Diberitakan di harian Kompas dan juga di beberapa situs termasuk situs jamsosindonesia.com bahwa telah terjadi krisis obat di sebagian rumah sakit di Jakarta, yang berdasarkan saya yang diucapkan oleh Kepala Humas BPJS Nopi Hidayat tidaklah sesuai dengan fakta yang terjadi, berikut goresan pena tersebut.
JAKARTA, KOMPAS – Sebagian kalangan pengelola rumah sakit di Jakarta dilanda krisis obat yang dikaitkan dengan tunggakan pembayaran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial. Bahkan, sebagian berdampak pada layanan kepada pasien.
“Penyebabnya memang soal utang piutang antara BPJS dan pengelola RS. Sebagian pengelola RS bukan saja tak sanggup beli obat, tetapi juga hambatan melayani pasien,” kata Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta Koesmedi Priharto, Senin (20/11).
Koesmedi mengatakan, pihaknya masih mencari solusi sementara hingga seluruh sistem proses manajemen dan pembayaran klaim diperbaiki dan disepakati bersama.
“Kalau di lingkungan RSUD sudah terjalin kolaborasi saling meminjam obat. Masih sanggup teratasi. Di lingkungan RS swasta kondisinya memang beda,” kata Koesmedi. Dinas Kesehatan DKI masih akan membahas rencana memecahkan masalah itu.
Sekretaris Dinas Kesehatan DKI Een Haryani menegaskan hal sama soal kondisi RS. “Susah juga bila mau ditutup-tutupi alasannya ialah krisis ini bukan saja menimpa RS di Jakarta, tetapi sudah di tingkat nasional,” katanya.
Salah satu penyebab munculnya tunggakan pembayaran dari BPJS ke sejumlah RS akseptor aktivitas BPJS di antaranya masih ada beda cara pandang mana klaim biaya yang sanggup dibayar dan yang tidak. “Selalu ada dilema dikala tagihan disodorkan pengelola RS ke BPJS. Sebagian ditolak, sebagian diterima, tetapi juga ada yang semua tagihan dibayar BPJS,” ujarnya.
Dibantah
Menanggapi itu, Kepala Humas BPJS Nopi Hidayat membantah. Tidak ada klaim RS yang belum dibayar. “Setidaknya, hingga awal November, BPJS tidak mempunyai tunggakan,” ucapnya.
Seluruh mekanisme manajemen BPJS, kata dia, sudah sesuai dengan peraturan yang ada.
Kemarin, di RSUD Tarakan, Jakarta Pusat, sejumlah pasien membeli obat di luar alasannya ialah RSUD kehabisan stok. Harga obat beresep itu Rp 500.000 hingga Rp 750.000.
“Seharusnya, kan, gratis, ya?” kata Petrus Siahaan (56) di RS tersebut. Anggota keluarganya rawat jalan di RSUD Tarakan. Puncak krisis obat terjadi simpulan Oktober hingga awal November. Saat itu, RSUD Tarakan tidak punya persediaan, antara lain obat saraf.
Keluarga pasien lain, Ina (44), mengaku sulit menerima obat tulang dan saraf di RSUD Tarakan ataupun RSUD Cengkareng. Saat ia membeli dengan kartu BPJS, pihak apoteker menyampaikan obat habis. Saat anaknya membeli tunai, obat itu ada dan sanggup dibeli.
Sejumlah pengelola RS, menyerupai RS Jantung Harapan Kita (Jakarta Barat), RSUD Pasar Rebo (Jakarta Timur), dan RSUD Koja (Jakarta Utara), menyatakan berbeda. Cadangan obat cukup. Utang piutang dengan BPJS tak ada masalah.
Menurut Direktur Utama RS Koja Theryoto, tiada kekosongan obat. Utang BPJS pun belum mengganggu layanan. Menurut Koesmedi, tunggakan utang BPJS kepada RSUD Koja yang terbesar Rp 10 miliar. Itu mengganggu persediaan obat. (WIN)
Itulah yang saya salin dari harian Kompas dan sekarang bagaimana dengan faktanya?
Fakta
Berikut ialah hasil Pertemuan BPJS Kesehatan dengan PERSI tanggal 14 November 2017 terkait krisis obat di sebagian rumah sakit di Jakarta, terutama rumah sakit swasta.
- Badan Pengelola Jaminan Sosial Kesehatan (BPJSK) mengakui terjadi kesulitan likuiditas pada layanan bulan Agustus yang jatuh tempo pada bulan Oktober 2017. Untuk itu BPJS Kesehatan melaksanakan pengecekan kembali atas data data klaim RS yang belum ditindaklanjuti.
