Gempa bumi dengan magnitudo 7,5 di Palu dan Donggala, Sulawesi Tengah yang disusul dengan tsunami pada Jumat pekan lalu, pada ketika goresan pena ini ditulis telah mengakibatkan korban tewas setidaknya 1.424 jiwa, 99 orang hilang, 799 orang terluka, dan lebih dari 60 ribu jiwa telah mengungsi yang tersebar di hampir 150 titik.
Setelah investasi teknologi ratusan miliar rupiah pasca Tsunami Aceh 2004 yang menghasilkan sistem peringatan dini tsunami di Indonesia, InaTEWS, hari ini kembali dipertanyakan efektivitasnya dalam mencegah jatuhnya korban jiwa.
InaTEWS (Indonesia Tsunami Early Warning Sistem) yang diklaim komprehensif secara konseptual, ternyata belum bisa memperlihatkan layanan yang memadai ketika dihadapkan pada bencana gempa Palu.
Hingga ketika ini di Pusat Operasional BMKG telah terpasang beberapa kemudahan pengolahan sistem seismik dari Jerman, China, Jepang (NIED), Perancis. Sistem operasional untuk InaTEWS ialah Sistem Jerman SeiscomP, dimana prosessing real time otomatisnya telah pertanda kerja yang elok dan memperlihatkan hasil yang memuaskan walaupun masih perlu dikembangkan. Sistem menjadi lebih handal alasannya ada kemudahan untuk penentuan oleh petugas secara interaktif online. Sistem tersebut telah ditingkatkan sehingga bisa untuk menghitung magnitude gempabumi yang sebanding dengan magnitude moment yang cocok untuk warning tsunami. *Sumber : inatews.bmkg.go.id
Harga yang dibayar cukup mahal alasannya begitu banyak kematian akhir ketidakmampuan mengevakuasi diri. Hampir sebagian besar korban tsunami tidak mendapat informasi penyelamatan paska gempa dari pemerintah. Bayangkan, bahwa ketika itu tidak ada sirine peringatan yang berbunyi dan pada ketika yang bersamaan, masyarakat belum mempunyai gerakan refleks evakuasi mandiri ke tempat yang lebih tinggi begitu terjadi gempa.
Masalah kesiapsiagaan masyarakat terhadap tsunami dan gempa bumi bukan sekadar problem teknologi melainkan juga problem sosial budaya dan ekonomi politik yang perlu diselesaikan secara memadai, terus-menerus, dan detail.
Kabarnya, para Dewan Perwakilan Rakyat akan memanggil Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) untuk dimintai keterangan terkait diakhirinya peringatan dini tsunami oleh BMKG. “Kami nanti akan memanggil Kepala BMKG Dwi Korita Karmawati terkait pencabutan peringatan tsunami pascagempa Palu, Sulawesi Tengah,” kata Ketua Komisi V dewan perwakilan rakyat RI Fary Djemi Francis di Kupang, sebagaimana dilansir dari Antara, Senin (1/10).
Kontroversi muncul alasannya gelombang tsunami yang mematikan secara empirik datang di pantai Palu sesudah BMKG mengakhiri peringatan dini tsunami pasca gempa berkekuatan 7,5 dengan kedalaman 10 kilometer di wilayah 27 km Timur Laut Donggala pada Jumat, 28 September 2018, tepatnya pukul 18.02.44 WITA. Peringatan dini tsunami dilarang 30 menit kemudian sedangkan gelombang tsunami telah datang 15 menit lebih awal.
Keputusan BMKG berdasarkan hasil analisis pemodelan tsunami Palu yang diverifikasi dengan berbasis proxy dari tide gauge, yaitu alat pendeteksi pasang surut, di Mamuju (300 km dari Palu). Hasil analisis itu memperlihatkan muka air tsunami terdeteksi tapi tidak signifikan untuk sebuah tsunami yang membahayakan.
BMKG dan beberapa jago menjelaskan bahwa tide gauge di Palu tidak terkonfirmasi atau tidak berfungsi. Sedangkan kontak untuk verifikasi di Palu tidak aktif alasannya tidak ada jalur telefon yang hidup di Palu sesaat sesudah gempa terjadi.
Pada waktu yang bersamaan, tidak ada sumber data alternatif menyerupai tsunami buoys alias pelampung peringatan tsunami yang tersedia.
Informasi mengenai hilang atau rusaknya semua tsunami buoys bukan info baru. Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) berkali-kali menyampaikan hal ini, tercatat setidaknya semenjak Juli 2011, kemudian Maret 2016, sampai Desember 2017. Artinya dalam 7 tahun ini, tidak ada penggantian tsunami buoys.
Pertanyaannya: mengapa tsunami buoys tidak diganti jikalau alat itu penting dalam skenario Gempa Palu 7,7 SR tersebut? Mengapa penggantian alat yang rusak tidak menjadi prioritas pemerintah? Siapakah yang harus bertanggung jawab? Apakah dewan perwakilan rakyat yang tidak menyetujui tawaran anggaran dari forum terkait?
Teknologi mempunyai kelemahan yang menempel pada sistem tata kelola dan keterbatasan alasannya konteks. Badan Informasi Geospasial (BIG) perlu memutakhirkan dan memantau pemeliharaan tide gauge secara berkala. Sistem dan peralatan yang bergantung pada pemikiran listrik sering menjadi problem ketika terjadi gempa besar. Pentingnya sistem energi back-up menyerupai tenaga surya sudah sering dibahas. *Lihat panduan InaTEWS di sini.
