√ Watak Dan Budaya Akademik

Sejatinya, pendidikan tidak hanya bertujuan untuk menyebarkan keilmuan, tetapi juga membentuk kepribadian, kemandirian, keterampilan sosial, dan abjad (Zuchdi, 2010).


Lembaga pendidikan tinggi dalam penyelenggaraan pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan, sudah selayaknya mempunyai komitmen untuk melaksanakan dan mengawal pembentukan abjad bangsa. Pengembangan budaya akademik menjadi titik temu antara upaya pembinaan abjad dengan peningkatan kualitas sebagai hasil dari proses pendidikan tinggi. Karakter merupakan penggalan integral dari budaya akademik,mengingat abjad dibutuhkan dan berpotensi dikembangkan dari setiap acara akademik.


Perguruan tinggi (Universitas), pada dasarnya merupakan ladang daerah lahirnya kader-kader intelektual. Sehingga disinilah nilai-nilai positif menyerupai jujur, cerdas, peduli, tangguh, tanggung jawab, religius dan nilai positif lainnya bisa ditanamkan, terinternalisasi, dan menjadi sebuah budaya dalam upaya membangun tradisi intelektual. Sementara yang lain, lebih mengartikan kampus sebagai daerah untuk beradu fashion, sebagai daerah trendi-trendian, sebagai daerah tebar pesona dan bermain cinta masa muda, dengan kesibukan untuk kian menegaskan gaya hidup gres yang dibuat oleh modernisasi. Tidak heran kalau banyak mahasiswa hanya tiba ke kampus, duduk dan membisu mendengarkan klarifikasi dari dosen kemudian pulang. Mereka lebih nyaman berlama-lama hang-out di mall, menikmati indahnya dunia masa muda dengan semakin menyuburkan sikap hedonis dan konsumtif dalam jiwa mereka.


Lalu, inikah yang disebut “Mahasiswa” yang  tidak lain yaitu golongan tertinggi dari kaum pelajar. Melihat fakta di lapangan, mungkinkah mahasiswa yaitu sosok kaum muda berintelektual yang menghalalkan segala cara untuk hanya mencapai tujuan-tujuan akademik (nilai/ijasah), atau yang memakai bunyi dan pergerakannya dengan apatis dan anarkis, atau yang muda yang hanya berpusat pada kehidupan hedonis dan konsumtif, layaknya cerita-cerita dalam sinetron.


Nyatanya, Itu hanyalah sebagian cermin dari tumpukan cermin-cermin retak yang memantulkan permasalahan bangsa kita terkait dunia kampus dan mahasiswa. Dari masa ke masa, kian beraneka abjad mahasiswa menghiasi bahkan bisa dikatakan mendominasi dinamika pergaulan dunia kampus. Kampus di kala kekinian, tak ubahnya sebagai sentra kebobrokan moral, elitism, antikerakyatan, dan lahan bisnis ala dunia pendidikan. Dunia kampus pun kini telah menjadi korban dari intervensi budaya luar yang penuh kepentingan kapitalistik. Menjadikan mahasiswa lupa bahwa kampus yaitu daerah yang memang dimaksudkan untuk kegiatan akademis dan non-akademis.


Dilihat secara logika, bagaimana bisa mengharapkan adanya output yang berkompeten dan berkarakter kalau di lingkungan pendidikan tersebut seolah tidak pernah menawarkan mainstream untuk itu. Padahal, kalau budaya akademik kampus yang positif bisa diterapkan dengan maksimal, akan bisa mendorong tumbuhnya iklim sosial dan interaksi yang sehat antar civitas akademika. Serta bisa menggali potensi diri para mahasiswa, dan bisa membentuk mereka tidak hanya dari oleh pikir, tapi juga dari olah hati, olah raga, dan olah rasa/karsa.


Atas dasar itulah, bagaimana sinergi etika serta budaya akademik, bagaimana sebuah budaya akademik tercipta dan berjalan di sebuah perguruan tinggi, khususnya perguruan tinggi yang sudah memproklamirkan dirinya sebagai Perguruan Tinggi dengan nilai-nilai pendidikan abjad melalui motto barunya yang bertajuk “Growing with Character”. Tentu, motto tersebut mengandung motivasi yang besar lengan berkuasa untuk melaksanakan perubahan dan perbaikan diri yang mengarah kepada terjadinya peningkatan mutu. Baik secara kualitas intelektual, ataupun dari segi abjad mahasiswa yang dihasilkan.


 



Perguruan tinggi merupakan suatu lingkungan pendidikan tinggi bukan merupakan lingkungan yang eksklusif. Dengan demikian, maka kampus merupakan komunitas atau masyarakat yang tersendiri yang disebut masyarakat akademik (academic community). Di dalam kampus terdapat kegiatan-kegiatan dan tata aturan yang lain dari yang lain. Oleh lantaran itu, kampus menjadi semacam lembaga akademik dan jalinan antarkampus mempunyai suasana yang khas, yaitu suasana akademik (academic atmosphere). Ciri-ciri masyarakat akademik yaitu kritis, objektif, analitis, kreatif dan konstruktif, terbuka untuk mendapatkan kritik, menghargai waktu dan prestasi ilmiah, bebas dari prasangka, kemitraan dialogis, mempunyai dan menjunjung tinggi norma dan susila adademik serta tradisi ilmiah, dinamis, dan berorientasi kemasa depan.


Hak milik yang paling berharga bagi suatu perguruan tinggi yaitu kebebasan, otonomi, dan budaya akademik (academic culture). Budaya akademik sanggup dipahami sebagai suatu totalitas dari kehidupan dan kegiatan akademik yang dihayati, dimaknai dan diamalkan oleh warga masyarakat akademik khususnya di lembaga pendidikan (richoareviant.blogspot.com). Budaya akademik lebih cenderung diarahkan pada budaya kampus (campus culture) yang tidak hanya bertujuan untuk meningkatkan intelektual, tetapi juga kejujuran, kebenaran dan pengabdian kepada kemanusiaan, sehingga secara keseluruhan budaya kampus yaitu budaya dengan nilai-nilai abjad positif.


