√ Kami Tidak Perlu Scopus!

Saya tahu judul “Kami Tidak Perlu Scopus!” memang provokatif. Tapi saya berusaha untuk tidak vulgar.


Di Indonesia, Scopus dan WoS telah diposisikan melebihi porsi layanan yang mereka berikan. Kalau memang tujuan dari mendaftarkan seminar/konferensi ialah supaya makalah lebih gampang dicari, maka apakah tidak ada layanan lain yang lebih ekonomis? Dan bila memang itu tujuannya, mengapa goresan pena “indexed by Scopus” lebih sering dipertanyakan dibandingkan substansi seminarnya?


Kalau oke beri tahu kawan, jika tidak setuju, silahkan anda menciptakan blog post tandingan atau tuliskan pendapat anda di kolom komentar. Mari kita budayakan saling me-review untuk bidang sains, bukan hanya bidang sospol saja.


It’s been a long history of high cost conference in Indonesia, due to unnecessary cost, eg: scopus indexing fee. The problem is, Indonesian higher edu system adopts conventional research impact metric, eg: IF, Scopus/WoS index. So ID academia are chasing journals and conferences with scopus indexing attached in the publishing system. Although ID journals offer zero to 100 usd for APC (very cheap), but the cost for scopus indexed confs are 200-500 usd. It doesn’t include accomodation! So we’re trying to design a low cost conference, crowdsourced, transboundary and virtual conference.


For such goal, we’re gonna use the following services: @ORCID_Org@OSFramework preprint, Youtube, sosmed (Twitter, FB, G+ etc) and @Impactstory. All data, codes, video, slides will be CC-BY and indexed by Google Scholar. We’re gonna make this a low cost, easy, and widely disseminated conference. It’s from Indonesian, by Indonesian and for Indonesian academia.


Kalau memang tujuan dari mendaftarkan seminar/konferensi ialah supaya makalah lebih gampang dicari, maka apakah tidak ada layanan lain yang lebih ekonomis? Dan bila memang itu tujuannya, mengapa goresan pena “indexed by Scopus” lebih sering dipertanyakan dibandingkan substansi seminarnya?


Jadi latar belakang dari acara ini (Indonesian Open Con 2017) adalah:



  1. bahwa konferensi kini telah menjadi ladang mencari uang. Ini bukan hanya dari sisi Scopusnya saja, tapi juga dari EO. Banyak sekali pengeluaran-pengeluaran yang tidak perlu. Pengadaan program di hotel-hotel lux, paket-paket wisata dan yang sejenisnya.

  2. hal-hal no 1 yang tidak esensi menciptakan biaya konferensi membengkak, biasanya merangkak naik dari Rp.2 juta hingga Rp.5 juta. Angka Rp.1,5 juta saya ambil sebagai angka psikologis seseorang untuk sanggup mengeluarkan biaya konferensi dengan gampang dari uang pribadi sekalipun,

  3. esensi dari konferensi ialah a) penyebaran ilmu seluas-luasnya, b) berinteraksi dengan sesama peneliti, c) saling memperlihatkan feedback. Kalau ketiganya sanggup dilakukan dengan cara lain, kenapa kita harus memakai satu cara saja.

  4. Jadi buat apa membuang dana untuk hal-hal yang tidak perlu. Lebih baik uangnya digunakan untuk acara riset yang lebih bermanfaat.

  5. Lagipula untuk bila ingin mempublikasikan riset secara gratis tapi tetap openaccess, maka banyak jurnal-jurnal terbitan Indonesia yang melaksanakan hal itu. Tetapi open access(gratis untuk pembaca) tapi tidak menarik APC atau menarik APC dengan nominal murah bahkan sangat murah.


Jadi opencon ini (open conference) ini mencoba memperlihatkan layanan itu. Dari kita, untuk kita, oleh kita. Kata-kata “con” sendiri sudah menjadi abreviasi generik untuk “conference”. Kalau anda punya twitter niscaya tidak asing, sebab tiap konferensi biasanya mempunyai akun twitter khusus dan memakai tagar khusus (hashtags).


