek menyerupai ini sudah dilakukan secara berjamaah.
Bila dilihat 13 tahun belakangan ini, masyarakat telah dipaksa untuk menikmati air dengan harga yang sangat mahal. Seharusnya rakyat sanggup mendapatkan sumber daya air secara gratis dan itu semua negaralah yang memfasilitasi. Karena itu, kita mengharapkan biar pemerintah kembali kepada amanah konstitusi dengan cara merevisi hukum mengenai privatisasi modal abnormal di sektor air. Untuk itu pelaksanaannya harus diberikan sebesar-besarnya bagi rakyat sesuai dengan Undang-Undang Dasar 1945 pasal 33.
Defisit Air Bersih
Meski potensi air tawar di Indonesia masih cukup tinggi yaitu mencapai 1.957 miliar meter kubik per tahun atau 8.223 meter kubik per kapita per tahun, namun belum semua masyarakat sanggup mengakses air bersih. Saat ini gres 66 % dari kebutuhan air di Pulau Jawa pada demam isu kemarau yang mencapai 38,4 miliar per meter kubik yang sanggup diberikan. Kebutuhan air secara nasional masih terkonsentrasi di Pulau Jawa lantaran 65 % penduduk Indonesia atau sebanyak 148 juta jiwa bermukim di Pulau Jawa.
Untuk skala Pulau Jawa, pada 1930 potensi sumber daya air mencapai 4.760 meter kubik per kapita per tahun. Pada periode 1930 hingga 2000 terjadi penurunan potensi sumber daya air yang mencapai 70 %. Diperkirakan, pada 2015 potensi sumber daya air di Pulau Jawa hanya sekitar 450 meter kubik per kapita per tahun, dan akan semakin menipis pada 2025 yang diperkirakan hanya sekitar 320 meter kubik per kapita per tahun.
Berdasarkan data Biro Pusat Statistik (BPS), jumlah penduduk di Pulau Jawa pada tahun 2025 akan mencapai 181,5 juta jiwa, sedangkan batas maksimal ialah 90,75 juta jiwa. Dengan demikian diperkirakan hanya separuh penduduk di Pulau Jawa yang menerima pasokan air besih.
Untuk wilayah DKI Jakarta, kebutuhan air higienis pada 2025 nanti diperkirakan mencapai 41,6 liter per detik. Artinya, pada 2025 Jakarta akan mengalami defisit air higienis 23.729 liter per detik. Karenanya pemerintah harus segera mencari sumber-sumber air gres di Jakarta. Ketersediaan sumber air di Jakarta ketika ini hanya bisa memasok 2,2 persen dari kebutuhan air higienis warganya.
Padahal jikalau melihat kota besar lainnya di Asia Tenggara, menyerupai di Kuala Lumpur, Singapura, Bangkok, atau Hongkong, pemerintahnya telah bisa menyediakan cadangan air baku hampir 99 %. Khusus Singapura, dengan teknologi canggih yang dimilikinya telah bisa mengubah air maritim menjadi iar tawar dalam volume besar, sehingga sanggup mencukupi kebutuhan warganya.
Saat ini di Jakarta, total beban populasi yang harus terlayani air higienis sebanyak 12,5 juta jiwa dari 9,6 juta penduduk yang terdaftar. Dari jumlah itu, pihak perusaan air minum perpipaan gres bisa memasok air higienis untuk 4,2 juta jiwa atau 44 % warga Jakarta. Diperkirakan 5,37 juta jiwa warga Jakarta masih memakai sumber air tanah dari sumur dangkal dan dalam. Pemerintah pun dituntut sesegera mungkin mencari sumber-sumber air baru, khususnya dari dalam Jakarta. Karena selama ini kebutuhan air di Jakarta sebanyak 95 % diambil dari luar DKI Jakarta.
