Setelah mengunjungi pulau Kei Kecil beberapa waktu yang lalu, bahkan hingga mendapatkan suatu penghormatan yang tak terduga yaitu diangkat menjadi anak etika suku Kei, lihat tulisan Diangkat Menjadi Anak Adat Suku Kei, dengan dianugerahi gelar Far Far dengan marga Kameubun, dan artinya saya berhak menyandangkan gelar serta marga tersebut di belakang nama saya.
Saya menjadi tergelitik ingin mengetahui lebih dalam perihal tatanan kehidupan sosial suku Kei terutama dalam hal aturan serta keadilan dalam etika masyarakat suku Kei, Maluku Tenggara.
Dalam setiap masyarakat, etika dipahami sebagai seperangkat nilai-nilai dan peraturan-peraturan sosial yang timbul dan tumbuh dari pengalaman hidup masyarakat tersebut. Selama hidupnya, masyarakat itu mengalami aneka insiden yang menggembirakan dan menyedihkan, serta yang memperkokoh dan merusak ketentraman. Pengalaman hidup masyarakat inilah yang menjadi sumber nilai-nilai adat. Oleh lantaran berpuluh-puluh juta penghuni bumi Indonesia hidup dan bertempat tinggal di daerah masing-masing yang berbeda sifatnya, maka setiap golongan penduduk membuat tata-hidup yang sesuai dengan pengalaman dalam lingkungan alamnya. Atau dengan kata lain, setiap masyarakat mempunyai konsep perihal keadilan yang diterapkan secara internal.
Namun, sesudah masyarakat tumbuh dan berkembang dalam korelasi antar warga, dan antara warga dan komunitas (masyarakat kecil), timbullah kekuatan-kekuatan sosial yang menguntungkan dan merugikan kehidupan bersama dalam komunitas itu. Dalam pemahaman mirip ini, Rawls kemudian mengemukakan, bahwa masyarakat yaitu kumpulan individu yang di satu sisi mau bersatu lantaran adanya ikatan untuk memenuhi kepentingan bersama, tetapi di sisi lain, masing-masing individu ini mempunyai pembawaan (modal dasar) serta hak yang berbeda, dan semua itu tidak bisa dilebur dalam kehidupan sosial. Persoalannya, bagaimana mempertemukan hak-hak dan pembawaan individu (modal dasar) itu di satu pihak, dan impian hidup bersama dipihak lainnya, biar terwujud kehidupan bersama yang berkeadilan?.
Jika mengikuti teori keadilan yang dikemukakan Rawls, maka setidaknya ada dua hal yang harus diperhatikan atau dipertimbangkan. Pertama, kebebasan yang sama atau setara (principle of equal liberty), bahwa setiap orang mempunyai kebebasan dasar yang sama, antara lain,
- kebebasan politik,
- kebebasan berfikir,
- kebebasan dari tindakan sewenang-wenang,
- kebebasan personal, dan
- kebebasan untuk mempunyai kekayaan.
Dan yang Kedua, prinsip ketidaksamaan (the principle of difference), bahwa ketidaksamaan yang ada di antara manusia, dalam bidang ekonomi dan sosial, harus diatur sedemikian rupa, sehingga ketidaksamaan tersebut,
- dapat menguntungkan setiap orang, khususnya orang-orang yang secara kodrati tidak beruntung, dan
- melekat pada kedudukan dan fungsi-fungsi yang terbuka bagi semua orang.
Berdasarkan dua prinsip keadilan berdasarkan Rawls di atas, maka makalah ini akan mencoba menguraikan makna keadilan yang terkandung dalam Hukum Adat Larwul Ngabal yang dianut oleh masyarakat Kei, Maluku Tenggara.
Gugusan kepulauan Kei, yang oleh penduduk setempat menyebutnya Nuhu Evav (Kepulauan Evav) atau Tanat Evav (Negeri Evav), yaitu merupakan kepingan administratif daerah kekuasaan Provinsi Maluku. Kepulauan ini terletak di selatan jazirah kepala Burung, Irian Jaya (Papua), di sebelah barat Kepulauan Aru, dan di timur maritim Kepulauan Tanimbar. Kepulauan Kei terdiri dari beberapa pulau, diantaranya Kei Besar (Nuhu Yuut atau Nusteen), Kei Kecil (Nuhu Roa atau Nusyanat), Tanimbar Kei (Tnebar Evav), Kei Dulah (Du), Dulah Laut (Du Roa), Kuur, Taam, dan Tayandu (Tahayad). Selain itu, masih terdapat sejumlah pulau kecil yang tidak berpenghuni. Total luas area daratan Kepulauan Kei yaitu 1438 km² (555 mil²).