Nilai-nilai utama abjad inilah yang bergotong-royong menjadi penyokong utama dalam proses terciptanya budaya akademik. Budaya akademik sendiri yaitu budaya universal yang seharusnya dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam acara akademik. Budaya ini seharusnya menempel dalam diri semua insan akademisi perguruaan tinggi, baik itu dosen ataupun mahasiswa. Karena, pada dasarnya budaya akademik juga merujuk pada cara hidup masyarakat ilmiah yang beragam dan multikultural yang bernaung dalam sebuah institusi yang mendasarkan diri pada nilai-nilai kebenaran ilmiah dan objektifitas.


Perbincangan mengenai budaya akademik akan membawa kita pada sebuah kata kunci yang menjadi dasar pijakan untuk pembahasan selanjutnya, yaitu etika atau etik. Istilah Etika berasal dari bahasa Yunani, “ethos” yang artinya cara berpikir, kebiasaan, adat, perasaan, sikap, karakter, watak kesusilaan atau adat. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, ada 3 (tiga) arti yang sanggup digunakan untuk kata Etika, salah satunya yaitu etika sebagai sistem nilai atau sebagai nilai-nilai atau norma-norma moral yang menjadi pedoman bagi seseorang atau kelompok untuk bersikap dan bertindak. Etika juga bisa diartikan sebagai kumpulan azas atau nilai yang berkenaan dengan watak atau moral. Selain itu, Etika bisa juga diartikan sebagai ilmu ihwal yang baik dan yang jelek yang diterima dalam suatu masyarakat, menjadi materi refleksi yang diteliti secara sistematis dan metodis.


Kata-kata etika, etik dan moral merujuk ke duduk kasus baik-buruk, lurus-bengkok, benar-salah dan adanya penyimpangan ataupun pelanggaran praktek tidak lagi disebabkan oleh faktor yang bersifat di luar kendali insan (force majeur), tetapi lebih diakibatkan oleh semakin kurangnya pemahaman etika yang melandasi sikap manusia. Sementara itu banyak orang yang menaruh cita-cita terhadap lembaga pendidikan biar tidak hanya memberi bekal pengetahuan (knowledge) ataupun ketrampilan (skill) saja kepada anak didik, melainkan juga pemahaman dan pembentukan soft skill menyerupai watak, sikap dan sikap (attitude) di dalam kehidupan sehari-hari. Tiga aspek tersebut akhirnya akan menjadi dasar pembentukan dan evaluasi terhadap kompetensi seseorang sebagai hasil dari sebuah proses pendidikan. Istilah etik merupakan istilah-istilah yang mempunyai makna yaitu sebuah pengertian ihwal salah dan benar, atau jelek dan baik. Pernyataan ini harus dipahami sebagai nilai-nilai tradisional yang meskipun terkesan konservatif lantaran mengandung unsur nilai kejujuran (honesty), integritas dan perhatian pada hak serta kebutuhan orang lain, tetapi sangat tepat dijadikan “standar” dalam menilai dan mempertimbangkan duduk kasus etika akademik, yang pada dasarnya menjunjung tinggi kebenaran ilmiah.


Dalam konteks seni pergaulan manusia, etika ini kemudian diwujudkan dalam bentuk isyarat etik tertulis, yang secara sistematik dibuat menurut prinsip-prinsip moral yang ada, sehingga pada ketika yang dibutuhkan sanggup difungsikan sebagai dasar untuk menentukan segala macam tindakan yang secara logika-rasional umum (common sense) dinilai menyimpang dari aturan, tata-tertib dan/atau isyarat etik yang mengaturnya. Dengan demikian, etika akademik sanggup diartikan sebagai ketentuan yang menyatakan sikap baik atau jelek dari para anggota civitas akademika perguruan tinggi, ketika mereka berbuat atau berinteraksi dalam kegiatan yang berkaitan dengan ranah dalam proses pembelajaran.


Etika akademik perlu ditegakkan untuk membuat suasana akademik yang aman bagi pengembangan perguruan tinggi sesuai standar yang telah ditetapkan. Perguruan tinggi merupakan masyarakat akademik yang prosedur kerjanya akan terikat pada etika-moral untuk melaksanakan misi dan kiprah Tridharma perguruan tinggi yang disandangnya. Civitas akademika perguruan tinggi yang terdiri atas 3 (tiga) kelompok yaitu mahasiswa, dosen, dan staf manajemen secara integratif membangun institusi perguruan tinggi dan berinteraksi secara alamiah di dalam budaya akademik untuk mencapai satu tujuan, yaitu mencerdaskan mahasiswa dalam aspek intelektual, emosi, dan ketaqwaan mereka. Sebagai konsekuensinya, etika akademik di perguruan tinggi juga harus melibatkan ketiga unsur itu. Jika mahasiswa tidak ada, dosen tidak berarti apapun, kalau dosen tidak ada mahasiswa tidak berarti apa-apa, dan kalau staf manajemen tidak ada, mahasiswa dan dosen tidak sanggup menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik pula. Di dalam melaksanakan ketiga dharma perguruan tinggi (pendidikan/pengajaran, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat), maka seluruh unsur sivitas akademika akan terikat pada etika akademik.


Bertolak dari gagasan di atas maka sanggup dikemukakan bahwa atika pada hakekatnya yaitu sebagai berikut :



  1. Yang esensial yaitu etika penggalan dari kebudayaan. Etika merupakan salah satu manifest dari wujud kebudayaan yakni tata kelakuan dan aspek eveluatif.

  2. Etika sangat penting, mengingat bahwa kalau insan berpegang pada etika, mereka tidak perlu tahu ihwal apa yang seharusnya mereka lakukan lantaran sesuai dengan asas normatif, tetapi lebih penting, mereka bias pula bersifat konformitas sehingga peluang bagi timbulnya masyarakat yang tenang integratif menjadi lebih besar.

  3. Etika berkaitan dengan sanksi. Artinya, kalau seorang melanggar etika, maka yang bersangkutan akan terkena sanksi. Sanksi bias berbentuk hukuman social menyerupai cemooh, gunjingan, teguran, bahkan bias pada hukuman hukuman, kalau pelanggaran yang mereka lakukan ada indikasi pidan maupun perdata yang melanggar etika hukum.