Permasalahan ketersediaan air higienis di Jakarta ini merupakan citra permasalahan kota-kota besar lainnya di Indonesia, terutama yang posisinya di pesisir pantai, menyerupai Semarang, Surabaya, Ambon, Padang, dan Medan. Khususnya bagi masyarakat yang tempat tinggalnya sangat erat dengan bibir pantai, abarasi air maritim dan resapan air asin yang mencapai rumah-rumah penduduk, menciptakan kualitas air higienis sangat berkurang. Air maritim yang bercampur dengan air tanah menciptakan rasanya asin dan kelat, sangat tidak memenuhi standar kesehatan untuk dijadikan air minum. Bila permasalahan air ini tidak ditangani dengan serius, baik oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah, bukan mustahil di kemudian hari Indonesia akan kesulitan memperoleh air bersih.
Pemerintah DKI Jakarta dan pemerintah tempat di Indonesia diharapkan melaksanakan banyak sekali upaya untuk mendapatkan sumber air bersih. Mengandalkan air higienis yang berasal dari sumber mata air, tentu sangat sulit. Apalagi sumber mata air kebanyakan sekarang telah dikuasai oleh perusahaan air kemasan atau botolan.
Ada cara sederhana yang sanggup ditempuh oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Misalnya menerapkan sistem eco drain atau dengan sebanyak-banyaknya menyimpan air bekas yang dihasilkan oleh warga perkotaan pada suatu tempat penyimpanan. Dengan perkembangan teknologi yang ada ketika ini, air bekas yang mengalir di drainase dan sungai-sungai di perkotaan sanggup diolah kembali dan sanggup dijadikan air besih.
Air Bagi Kehidupan
Keberadaan air memang begitu vital bagi kehidupan, khususnya bagi manusia. Statistik mencatat, bahwa setiap orang minum sekitar 2 hingga 4 liter air setiap hari. Selain kebutuhan utama untuk minum, air juga banyak dibutuhkan insan untuk menghasilkan materi makanan.
United Nation Water (UNW) menyebutkan, dalam proses mendapatkan setiap 1 kg daging, dibutuhkan 15. 000 liter air. Dan dari setiap kg gandum membutuhkan air sedikitnya 1.500 liter. Menurut World Water Council, pada 2020 penggunaan air diperkirakan akan meningkat sebesar 40 % dan 17 % air akan dibutuhkan untuk produksi pangan guna memenuhi kebutuhan dari pertumbuhan populasi. Demikian pula untuk memproduksi barang-barang industri, air menjadi salah satu materi baku yang sangat dibutuhkan.
WHO mencatat, 884 juta orang di seluruh dunia tidak mempunyai saluran terhadap air bersih, termasuk di Indonesia. Dampaknya pun cukup besar. Tercatat, hampir 1,5 juta anak di dunia meninggal setiap tahun akhir air yang tercamar. Berdasarkan data yang dimiliki WHO, sebanyak 1.500 kiloliter kubik lebih air limbah diproduksi dunia. Ironisnya, di negara-negara berkembang, menyerupai di Indonesia, lebih dari 80 % air limbah tersebut tidak didaur ulang. Padahal, sejatinya air limbah bisa dimanfaatkan untuk sumber energi dan keperluan irigasi.
Kualitas air di Indonesia, khususnya di tempat perkotaan, sungguh memprihatinkan. Sungai-sungai di Indonesia, menyerupai sungai Ciliwung di Jakarta dan sungai Citarum di Jawa Barat tercatat dalam jajaran sungai paling terkontaminasi di dunia. Keadaan ini tentu sangat disayangkan, mengingat sungai merupakan salah satu sumber air baku. Pencemaran air tawar (air minum) menjadi problem bagi sekitar setengah dari pupulasi dunia. Setiap tahun ada sekitar 250 juta kasus penyakit yang berafiliasi dengan air, dengan kira-kira 5 hingga 10 juta kematian.
Dengan banyak sekali permasalahan tersebut, dibutuhkan adanya kesadaran dan kepedulian masyarakat untuk gotong royong melestarikan sumber daya air secara berkelanjutan, yang tentunya harus melibatkan semua pihak, baik pemerintah maupun masyarakat. Momentum Hari Air Dunia harus bisa meningkatkan kesadaran kita akan pentingnya air sebagai sumber kehidupan manusia. Karena dengan menjaga kualitas air, keberlangsungan hidup insan di dunia ini akan selalu terjaga. Sumber http://mawasangka-bagea.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "Air Sebagai Sumber Kehidupan"
Posting Komentar