Mengenai biaya konferensi, beberapa konferensi di Indonesia dan beberapa konferensi lain berdasarkan saya sanggup ditiru, terindeks scopus tapi biaya rendah, Rp.1,5 juta hingga Rp.2 juta. Saya melihat scopus bukan ibarat orang lain ya. Dia hanya sebagai outlet saja, sama ibarat Google Scholar.


Kembali ke biaya konferensi kedokteran di Indonesia, biaya tersebut masih sanggup diturunkan, bila kita mengurangi atau menghilangkan biaya makan siang dll. Bagi anda yang pernah hadir di konferensi di Eropa atau Amerika, makan siang, ialah barang mahal dan hampir tidak pernah disediakan secara gratis. Yang gratis biasanya “coffee break” atau “beer break”, atau “champagne break”.


Nah konsep #ID_opencon ini ialah menyelenggarakan seminar dengan biaya rendah, publikasi intensif, dengan memakai aneka macam layanan saintifik yang terintegrasi secara gratis, serta kreatifitasi penulis di bidang multimedia. Icon-icon yang saya gambarkan dalam denah di atas ialah layanan gratis yang tersedia dikala ini dan banyak digunakan oleh para akademia.


Dalam teknis penyelenggaraannya, konferensi ini sanggup dual mode:



  1. mode konvensional dengan tatap muka, atau

  2. mode virtual (seperti yang saya sampaikan dalam diagram).


Dengan mode konvensional, masih dibutuhkan ada biaya fasilitas plus biaya coffee break saja, sebab biaya ruangan sanggup ditekan, di kampus saja. Bila perlu coffee break dihapus biayanya, sebab sanggup break dengan membawa kopi sendiri kan.


Perbedaan yang lain ialah penyampaian makalahnya. Pada mode konvensional tentunya presentasi masih dilakukan secara pribadi (plus direkam untuk lalu diunggah ke Youtube), sedangkan pada mode virtual, seluruh presentasi direkam dan diunggah di Youtube. Bedanya kedua mode itu hanya ada di situ. Di komponen yang lain, platform untuk publikasi makalahnya, indexingnya akan sama. Platform publikasi memakai OSF preprint dan indexing oleh Google Scholar.


Kenapa saya menekankan model sains openscience ini, sebab sebagai saintis, saya melihat sering melupakan persoalan diseminasi dan promosi. Inginnya sehabis menulis makalah lalu dibaca orang disitasi. Kita semua harus ingat bahwa sitasi tidak turun dari langit. Itu semua perlu promosi.


Bila anda punya akun twitter, maka akan sangat jamak anda menemukan akun seorang profesor atau assoc profesor yang aktif mengembangkan aneka macam ilmu yang telah beliau tulis, atau telah ditulis oleh rekan-rekannya yang lain. Tidak percaya? Mulailah “twitteran”. Fungsi medsos untuk sains sangat nampak di twitter yang tidak sanggup dilawan oleh medsos lainnya. Di instagram, saya sering juga melihat akun peneliti yang memajang risetnya, eksperimennya, bukan hanya foto-fotonya sendiri.


Komponen penyimpanan makalah akan ditangani oleh OSF preprint (OSF=Open Science Framework). Ini organisasi not for profit yang menyediakan hosting daring makalah ilmiah secara gratis. Seluruh makalah yang masuk ke dalam sistem mereka sudah niscaya diindeks oleh Google Scholar. Ini menjadi cerminan juga, bahwa di luar negeri saja, OSF bermarkas di Virginia USA, para peneliti ingin barang yang “gratisan”. Sementara kita yang masih mempunyai dana terbatas kok ingin lux dengan aneka macam servis berbayar (termasuk Scopus).