Sebagai teladan praktek baik sanggup dikemukakan beberapa standar etika akademik, direpresentasikan sebagai etika dosen dan etika mahasiswa, yang akan menawarkan jaminan mutu proses interaksi dosen-mahasiswa dan suasana akademik yang kondusif, menyerupai berikut :



  1. Etika Dosen; Dosen yaitu sebuah pilihan profesi mulia dan secara sadar diambil oleh seseorang yang ingin terlibat dalam proses mencerdaskan anak bangsa. Untuk itu dosen wajib untuk senantiasa meningkatkan kompetensi dan kualitasnya dalam kerangka melaksanakan Tridharma perguruan tinggi secara berkelanjutan dan bertanggungjawab. Berkaitan dengan hal-hal tersebut seorang dosen harus mematuhi beberapa etika akademik yang berlaku bagi dosen pada ketika melaksanakan kewajiban serta tanggung-jawabnya. Kalau perlu etika akademik (dosen) ini diabarkan menjadi peraturan atau kontrak kerja yang mengikat, serta diikuti dengan hukuman akademik maupun kepegawaian bagi mereka yang melaksanakan pelanggaran. Sebagai contoh, kalau kewajiban utama seorang dosen yaitu meningkatkan aspek kognitif dari mahasiswa dengan menawarkan pengajaran, maka absensi dosen dalam proses pembelajaran yang terlalu sering tidak hanya melanggar etika akademik, tetapi juga melanggar peraturan, komitmen, tanggung jawab dan sangat tidak profesional. Standar kehadiran dosen untuk melaksanakan proses pembelajaran (misalnya) minimal 75 – 80%. Dengan hukuman dalam hal tidak dipenuhi maka mata kuliah yang diasuhnya tidak sanggup diujikan. Hal yang sama berlaku untuk mahasiswa (termuat dalam aturan akademik). absensi kurang dari prosentase minimal akan mengakibatkan yang bersangkutan tidak diperkenankan mengikuti ujian. Satu teladan mudah lain dari implementasi etika dosen, yaitu dalam kegiatan akademik seorang dosen wajib menghargai dan mengakui karya ilmiah yang dibuat orang lain (termasuk mahasiswa). Sesuai dengan etika ini legalisasi hak milik orang lain sebagai milik sendiri secara tidak sah, yang dalam karya akademik dikenal dengan sebutan plagiat, dianggap sebagai penipuan, pencurian dan bertentangan dengan moral akademik. Pelanggaran terhadap hak atas kekayaan intelektual ini bukan sekedar pelanggaran etika akademik ringan, bisa ditolerir dan cepat dilupakan, tetapi sudah merupakan pelanggaran berat dengan hukuman hingga ke pemecatan.

  2. Etika Mahasiswa; Seperti halnya dengan dosen, maka mahasiswa sebagai salah satu unsur sivitas akademika yang merupakan obyek dan sekaligus subyek dalam proses pembelajaran juga perlu memiliki, memahami dan mengindahkan etika akademik khususnya pada ketika mereka sedang berinteraksi dengan dosen maupun sesama mahasiswa yang lain pada ketika mereka berada dalam lingkungankampus. Mahasiswa perguruan tinggi memiliki sejumlah hak, aneka macam kewajiban dan beberapa larangan (plus hukuman manakala dilanggar) selama berada di lingkungan akademik. Salah satu hak mahasiswa yaitu mendapatkan pendidikan/ pengajaran dan pelayanan akademik sesuai dengan minat, bakat, dan kemampuannya. Mahasiswa mempunyai hak untuk bisa memperoleh pelayanan akademik dan memakai semua prasarana dan sarana maupun kemudahan kegiatan kemahasiswaan yang tersedia untuk menyalurkan bakat, minat serta pengembangan diri. Kegiatan kemahasiswaan menyerupai pembinaan sikap ilmiah, sikap hidup bermasyarakat, sikap kepemimpinan dan sikap kejuangan merupakan kegiatan ko-kurikuler dan ekstra-kurikuler yang bertujuan untuk menjadikan mahasiswa lebih kompeten dan profesional. Mahasiswa tidak cukup hanya mempunyai pengetahuan (knowledge), ketrampilan (skill), tetapi juga sikap mental (attitude) yang baik. Dalam rangka meningkatkan kompetensi, mahasiswa tidak cukup hanya menguasai iptek sebagai citra tingkat kemampuan kognitif maupun psikomotorik, melainkan harus pula mempunyai sikap profesional, serta kepribadian yang utuh. Oleh lantaran itu, dipandang perlu adanya sebuah pedoman yang bisa dijadikan sebagai rambu, standar etika ataupun tatakrama bersikap dan berperilaku di lingkungan kampus, yang di dalamnya memuat garis-garis besar mengenai nilai-nilai moral dan etika yang mencerminkan masyarakat kampus yang religius, ilmiah dan terdidik. Sebagai cermin masyarakat akademik yang menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dan kesopanan, maka mahasiswa wajib menghargai dirinya sendiri, orang lain, maupun lingkungan akademik di mana mereka akan berinteraksi dalam proses pembelajaran. Selain hak, mahasiswa juga terikat dengan aneka macam kewajiban dan ketentuan-ketentuan yang telah diatur dalam peraturan akademik. Sebagai contoh, hak untuk mendapatkan kebebasan akademik dalam proses menuntut ilmu, haruslah diikuti juga dengan tanggung jawab bahwa semuanya tetap sesuai dengan etika, norma susila dan aturan yang berlaku dalam lingkungan akademik. Demikian juga dengan hak untuk bisa memakai sarana/prasarana kegiatan kurikuler (fasilitas pendidikan, laboratorium, perpustakaan, dll) harus juga diikuti dengan kewajiban untuk menjaga, memelihara dan menggunakannya secara efisien. Segala bentuk vandalisme tidak saja memperlihatkan sikap yang menyimpang, melanggar norma/etika maupun tata krama, tetapi juga mencerminkan sikap (attitude) ketidakdewasaan yang bisa mengganggu terwujudnya suasana akademik yang kondusif.

  3. Etika staf administrasi; Seperti halnya dosen dan mahasiswa, staf manajemen juga merupakan salah satu cari civitas akademik yang mempunyai peranan yang sangat penting untuk kelancaran proses akademis. Staf mempunyai fungsi diantara yaitu mengatur segala kegiatan yang bekerjasama dengan manajemen dan pendaftaran mahasiswa maupun dosen. Selain itu, staf mempunyai fungsi sebagai fasilitator yang menyiapkan segala kebutuhan dan keperluan proses akademis. Sebagai salah satu penggalan yang memegang peranan penting dalam budaya akademis, staf mempunyai isyarat etik tersendiri sebagai pelayan dalam lingkungan kampus. Salah satunya yaitu melayani segala kebutuhan manajemen dosen dan mahasiswa dengan baik. Baik dalam hal ini meliputi sanggup berkomunikasi dengan baik, dan ramah.