Secara umum, masyarakat Kei terklasifikasi dalam dua komplotan adat, yakni, Lor Siw atau Ur Siw (Siw Ifaak) dan Lor Lim (Lim Itel). Secara etimologis Lor berarti sekumpulan orang yang mendiami wilayah/Ratschap atau kesatuan masyarakat aturan etika berdasarkan faktor geneologis dan faktor teritorial, sedangkan Siw dan Lim menunjuk pada angka 9 dan 5. Angka ini dipahami sebagai lambang institusi masing-masing persekutuan. Artinya kuantitas massa yang banyak itu terorganisir dalam institusi tersebut. Hukum adat Larvul Ngabal merupakan adonan dari dua aturan adat, yaitu hukum Larvul yang ditetapkan di desa Elaar, Kei Kecil oleh sembilan Rat (raja) yang kemudian dikenal dengan nama Ur Siw, dan aturan adat Ngabalditetapkan di desa Lerohoilim, Kei Besar oleh lima Rat (raja) yang kemudian berjulukan persekutuan Lor Lim. Selanjutnya, akhir proses penahklukan dan ekspansi wilayah kekuasaan dari kedua komplotan masyaraat etika ini, kemudian bersepakat untuk berdamai dengan menggabungkan kedua aturan etika tersebut menjadi Larvul Ngabal. Dalam perspektif Rawls, hal inilah yang saya pahami sebagai kepingan dari posisi asali masyarakat Kei.
Berdasarkan sejarah mulut yang hidup dan berkembang dalam masyarakat Kei, diketahui bahwa sebelum Larvul Ngabal diberlakukan sebagai aturan etika yang berlaku umum untuk seluruh masyarakat Kei, di wilayah Kepulauan ini sudah berlaku satu aturan yang disebut Dolo. Hukum ini lebih menjurus kepada tindakan-tindakan yang tidak berperikemanusiaan, atau sanggup dikatakan siapa yang kuat dialah yang menang – aturan rimba. Kehidupan masyarakat yang hampir “tanpa aturan” ini, kemudian diperbaharui dengan hadirnya para pendatang yang tiba dikepulauan Kei, sesudah diterima oleh penduduk orisinil dan menjadi penguasa setempat, kemudian mengadakan pembaharuan-pembaharuan dan berhasil meletakan suatu aturan dasar yang kenal dengan hukum Larwul dan Ngabal.
Dengan demikian, aturan adat Larwul Ngabal, oleh masyarakat Kei dipahami sebagai warisan budaya dari para leluhur dan mengandung nilai-nilai yang mencerminkan ahlak dan martabat serta budaya yang tinggi dari masyarakat Kei. Karena itu, sebelum menguraikan makna dan fungsi dari aturan etika ini, perlu diuraikan sekilas perihal latar belakang sejarah terjadinya kedua hukum, yang kemudian menjadi satu tersebut.
Terbentuknya hukum Larwul, bermula dari tibanya seorang musafir dengan keluarganya yang dalam tuturan sejarah mulut diyakini berasal dari Bali. Musafir tersebut berjulukan Kasdeu, yang mendarat di teluk Sorbay dibagian Barat pulau Kei Kecil. Kedatangan mereka diterima oleh masyarakat setempat. Kasdeu, kemudian kawin dan mempunyai emat orang anak, tiga pria dan satu perempuan. Tabtut yaitu putra sulung yang kemudian menjadi Rat/Raja di Ohoiwur, sedangkan anak perempuan bungsu berjulukan Ditsakmas. Putri bungsu ini kemudian kawin dengan seorang tokoh ternama dan pembuat bahtera piawai yaitu, Arnuhu dari kampung (desa) Danar di ujung selatan kepingan timur pulau Kei Kecil.