Selain soal ketiadaan informasi dari tide gauge Palu dan ketiadaan tsunami buoys, aneka macam kritik terkait model analisis tsunami yang wajib memperhitungkan karekteristik dinamika teluk, potensi longsor bawah laut, serta sistem dan teknologi InaTEWS yang tidak mutakhir mungkin ada benarnya.
Namun menyalahkan BMKG ketika ini tentu praktis namun tak selalu menyerupai yang terlihat secara kasat mata dalam Gempa Palu 28 September. Mengoreksi birokrasi lokal serta tentunya juga nasional yang berdasarkan saya abai dalam memelihara tide gauge dan buoys juga perlu. Tapi menyalahkan masyarakat tanpa ada aktivitas pendidikan publik dan kesadaran mereka terkait aset-aset InaTEWS menyerupai tsunami buoys tentu lebih praktis lagi
Aspek kecepatan dan ketepatan menjadi sangat penting dalam sistem peringatan dini tsunami (TEWS) di mana pun. Menurut Hukum Moore, aturan perkembangan teknologi menghendaki pemuktahiran alat setiap 18-24 bulan.
Bagaimana InaTEWS mengoperasikan sistem yang efektif menyelamatkan rakyat jikalau sistemnya tidak diperbarui secara bersiklus seturut perkembangan teknologi? Bagaimana mempunyai sistem yang selalu mutakhir jikalau pengambil kebijakan tidak mendukung tawaran anggaran pemuktahiran sistem?
Salah satu komponen utama dari sistem peringatan dini Indonesia ialah insan Indonesia itu sendiri. Penekanan yang berlebihan pada teknologi sanggup menciptakan komunitas menjadi pasif. Ini sanggup mengakibatkan tidak berkembangnya kemampuan masyarakat untuk menyesuaikan diri dengan daya antisipasi yang sanggup berdiri diatas kaki sendiri dan berkelanjutan.
Sistem peringatan dini tsunami (TEWS) yang berpusat pada manusia, mensyaratkan kesepakatan yang tinggi dan faktual dalam investasi membangun kesadaran kesiapsiagaan tehadap tsunami dan gempa. Investasi pada masyarakat rentan harus rutin dan berkesinambungan dari level kabupaten sampai pada level rumah tangga.
Konsep dan fokus InaTEWS tidak cukup hanya dengan debat soal pemuktahiran teknologi kemudian lupa dengan kerja menyiapkan masyarakat siap menghadapi tsunami masa depan. Sudah sejauh mana pemerintah tempat dan pemerintah sentra secara serius mengimplementasi aktivitas kesiapsiagaan tsunami dan kegempaan di daerah?
Menyalahkan masyarakat alasannya vandalisme terkait tsunami buoy dan menyampaikan masyarakat sebagai pembunuh ialah satu hal. Tapi mereduksi problem tsunami buoys dalam ranah kriminal tentu tidak menuntaskan masalah.
Kalau pun masih ada tsunami buoys yang mungkin telah berusia di atas 10 tahunan ini, apakah ada perawatan yang rutin? Dalam tradisi pemeliharaan tsunami buoys di Australia misalnya, Badan Meterologi Australia secara bersiklus mengganti tsunami buoys di permukaan air bahari tiap dua tahun. Sensor tekanan dasar lautnya juga harus rutin dan lebih sering dibersihkan alasannya sering kemasukan sedimen dan makhluk kecil di laut.
Artinya semenjak diresmikannya InaTEWS dan digunakannya buoys pada 2008, minimal perlu penggantian tsunami buoys sebanyak 3-4 kali. Tentu tergantung tipe dan ketahanannya produknya, perawatannya memang mahal dan tidak selalu mumpuni.
Terkait tsunami-buoys, beberapa keterangan pakar justru menyampaikan bahwa Palu tidak mempunyai alat peringatan tersebut alasannya minimnya pinjaman dana dari pemerintah terhadap Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi (BPPT), yang mengelola alat tersebut.
Kita perlu mempertanyakan, apakah ada anggaran memadai yang dikeluarkan terkait pemeliharaan tsunami bouys dalam InaTEWS dalam 8 tahun terakhir. Artinya mungkin saja tsunami buoys yang hilang memang secara natural sudah tidak berfungsi alasannya ketiadaan pemeliharaan.
Karena itu, menyalahkan masyarakat yang mengambilnya sebagai “pembunuh” perlu diimbangi dengan kemampuan otokritik pemerintah dalam menyadari kiprahnya dalam jatuhnya korban alasannya kelalaian menyediakan anggaran pemeliharaan dan pemutakhiran infrastruktur InaTEWS.
Reformasi Birokrasi Perbencanaan Di Daerah
Harus ada upaya pendidikan masyarakat secara konsisten. TEWS diciptakan demi penyelamatan manusia. Karena itu pementingan pada insan dan sistem tata kelolanya sangat penting dalam menjamin keberlanjutan layanan peringatan dini.
Transformasi InaTEWS menghendaki reformasi birokrasi TEWS dan penanganan bencana di tempat dalam keseharian. Kehadiran Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Pusat Pengendalian Operasi (Pusdalops) sebagai ujung tombak layanan informasi bencana dan peringatan di tiap kabupaten kota bukanlah pajangan birokrasi tanpa tujuan.
Tanpa perbaikan birokrasi dan reformasi layanan publik sepanjang rantai InaTEWS dari sentra sampai tempat dan yang diikuti dengan penyadaran dan kesiapsiagaan akar rumput, tidak mungkin Indonesia tangguh terhadap gempa tsunamigenik.
*disarikan dari aneka macam sumber
Sumber aciknadzirah.blogspot.com
Mari berteman dengan saya
Follow my Instagram _yudha58
0 Response to "√ Bercermin Dari Kegagalan Inatews Dalam Bencana Tsunami Palu 2018"
Posting Komentar