 



Budaya akademik sebagai suatu subsistem perguruan tinggi memegang peranan penting dalam upaya membangun dan menyebarkan kebudayaan dan peradaban masyarakat (civilized society) dan bangsa secara keseluruhan. Indikator kualitas perguruan tinggi sekarang dan terlebih lagi pada milenium ketiga ini akan ditentukan oleh kualitas civitas akademika dalam menyebarkan dan membangun budaya akademik ini. Budaya akademik bergotong-royong yaitu budaya universal. Artinya, dimiliki oleh setiap orang yang melibatkan dirinya dalam acara akademik. Membangun budaya akademik perguruan tinggi merupakan pekerjaan yang tidak mudah. Diperlukan upaya sosialisasi terhadap kegiatan akademik, sehingga terjadi kebiasaan di kalangan akademisi untuk melaksanakan norma-norma kegiatan akademik tersebut. Jika sosialisasi tersebut dilakukan secara kontinu, maka ia akan menjadi sebuah tradisi dan budaya bagi individu-individu dalam masyarakat kampus.


Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses mencar ilmu dan latihan dan bukan merupakan bawaan lahir. Pemilikan budaya akademik seharusnya menjadi idola semua insan akademisi perguruan tinggi, yakni dosen dan mahasiswa. Derajat akademik tertinggi bagi seorang dosen yaitu dicapainya kemampuan akademik pada tingkat guru besar (profesor). Sedangkan bagi mahasiswa yaitu apabila ia bisa mencapai prestasi akademik yang setinggi-tingginya. Bagi dosen, untuk mencapai derajat akademik guru besar, ia harus membudayakan dirinya untuk melaksanakan tindakan akademik pendukung tercapainya derajat guru besar itu. Ia harus melaksanakan kegiatan pendidikan dan pengajaran dengan segala perangkatnya dengan baik, dengan terus memburu rujukan mutakhir. Ia harus melaksanakan penelitian untuk mendukung karya ilmiah, menulis di jurnal-jurnal ilmiah, mengikuti seminar dalam aneka macam tingkat dan forum, dan lain-lain. Ia juga harus melaksanakan pengabdian pada masyarakat untuk meningkatkan pengetahuan, keterampilan, dan kesejahteraan masyarakat.


Bagi mahasiswa, faktor-faktor yang sanggup menghasilkan prestasi akademik itu ialah terprogramnya kegiatan belajar, kiat untuk memburu rujukan konkret dan mutakhir, diskusi substansial akademik, dan sebagainya. Dengan melaksanakan acara menyerupai itu diharapkan sanggup dikembangkan budaya mutu (quality culture) yang secara sedikit demi sedikit sanggup menjadi kebiasaan dalam sikap tenaga akademik dan mahasiswa dalam proses pendidikan di perguruan tinggi.


Oleh lantaran itu, tanpa melaksanakan kegiatan-kegiatan akademik, tidak mungkin seorang akademisi akan memperoleh nilai-nilai normatif akademik. Boleh jadi ia bisa berbicara ihwal norma dan nilai-nilai akademik tersebut di depan lembaga namun tanpa proses mencar ilmu dan latihan norma-norma itu tidak pernah terwujud dalam praktik kehidupan sehari-hari. Bahkan sebaliknya, ia tidak segan-segan melaksanakan pelanggaran dalam wilayah tertentu baik disadari maupun tidak disadari. Mungkin juga yang terjadi nilai-nilai akademik hanya menyentuh ranah kognitif, tidak hingga menyentuh ranah afektif dan psikomotorik. Fenomena semacam ini sanggup saja terjadi pada seorang akademisi, yang selamanya hanya menitipkan nama dalam melaksanakan kuliah, penulisan karya ilmiah, penelitian, pengabdian masyarakat, dan akhir-akhir ini sering terjadi pembelian gelar akademik yang tidak terperinci juntrungnya.


Sebagaimana tersurat dalam PP No. 60 Tahun 1999 pasal 2 bahwa perguruan tinggi sebagai subsistem pendidikan nasional mempunyai misi salah satunya adalah menyiapkan peserta didik menjadi anggota masyarakat yang mempunyai kemampuan akademik dan/atau profesional yang sanggup menerapkan, mengembangkan, dan/atau membuat ipteks;mengembangkan dan menyebarluaskan ipteks serta mengupayakan penggunaannya untuk meningkatkan taraf kehidupan masyarakat dan memperkaya kebudayaan nasional.


Untuk membangun budaya akademik dalam suatu perguruan tinggi, ada beberapa prasyarat yang harus dipenuhi. Pertama, adanya sumber daya manusia, terutama staf pengajarnya yang mempunyai keunggulan akademik dan mempunyai pengabdian tinggi untuk pengembangan keilmuan. Kedua, menguasai tradisi akademik yang unggul, melalui penyusunan kurikulum yang aktual, realistik, dan berorientasi ke depan. Diajarkan melalui proses belajar-mengajar dialogis, bebas, dan objektif, dan kemudian dikembangkan dalam diskusi, seminar, penelitian, penerbitan buku dan jurnal ilmiah, yang disebarluaskan kepada masyarakat. Ketiga, tersedianya sarana dan prasarana akademik yang memadai, menyerupai lingkungan kampus yang sejuk, perpustakaan yang lengkap, dan laboratorium yang modern (Kurniawan, 2004).


Pembinaan dan pengembangan apresiasi disiplin, rasa tanggung jawab, keinginan menghasilkan suatu karya inovatif dan kreatif yang terbaik dan sebagainya seringkali dengan efektif diwujudkan melalui pengembangan teladan keteladanan. Keinginan menghasilkan sesuatu yang lebih baik, terjadinya suasana dan budaya akademik sesama sivitas akademika dan sebagainya sanggup menumbuhkan dan menyebarkan kesadaran internal pada masing-masing sivitas akademika. Pengembangan budaya akademik menjadi titik temu antara upaya pembinaan abjad dengan peningkatan kualitas hasil dari proses pendidikan. Karakter merupakan penggalan integral dari budaya akademik, mengingat abjad dibutuhkan dan berpotensi dikembangkan dari setiap acara akademik.