Dikisahkan bahwa perjalanan pertama Ditsakmas untuk menemui tunangannya Arnuhu di Danar, tidak berhasil, alasannya yaitu semua barang perbekalannya dirampok dalam perjalanan, akhir masih berlakunya aturan “rimba” Dolo waktu itu. Akhirnya pada perjalanan kedua melalui desa Wain di pesisir timur kepingan tengah pulau Kei Kecil, Ditsakmas akhinya menjumpai dan kawin dengan Arnuhu. Keberhasilan perjalanan kedua ini, dikarenakan ada bentuk larangan atau sasiyang digunakan oleh Ditsakmas, yakni ia mengikatkan daun kelapa putih (janur) disetiap perbekalannya. Diantara barang-barang Ditsakmas dalam perjalanan tersebut, ada seekor kerbau yang dinamakan Kerbau Siw. Kerbau ini kemudian disembeli di desa Elaar Ngursoin, antara Wain dan Danar, yang dibagi-bagikan menjadi 9 kepingan untuk perwakilan atau kampung (desa) yang hadir dikala itu. Dalam pertemuan di Elaar Ngursoin inilah lahir komitmen yang kemudian menjadi diktum hukum Larwul (= darah merah), yakni pasal 1-4 aturan Larwul Ngabal yang ada pada masyarakat Kei dikala ini.
Kerbau yang disembeli tersebut dibagikan secara merata kepada 9 Rat/Hilaai (Raja) yang mewakili 9 kampung (dalam bahasa Kei kampung = ohoi), diantaranya :
- Hilaai Danar menerima kepingan kepala,
- Hilaai Ngursoin menerima mata,
- Hilaai Elaar menerima gigi,
- Hilaai Hoar Uun/Rahadat/Rahabav menerima Ekor,
- Hilaai Mastur menerima Tanduk,
- Hilaai Ohoinol menerima Perut Besar,
- Hilaai Ributat Yatvar menerima Perut,
- Hilaai Ohoider menerima Empedu, dan
- Hilaai Wain menerima Hati.
Ungkapan etika yang diucapkan dalam proses pembagian itu ialah Larwul In Turak (larwul membakar), yang bermakna bahwa hukum Larwul akan digunakan untuk menjaga keamanan, ketertiban, menjamin harkat dan martabat insan dan hak-hak asasinya. Menurut saya, dengan adanya pembagian mirip ini sanggup ditemukan bagaimana masyarakat Kei pada waktu itu memaknai nilai keadilannya.
Asal mula perkembangan hukum Ngabal bermula dari mendaratnya saudara Kasdeu yang berjulukan Jangra dengan keluarganya di desa Lerohilim di pantai barat tengah pulau Kei Besar. Kehadiran Jangra di pulau Kei Besar segera tersiar disepanjang pesisir barat pulau Kei Besar hingga ke wilayah aturan raja Bomaf di Fer, ujung selatan pulau Kei Besar. Karena sudah mengetahui dari seorang penduduk desa Lerohoilim bahwa Kei Besar mempunyai lima orang raja yang memimpin di daerahnya masing-masing, dan yang paling besar lengan berkuasa pada dikala itu yaitu raja Bomaf dari desa Fer, maka Jangra mengutus putrinya yang berjulukan Ditsomar dengan temani oleh Wedifin (seorang penduduk desa Lerohoilim), untuk menemui raja Bomaf.
Perjalanan puteri Ditsomar ini membawa beberapa tombak (dari mas dan tembaga). Kehadiran Wedifin dengan puteri Ditsomar di Fer diterima oleh raja Bomaf dengan upacara adat, dan tombak-tombak itu ditaman/ditancapkan di Woma El Kel Bui yaitu sentra desa Fer. Woma adalah sentra desa biasanya dianggap sebagai tempat suci dan keramat, hanya upacara-upacara etika penting saja yang dilakukan oleh raja dan para Tua-tua Adat mirip pelanggaran aturan adat, pertikaian dan perang di Woma. Desa Fer dengan Woma-nya yaitu satu-satunya desa yang ditanami dengan tombak yang dibawa Jangra dari Bali, dan tombak ini disebut dengan nama Ngabal yang artinya “Tombak dan Bali” dan tombak tersebut kemudian dijadikan lambang aturan etika di wilayah Hilaai/raja Bomaf.
Atas dasar itu, raja Bomaf kemudian mengambil prakarsa dengan mengundang keempat raja lainnya untuk melaksanakan pertemuan di desa Lerohoilim. Undangan itu disambut baik, lantaran mungkin sudah muncul kesadaran untuk mengakhiri hukum Dolo. Pertemuan akbar di desa Lerohoilim itu bertujuan membahas kedatangan Jangra dan kesaktian dari tombak yang dibawanya. Selain itu, pertemuan tersebut berhasil menyepakati tiga dasar aturan yang disebut dengan hukum Ngabal, yang nantinya menjadi pasal 5-7 dari aturan adat Larwul Ngabal. Sebagai lambang untuk meterai yang mengesahkan aturan Ngabal ini, disetujui Tombak Ngabal yang kemudian sekaligus lambang bagi komplotan masyarakat adat Lorlim.
