Selama ini terdapat perkiraan masyarakat Indonesia bahwa menjadi dokter berarti hidup mapan, sehingga demam isu untuk menjadi dokter tinggi. Karena banyak peminatnya, maka menjamurlah fakultas kedokteran (FK) di banyak sekali tempat. Sebetulnya, apa iya menjadi dokter niscaya mapan? Artikel ini mencoba mengulas pandangan tersebut dan mungkin bisa jadi acuan calon dokter atau orangtua yang ingin anaknya menjadi dokter.
Program pendidikan dokter dikala ini merupakan jadwal studi yang paling menyedot biaya. Sebuah surat kabar pernah menuliskan bahwa biaya menempuh pendidikan kedokteran selama 6-7 tahun di FK Swasta bisa menghabiskan biaya 1-1,5 Milyar. Biaya pendidikan kedokteran mahal sebab cabang ilmu kedokteran ada banyak, sehingga dosennya pun banyak. Selain untuk membiayai sumber daya insan yang mengajar, uang tersebut juga untuk membiayai barang habis pakai yang dipakai dikala praktikum.
Kuantitas tidak selalu berbanding lurus dengan kualitas. Meski FK gres terus bermunculan, namun kualitasnya masih menjadi pekerjaan rumah yang perlu diselesaikan. Kini dari 75 Fakultas Kedokteran di Indonesia, hampir setengahnya mempunyai nilai pengakuan C, yang berarti memerlukan banyak perbaikan biar pendidikannya menjadi ideal. Walau dari segi jumlah FK dikala ini memadai, tahun ini pemerintah mengizinkan berdirinya 8 FK baru, padahal 5 diantaranya bahwasanya tidak direkomendasikan. Kuantitas dan komersialisasi FK lebih didahulukan ketimbang meningkatkan kualitas tempat pendidikan. Hal ini harus dicermati sehingga para peminat tidak masuk ke dalam jeratan mahalnya biaya pendidikan tanpa diikuti kualitas yang baik. Dalam memilih, pastikan FK yang yang dituju mempunyai rekam jejak dan pengakuan yang baik.
Selain soal kualitas, problem sistem pendidikan dan kurikulum kedokteran juga menarik untuk ditinjau. Sejak tahun 2000 Indonesia mulai mengadopsi jadwal pendidikan kedokteran berbasis kompetensi atau problem based learning (PBL). Melalui jadwal ini, porsi perkuliahan satu arah (dosen mengajarkan bahan perkulihan) dikurangi dan porsi diskusi untuk menggali permasalahan yang akan dihadapi siswa kedokteran diperbanyak. Menurut Harsono (2004) Problem-Based Learning menekankan active student center learning (AASCL), yakni para mahasiswa ditantang untuk menguji, mencari, menyelidiki, merefleksikan, memahami makna, serta memahami ilmu dalam konteks yang relevan dengan profesi mereka di masa datang
Sekilas sistem tersebut tampak baik sebab mengedepankan keaktifan mahasiswa dalam belajar, namun aplikasinya di Indonesia tak lepas dari masalah. Salah satu masalahnya ialah jumlah fasilitator/dosen untuk memandu diskusi dan menggali permasalahan di fakultas kedokteran masih kurang. Perbandingan jumlah fasilitator dan mahasiswa masih tidak berimbang, sehingga satu fasilitator yang seharusnya membimbing belasan, kini harus membimbing puluhan bahkan ratusan calon dokter. Situasi yang tidak aman ini diperburuk oleh masukan mahasiswa kedokteran yang mungkin kurang termotivasi untuk belajar, sehingga memunculkan masalah untuk sanggup lulus sebagai sarjana kedokteran.
Setelah lulus sebagai sarjana kedokteran, mahasiswa kedokteran harus melanjutkan ke tahapan pendidikan profesi sebagai koass (dokter muda). Dulu mereka masih diperkenankan mengelola pasien, kini koass tidak lagi diperbolehkan mengelola pasien sebab banyak sekali alasan. Bahkan kini, sehabis resmi lulus menjadi seorang dokter umum, kompetensinya dipertanyakan sehingga dokter gres lulus diwajibkan menjalani progam magang (internship) selama setahun. Sebelum berangkat magang pun seorang lulusan dokter perlu menunggu penempatan selama beberapa bulan. Pada masa ini dokter umum belum diperbolehkan untuk praktik sehingga menganggur untuk waktu yang tidak sebentar.
Kalau dihitung-hitung, untuk menjadi seorang dokter di zaman sekarang, waktu yang diharapkan tidak sebentar. Proses yang perlu ditempuh mulai dari pendidikan sarjana kedokteran selama 4 tahun, pendidikan profesi dokter/koass selama 1.5-2 tahun, menunggu internship tanpa boleh praktek selama setengah tahun-an, dan risikonya menjalani internship 1 tahun. Secara keseluruhan dibutuhkan waktu pendidikan 6-7 tahun. Dalam waktu yang sama, seseorang sanggup menempuh pendidikan S2 dengan biaya yang jauh lebih sedikit dibandingkan biaya yang dibutuhkan untuk menempuh pendidikan dokter.