- BPJS Kesehatan mendapatkan data yang disampaikan RS terkait dengan klaim yang berdasarkan RS belum diselesaikan oleh BPJS Kesehatan. Data tersebut akan ditindaklanjuti BPJS Kesehatan dengan melaksanakan pengecekan kesesuaian data yang disampaikan RS dengan data yang ada pada BPJS Kesehatan.
- BPJS Kesehatan menegaskan kesepakatan BPJS Kesehatan untuk membayarkan kewajiban klaim hingga dengan Desember 2017 dan PERSI berkomitmen untuk tetap memperlihatkan pelayanan dengan baik bagi akseptor JKN.
- Salah satu solusi penyelesaian permasalahan Keuangan RS ialah dengan Pembayaran SCF (supply chain financing). PERSI dan BPJSK bersepakat untuk membahas modek SCF secara detil pada round table minggu depan.
- RS dan BPJSK supaya segera menuntaskan pending klaim sebelum masuk di periode vedika (verifikasi digital). Terhadap dispute klaim, untuk diselesaikan sesuai prosedur penyelesaian dispute dengan melibatkan TKMKB (Tim Kendali Mutu Kendali Biaya) dan Tim Pertimbangan Klinik bila diperlukan.
- RS mengimplementasikan PERMENKES 36 tahun 2015 untuk menghindari Fraud, PERSI akan melaksanakan pengawasan dan pelatihan terhadap RS yang tidak patuh atau melaksanakan kecurangan. PERSI berkomitmen terhadap transparansi dan bertanggung jawab terhadap RS. BPJSK bersepakat untuk berkoodinasi dengan PERSI bila didapatkan indikasi potensi kecurangan oleh RS.
- Draf Kesepakatan kerjasama pada tahun 2018 sudah disepakati oleh BPJS Kesehatan dengan PERSI. Semua RS harus memakai draf yang telah disepakati dan dihimbau tidak menciptakan ketentuan yang berbeda pada kontrak kerjasama.
- BPJS Kesehatan berkomitmen untuk membayarkan denda terhadap klaim yang jatuh tempo yang belum terbayarkan. Pengenaan denda keterlambatan didasarkan pada jumlah hari keterlambatan pembayaran dengan perhitungan 1%/30 x jumlah hari keterlambatan semenjak hari 16 sesudah gosip aktivitas pengajuan klaim diterima di kantor cabang.
- PERSI dan BPJS Kesehatan mendorong supaya pada revisi Perpres JKN nanti akan ada mekanisme urun biaya pada beberapa kondisi untuk pengendalian biaya pelkes.
- PERSI mengusulkan dan BPJS Kesehatan oke untuk adanya stand-by loan guna mengantisipasi kesulitan likuiditas. Untuk itu, kedua pihak setuju mendorong perubahan PP 87/2013 jo 84/2015 sebagai dasar regulasinya.
- Pada 2018, mulai diberlakukan beberapa instrumen untuk pengendalian mutu layanan Faskes.
Kesimpulan
Bahwa yang disampaikan oleh Kepala Humas BPJS Nopi Hidayat tidaklah sesuai dengan fakta yang terjadi tidaklah sesuai dengan yang terjadi berdasarkan notulensi Pertemuan BPJS Kesehatan dengan PERSI tanggal 14 November 2017 sebagaimana tersebut di atas, dan bahkan hingga goresan pena ini saya publish.
Dan untuk Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) itu kewajiban pemerintah yang memastikan tetap berjalan walau dalam kondisi apapun? Nah, bila untuk rumah sakit swasta??
Lalu RS yang bergantung pemasukannya dari BPJS bagaimana? Pegawai RS-nya digaji oleh apa dan siapa? Pasien bila kesulitan dilayani dan kemudian melaksanakan demo, siapa yang mau bertanggung jawab?
Baca : tulisan Prof. Hasbullah Tabrany ihwal JKN Mematikan Swasta
Itulah sistem BPJS kita yang selalu memperlihatkan klaim terbenar dan terbaik dengan dasar peraturan perundang-undangan padahal aneka macam borok yang perlu dikoreksi dan diperbaiki tanpa harus dibantah oleh pemerintah. Pemerintah terlalu mengecilkan pihak swasta dalam bidang layanan kesehatan serta mengaburkan hak rakyat sesuai Undang-Undang Dasar 1945 dengan tidak pernah mendengarkan masukan dari pihak-pihak selain pemerintah yang mempunyai perhatian besar terhadap kesehatan bangsa ini.
Semoga bermanfaat ..
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Fakta Krisis Obat Di Sebagian Rumah Sakit Di Jakarta, November 2017"
Posting Komentar