Untuk penyebaran dan pemberlakuan aturan adat Ngabal, maka sekaligus diadakan pembagian kiprah dan wewenang kepada masing-masing Hilaai di wilayah Lorlim Kei Besar, yang dilambangkan dengan pembagian bagian-bagian tubuh seekor ikan paus atau naga laut, yang kebetulan terdampar di pantai desa Lerohoilim pada dikala itu. Pembagian ini mirip dengan proses pembagian Kerbau Siw yang dilakukan di desa Elaar Ngursoin, Kei Kecil. Diantaranta:
- Hilaai Bomaf dari Fer menerima kepala,
- Hilaai Hibes dari Nerong (Lo Ohoitel) menerima perut,
- Hilaai Ub Ohoifak dari Uwat-Mar menerima ekor,
- Hilaai Loon Lair dari Weduar-Tutrean menerima sayap, dan
- Hilaai Meljamfak dari Rahangiar menerima gigi.
Konsensus dalam pembagian mirip ini, berdasarkan saya menunjukan sebuah kesadaran yang tinggi akan sebuah nilai keadilan.
Hukum adat Ngabal mengandung makna yang berupa perumpamaan dan kiasan, nasihat dan petunjuk. Selain itu berfungsi untuk melindungi hak-hak asasi, yang lazim disebut Ngabal In Adung. Kata-kata inilah yang diucapkan pada dikala proses pembagian tubuh dari naga laut/ikan paus itu. Ngabal In Adung bermakna “Tombak sebagai pengatur dan pelindung”. Dengan demikian sanggup disimpulkan bahwa Larwul In Turak yang menjaga keamanan, ketertiban, menjunjung tinggi harkat dan martabat insan serta menjaga dan menghormati hak-hak asasi, berfungsi sebagai membatasi kewenangan-kewenangan, dan perpaduannya dengan Ngabal In Adung yang berisi nasihat dan petunjuk, yang kemudian berfungsi sebagai pengatur dan pelindung bagi hak-hak dasar dari setiap individu yang diatur dalam hukum Larwul.
Dengan klarifikasi mirip ini, kita sanggup menemukan benang merah dari dua prinsip keadilan yang dikemukakan oleh Rawls, yakni: Pertama, Setiap orang mempunyai sebesar-besarnya kesederajatan hak dan kebebasan sejauh yang diatur dalam sistem kesederajatan kebebasan dasar untuk semua; dan prinsip Kedua, Ketidak-sederajatan sosial ekonomi diatur sedemikian rupa sehingga:
- bermanfaat sebesar-besarnya bagi warga masyarakat yang paling kurang beruntung, konsisten dengan prinsip menabung yang adil,
- dikaitkan dengan jabatan dan posisi yang terbuka untuk semua berdasarkan syarat semua mempunyai kesempatan yang adil.
Relevansi fatwa Rawls dengan kedua aturan etika di atas yaitu bahwa prinsip keadilan pertama, berdasarkan saya, yaitu sejalan dengan aturan adat Larwul dengan prinsip Lar In Turak, sedangkan prinsip keadilan kedua yaitu juga sejalan dengan aturan adat Ngabal dengan prinsipnya Ngabal In Adung.
Untuk memperjelas bagaimana konsep keadilan yang ada dalam kedua aturan etika masyarakat Kei ini, maka di bawah ini akan duraikan bagamana makna, fungsi dan kiprah dari kedua aturan etika yang digabungkan menjadi satu kesatuan yang telah diterima oleh seluruh masyarakat Kei dan yang masih berlaku hingga sekarang. Hal ini dilakukan untuk lebih mengelaborasi konsep keadilan berdasarkan masyarakat Kei, dan bagaimana kaitannya dengan prinsip keadilan berdasarkan Rawls.