Selain biaya, kualitas, dan durasi pendidikan, problem lainnya ialah beban kerja para dokter di layanan primer. Ketika seorang dokter bekerja di klinik atau puskesmas, beban kerja yang dihadapi besar sebab harus melayani 50-100 pasien dalam sehari. Dokter juga diminta mengadakan penyuluhan untuk mendidik masyarakat wacana kesehatan dan harus menciptakan laporan berkala. Semua terpaksa dilakukan sendiri sebab pemerintah tidak punya anggaran untuk menambah tenaga kesehatan, tenaga administrasi, apalagi tenaga dokter. Problem lainnya berkaitan dengan obat-obatan dan alat kesehatan yang seharusnya ada seringkali tidak tersedia sebab keterbatasan anggaran atau lambatnya birokrasi di kepingan pengadaan.
Di titik inilah saya melihat ada paradoks, walau biaya kuliahnya mahal, waktu belajarnya lama, dan beban kerjanya berat, “pengabdian” dokter dibayar seadanya. Bisa dibilang kebanyakan dokter layanan primer tempat mempunyai pendapatan di bawah supir Transjakarta dikala ini. Karena itu masuk akal jikalau dokter di puskesmas umumnya mempunyai pekerjaan sambilan, praktek pagi, kerja ke puskesmas, praktek malam, nyambi jadi biro asuransi, jual produk kesehatan/kecantikan, dll.
Apa yang terjadi berikutnya lebih memprihatinkan bagi saya, yakni melihat anggaran pemerintah untuk denah Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) membengkak di luar perhitungan semula. Angka rujukan dinilai terlalu tinggi sehingga pembiayaan di akomodasi kesehatan lanjutan (rumah sakit) menjadi terlalu mahal. Untuk itu, dokter umum yang bekerja di layanan primer dianggap bersalah sebab tidak kompeten sehingga banyak merujuk pasien. Ilmu dokter umum di layanan kesehatan primer dianggap kurang sehingga ke depannya diharuskan sekolah lagi sebagai dokter “Spesialis Layanan Primer”. Untuk menuntaskan sekolah ini memerlukan waktu sampai 3 tahun. Pemerintah mengeluarkan bujuk rayu, kalau mau mendapat pendapatan lebih harus mau sekolah lagi. Makara nantinya diharapkan waktu sekitar 10 tahun untuk menjalani pendidikan dokter sampai mereka dinyatakan kompeten dan mapan penghasilannya sebagai “penjaga gawang” di akomodasi kesehatan primer (klinik mandiri/puskesmas).
‘’Sudah jatuh tertimpa tangga’’, itulah kira-kira citra dokter Indonesia dikala ini. Karena kerakusan sekelompok orang, kurikulum usang yang sudah terbukti berhasil mencetak banyak dokter mumpuni, harus diubah sehingga waktu pendidikan bisa dipangkas dan anak didik ditambah. Meski risikonya kualitas lulusannya justru dipertanyakan, kemampuannya diragukan, padahal semuanya merupakan buah dari kebijakan pemerintah sendiri. Rezim terus berganti, tapi sayangnya para pejabat yang berwenang masih mempunyai mentalitas lari dari permasalahan dengan menyalahkan orang lain. Bukannya menciptakan jadwal yang bisa jadi solusi, kebijakan pemerintah melalui Kementerian Kesehatan dengan memaksakan dibuatnya Program Studi Spesialis Dokter Layanan Primer (Sp.DLP) justru berbuntut penolakan keras dari para dokter Indonesia tanggal 24 Oktober 2016 yang lalu. Semoga saja pemerintah mau mendengar apa yang disuarakan oleh dokter-dokter tersebut dan memertimbangkannya kembali.
Pilihan lainnya yang menjanjikan masa depan lebih baik dari segi finansial ialah menjadi dokter spesialis. Untuk menjadi dokter seorang jago di Indonesia tidak gampang sebab tempat pendidikan dan dingklik yang tersedia jauh lebih sedikit dibandingkan dikala mau meraih impian menjadi dokter umum. Kesempatan diterima di jadwal pendidikan seorang jago akan menjadi lebih besar jikalau sudah punya pengalaman bekerja atau sudah menempuh jadwal “pengabdian” di tempat (PTT).
Berbeda dengan negara lainnya di dunia, pendidikan profesi dokter seorang jago di Indonesia ditempatkan di bawah fakultas kedokteran universitas negeri. Dokter kembali berstatus mahasiswa sehingga harus membayar uang masuk, uang bangunan, derma sukarela dan bayar SPP tiap semester. Sistem pendidikan seorang jago di Indonesia merupakan anomali di dunia, sebab semua negara lain, pendidikan seorang jago dikelola eksklusif oleh RS pendidikan (hospital based). Di sana, dokter yang mencar ilmu menjadi seorang seorang jago (residen) tidak perlu bayar apa-apa, namun dibayar untuk pekerjaan yang dilakukan di rumah sakit. Kalau menentukan sekolah di Indonesia, maka perlu menyiapkan dana sekitar 500 juta s/d 1 M sampai selesai sekolah 4 tahun. Karena biaya yang mahal itulah usia rata-rata dokter seorang jago di Indonesia umumnya lebih bau tanah dibandingkan dokter seorang jago di negara lain.
Begitulah kira-kira citra pendidikan dokter di Indonesia. Jika anda masih ingin menjadi dokter, silakan, itu hak anda. Namun siapkan dana, waktu, serta kemauan yang tinggi untuk mau terus belajar. Siapkan juga kesabaran anda untuk mau terus mencar ilmu dikala teman-teman anda sudah produktif bekerja mencari nafkah.
Semoga bermanfaat ..
*Sumber: Dr. Erta Priadi, SpJP | blog.angsamerah
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Dokter Indonesia, Nasibmu Kini"
Posting Komentar