Ciri-ciri perkembangan budaya akademik mahasiswa, sanggup dilihat dari berkembangnya :



  1. kebiasaan membaca dan penambahan ilmu dan wawasan,

  2. kebiasaan menulis,

  3. diskusi ilmiah,

  4. optimalisasi organisasi kemahasiswaan,

  5. proses mencar ilmu mengajar


Norma-norma akademik merupakan hasil dari proses mencar ilmu dan latihan. Menurut Zuchdi (2010) hal tersebut sanggup dilakukan oleh masyarakat atau individu sebagai penggalan dari lingkungan akademik melalui rekayasa faktor lingkungan. Diantaranya, sanggup dilakukan melalui taktik yang meliputi :



  1. keteladanan,

  2. intervensi,

  3. pembiasaan yang dilakukan secara konsisten, dan

  4. penguatan.


Dengan kata lain perkembangan dan pembentukan budaya akademik memerlukan pengembangan keteladanan yang ditularkan, intervensi melalui proses pembelajaran, pelatihan, penyesuaian terus-menerus dalam jangka panjang yang dilakukan secara konsisten dan penguatan serta harus dibarengi dengan nilai-nilai luhur yang diterapkan oleh perguruan tinggi.


Peranan pengembangan kebudayaan ini bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan apresiasi budaya sikap intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan masa depan.


Kiranya, dengan gampang disadari bahwa perguruan tinggi berperan secara instrumental dalam mewujudkan upaya dan pencapaian budaya akademik tersebut. Perguruan tinggi merupakan wadah pembinaan intelektualitas dan moralitas yang mendasari kemampuan penguasaan ipteks dan budaya dalam pengertian yang luas. Peranan pengembangan kebudayaan ini bukan hanya tercermin dalam kesempatan sivitas akademika untuk mempelajari dan mengapresiasi budaya pertunjukan melainkan juga pengembangan dan apresiasi budaya sikap intelektual dan moral masyarakat akademik dalam menyongsong keadaan masa depan.


Pada akhirnya perguruan tinggi sebagai sentra kebudayaan akademis terikat pada etika. Etika yang mereka anut berintikan pada suatu kebiasaan yang menawarkan peluang bagi civitas untuk menyebarkan modal intelektual maupun modal cultural secara optimal. Untuk itu, etika yang wajib dipedomani dan sekaligus dikembangkan adalah:



  1. Selalu ingin tahu. Hal ini sangat penting lantaran merupakan suatu motivator yang mendorong seseorang untuk menuntaskan suatu permasalahn dan titik awal bagi tumbuhnya ilmu pengetahuan.

  2. Teliti, yakni selalu berusaha menemukan kesalahan atau kekeliruan untuk pencapaian suatu kesempurnaan.

  3. Rasional, artinya dalam memecahkan suatu permasalahn yang ditemukan selalu memakai pikiran dan timbangan yang logis dan melaksanakan penelitian yang kritis sesuai dengan kaidah-kaidah ilmu pengetahuan.

  4. Objektif, artinya dalam mengemukakan sesuatu, harus sesuai dengan keadaan yang bergotong-royong yang disertai dengan bukti otentik tanpa ada manipulasi dan pembelokan lantaran intimidasi pihak-pihak tertentu.

  5. Jujur, artinya bertindak sesua dengan kenyataan tanpa rekayasa dan tanpa ada yang ditutupin dengan maksud mencari laba pribadi.

  6. Inovatif, yakni mempunyai daya cipta atau kemampuan membuat sesuatu yang gres baik dalam bentuk inspirasi ataupun karya nyata.

  7. Terbuka, artinya bias mendapatkan gagasan gres dari pihak lain tanpa ada singgungan.

  8. Produktif, kaum intelektual tidak hanya hebat dalam menelurkan gagasan, tetapi juga harus dibarengan karya nyata dan penerapan di masyarakat.

  9. Multidimensi, artinya bahwa kebudayaan sanggup berdampak sangat kompleks. Jika sanggup dikembangkan secara optimal, terutama di kalangan dosen dan mahasiswa maka terwujudlah budaya akademik. Dalam artian, mereka memeiliki kerangka berpikir, pedoman atau patokan ideal yang sama guna mengisi maupun mengaktualisasikan label mereka sebagai warga masyarakat akademik, yakni kumpulan orang-orang populer yang dianggap bakir dan bijaksana guna memajukan ilmu pengetahuan.


 



Misi perguruan tinggi yaitu pendidikan, penelitian dan pengabdian kepada masyarakat yang dikenal dengan tridarma perguruan tinggi. Ketiga hal ini harus dijalankan secara seimbang. Pertanyaannya, pedulikah kita untuk membuat kultur akademik yang kondusif? Jika jawabannya “iya”, maka cerdaskanlah mahasiswa semenjak masa Orientasi Pengenalan Kampus setiap tahunnya. Mahasiswa sedikit sekali mempunyai budaya akademis, menyerupai kemampuan menulis. Kebanyakan mereka justru menggandakan (baca: menyontek) makalah-makalah atau skripsi orang dengan metode CS2 (Comot Sana-Comot Sini). Persoalan integritas akademik (academic integrity) maupun kejujuran ilmiah (academic honesty) seakan bukan merupakan konsideran penting. Sebagian mereka bahkan (mungkin) tidak memahami betapa pentingnya kedua nilai tersebut kesannya jarang dijumpai paper-paper yang orisinal dan berkualitas.


Jika semenjak awal-awal masa mengarungi dunia perguruan tinggi mereka sudah diperkenalkan atau diberikan pemantapan (karena sangat bisa jadi ada yang sudah dikenalkan ketika SLTA) dalam pemahaman metode penulisan karya ilmiah dan metode penelitian dasar, bukan tidak mungkin akan lahir karya-karya ilmiah yang berbobot dan layak jual (marketable). Lebih dari itu, mereka juga akan terbiasa untuk meneliti, walaupun dalam artian penelitian yang sederhana. Semua hal ini sangat konstruktif untuk membangun budaya akademik yang aman di perguruan tinggi.


Sebelum menguraikan lebih jauh, ada baiknya kita mengetahui apa itu sains dan etika. Sains yaitu alat untuk mencari kebenaran. Dan sanggup disadari untuk mencari kebenaran kita perlu taktik yang beretika. Strategi disini yaitu metode ilmiah. Bagaimanapun banyak terjadi pelanggaran etika dalam penelitian saintifik, yang disebut sebagai penipuan saintifik (scientific fraud).