Dengan memahami kedudukan dua komplotan masyarakat etika yang telah diuraikan di atas, sanggup dilihat sisi persamaan dan perbedaannya. Perbedaan diakibatka lantaran keduanya saling mempertahankan status quo, menjadi ‘raja-raja kecil’ yang tetap mempertahankan identitas komunal. Identitas komunal tidak hanya merupakan sesuatu yang penting, melainkan juga memilih kepatuhan atau loyalitas masyarakat kepada raja-raja kecilnya, yang seolah kodrati, merupakan sesuatu yang terberi, tanpa perlu campur tangan manusia. Dengan demikian ada semacam paksaan untuk mendapatkan ikatan kekuasaan yang cenderung absolut, dan ditopang kekerasan sekaligus menuntut kepatuhan dari mereka yang terpenjara rasa takut. Sedangkan pada sisi persamaan, kedua komplotan masyarakat etika ini dipayungi oleh aturan adat Larvul Ngabal, dan dalam interaksi sosialnya, hanya mengenal satu identitas bahasa yakni, bahasa Kei (Veve Evav).
Darah merah melambangkan bahwa Hukum Larvul itu perasaan- atau pikiran sehati yang berani, agung dan gerak masyarakat. Dan tombak Bali itu yaitu lambang, bahwa Hukum Ngabal itu berpijak, tajam, kuat, agung dan sakral. Dengan demikian, terdapat peri-bahasa menyatakan:“Larvul inturak, Ngabal inadung”. Artinya Larvul menetapkan secara umum dasar-dasar aturan adat, dan hukum Ngabal lebih mempertegas kekuatan Hukum adat.
Secara keseluruhan aturan etika ini terdiri dari 7 pasal, yakni:
Pasal 1 : uud entauk atvunad
“kepala bersatu, bertumpu di atas pundak”, artinya dimana kepala pergi maka seluruh badannya ikut. Maknanya, kalau kepala berpikir, bermaksud, dan bergerak, maka seluruh kepingan tubuh yang lain ikut melaksanakan apa yang dipikirkan oleh kepala (dalam pengertian partisipasi). Kepala dalam konteks ini, adalah Duad atau yang Mahakuasa; para leluhur (moyang-moyang); dan tokoh-tokoh adat, pemerintah dan orang tua. Kepala masyarakat atau kepala keluarga harus dihormati, lantaran mereka bertugas untuk melindungi keluarga dan juga masyarakat. Dengan demikian, persekutuan/persatuan dan harmoni dalam masyarakat sanggup dijamin, kalau kita saling menghargai dan saling mengakui kewajiban masing-masing, sebagai kepala atau pemimpin dan sebagai anggota tubuh.
Tugas proteksi mereka sebagai kepala juga dikuatkan dengan ungkapan peri-bahasa Kei, yang dalam dasar sifat hidup orang Kei dinyatakan : Sob Duad, taflur (flurut) Nit, fo hoar towlai, artinya “kita meminta berkat dengan berdoa kepadaTuhan, dan kita saling hormat-menghormati dengan mengingat pesan-pesan leluhur supaya kita berselamat di dunia dan akhirat.”
Pasal 2 : lelad ain fo mahiling
”leher bersifat luhur, suci dan murni” pengertian kata-kata ini bermaksud bahwa hidup dan kehidupan diluhurkan dan bersifat jujur. Leher bagi orang Kei danggap sebagai sentra hidup dan kehidupan yang bernafas, dan yang harus dilindungi atau dijaga.
Pasal 3 : ul nit envil rumud
“kulit membungkus tubuh kita”, ungkapan ini mempunyai dua arti, yakni pertama, harkat dan martabat insan harus dilindngi; dan kedua, nama baik orang lain harus dijaga dan dijunjung tinggi, serta kesalahan yang dilakukan oleh setiap individu harus segera dipulihkan dan ditebus. Hal ini juga sanggup diartikan sebagai kemampuan merahasiakan sesuatu perihal orang lain dan diri sendiri.
Pasal 4 : laar nakmut naa ivud
“darah beredar atau terkurung di dalam tubuh” makna dari pasal ini yaitu penghargaan terhadap kehidupan, lantaran itu, keselamatan setiap orang harus dilindungi. Hal ini berarti dihentikan melaksanakan tindakan penganiayaan, kekerasan, dan kekejaman kepada orang lain atau diri sendiri, yang sanggup menjadikan keluarnya darah dari dalam tubuh.
Pasal 5 : reek fo kelmutun
“ambang kamar atau kesucian kaum perempuan diluhurkan” ungkapan ini mempunyai dua arti, yakni, pertama, bahwa kamar tidur dari suami-isteri atau seorang perempuan tidak boleh dimasuki oleh orang lain yang tidak berhak; kedua, perempuan juga dilambangkan mirip tanda sasi (larangan) yang tidak boleh diperlakukan semena-mena. Artinya tidak boleh mengganggu seorang perempuan dengan cara bersiul, mengedipkan mata, mencolek, dan bersuara keras kepadanya.