Mengenai Scopus, saya perlu memperlihatkan penjelasan. Scopus ialah perusahaan komersial (anak perusahaan grup raksasa Elsevier). Fungsinya ialah mendata makalah yang didaftarkan, memasukkannya ke dalam dbase mereka, dan memastikan makalah itu muncul dalam pencarian daring (online). Fungsi-fungsi yang persis sama, diberikan oleh Google Scholar dan Microsoft Academic tanpa dipungut biaya. Lantas mengapa kita mengeluarkan biaya lebih untuk itu? Mengenai asal-usul kita mengadopsi referensi Scopus dll tidak perlu dipertanyakan. Yang penting kini bagaimana kita, kelompok peneliti pemula (dalam Bahasa Inggris biaya disebut sebagai early career researcher), sanggup memperjuangkan kontrol kita terhadap hasil riset serta menekan biaya publikasi, serta meningkatkan efek riset.


Tidak sanggup instan memang tapi jika kita tidak berjuang, siapa lagi? Ikuti konferensi terindeks Scopus atau kirim makalah ke jurnal terindeks Scopus, tapi lakukan itu secukupnya saja. Satu atau dua makalah per tahun saya pikir cukup. Cari lokasi konferensi yang akrab dengan lokasi riset supaya tidak perlu bayar fasilitas dll.


Demikian wangsit saya. Setelah mendengar ini, saya maklum jika tidak berminat melanjutkan ini.


Kalau memang tujuan dari mendaftarkan seminar/konferensi ialah supaya makalah lebih gampang dicari, maka apakah tidak ada layanan lain yang lebih ekonomis? Dan bila memang itu tujuannya, mengapa goresan pena “indexed by Scopus” lebih sering dipertanyakan dibandingkan substansi seminarnya?


Banyak yang bertanya kepada saya atau mengkritik. Tidak hanya satu dua orang, dari aneka macam level keilmuan dan jabatan. Saya sengaja mengingatnya untuk melihat variasi responnya:



  1. Kalau kebetulan terindeks Scopus/WoS lantas apakah menciptakan panitia dan seminar jadi salah? Salahnya atau masalahnya ada di mana?

  2. Scopus/WoS kan memang tidak menjadi kualitas makalah, jadi tidak perlu dibesar-besarkan lah. Kebetulan saja ibarat itu.

  3. Bukankah semua melakukan? Lantas salah panitia di mana?

  4. Tahun-tahun sebelumnya dengan harga segitu banyak yang daftar kok, kenapa tahun ini dimasalahkan?

  5. Bukankah itu yang diminta pemerintah (baca: Kemristekdikti)?


Anda memang terus akan bertanya, kenapa Scopus/WoS terus-terusan dipermasalahkan, sebab anda bukan salah satu dari golongan berikut:



  1. Mahasiswa S3 yang syarat lulusnya ialah makalah dalam jurnal terindeks Scopus atau Q-Q an, tapi tanpa bimbingan dan instruksi yang benar dari pembimbingnya.

  2. Mahasiswa S3 yang dananya terbatas dan hanya memahami bahwa satu-satunya cara supaya makalahnya sanggup terbit di media ilmiah ialah dengan membayar sejumlah uang kepada penerbit (baca: APC, article processing cost).

  3. Dosen yang sedang menyusun tawaran kenaikan jabatan, yang pemahamannya wacana jurnal sama dengan golongan ke-1 dan ke-2.

  4. Dosen yang bahkan masih resah akan memulai dari mana? Ia bahkan tidak tahu bahwa Kemristekdikti setiap tahun telah meluncurkan dana riset ratusan milyaran.

  5. Dosen yang masih berpikir bahwa Scopus semacam sertifikasi yang menjadi potongan baku dalam menerbitkan jurnal atau prosiding seminar.


Semoga bermanfaat ..


*Sumber : dasaptaerwin.net



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Kami Tidak Perlu Scopus!"

Posting Komentar