Penipuan saintifik (scientific fraud) didefinisikan sebagai perjuangan untuk memanipulasi fakta-fakta atau menerbitkan hasil kerja orang lain secara sengaja. Bagaimanapun, definisi penipuan saintifik tidak selalu jelas. Salah satu aspek dari penipuan saintifik yaitu memanipulasi dan mengubah data. Pada tahun 1830, matematikawan dari Inggris berjulukan Charles Babbage membuktikan teknik manipulasi data. Di dalamnya termasuk trimming (menghapus data yang tidak cocok dengan hasil yang diharapkan) dan cooking (memilih data yang hanya cocok dengan hasil yang diharapkan sehingga membuat data lebih meyakinkan). Sains yang ideal yaitu bahwa para ilmuwan seharusnya objektif dan melaporkan semua hasil pengamatan secara lengkap dan jujur (Oklilas, 2007). Bagaimanapun, ini tidak selalu ditemui dalam laporan-laporan ilmiah.


Hasil karya ilmiah akan diakui apabila sanggup diulang oleh orang lain di daerah lain dengan cara yang sama dan mendapatkan hasil yang sama (reproducible), barulah sanggup diakui sebagai inovasi ilmiah. Sebagai citra umum, di dalam perkuliahan etika sains disamping diterangkan pentingnya etika sains juga diajarkan bagaimana menulis, melaporkan dan menganalisis data percobaan secara betul. Jika etika sains secara betul diajarkan dan diterapkan, maka kita sanggup menjawab pertanyaan: Apakah aspek etika sains sanggup membentuk pribadi yang jujur, disiplin, bertanggung jawab dan sportif.


Hal ini lantaran ilmu pengetahuan dan teknologi mempunyai daya untuk memperbaiki dirinya sendiri (self correction). Hal ini sesuai dengan sifat ilmu pengetahuan yang berkembang menurut pengetahuan yang telah ditemukan sebelumnya. Bagaimanapun, mentalitas yang jujur mutlak dibutuhkan sebagai landasan untuk mencapai kemajuan. Pengajaran etika sains kepada para mahasiswa sarjana, magister dan doktor diharapkan sanggup menambah kesadaran para mahasiswa bahwa para calon sarjana, calon doktor dan calon professor harus menjunjung tinggi kejujuran. Setidaknya hal ini sanggup menjadi santunan kecil untuk perbaikan masyarakat kita, yang sedang dihinggapi penyakit korupsi, plagiat, membeli gelar, menyontek dan lain sebagainya. Inilah kiprah berat para ilmuwan-ilmuwan Indonesia yang menyadari pentingnya etika sains dalam pendidikan sains dan riset di Indonesia.


Manusia diciptakan oleh Tuhan sebagai makhluk yang berpikir. Berpikir yaitu memakai penalaran dalam berbuat dan menetapkan sesuatu yang akan dilakukan. Mungkin ini pulalah yang tertuang dalam proses pembentukan badan insan yang menempatkan kepala pada posisi paling atas dibanding hati. Kepala sebagai daerah bersemayamnya otak yang diyakini sebagai penggagas kebijaksanaan pikiran manusia, sedangkan hati sebagai penguak perasaan kemanusiaan. Tuhan membekali kita hati, sehingga proses berpikir kita tidak sama dengan proses berpikir mesin atau komputer. Contoh konkret ihwal hal ini yaitu ketika pelaksanaan UAN. Nilai yang dihasilkan oleh komputer sebagai pemeriksa ujian siswa penentu dari lulus tidaknya seorang siswa. Hal ini tentu saja tidak sanggup kita terima sebagai makhluk yang berpikir dan mempunyai kemanusiaan. Tanpa menilai hasil kerja siswa selama tiga tahun terakhir, tanpa menilai kondisi siswa ketika mengerjakan tes, tanpa menilai lingkungan, dan tanpa menilai yang lainnya, UAN dengan “congkaknya” menjadi penentu kelulusan siswa yang sama sekali tak dikenalnya. Berbeda dengan di perguruan tinggi dimana penentuan kelulusan suatu mata kuliah ditentukan dari 4 parameter evaluasi yaitu: tugas, quis, ujian tengah semster, dan ujian simpulan semester. Sedangkan untuk penentu kelulusan mahasiswa memperoleh gelar sarjana yaitu ujian komprehensif atau sidang sarjana yang diuji oleh tim penguji yang terdiri dari dua atau lebih dosen penguji. Dimana pembimbing kiprah simpulan juga mempunyai donasi dalam menentukan nilai rata-rata hasil ujian kiprah simpulan tersebut. Hal inilah yang membedakan ilklim di perguruan tinggi dan sekolah.


Perkembangan selanjutnya, insan berpikir menjadi insan ilmiah. Manusia ilmiah masih jarang diwacanakan. Kata ilmiah masih terbatas pada kreatifitas yang dibuat untuk mengadakan sesuatu, apakah dalam bentuk ciptaan atau goresan pena ilmiah. Apa yang dibuat atau ditulis harus sesuai dengan kejadian atau kenyataan, sehingga perlu pemikiran yang jujur. Suatu karya yang dikatakan ilmiah tetapi data yang terkumpul tidak sesuai dengan kenyataan maka karya tersebut tertolak keilmiahannya. Oleh lantaran itu, hakekat dari ilmiah yaitu proses berpikir kapan dan dimanapun dalam berbuat dan bertindak yang semestinya sesuai kenyataan.


Kemampuan berpikir insan akan berdampak positif kepada prilaku dan keputusan yang ilmiah. Sebenarnya, masyarakat ilmiah tidak harus muncul dari dunia akademisi, meskipun tak sanggup disangkal bahwa memang yang terbanyak memperlihatkan keilmiahan dalam proses pelaksanaan tindakan, ada pada dunia akademisi. Tapi, perlu juga ditampilkan hal yang bertolak belakang dari itu, yakni kalau di dunia akademik ada tindakan-tindakan yang tidak ilmiah, menyerupai tawuran mahasiswa atau pengerahan massa dalam proses pencalonan pimpinan kampus. Dunia pendidikan yaitu dunianya masyarakat ilmiah. Nilai-nilai yang didasari oleh keilmuan menjadikan dunia pendidikan harus ilmiah. Pendidikan terperinci harus bebas dari hal-hal yang mendahulukan perasaan, apalagi perasaan yang justru bukan perasaan manusiawi, tapi perasaan amoral.