Pasal 6 : moryaian fo mahiling
“tempat tidur orang yang sudah berumah tangga dan juga perempuan bujang (gadis) yaitu agung mulia” hal ini juga berkaitan dengan pasal 5. Bahwa orang lain tidak boleh memakai atau tidur di tempat tidur orang yang sudah menikah, termasuk tempat tidur seorang gadis.
Pasal 7 : Hirani ntub fo ih ni, it did entub fo it did
“milik orang lain tetap jadi miliknya dan milik kita tetap jadi milik kita”. Pasal ini mengakui kepemilikan pribadi, selama kepemilikan eksklusif itu mempunyai bukti atau ada sejarah (argumentasi) yang sanggup membuktikan kepemilikan tersebut.
Dapat dikatakan bahwa prosedur lebih lanjut atau aturan pelaksana dari Hukum Adat Larwul Ngabal seperti yang telah diuraikan di atas, dielaborasi lagi ke dalam 3 (tiga) bentuk aturan etika Kei yakni Hukum Nevnev; Hukum Hanilit, dan Hukum Hawear Balwarin. Ketiga aturan etika ini masing-masing terdiri dari 7 pasal. Bila dipilahkan pasal-pasal dari hukum Larvul Ngabal ke dalam ketiga aturan ini, maka pasal 1-4 yaitu hukum Nevnev, atau aturan peri-kemanusiaan, penghargaan terhadap kemanusiaan; pasal 5-6 yaitu hukum Hanilit, atau aturan susila/perilaku, penghargaan terhadap perempuan; dan pasal 7 yaitu hukum Hawear Balwarin atau aturan keadilan sosial.
Terdapat beberapa prinsip dan sikap hidup orang, yang secara ringkas sanggup diuraikan sebagai berikut:
Pertama, sikap rela menolong, istilah yang digunakan untuk menjelaskan sikap hidup orang Kei ini ialah maren atau hamaren. Maren berarti bekerja bersama-sama. Sikap dasar untuk menolong sesama ini terjadi secara spontan, tanpa ajakan resmi. Misalnya, membuka kebun baru, mendirikan rumah (termasuk gereja atau masjid), pesta perkawinan atau kematian. Semua orang yang merasa terkait dalam kekerabatan bekerja bersama-sama. Makara ada semacam kerelaan dari setiap orang untuk membantu sesama demi kekerabatan yang telah terjalin. Sikap rela menolong ini intinya dilakukan demi kelestarian korelasi dengan orang lain. Dengan demikian, ada perasaan wajib untuk menolong sesama.
Kedua, sikap percaya bahwa orang lain akan membantu. Sikap ini erat kaitannya dengan sikap rela menolong yakni dengan membatu orang lain, beliau sendiri percaya bahwa orang lain juga akan membantu setiap perjuangan dan pekerjaannya.
Ketiga, sikap hormat dan taat kepada atasan. Ketaatan dan penghargaan kepada atasan menjadi kebiasaan diseluruh daerah. Atasan berdasarkan pandangan orang Kei yaitu orang yang sanggup mempersatukan suatu kelompok kekerabatan. Dia mempunyai kekuasaan dan merupakan representasi aturan yang mengatur seluruh kosmos. Seorang atasan lebih merupakan unsure transenden, mengatasi seluruh kolektivitas. Oleh lantaran itu, kedudukannya ia dihormati dan ditaati.
Keempat, sikap tahu berterima kasih. Dalam bahasa Kei kata terima kasih berarti “tet ya”. Istilah ini mempunyai makna yang sangat mendalam, artinya “karena kebaikanmu, engkau saya tempatkan dalam lubuk hati biar engkau bersahabat dengan saya”. Makara hakikat dari ucapan terima kasih orang Kei yaitu kebaikan orang lain perlu dibalas dengan sikap yang mengeratkan korelasi sosial.
Dalam interaksi kehidupan sehari-hari, terdapat tiga nilai perekat, yakni,
- falsafah ain ni aniyang dimaknai sebagai bentuk persaudaraan;
- falsafah foing fo kut fauw fo banglu.Nilai foing fo kut ini bermakan menghimpun beberapa mayang kelapa kemudian diikat jadi satu, dengan tujuan mendapatkan hasil pembakaran yang menghasilkan cahaya untuk menerangi kehidupan, sedangkan fauw fo banglu, bermakna kemampuan membuat “peluru” untuk sanggup membentengi diri dalam menghadapi serangan; dan
- filosofi wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur,yang bermakna bahwa semua orang Kei berasal dari satu keturunan.