Sebenarnya sifat ilmiah yaitu sifat yang jujur, sifat yang jauh dari Korupsi, Kolus dan Nepotisme (KKN). Oleh lantaran itu, kalau kita telah jujur yakinlah bahwa kita juga telah mempunyai sifat ilmiah. Tidak dilandasi oleh kedekatan sehingga kita memberi penghargaan kepada orang. Kita beri penghargaan kepada seseorang lantaran memang ia pantas menerimanya sesuai indikator yang diyakini banyak pihak, meskipun kalau seandainya orang tersebut yaitu “musuh” kita. Meski kita diamanatkan untuk menjadi pimpinan dan meski pula diberi kekuasaan prerogatif, tidak serta merta kita menjadi seenaknya berbuat, tetapi kita harus tetap ilmiah. Pilih orang-orang yang memang berkompeten pada bidangnya untuk menduduki suatu jabatan. Kritikan tidak diasumsikan kebencian sehingga dibalas dengan tindakan refresif. Kritikan, meskipun itu salah, harus dengan bijak diartikan sebagai pengawasan terhadap tindakan kita yang kurang benar sehingga kita balas dengan kinerja yang lebih baik.


Aspek pendidikan tidak hanya menawarkan pengajaran saja kepada mahasiswa tetapi juga harus meliputi pembentukan sikap dan kepribadian, yang mana hal ini penting dalam menghadapi krisis moral bangsa Indonesia (Oklilas, 2007). Pada dasarnya insan yang menganut etika tradisional tidak mau mendapatkan perubahan, mereka tetap mempertahankan aturan atau etika yang telah berlaku turun temurun di masyarakatnya. Sedangkan insan yang menganut eko-etika, mereka akan mendapatkan aturan gres yang berlaku secara dinamis sesuai dengan perkembangan zaman dan dilandasi keseimbangan dan ilmu pengetahuan. Perubahan ini menyerupai air yang mengalir, yaitu tidak statis.


 



Dunia perguruan tinggi yang dikenal sebagai komunitas yang senantiasa menjunjung tinggi obyektifitas, kebenaran ilmiah dan keterbukaan mempunyai tanggungjawab dalam menyebarkan ilmu pengetahuan sebagai balasan dari permasalahan yang muncul di masyarakat dengan metode yang modern. Ilmu pengatahun sendiri merupakan pengetahuan yang sistematik, rasional, empiris, umum dan komulatif yang dihasilkan oleh kebijaksanaan pikiran insan yang dibatasi oleh ruang dan waktu. Tugas ini menjadi penting lantaran merupakan penggalan dari pelaksanaan “Tri Dharma” perguruan tinggi. Dan menjadi lebih penting lantaran ada 3 fungsi ilmu pengetahuan yang sangat terkait dengan kelangsungan dan kemaslahatan hidup orang banyak, yaitu fungsi eksplanatif (menerangkan tanda-tanda atau problem), prediktif (meramalkan kejadian atau imbas gejala) dan control (mengendalikan atau mengawal perubahan yang terjadi di masa datang).


Melihat kenyataan menyerupai ini maka sivitas akademika (dosen dan mahasiswa) harus mempunyai sikap ilmiah untuk menunjang terlaksananya tugas-tugas tersebut dalam suasana akademik yang telah dibangun. Sikap ilmiah ini tidak saja terkait dengan pola pikir yang ilmiah, tetapi juga secara emosi (afektif) dan sikap (psikomotor). Adapun sikap ilmiah yang harus dimiliki antara lain (Fajar & Effendi, 2000) :



  1. Hasrat ingin tahu dan mencar ilmu terus menerus; Berkembangnya sebuah ilmu pengatahuan tidak sanggup dilepaskan dari dorongan atau hasrat ingin tahu (curiosity) yang merupakan sifat dasar manusia. Hilangnya dorongan ini akan mematikan atau melumpuhkan perkembangan ilmu pengatahuan. Disamping itu pesatnya perkembangan ilmu pengatahuan tidak cukup hanya dimilikinya hasrat ingin tahu, tetapi harus ditunjang dengan sebuah tindakan (action) berupa mencar ilmu terus menerus. Kedua faktor inilah yang akan membedakan seorang civitas akademika dengan komunitas lain dalam kehidupan masyarakat. Hilangnya kedua factor ini akan menghilangkan keunikan sebuah perguruan tinggi dalam menyebarkan ilmu pengetahuan.

  2. Daya analisis yang tajam; Setiap permasalahan dibutuhkan adanya analisis yang tajam untuk menentukan ketepatan dan kebenaran sebuah tindakan dari hasil pemecahan masalah. Analisis yang tajam juga dibutuhkan manakala variasi terjadinya kasus sangat banyak, sehingga kalau tidak teliti dalam menganalisis akan mengakibatkan kekaburan atau ketidaktepatan produk dari solusi yang diberikan. Daya analisis yang tajam akan sangat membantu dalam menawarkan solusisolusi yang kreatif dan inovatif dalam kehidupan ini, lantaran analisis yang baik akan sanggup mengurai permasalahan yang dihadapi dengan baik pula.

  3. Jujur dan terbuka; Dalam dunia akademik kejujuran dan keterbukaan menjadi kunci pembuka berkembangnya ilmu pengetahuan. Kejujuran dan keterbukaan juga menjadi ciri dari pribadi yang sehat dan matang. Hal ini sanggup dimengerti manakala kejujuran dan keterbukaan sudah hilang dari diri sivitas akademika (baca : mahasiswa), maka yang terjadi yaitu mundurnya ilmu pengetahuan, berkembangnya sikap negative berupa penjiplakan karya ilmiah, mandegnya pemikiran-pemikiran gres dan ketidakmampuan menyebarkan suasana akademik yang sehat.

  4. Kritis terhadap pendapat yang berbeda; Perbedaan pendapat dalam dunia perguruan tinggi (akademik) yaitu sesuatu yang masuk akal dan alamiah, lantaran adanya heterogenitas (kemajemukan) civitas akademika baik melalui pola pikir maupun kepribadian. Perbedaan ini akan meningkatkan daya kritis kita manakala disikapi dengan sikap positif dan bertanggungjawab. Artinya adanya kesadaran yang tinggi bahwa setiap perbedaan mempunyai akar perbedaan yang harus dicari dan didekati dengan suasana akademik yang sehat dan masing-masing pihak bertanggungjawab terhadap apa yang telah dikeluarkannya. Perbedaan tidak berarti sebuah permusuhan atau ketidaksenangan antar pihak, melainkan memperlihatkan keberagaman pemikiran dan sanggup dijadikan sebagai stimulus untuk melaksanakan pendekatan-pendekatan menuju tujuan yang lebih baik. Kritis terhadap sebuah perbedaan yang terjadi akan meningkatkan semangat untuk mencari solusi yang terbaik dalam menghadapi permasalahan kalau masing-masing pihak menyadari pentingnya tujuan bersama.

  5. Tanggungjawab yang tinggi; Setiap sivitas akademika mempunyai tanggungjawab sesuai dengan kiprah dan fungsinya masing-masing. Pelaksanaan terhadap tanggungjawab ini akan menentukan keberhasilan komulatif dari fungsi sebuah perguruan tinggi. Tanggungjawab yang dimiliki tidak hanya terkait dengan internal lingkungan akademisi tetapi juga lingkungan global yang ada di luar (eksternal). Permasalahan-permasalahan yang menyelimuti dunia perguruan tinggi, yang muncul ditengah masyarakat, percaturan berbangsa dan bernegara di tengah globalisasi harus ikut menjadi perhatian sivitas akademika, sehingga apa yang akan dilakukan akan mempunyai nilai tambah yang lebih besar.

  6. Bebas dari prasangka; Munculnya prasangka dalam diri seseorang akan menghipnotis pelaksanaan kiprah dan tanggungjawabnya. Prasangka akan mempunyai dampak terhadap kondisi fisik dan non fisik (psikologis) seseorang. Prasangka sanggup melemahkan upaya yang dilakukan untuk mencapai tujuan. Prasangka juga sanggup mengakibatkan seseorang terganggu kondisi psikologisnya yang sanggup berakibat pada konflik (intrapersonal dan interpersonal) serta stress. Apabila kedua hal ini telah terpengaruh maka hasil yang diharapkan tidak optimal bahkan tujuan yang ingin dicapai tidak sanggup terlaksana. Prasangka bisa menjadi bom waktu dalam pelaksanaan kiprah seseorang lantaran munculnya perasaan tidak bahagia atau sikap yang tidak menyenangkan yang setiap ketika akan berakibat negatif bagi pelaksanaan kiprah dan tercapainya tujuan baik secara individu maupun organisasi (lembaga).

  7. Menghargai nilai, norma, kaidah dan tradisi keilmuan; Perguruan tinggi mempunyai budaya dan tradisi yang unik dan has sebagai lembaga keilmuan yang membedakan dengan lembaga lainnya dalam masyarakat. Salah satu tradisi keilmuan yang tetap dikembangkan yaitu adanya kebebasan dan mimbar akademik, kebebasan berpikir dan beropini serta nilai keterbukaan dalam menyebarkan keilmuan. Penghargaan terhadap nilai yang telah dikembangkan ini menjadi salah satu ciri terjadinya penerimaan fungsi perguruan tinggi dalam menyebarkan keilmuan dan pengabdian kepada masyarakat, sehingga setiap sivitas akademika perlu mempunyai sikap-sikap ini. Penghargaan ini juga menjadi ciri khas seorang sivitas akademika yang berkepribadian sehat dan matang dalam menjalankan fungsi-fungsinya.


Academic atmosphere yang aman tidak sanggup dicapai tanpa melalui kebebasan akademik. Kebebasan akademik yang dimaksudkan di sini yaitu kebebasan untuk menentukan materi/substansi pembelajaran, penelitian serta metode penyampaian dan publikasi hasil-hasil penelitian yang telah dilakukan sesuai dengan etika keilmuan. Sehubungan dengan hal tersebut dibutuhkan dorongan bagi setiap civitas untuk menyebarkan dan menjaga tradisi maupun budaya akademik yang mereka miliki.


Jadi, terperinci bahwa akan dijumpai variasi akhir perbedaan budaya akademik yang dimiliki oleh masing-masing perguruan tinggi. Hal tersebut bisa dipahami mengingat keberadaan perguruan tinggi didasarkan pada latar belakang yang berbeda dalam hal ukuran maupun kompleksitasnya. Pentingnya kultur/budaya akademik yang berbeda, juga ditujukan biar perguruan tinggi yang gres tumbuh dan berusaha untuk mencapai keunggulan dengan cara yang berbeda. Oleh lantaran itu, kebebasan akademik merupakan prinsip dasar, bersifat universal dan sangat dibutuhkan bagi perguruan tinggi yang kemungkinan akan mempunyai kiprah berbeda dalam melayani dan memuaskan stakeholder mereka yang lebih spesifik.


Setiap orang memang mempunyai kecenderungan berbeda-beda dalam mempersepsi, mengapresiasi dan melaksanakan aksi, tergantung latar belakang sejarahnya dan karakternya. Pada akhirnya, untuk mensukseskan membangun dan menyebarkan budaya akademik dibutuhkan sinergi dari segenap civitas kampus antara lain sebagai berikut,



  1. Peningkatan sarana prasarana serta kualitas pelayanan, menyerupai perpustakaan, public space, dll. Di samping kriteria kuantitas dan kualitas secara fungsional, penyediaan dan pengelolaan kemudahan pendidikan hendaknya memenuhi kriteria: aman, nyaman, dan manusiawi. Sangat dibutuhkan bagi terselenggaranya pendidikan abjad yang memang merupakan wahana pengembangan nilai-nilai kemanusiaan.

  2. Optimalisasi fungsi Organisasi kemahasiswaan serta UKM sebagai wahana untuk menumbuh kembangkan kemampuan intelektualitas, afeksi, kinestetik, dan emosional seorang mahasiswa. Serta sebagai penyokong upaya pengembangan kultur akademik ini.

  3. Penciptaan kultur lembaga yang mendukung terciptanya budaya akademik, dimana semua “elit” akademik harus menawarkan teladan dan teladan, serta bimbingan yang baik bagi semua mahasiswanya.


Semoga bermanfaat ..



Sumber aciknadzirah.blogspot.com

Mari berteman dengan saya

Follow my Instagram _yudha58

Subscribe to receive free email updates:

0 Response to "√ Watak Dan Budaya Akademik"

Posting Komentar