Filosofi antara ikan dan ayam sanggup memberi makna bawa sekalipun orang kei itu dikelompokan kedalam aneka macam kelompok. Baik dikelompokan lantaran kepentingan kekuasaan dan kewilayahan, maupun dikelompokan lantaran kepentingan strata, akan tetapi mereka satu dalam suatu kekuatan menyerupai ikan di maritim yang mengandalkan kekuatan insang untuk bernafas dan secara leluasa sanggup berktifitas, lantaran pada hakekatnya, apapun jenis ikan, tentu ia bukan sendirian, tetapi niscaya berasal dari komunitas ikan tertentu. Bahkan ikan yang berasal dari komunitas yang kecil sekalipun, tapi bisa menyesuaikan diri dengan ikan-ikan lain di sekelilingnya. Ini sebagai membuktikan bahwa, orang Kei itu gampang bersatu dengan orang lain dengan modal kepercayaan dirinya yang tinggi. Serta ayam bertelur sebagai lambang tidak punahnya masyarakat di kepulauan kei dengan cikal bakal melahirkan keturunan, untuk mewarisi semua komitmen leluhur yang tertuang dalam Hukum Adat Tertinggi Larvul Ngabal.
Ketiga falsafah perekat hidup bagi masyarakat Kei itu, di dalamnya mengandung nilai keadilan, yang berasaskan pada persaudaraan (ain ni ain). Dengan demikian keadilan berdasarkan budaya Kei yaitu “pengakuan teradap kepemilikan orang lain, sejauh kepemilikan itu sanggup dibuktikan dengan Toom Tad (bukti sejarah)” yang bersandar pada bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh, (foing fo kut fauw fo banglu), alasannya yaitu semua orang Kei adalah wuut ain mehe ni ngifun, manut ain mehe ni tilur.
Dua istilah teknis yang digunakan Rawls, yaitu efisiensi dan perbedaan. Prinsip efisiensi sanggup dipenuhi kalau sistem ekonomi yang membawa laba pada sekelompok orang tidak merugikan pada pihak lain. Artinya, konsumsi produksi, pembagian sarana produksi dan seterusnya diperuntukan kepada pihak yang kurang beruntung, dan akan dianggap efisien kalau hal itu tidak merugikan pihak lainnya. Jika pembagian tersebut hanya menguntungkan suatu pihak dan ternyata kemudian justru merugikan pihak lainnya, berarti tidak efisien. Bandingkan fatwa Rawls ini dengan pasal 7 hukum Larwul Ngabal.
Adapun prinsip perbedaan dimaksudkan Rawls sebagai batasan untuk mengendalikan ketidakpastian dari prinsip efisiensi. Sebab, berdasarkan Rawls, prinsip efisiensi di atas masih sanggup bersifat sewenang-wenang kalau hanya diberikan syarat yang samar, “tidak merugikan pihak lain”. Karena itu, di sini harus ada batasan lebih lanjut, yaitu prinsip perbedaan. Prinsip ini menyatakan bahwa mereka yang berada dalam pososi yang menguntungkan harus ikut berperan aktif dalam memperbaiki kondisi mereka yang kurang beruntung. Perbaikan kondisi ini berupa pengadaan prospek yang sama untuk meraih kedudukan dan fungsinya di mana pembagian sarana sosial ekonomi tersebut dikaitkan. Artinya, kegiatan masyarakat yang diasumsikan memenuhi tuntutan kebebasan yang sama (prinsip I) dan tuntutan kesamaan kesempatan yang fair (prinsip II) hanya akan dianggap adil kalau perolehan sarana sosial ekonomi yang diterima pihak yang menguntungkan dipergunakan untuk memperbaiki kondisi pihak-pihak yang kurang beruntung. Bandingkan kepingan fatwa Rawls ini dengan pasal pasal 1-4 dari aturan adat Larwul, serta pasal 5-7 dari hukum Ngabal.
Secara keseluruhan dua prinsip keadilan dari Rawls, yaitu hampir sama atau mirip dengan prinsip keadilan yang ada dalam hukum Larwul Ngabal pada masyarakat Kei. Dalam aturan adat Larwul Ngabal, juga terdapar dua prinsip yang mendasari keseluruan pasalnya yakni, prinsip Larwul In Turak yang bermakna penghormatan dan penghargaan terhadap individu, berikut hak-hak asasinya, dan prinsip Ngabal In Adung, yang bermakna sumbangan nasihat atau petuntuk sebagai pengatur dan pelindung, bagi setiap individu, kelompok dan komunitas masyarakat Kei, demi terwujutnya harmoni dalam masyarakat.
Akhirnya sebuah syair bau tanah yang didaulat sebagai salah satu kearifan lokal masyarakat Kei saya ketengahkan disini, sebagai kepingan dari falsafah hidup, hingga dengan contoh pembagian lahan untuk daerah darat maupun daerah laut, yakni: “batatang nuhu met, fitroa fitnangan, vuut er is waar, medar er sai roan, kulwai ukadir rir wai dok tub” (kita menjaga tanah dan pantai, maritim dan darat, ikan-ikan mematuk akar, kuskus memakan dedaunan, tempat kediaman ulat dan cacing). Syair ini memberi citra yang terang bahwa insan dan alam beserta segenap isi kandungannya merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan. Perkataan fitroa fitnangan(tujuh di laut, tujuh di darat) berarti sudah meliputi keseluruhan yang ada di maritim maupun di darat. Bahkan lebih ditegaskan lagi bahwa ulat dan cacing sekalipun, mempunyai hak untuk hidup di tempat keberadaannya. Manusia dan alamnya hidup untuk saling menghidupi.
Itulah “keadilan” berdasarkan masyarakat Kei yang terpancar dari aturan adatnya yang sanggup saya simpulkan dikala ini.
- Haar, Ter B., Asas-asas dan Susunan Hukum Adat, Jakarta: Pradiya Paramita, 1953
- Hartinigsih, Maria, Negeri yang Menjauhi Cita-Cita, Kompas, 13 Maret 2009
- Koentjaraningrat, Pengantar Ilmu Antropologi, Jakarta : Rineka Cipta, 1990
- Kilmanun, I.J., Hukum Adat Larvul Nagbal di Kepulauan Kei, Tual: Februari 1996
- Laksono, P.M, The Common Ground in the Kei Islands, Yokyakarta: Galang Press, 2002
- ___________, Wuut Ainmehe Nifun, Manut Ainmehe Tilut, Eggs from One Fish and One Bird: A Study of the Maintenance of Social Boundaries in the Kei Islands, A Dissertation, The Faculty of the Graduate School of Cornell University, 1990
- Messakh, A.Thobias, Konsep Keadilan dalam Pancasila, Salatiga: Satya Wacana University Press, Program Pascasarjana Program Studi Sosiologi Agama UKSW, 2007
- Ngabalin, Marthinus, Studi Perbandingan Terhadap Konsep Tuhan Menurut Orang Kei di Kepulauan Kei dan Paulus : Studi Kasus di Desa Ohoiwait, Program Pascasarjana Magister Sosiologi Agama, UKSW, Salatiga: 2006
- Ohoitimur, Yohanis, Beberapa sikap Hidup Orang Kei: Antara Ketahanan Diri dan Proses Perubahan, Tesis, Sekolah Tinggi Seminari Pineleg, Manado, 1983
- Pattikayhatu, J. A., dkk, Sejarah Daerah Maluku, Ambon: Dep. Pendidikan & Kebudayaan, Direktorat Sejarah dan Nilai Tradisional, 1993
- Rawls, John. Teori Keadilan: Dasar-dasar Filsafat Politik untuk Mewujudkan Kesejahteraan Sosial dalam Negara, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2006
- Rawls, John, A Teori of Justice, Harvard, Belknap Press, 1997
- ___________, Theory of Justice dalam Reason and Responsibility, Joel Fainberg (ed), California, Belmont, 1978
- Rahail, J. P., Larwul Ngabal: Hukum Adat Kei, Jakarta : Yayasan Sejati, 1993
- Rahayaan, Afia Maria, (Skripsi), Perempuan Dan Adat: Tinjauan Terhadap Kedudukan dan Peran Perempuan Dalam Hukum Larvul Ngabal di Masyarakat Kei, Salatiga:Fakultas Toelogi UKSW, 2008
- Sen, Amartya, Kekerasan dan Ilusi Identitas, Serpong-Tangerang: Marjin Kiri, 2006
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Keadilan Dalam Masyarakat Suku Kei"
Posting Komentar